Tag Archives: rakyat

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Opini: Larasita Hingga Musrenbangnas

Oleh Iwan Piliang (Calon Gubernur DKI Independen 2012, pendiri Jayakarta Woodball Club, Mereposisi Jakarta Menuju Jayakarta)

 

Sebuah  rejim merusak bahasa, apatah pula logika

***

PADA Rabu, 6 Juli 2011, saya melewati perempatan Jl. Sabang, Jakarta Pusat, menuju ke arah bilangan Menteng. Di pojok kanan ada pemandangan yang mengusik mata. Sebuah papan reklame besar dengan tulisan Larasita, lalu visual pejabat di Badan Pertanahan, berjalan melangkah bersama Presiden SBY.

Larasita

Acap saya terganggu dengan singkatan dibuat kalangan pemerintahan kini.

Saya bukan ahli bahasa. Pelajaran Bahasa Indonesia saya rata-rata. Ketika kuliah di Jurusan Komunikasi, satu semester kami belajar buku tipis tentang Ejaan Yang Baik dan Disempurnakan. Pembelajaran itu juga tak membuat nilai saya bagus. Ponten saya do-re-mi  saja. Maksudnya di bawah lima. Entah karena anggap enteng karena bukunya tipis?

Sejak lama kuat dugaan saya, pelajaran bahasa dimulai di tingkat Sekolah Dasar, walaupun dianggap penting, tetapi lupa menekankan sejatinya bahasa bak matematika, pondamen logika.

Jika saya mengomentari soal penulisan singkatan ini, dalam konteks bukanlah pakar, bukan ahli bahasa, tidak pula sosok jagoan bernilai tinggi bahasanya. Telaah saya adalah di ranah logika, dengan latar aktif menulis sejak 1983.

Lema lara menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bermakna sedih, susah hati, sakit. Sedangkan sita; tuntutan pengadilan, perihal mengambil dan menahan barang-barang menurut keputusan pengadilan oleh negara ; pembeslahan. Ada juga makna sita: putih.

Setelah saya memajang foto billboard yang saya maksud di Facebook, barulah saya paham ketika ada seorang kawan memberi tahu kepanjangannya. Di papan reklame Larasita tidak ada kepanjangannya. Agaknya, semua publik sudah paham akan kata itu?! Konon kepanjangan Larasita versi Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu: Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah.

Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah

Secara diksi, ada makna kata di dua suku kata yang mereka singkat. Secara logika, hingga era reformasi ini, Badan Pertanahan tidak mengubah diri dari langgam amtenar ke bertutur sebagai pelayan publik. Mereka masih memakai layanan rakyat.

Lantas mereka siapa?

Tuan tanah?

Mereka digaji melayani rakyat. Untuk melayani rakyat itu fasilitas mereka disiapkan segalanya oleh negara dari uang rakyat.

Dan billboard yang mereka buat, juga dipasang dengan biaya uang rakyat. Alangkah naifnya segala fasilitas mereka gunakan merusak logika bahasa.

Maka tidak berlebihan saya katakan bahwa rejim saat ini memang perusak logika. Dan jika Anda telaah di sana, saya yakin berjibun yang bergelar doktor dan kalau dikritik akan marah, lalu datang dengan argumen ini dan itu yang membuat Anda sebagai rakyat digobloki.

Begitulah, bisa saya pastikan.

Kira-kira dua bulan lalu, mata saya juga tertumbuk pada spanduk besar di depan Gedung Bappenas di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Ada spanduk cukup besar bertuliskan Pra Musrenbangnas. Musrenbangnas versi pemerintah adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional. Mungkin banyak di antara Anda sudah paham karena acap disosialisasikan. Namun terkadang sedang berjalan hanya membaca Pra Musrenbangnas dengan tambahan visual pejabat, benak bertanya, apa ya kiranya Pra Musrenbangnas?

Jika logikanya spanduk tadi ingin memberitahu sedang persiapan musyawarah, apakah pesan menjadi sampai? Celakanya publik, tepatnya rakyat, yang ingin diberitahu adalah pemilik itu gedung, pemilik itu uang pembuat spanduk. Kerendah-hatian untuk melayani rakyat seakan lenyap. Bertanya saya logika apa yang dipakai, toh nyatanya bahasa menjadi rusak.

Jika ketaatan kaedah bahasa yang dirujuk, maka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional seharusnya disingkat Mupepenas dan atau MP2N, Namun mungkin kegenitan selera mendengar lebih enak, tentu menurut mereka pejabat yang dibayai rakyat tadi, seakan tak peduli dengan kuping rakyat itu yang tak nyaman dengan Musrenbangnas. Dan toh kembali ke logika: yang pejabat kan saya, kami, kalian semua rakyat tahu apa.

Sekali lagi karena bahasa adalah logika, maka kesemrawutan berbahasa, khususnya membuat singkatan kata, tak kalah dahsyatnya dari masalah korupsi menimpa bangsa.

Bak jalanan Jakarta yang hari-hari kusut, tidak dibenahi oleh pejabat yang hatinya bersih dan jernih, maka kita sebagai rakyat; diperkosa menikmati kelakuan pemangku kuasa, mengaku berpendidikan pula. Kita semua ini dicap bodoh diperkosa ‘nrimo! ***

(ditulis pada 07 Juli 2011)


Menyumbang Kata, Menyambung Kita

Oleh Syaiful Alim

Aku dengar gempa di luar sajak

menimpa segala yang nampak

kaki melangkah, beranjak

mengepak kata-kata, hendak

tegakkan jiwa retak, kembang berserak.

Kami para Penyair

harta kami Kata

serupa air mengalir

membasahi akar-akar tua.

Jangan kalian tanya kami

apakah sepiring puisi setara dengan sebungkus indomie.

Bukankah para Nabi

memikul kata-kata, bukan sebakul roti.

Jangan kalian pinta dari kami

sejuta nasi kotak dan seribu lembar selimut.

Mintalah kepada kepala negara

atau para pejabat yang hobi korupsi.

Eits, kami diam-diam menyisihkan jatah makan anak istri

buat mengganjal perut-perut pengungsi.

Jangan kalian kira kami tak berbuat apa-apa

kami membantu dengan segala yang bisa.

Ayo gigih tagih janji-janji partai dan politisi

bila perlu pemilu mendatang tak memilih lagi.

Apa tidak gila! Rakyat meronta, berlari dari air mata

Sementara para penguasa berpesta;

ada yang meluncur ke Sanur Bali

ada yang terbang ke manca negara

dengan alasan study banding

ada juga yang pusing mikirin dinding

vila yang lecet dan kurang cat warna gading

ada yang lebih gila: gali tabungan umat

buat ibadah haji yang teramat keramat.

Apa kita tak merinding!

Berapa milyar uang rakyat menggelinding

begitu lancarnya di kening dan perut pejabat

yang kebanyakan hamil enam bulan

sementara rakyat jalan ribuan mil

cuma mengambil rizki secuil.

Bapak, Ibu, Saudara, Saudari, ini tidak adil!

Sudah lama kita dikibuli

berkali-kali diakali

apakah betah jadi kuli.

Ayo ledakkan saja apa yang ada dalam dada

seperti amuk Merapi, bagai gempa Mentawai

serupa lumpur lapindo menyembur

atau bak jamur-jamur kemiskinan merebak

dan kebodohan tumbuh subur, beranak pinak.

Ayo jangan hanya sembahyang di mushola, gereja, pura, kelenteng, dan wihara.

Ibadah hampa jika tanpa bukti nyata.

Percuma sujud doa bila saudara sengsara

padahal mampu membasuh duka lara.

Mari, mari memberi

eratkan jemari

rekatkan retak matahari

pikat wangi mawar di diri duri

jangan kalian biarkan menusuk hati.

Mari, mari menari

bersama kata

pilih paling jelita.

Jangan berhenti

sebelum pak menteri

tiba membawa ikan teri

bila bisa, pinta pak presiden datang

mengusung istananya

supaya kalian bisa leluasa nginap beberapa hari saja

dengan gratis, dilayani gadis-gadis manis jelita.

Kami para Penyair

meniupkan angin semilir

meski bibir terkilir.

Jangan iba, kami terbiasa hidup

di pinggir dan dipinggirkan.

Ini bukan takdir

tapi ulah orang-orang pandir.

Menyumbang kata.

Menyambung kita.

Kami tak pernah telat

membasuh luka.

Kami tak pernah rehat

membancuh air mata.

Malaikat, catat, kami ikut terlibat!

[]

Sudan dan Saudi Arabiya, 2010.


Negeri Kami Begitu Ngeri dan Nyeri

Oleh Syaiful Alim

I

Negeri kami kaya raya

tapi kami banyak yang tidur di pinggir jalan raya.

Negeri kami subur

tapi kami makan beras impor

dan ikan dari singapura dan kuala lumpur.

Negeri kami makmur

tapi jutaan rakyatnya menjemur

basah luka di panas matahari

sudah lama dilindas dilibas reroda kuasa

yang berlumur dosa.

Luka kami jadi jamur

tumbuh di sekejur tubuh

yang membuat mata kami lamur

menanti mati dikubur umur.

Ke mana sumur-sumur kami

tempat mandi, mencuci, dan membasahi

kemarau yang kian birahi.

Ke mana sungai-sungai kami

tempat hanyutkan derit derita

dan jerit sakit berabad lama.

Hutan-hutan mulai gundul

kebun sawah ladang sudah susah dicangkul

anak-anak kami kian sulit digamit dan dirangkul

karena dapur berhari-hari tak mengepul.

II

Lihatlah kaum beragama negeri kami

pandai berakrobat ayat suci

sebagai siasat mengembat kursi.

Lihatlah artis aktor negeri kami

tidak hanya pintar aksi di televisi

tapi juga mencalonkan diri jadi bupati

walikota, dan gubernur cuma bermodal pesona berahi.

Lihatlah rakyat negeri kami

dibiarkan sekarat sampai berkarat keringat.

Beribu-ribu mengungsi

ke negeri orang mencari sekerat roti

meski dicaci maki, disetrika, diperkosa

dan dijual di tempat-tempat prostitusi.

Lihatlah anggota dewan kami

enak naik sedan produk luar negeri

rakyat bersedu sedan, berjejal-jejal pantat

berdiri bergelantungan bagai monyet

di tiang besi bis kota tua terkutuk

bau apek bau keringat busuk

menusuk-nusuk indra cium

belum lagi jemari-jemari

yang mengendap-ngendap dompet

hendak mencopet.

Lihatlah pejabat-pejabat kami

mereka sudah berubah jadi tikus-tikus berdasi

sementara kami makan nasi basi.

Aduhai serdadu yang lihai melesatkan peluru

sesatkan arah tuju ke kepala koruptor-koruptor itu

jangan kau bidik rakyat cilik

mereka sudah lama berdarah tercabik.

Negeri kami kotor

oleh ulah teror penjarahan upah buruh

dan kami pasti kalah oleh leleh peluru yang luruh

dari mulut-mulut pejabat yang tiba-tiba jadi tikus sawah

mencuri keringat, air mata, dan mata air yang sepuh

tertanam di tubuh melepuh.

III

Kami ingin menangis

tapi air mata habis.

Kami ingin tertawa

tapi duka senantiasa terbawa.

Kami ingin teriak mengoyak langit

tapi kami kehilangan suara jerit.

Kami ingin bersaksi di hadapan matahari

tapi matahari sudah mereka beli.

OH NEGERI KAMI BEGITU NGERI DAN NYERI

[]

Khartoum, Sudan, 2010.


Voorijder

Oleh Mappajarungi Manan

Kata itu, diserap dari bahasa Belanda berarti kendaraan kawal. Kendaraan itu berada di depan yang membunyikan sirine sangat memekakkan telinga. Di Indonesia hampir semua pejabat penting bangga dengan perjalanannya bila berada di belakang kendaraan kawal. Dari level bupati hingga presiden. Entah. Bahkan, pengantin-pun kini mendapat kawalan.

Tidak hanya pejabat. Pengusaha yang berduit pula kadang menggunakan kendaraan kawal. Entah dari polisi yang disewa. Namun belakangan ini, pihak bersangkutan membantah kalau menyewakan kendaraan kawal, atau pribadi yang juga memiliki sirine. Intinya, mendapat kawalan dari kendaraan itu, mata pengguna jalan akan menoleh bila mendengar suara raungan itu.

Puncaknya, surat pembaca di harian ibukota menurunkan keluhan tulisan surat pembaca tentang ulah arogan pasukan pengawal presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Komentarpun bermunculan. Padahal, keluhan soal ulah kendaraan itu yang menyebabkan kemacetan dan keluhan warga di Cibubur dan sekitarnya, mungkin sejak awal menjabat presiden telah merisaukan. Namun, maklum penduduk sekitar itu masih toleran. Tidak hanya itu, mungkin juga bangga bertetangga dengan penguasa.

Di belahan dunia ini, tidak semua presiden mendapat kendaraan kawal. Tengok saja Presiden Timor Lesta, Rose Ramos Horta. Ia dengan bebas berjalan ke mana saja tanpa ribet dengan bunyi sirine. Bukan hanya Horta, Presiden Filipina Benigno Aquino III memberi contoh untuk berlaku seperti rakyat biasa. Dia ke mana-mana tanpa pengawalan voorrijder dengan sirene meraung-raung. Presiden lajang itu rela bermacet ria bersama rakyatnya dan berhenti di setiap lampu merah.

Presiden Soekarno, juga tak senang dengan adanya kawalan itu. Ia lebih senang berkendaraan bila tak ada bunyi sirine yang menjengkelkan itu. Soekarno lebih nyaman dan aman berada di kendaraan bila kemana-mana tanpa kawalan. Soekarno akan merasa lebih dekat dengan rakyatnya serta ia merasa dicintai oleh rakyat. Karena seorang pemimpin tidak menjaga jarak dengan rakyatnya. Tengok juga Presiden Cuba. Dulu, Fidel Castro, kendatipun sasaran tembak Amerika, namun ia tak suka dengan pengawalan.

Di Republik Zimbabwe, salah satu negara di Afrika bagian selatan, pengawalan di jalan raya begitu ketat. Jangankan orang di jalan, burungpun mungkin menundukkan kepala bila berpasangan atau bertemu dalam perjalanan Presiden Robert Gabriel Mugabe. Kendaraan yang digunakan ada dua, satu Mercedez Benz S clas keluaran mutakhir serta kendaraan Limousine. Entah yang mana di gunakan. Di belakang kendaraan sekompi penembak jitu (sniper)

Beberapa menit sebelum Mugabe lewat, semua kendaraan harus menepi kalau tak mau berurusan atau ditembak bannya oleh pasukan kendaraan bermotor yang telah “menyapu” jalanan beberapa kilometer di depan sebelum Mugabe lewat. Ngeri. Itu sangat kontras dengan wakilnya dan para menteri-menteri lainnya. Josep Mzika, misalnya, wakil Mugabe, kemana-mana tanpa pengawalan dan kendaraan pengawal. Rakyat Zimbabwe percaya, bahwa semua kesalahan tertumpu pada presiden. Karena itu, presiden harus terjaga seketat mungkin. Nyamukpun tak boleh mendekat. Lah wong, nyamuk itu mengigit. Apalagi tikus, wah tikus apa dulu?…

Pengawalan super ketat memang perlu. Tapi semakin dictator seorang pemimpin, maka akan semakin ketat pula pengawalan di jalan. Rakyat yang berada di jalan, akan mendapatkan hardikan dan bentakan bila tidak memenuhi keinginan protocol kendaraan pengawal itu. Entahlah mereka yang dekat dengan kediaman penguasa akan merasa tersiksa dengan aturan ketat. Atau sebaliknya akan bangga karena lingkungannya terkenal?.. entahlah.

Peminpin yang dekat dengan rakyat, tidak membutuhkan pengawalan. Karena rakyat akan melindungi pemimpinnya. Tidak sebaliknya, pemimpin malah menyusahkan rakyatnya di jalan. Itu hanya di jalan. Mungkin lebih parah pula disemua sector kehidupan apalagi dengan naiknya tarif dasar listrik, harga kebutuhan sembako yang meroket. Mungkin itu lebih menyiksa ketimbang hanya beberapa menit di jalan raya akibat ulah Voorijder itu. []


Kepadamu yang Tak Jemu Kutemu dalam Rindu

Oleh Syaiful Alim

Aku tulis surat ini kala langit menaburkan warna biru, bagai warna jerit yang melejitkan harapan baru. Begitu juga dengan warna tinta penaku, biru, aku berharap kau dapatkan kedamaiaan dan ketenangan ketika kau baca suratku. Sebutlah namaku tiga kali dan bukalah pintu dan jendela suratku dengan nama cinta:

Entah berapa kali kuakui betapa aku mencintaimu.
Perempuan bermata puisi, yang selamanya susah dimengerti
seperti garis nasib pada telapak tangan, rangkak kaki mendaki angan.
Arus sungai di tengah tubuhmu terus menggerus sebongkah batu di dadaku
lalu aku tadarus namamu, nama bunga-bunga liar sekitar hutan belakang rumahku.

Bunyi sunyi yang kau dengar ketika malam-malam dari ranjangku, juga ruang yang serupa jurang di nyanyi jantungku adalah makam mayatku. Sepi yang lewat jendela kamar, menyayat urat nadiku, aku memar jatuh di lantai marmar. Bagaimana kubersabar pada setiap debar yang menjalar, akar pepohonan memohon air pada awan yang kerap ingkar. Bagaimana kubersandar pada dada yang duda oleh bujuk mawar. Aku terpuruk menggambar wajahmu di daun lontar.

Cinta manusia tak kan usai jika usia diisi puisi. Tapi beras setakar dan ikan asin di pasar sukar ditawar dengan sekeping gusar. Sementara pejabat menimbun dinar dan dolar di perut-perut ikan impor. Ibuku dan ibumu memasak sesak di kompor tanpa minyak. Rakyat pasti jadi hewan ternak. Susu-susu mereka diperas sebagai jamuan sehabis sarapan pagi dan sebelum tidur. Sementara aku, kau, Ibu kita menangis, meratapi dada yang kian menipis. Kain kematian membalut tubuh-tubuh tak berdaging, mengemis amis ikan di dapur restoran. Luka kami makin mengiris, seolah diperciki air jeruk nipis.

Entah berapa kali kuakui betapa aku mencintaimu.
Kau yang selalu lajang pada jalangku, payudaramu menyandang sendang,
burung-burung camar sedang berdendang di bening airmu, menimba denyut,
ikut menyikut kerinduan laut yang akut. Langit tercemar asap-asap pabrik,
bumi tercabik sampah-sampah plastik. Semua akan berakhir di bibirmu tanpa lipstik.

Entah berapa kali kuakui betapa aku mencintaimu.
Aku mualaf di alifmu.

Manusia tak kuat hidup sendiri, maka itu Tuhan menciptakan makhluk berpasang-pasangan. Akulah Adam yang berabad lama tenggelam dalam kesepian. Surga dengan segala keindahan dan kenikmatannya tak membuatku damai, tapi menjadi badai kehidupanku.

Aku ada dari persetubuhan luka. Luka Bapa Adam dan Bunda Eva. Adam yang memendam masam dendam pada tuhan tuan alam. Eva yang demam marah berdarah di sepotong dagingnya. Lantaran ditusuk rusuk. Luka itu tak kunjung tak kunjung membusuk. Berapa pucuk kain lagikah untuk membalut kalut? Berapa puncak luka lagikah?

Aku tumbuh di reretak tanah. Akarku sering memar oleh pukulan kasar kemarau. Air tanah menjauh dari jalar akarku. Sinar matahari terlalu api. Tapi jangan berhenti mencintaiku. Jangan khawatir aku tak mampu membahagiakanmu. Justru dalam keadaan seperti ini, aku berani menaklukkan setiap kutuk. Mampu membentuk setiap remuk. Sanggup mengendalikan setiap amuk. Pasti birahi kepada setiap lapuk.

Aku berkembang di sebentang ladang gersang. Mendung cuma kidung putus asa. Sekadar pengingat bahwa harapan masih ada. Bebutir air tak hadir dan mengalir. Tapi aku selalu mengukir. Supaya segala tak segera berakhir.

Aku tinggal di gubuk kayu. Kayu-kayu yang kucuri dari hutan hantu. Hutan angker menakutkan. Manusia-manusia tamak serakah rebahkan seluruh batang-batang pepohonan. Kini hutan itu tak tumbuh satu pun sebatang pohon. Hanya semak. Cuma belukar. Aku curi kayu-kayu itu dari sisa kayu yang ditinggal penebang ( mungkin lupa atau dibuat lupa karena banyak kayu ). Membawanya juga aku dengan berlari. Kayu muda bermuka tua. Atap gubukku dari tali temali ilalang. Mudah terbakar jika tersulut api. Mudah rapuh jika tersentuh bebutir hujan musim semi. Alas tidurku dari tumpukan jerami yang nakal, binal, dan suka membikin gatal. Yang membuat kantukku makin kental.

Aku berakal budi. Tersebab belajar pada alam. Belajar ketabahan akar rumput. Belajar kerjasama semut. Belajar keikhlasan reranting yang dijemput maut. Belajar produktifitas sang lebah. Belajar kesababaran sang tanah. Belajar rendah hati padi berisi. Belajar diam bebatu kali.

Aku manusia bodoh. Aku tak tahu ilmu menebar jala. Aku tak tahu ilmu menyuburkan tanah. Aku tak tahu ilmu berdagang buah. Aku tak tahu ilmu merawat sapi perah.

Tapi percayalah:
Bersamaku, kau tak kan busung lapar
karena aku menjemput rizki meski sekadar beras setakar.

Bersamaku, kau tak kan kehausan
karena aku selalu mengunduh embun subuh
dan menuangka ke mulut hausmu yang sungguh.

Bersamaku, kau tak kan basah kedinginan
karena telah kubangun gubuk
dengan api unggun yang menyala
setiap malam. Di dalamnya kita dimabuk peluk
dibekuk kikuk.

Bersamaku, kau tak kan telanjang
karena aku merajut benang
gaun berlukiskan kembang-kumbang
dan bintang yang membikinmu kian terang.

Bersamaku, kau tak kan kesepian
karena aku bertenak kata, menggembala kata di padang rumput
tanpa kandang tanpa pecut.
Jika aku tak ada di dekatmu
janganlah pucat dan kecut.
Sajak adalah nyanyian laut
mengajakmu melawan surut dan kalut.
Sajak adalah kepak elang
mengajakmu terbang ke bentang
langit biru, menyicil utang sakit rindu.

Wahai kau Perempuanku
aku meminangmu
dengan segenggam puisi, sekeranjang matahari, sekarung gandum,
sekuntum zaitun, seharum embun, segerimis tangis, serumpun ilalang,
sehimpun bintang, serisau kemarau, sebening danau, sehening pisau.

Aku pilih kau dari beribu perempuan
sebelum doaku mengabu di mihrob perapian

“Tuhan, beri aku perempuan.”

Seperti apakah Perempuan Tercantik di dunia, Syahrul, tanyamu.

Dikala dipandang, ia menyenangkan. Dikala dipeluk, ia menyejukkan. Dikala ditinggalkan, ia menanggalkan kecurigaan. Dikala mencintai, cintanya sederhana. Dikala membenci, bencinya sederhana. Dikala merindu, rindunya sederhana. Dikala cemburu, cemburunya sederhana. Dikala berduka, dukanya sederhana. Dikala tertawa, tawanya sederhana. Dikala berkata atau bercerita, kata-katanya sederhana. Dikala memanja, manjanya sederhana. Perempuan tercantik di dunia adalah perempuan yang sederhana dalam segala ucap lidah dan gerak tingkah. Perempuan tercantik adalah perempuan yang sederhana dalam melumuri keindahan di wajah dan tubuhnya. Keindahan yang dipaksakan adalah kecantikan palsu, kecantikan semu. Keindahan seperti itu akan sirna jika lulur madu dan gincunya meleleh mengikuti arus waktu, jawabku.

Tamara,
Mencintaimu mesti kusiapkan perahu, dayung, tungku, dan kelambu. Kita akan mengarungi sungai, lautan dan samudera. Amuk ombak dan guncang gelombang selalu siap bagai serdadu, memburu dan menghadang perahu. Semua itu akan memukul-mukul dan menguncang-guncang perahu kita menuju muara bahagia: graha luka dan cinta bertapa. Rumput laut, terumbu karang, ikan-ikan dan intan menawarkan kekuatan pada tangan dayung kita.

Aku berkata jujur padamu: aku pelayar buta. Aku masih bodoh tentang rupa-rupa musim, isyarat bintang gumintang, dingin angin, lembut ombak, keras cadas, maka tuntunlah perahuku atau kita belajar bersama, belajar melayari samudera.

Kita berdua adalah nahkoda. Aku nahkodamu dan kau nahkodaku. Karena kita sama-sama tinggi, sama-sama pemakmur bumi. Kau adalah kau dan aku adalah aku. Kau dan aku menyatu menjadi ‘kita’.

Jika kita menikah kelak, aku ingin berijab-qabul ala kristiani yang mewajibkan suami setia dengan satu istri, hanya kematian yang syah memisahkan dua jiwa, hanya kematian yang sanggup melepaskan ikatan tali-temali pernikahan.

Jika kita menikah kelak, aku ingin menjadi bayi di busung dadamu: memanja meminta ciuman dan kehangatan pelukan, menangis mengemis cubitan manis, merengek-rengek sendu kepingin minum madu di bibirmu.

Jika kita menikah kelak, aku ingin menjadi langit, yang menampung dan merampungkan uap bumi, merangkainya menjadi awan-awan, kemudian aku turunkan menjadi runcing-runcing hujan, menusuki keras cadas bumi.

Jika kita menikah kelak, aku inginkan anak-anak dari rahimmu menjadi burung-burung yang terbang mengawang bebas di bentang langit mereka sendiri. Kita biarkan mereka hinggap di padang, di ilalang, di kembang. Kita biarkan mereka belajar hidup dan menghidupi kehidupan, karena sebenarnya mereka adalah bukan milik kita, mereka kepunyaan alam semesta.

Jika kita menikah kelak, aku akan membacakan cerita dan sajak semenjak anak-anak dalam kandunganmu. Cerita yang meluaskan, mengembangkan dan meliarkan imajinasi jari-jemari otak anak. Cerita kisah klasik dan futuristik. Sajak yang menghipnotis anak untuk mencintai kehidupan dan menyayangi semua manusia tanpa memandang rupa, agama dan strata. Sajak yang menyihir anak untuk menggandrungi keindahan dan kepedihan hidup. Sajak yang mengajak anak untuk membenci kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Sajak yang menginjakkan kaki anak ke bumi penuh damai. Sajak yang mengajak anak berternak kata-kata dan menyulap yang tak berguna yang sia-sia menjelma makna dan guna. Dari sajak-sajaklah anak-anak akan sanggup menghargai kesia-siaan dan kekecewaan. hanya dengan sajak-sajaklah anak-anak kelak kuasa menikmati hidup yang berlingkup-lingkup misterinya.

Jika kita menikah kelak, akan kita biarkan anak-anak terbahak-bahak bermain di pinggir pesisir pantai: bermain dan dimainkan air pinggir, mereka membangun istana dari bertimbun-timbun pasir (seraya mengukir zikir).

Jika kita menikah kelak, akan kita ajarkan kepada anak-anak kita menghargai kata-kata dan mencintai buku. Setiap anak akan kita buatkan rumah buku sederhana. Kita biarkan mereka bersuka ria dan berdebat sehat dengan kata-kata yang tumbuh di ladang penggugah dan pencerah.

Jika kita menikah kelak, akan kita ajarkan anak-anak kita seni menunggang kuda, seni berenang, dan seni memanah kijang. Ketiga seni itu adalah kunci dan bekal memenangkan kehidupan. Menunggang kuda, supaya anak-anak kita tak mudah rapuh, kekuatan demi kekuatan akan diraupnya setiap derap kaki jalang kuda. Berenang di lauatan, agar anak-anak kita secepat kilat berpacu dengan pesatnya busur waktu. Memanah kijang, agar mata anak-anak kita jeli membaca gejala alam dan arus zaman.

Aku tidak akan mengajarkan anak-anak kita seni menyembelih leher hewan. Tahukah kau kenapa? Aku ingin jiwa anak-anak kita tetap bersih dan bening, jauh dari sifat purba. Aku benci darah. Aku inginkan anak-anakku menjadi pahlawan-pahlawan perdamaian.

Anak ibarat kertas putih: Kita biarkan anak-anak menuliskan apa yang ada dalam jiwanya. Kita bebaskan anak-anak mengkanfas kertas sesuai dengan apa yang terlintas dan membekas dalam ingatan kehidupannya. Kita berikan kemerdekaan kepada anak-anak untuk memilih warna hidup yang mereka cintai.

Jika kita menikah kelak, aku tak ingin kau menyusui anak-anakku. Aku inginkan payudaramu tetap ranum nan harum. Aku inginkan buah dadamu tetap menggantung kencang. Untuk itu aku menyewa ‘tukang susu’, seperi Aminah, semoga Alloh merahmatinya -ibunda Muhammad Saw- yang menyewa Halimah dan Tsuwaibah.

Kenapa aku menginginkan hal itu? Ketika seseorang menceburkan diri ke dalam lautan pernikahan, ia sebenarnya membiarkan dirinya memasuki dunia teka-teki yang tak bertepi, membiarkan dirinya digerogoti ulat-ulat waktu tanpa tahu kapan ia bisa menggeliat, membiarkan dirinya dikelilingi duri-duri ketidakpastian hidup. Hanya di lingkar payudaramu aku mampu mengumpulkan kembali tenaga untuk mengarungi lautan kehidupan. Hanya saripati air payudaramu yang sanggup menghilangkan haus lelah letih dari mengayuh perahu kehidupan. Hanya di dipan kulit payudaramu aku mampu tidur tenang dari bising kehidupan. Pada payudaramu aku mampu melupakan kusut kecut kehidupan. Pada payudarumu aku mampu mengambil kembali energi hidup.

Jika kita menikah kelak, aku inginkan kemesraan Baginda Muhammad Saw dengan Bunda Aisyah r.a: menyisir rambut berdua, mandi dalam satu bak berdua, lomba lari berdua.

Betapa baginda Muhammad Saw itu romantis dan puitis laku mencintai Aisyah. Dia memanggil Aisyah dengan sebutan manis, “ya humairo, wahai pemilik pipi kemerah-merahan”. Dia pintar menggetarkan hati istri. Dia gemar memuji istri. Dia tak ingin melihat istrinya menangis.

Jika kita menikah kelak, kita akan mengaji dan mengkaji isyarat-isyarat alam; bebutir pasir, alir air, burung-burung melayang terbang kembali ke sarang, hewan-hewan yang berlarian tunggang langgang di sekitar gunung, goyang ilalang, luruh dedaunan, metamorfose kekupu, lebah memerah madu. Kita akan campakkan kitab-kitab tafsir ulama dan pendeta, sementara waktu. Karena kita tahu, kita telah muak dengan tafsiran dan bualan yang mendagu kebenaran mutlak, dan juga kita faham bahwa tak ada kebenaran hakiki, kebenaran hanya milik Tuhan, sedangkan Tuhan tak pernah turun ke bumi, untuk berdialog dengan ciptaanNya, kemudian memberikan problem solfing atas kehampaan dan kesempitan kehidupan. Tuhan hanya di langit. Tuhan hanya mencipta dan membiarkan ciptaanNya merangkai tangkai-tangkai harapan bahkan kekecewaan. Masalah Israel-Palestina, apakah telah menjadi agenda Tuhan? Kenapa Tuhan membiarkan ciptaanNya berjatuhan menjemput maut? Untuk apa kita bersusah-payah hingga berdarah-darah mengusahakan perdamaian kalau itu sudah menjadi keinginan Tuhan? Ironis, bukan?

Tamara, puisi ini mengakhiri surat cintaku:

Beginilah caraku mencintaimu
kubangun rumah pantai
bebutir pasir putih berzikir
takbir bibir pesisirmu
tabir-tabir antara aku dan kau
tersingkap hingga tiada jarak
yang ada cuma sajak.
Dengar, dengarkan kecipak ikan itu
begitu riak, menggerakkan perahu
menuju muara dan dermaga.
Belajar pada siluet pohon bakau
silet rindu penuh pukau
tergeret aku pada Kau.
Para nelayan berderet-berderet
dengan sampan dan jala di tangan
menjemput denyut kehidupan
karena mencintai itu gerak
bukan diam menerima kapak
nasib. Kelak kita paham bahwa
mencintai itu tak semudah menjumput garam
dan menuangkannya di kuali kuah sayur bayam.
Kapal-kapal mengangkut penumpang
dan bebuahan matang
dari petang ke petang.
Kini aku tahu kenapa kau
tak suka punya kekasih pelaut
karena siapa yang membalut
darah yang mengucur dari luka rindu
menunggu kepulanganku.

Beginilah caraku mencintaimu
menjebak hujan dengan kemarau
air mataku dan reretak kebun embun.
Hujan yang menumbuhkan hutan
kesabaran di ladang hatimu
ladang subur yang kutanami bibit-bibit
pelipur jerit sakit.
Belajar sabar pada akar-akar pepohohan
bagaimana mereka bertahan dari cakar-cakar kemarau
dan menakar jatah air.
Kau tahu bahwa aku belajar pada apa dan siapa saja
pelacur, anjing, burung, al-qur’an, injil, zabur,
taurat, barat dan timur.
Ka’bah di hatiku, kayu salib di leherku
Oh wajahMu merupa seribu Rindu anggur
yang dituang di gelas-gelas kosong
membekas seperti hujan bulan januari
menyesap menyusup di pokok-pokok kayu jati.

Beginilah caraku mencintaimu
menulis sajak
mengabadikan jejak
supaya bijak
terhadap segala retak segala koyak.
Walau aku tahu sekeranjang sajak
sulit ditukar dengan beras setakar dan cemilan enak
tapi ini sudah jalanku
jadi detak jatung dan denyut nadiku.
Kelak, jangan cemburu jika aku bercumbu
dengan sajak bertubuh gemulai
aroma gulai
menari
mentari
mata hati.

Beginilah caraku mencintaimu
maafkan jika tak seperti yang kau mau.

[]


Isu Sosial Demokratik Gaya Lama Terbantai

(Telaah kritis terhadap artikel “Kader: Tulang Punggung Revolusi” yang sesungguhnya menyindir kesalahpahaman kaum Sosial-Demokratik)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

GUEVARA, dalam artikel “Kader: Tulang Punggung Revolusi”, sangat percaya akan model pengembangan kader yang bermula dari garis-garis perjuangan revolusioner, sekaligus mengritik habis-habisan kebijakan pemerintahan baru Cuba paska revolusi Cuba yang mengantarkan negara itu dalam pemerintahan komunisme gaya Castro.

Guevara menyebut; segala sesuatu yang terjadi dalam pemerintahan adalah kemunduran yang diakibatkan metode asal tunjuk terhadap posisi-posisi vital dalam pemerintahan baru Cuba yang berpotensi dijadikan alasan atas tudingan kelemahan sistem yang mereka anut.

Padahal, menurut Guevara; keadaan itu terbentuk bukan disengaja, tetapi lebih dikarenakan umur pemerintahan yang muda, dan revolusi yang dilakukan agak tergesa-gesa. Ini menghilangkan pertimbangan secara rasional bahwa sebuah pemerintahan akan berdaya di hadapan masyarakat (revolusioner) apabila semua posisi vital itu diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja.

Lalu, Guevara, masih dalam artikel tersebut, mengajukan opsi upaya pengkaderan yang memang sejatinya berangkat dari semangat revolusioner yang mereka perjuangkan dari awal. Tidak bergeser, bahkan berpindah.

Saya teringat, sebuah kelompok perjuangan serupa di Indonesia yang bergelora kembali selepas masa Orde Baru. Front Rakyat Demokratik, kelompok yang didominasi mahasiswa dan kelas pekerja/buruh itu, menjadi begitu euforia ketika era totaliter Orde Baru berakhir, seperti memberi mereka ruang dan peluang untuk bersuara, bahwa cita-cita revolusioner mereka—dengan menduplikasi semangat revolusioner Cuba—akan berlanjut dan subur.

Harapan yang membungkus ide dan gagasan mereka itu, sebenarnya belum matang, jika melihat dan bercermin dengan kondisi Indonesia, sekaligus diparalelkan dengan kondisi Cuba dalam artikel Guevara. Kematangan berpolitik, bahkan kepiawaian mengelola kebijakan dan program ekonomi mutlak adanya.

Bagaimana mungkin Front Rakyat Demokratik—yang kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Rakyat Demokratik diera multipartai tahun 1998—berharap merebut kekuasaan melalui pemilu yang sebagian besar pasar politiknya didominasi lusinan partai-partai besar dengan pengalaman yang telah membumi. Bagaimana mungkin kelompok ini berharap membangun sebuah negara yang luas dan kompleks macam Indonesia dengan sebuah jargon “Pemerintahan Rakyat Miskin”.

Jargon revolusioner—sangat revolusioner malah—jika melihat kemampuan dan daya dukung sumberdaya manusia serta isu sosial yang menghadang di depan mereka. Seketika Anda akan ditubruk sebuah kenyataan realistis bahwa upaya revolusioner itu adalah sia-sia.

Tidak kah sindiran Guevara, di awal-awal artikel itu, memberi sedikit ruang bagi pemikiran rasional, bahwa upaya sempalan itu akan berakhir tragis: tidak diperhatikan bahkan diacuhkan.

Kesadaran itulah yang mungkin menghinggapi orang macam Budiman Sudjatmiko untuk tidak terlena dengan rencana besar yang bakal berjalan pincang jika diperhadapkan dengan realitas Indonesia. Sebagaimana rencana PKI, yang juga sangat revolusioner dijamannya, kandas semata-mata dikarenakan rivalitas politik yang tidak sehat, dan mematikan.

Jika PKI saja harus mengalami nasib tragis, dimatikan dan dikalahkan, oleh komponen yang seharusnya berada dalam posisi pergerakan mereka, yakni tentara, yang telah kalaboratif dengan kepentingan politis partai-partai berkuasa ketika itu, bagaimana bisa FRD atau PRD berharap lebih di tengah resistensi besar karena perubahan pola fikir rakyat Indonesia yang terdikotomi tiga dasawarsa lebih, bahwa faham yang mereka usung bukan solusi praktis mensejahterakan rakyat Indonesia. Dianggap berbahaya dan laten. Mimpi indah yang harus pungkas lebih awal.

Maka, Budiman Sudjatmiko pun, harus meredam keinginannya, dan memindahkannya dalam statuta perjuangan parpol yang lebih besar.

Jika sulit melawan dominasi lusinan partai besar, mengapa tidak melebur didalamnya. Bukankah ideologi, pemahaman, dan fikir tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Sederhananya, wadahnya boleh mangkok atau piring, tetapi kita tetap bisa menikmati sereal diatasnya, bukan? Yang Anda baca barusan, bukan pemikiran Budiman Sudjatmiko. Tetapi pemikiran saya ketika melihat gejala itu pada Budiman Sudjatmiko. Mungkin pergerakan Budiman dilandasi dengan pemikiran dan alasan berbeda, tetapi bahwa pemikiran Budiman identik dengan gejala yang saya tangkap, bisa benar adanya.

Kelemahan mendasar yang dimiliki kelompok dengan basis gerakan massa proletar macam Urban Poor Consorsium, Jaringan Miskin Kota, Liga Mahasiswa untuk Demokrasi, dan sebagainya—yang suatu ketika berfusi dalam sebuah Partai Rakyat Demokratik (1998), kemudian POPOR (2004)—adalah tidak adanya korelasi dalam agenda aksi mereka antara visi kenegaraan menuju kesejahteraan rakyat, dengan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia yang terbingkai dalam berbedaan agama, suku, ras, kepentingan politik, ekonomi, dan sosial.

Buntunya korelasi ini makin nyata menjadi penghambat abadi bagi perjuangan paham sosial demokratik di Indonesia. Di sisi lain, argumentasi tentang maksud “Pemerintahan Oleh Rakyat Miskin” gagal dikomunikasikan secara gamblang dan terperinci, sehingga apa saja seputar rencana itu, tak bisa ditangkap sebagai sesuatu yang dapat diwujudkan, dan terukur.

Sementara, keikutsertaan beberapa elemen yang menyebut diri mereka sebagai rakyat miskin, tidak cukup menggambarkan keterwakilan kaum proletar dalam bingkai pergerakan tersebut. Sehingga, ketika orang menilainya, kelompok ini lebih mirip organisasi sempalan ketimbang organisasi yang memuat rencana besar terhadap cita-cita perubahan.

***

Guevara memang telah menyindir siapa saja pelaku sosial-demokratik di dunia. Dengan sindiran Guevara tersebut—dan membandingkannya dengan realitas kekinian—saya dapat menarik kesimpulan; bahwa inti sebuah gerakan revolusioner tidak lagi berpijak pada opsi penumbangan kekuasaan kapitalis dengan jalan pembentukan partai politik, atau dengan yang lebih ekstrim, yakni jalan senjata.

Perubahan jaman yang demikian cepat tidak lagi membuat isu sosial-demokratik dapat diterapkan dengan cara-cara lama. Jika Cuba, Korea Utara, China dan Rusia, masih dapat meletakkan fundamen faham ini pada tataran negara-bangsa mereka, maka ini sulit dilakukan di masa sekarang.

Kader, Guevara menekankan maksudnya pada kata tersebut. Dengan membangun kader sosial-demokratis yang kuat, berdaya, terampil dan intelektualis, maka gerakan dan faham sosial-demokratik akan tetap tumbuh dan subur di medium apa saja, kondisi apa saja, dan dalam tekanan manapun. Kader itu tidak dapat lagi diarahkan pada perjuangan revolusioner gaya lama yang cenderung menghabiskan tenaga, sumberdaya, dan kurang populis.

Sindiran Guevara itu sekadar hendak membungkus niatnya dan visinya ke depan, bahwa kader sosial-demokratik akan tetap dapat bertahan jika mereka memiliki kemampuan yang disyaratkannya, dan diterapkan di semua medium, baik politik atau sosial. Perjuangan kader sosial-demokratik ke depan tidak lagi harus berpusat dalam kelompok-kelompok yang berpotensi dihancurkan dengan mudah, tetapi kader harus melebur dalam partai politik mana saja, organisasi massa mana saja, dan aliran mana saja.

Demikian. Tetaplah Kritis dan Berpikir Merdeka. []


Kader : Tulang Punggung Revolusi

Oleh Che Ghuevara

Tak perlu lagi untuk meragukan watak khas revolusi kita, tentang hal-ikhwalnya, dengan semangat spontanitasnya, yakni transisi yang berlangsung dari revolusi pembebasan nasional menuju revolusi sosialisme. Dan tak perlu pula meragukan peningkatan pesat dari tahap-tahap perkembangannya, yang dipimpin oleh orang-orang yang sama yang ikut serta dalam peristiwa heroik penyerangan garnisun Moncada, berlanjut melalui pendaratan Granma, dan memuncak pada deklarasi watak sosialis dari revolusi Kuba. Para simpatisan baru, kader-kader, dan organisasi-organisasi membentuk sebuah struktur organisasional yang pada awal gerakan masih lemah, sampai kemudian berubah menjadi luapan rakyat yang akhirnya mencirikan revolusi kita.

Ketika kemudian menjadi nyata bahwa suatu kelas sosial baru secara tegas mengambil alih kepemimpinan di Kuba, kita juga menyaksikan keterbatasan yang besar dalam menggunakan kekuasaan negara karena adanya kondisi-kondisi yang kita temukan di dalam tubuh negara. Tidak ada kader untuk melaksanakan sejumlah besar pekerjaan yang harus diisi dalam aparat negara, dalam organisasi-oganisasi politik, dan seluruh front ekonomi.

Segera setelah kekuasaan berhasil direbut, pos-pos birokratik hanya diisi dengan cara ‘asal tunjuk’ saja. Tidak menimbulkan masalah yang besar—tidak satupun karena struktur lama belum dihancurkan. Aparat berfungsi lamban dan tertatih tatih seperti sesuatu yang tua dan hampir mati. Tapi ia memiliki organisasi dan di dalam organisasi yang memadai untuk mempertahankan dirinya melalui kelembaman, melecehkan perubahan-perubahan politik sebagai awal bagi perubahan struktur ekonomi.

Gerakan 26 Juli yang masih disibukkan oleh pertarungan internal sayap kanan dan sayap kiri, tidak bisa mencurahkan dirinya untuk tugas-tugas pembangunan. Dan Partai Sosialis popular yang karena terlampau lama mengalami serangan-serangan keji dan bergerak di bawah tanah selama bertahun-tahun, tidak mampu mengembangkan kader-kader menengah untuk menangani tanggung jawab baru.

Ketika campur tangan negara yang pertama kali dalam ekonomi berlangsung, tugas-tugas menemukan kader tidaklah terlalu rumit, dan memungkinkan untuk memilih diantara rakyat yang telah memiliki basis minimum untuk menjalankan posisi-posisi kepemimpinan.

Tetapi dengan percepatan proses yang dimulai dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika dan kemudian disusul dengan perusahan-perusahaan besar Kuba, kebutuhan nyata untuk teknisi-keknisi administrasi mulai muncul. Di sisi lain, kebutuhan akan teknisi-teknisi produksi dirasakan semakin mendesak. krena larinya banyak teknisi yang tertarik oleh posisi-posisi yang lebih baik yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaaan imperialis di Amerika Serikat atau di negeri Amerika Latin lainnya.

Sementara sibuk dengan tugas-tugas organisasional ini, aparat-aparat politik harus melakukan upaya yang gigih untuk memperhatikan masalah ideologi  kepada massa yang bergabung dalam revolusi dan berhasrat besar untuk belajar.

Kita semua telah berusaha menjalankan peran sebaik mungkin, tapi bukannya tanpa ada masalah dan kekecewaan. Banyak kekeliruan yang dilakukan dalam bidang administratif di tingkat eksekutif pusat. Banyak kesalahan telah dibuat oleh para administratur baru di perusahaan-perusahaan yang sarat dengan tanggung jawab besar. Kita juga mengakui adanya kekeliruan besar dan mahal yang dilakukan oleh aparat-aparat politk, yang sedikit demi sedikit merosot menjadi birokrasi yang melenakan dan menghanyutkan, yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk pos-pos birokratik yang penting atau kurang penting  yang pada akhirnya memisahkan mereka dari massa.

Penyebab utama dari kekeliruan-kekeliruan kita adalah kurang memahami kenyataan yang ada. Selain itu, kita kekurangan perangkat, yang menumpulkan pandangan kita dan membelokkan partai menjadi sebuah organisasi birokratik, yang membahayakan administrasi dan produksi, kita kekurangan kader-kader maju pada tingkat menengah. Ini merupakan bukti bahwa pengembangan kader sama artinya dengan kebijakan turun ke massa.

Semboyannya adalah sekali lagi untuk menegakkan kontak dengan massa, kontak yang dipelihara terus oleh revolusi pada masa-masa awalnya, tapi ini harus ditegakkan melalui mekanisme yang mampu memberikan hasil-hasil yang paling menguntungkan baik bagi kepentingan sentimen massa maupun dalam penyampaian kepemimpinan politik, yang di banyak kasus hanya diberikan melalui campur tangan Perdana Menteri Fidel Castro atau beberapa pimpinan revolusi lainnya.

Pada titik ini kita dapat mengajukan pertanyaan: apakah itu kader? Kita harus menyatakan bahwa seorang kader adalah seorang individu yang telah mencapai perkembangan politik yang cukup mampu menafsirkan petunjuk-petunjuk yang lebih besar berasal dari kekuasaan pusat menjadikanya sebagai miliknya dan memegangnya sebagai suatu orientasi ke massa; seseorang yang pada saat yang sama harus juga mampu menafsirkan isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh massa mengenai keinginan-keinginan dan motivasi mereka yang paling dalam.

Seorang kader adalah seorang yang memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktekkan sentralisme-demokrasi dan yang mengetahui bagaimana mempraktekkan azas diskusi kolektif dan pengambilan keputusan serta tanggung jawabnya masing-masing. Ia adalah seorang individu yang telah terbukti kesetiaannya, yang keberanian lahiriah dan moralnya telah berkembang seiring dengan perkembangan ideologisnya, yang dengan demikian ia selalu berkeinginan untuk menghadapi setiap perdebatan dan bahkan menyerahkan seluruh hidupnya untuk kejayaan revolusi.

Sebagai tambahan, ia juga seorang individu yang dapat berfikir berdikari, yang mampu membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dan melakun prakarsa kreatif yang tidak bertentangan dengan disiplin.

Karenanya, kader adalah seorang pencipta, seorang pemimpin yang berpendirian kukuh, seorang teknisi dengan tingkat politik yang baik, yang memegang prinsip dialektika untuk memajukan sektor produksinya, atau mengembangkan massa dari posisi kepemimpinan politiknya.

Manusia teladan ini, yang dari luar nampak seolah-olah tingkat kebajikannya itu sulit dicapai, ternyata hadir diantara rakyat Kuba, dan kita menemuinya tiap hari. Hal yang pokok sebetulnya adalah mengambil manfaat dari setiap peluang yang ada guna mengembangkan mereka semaksimal mungkin, untuk mendidiknya, untuk menarik manfaat yang paling besar dari setiap kader dan mengalihkannya menjadi nilai tertinggi bagi kepentingan bangsa.

Pengembangan saorang kader dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas setiap hari. Selain itu, tugas-tugas itu harus dijalankan secara sistematik, di dalam sekolah-sekolah khusus, diajar oleh pengajar yang kompeten—yang memberikan teladan bagi murid-muridnya—akan mendorong kemajuan ideologis yang paling pesat .

Dalam sebuah sistem yang sedang mulai membangun sosialisme, jelas kader harus maju secara politik. Selain itu, bila kita mempertimbangkan perkembangan politiknya, kita tidak hanya memperhitungkan teori Marxist. Kita harus juga menuntut tanggungjawab dari individu terhadap tindakan-tindakannya, sebuah disiplin yang mengendalikan setiap kelemahan dan yang tidak menghambat lahirnya prakarsa.

Dan kita harus mgnuntut kekhusukkannya yang terus-menerus terhadap semua masalah-masalah revolusi. Untuk dapat mengembangkan seorang kader, kita harus memulai dengan menegakkan prinsip seleksi diantara massa. Di sana lah kita menemukan individu-individu yang berkembang, yang diuji oleh pengorbanan  atau yang baru mulai menunjukkan kepeduliannya dan menugaskan mereka ke tempat-tempat belajar khusus; atau bila belum ada sekolah-sekolah sedemikian, berikan mereka tanggung jawab yang lebih sehingga mereka teruji dalam kerja praktek.

Dengan cara ini kita telah menemukan sejumlah besar kader-kader baru di tahun-tahun belakangan ini. Tapi perkembanqan mereka tidaklah sama, ketika kawan-kawan muda itu harus menghadapi kenyataan dimana kemunculan para revolusioner itu tanpa kepemimpinan partai yang memadai.

Beberapa diantaranya memang benar-benar berhasil, tetapi lainnya tidak dapat menyelesaikannya dan terputus di tengah jalan. Atau lenyap begitu saja ditelan labirin birokrasi, atau terperosok ke dalam godaan-godaan kekuasaan.

Untuk menjamin kemenangan dan konsolidasi menyeluruh dari revolusi, kita harus mengembangkan berbagai jenis kader yagn berbeda. Kita membutuhkan kader politik yang akan menjadi fondasi bagi organisasi-organisasi massa, dan yang akan memimpin massa melalui aksi Partai Persatuan Revolusi Sosialis.

(Kita telah mulai meletakkan fondasi ini bersama Sekolah Pengajaran Revolusioner, tingkat nasional dan propinsi dan bersama kelompok-kelompok pengkajian dan studi di semua tingkatan).

Kita juga membutuhkan kader-kader militer. Untuk mencapai itu kita dapat memanfaatkan proses seleksi selama perang yang dibuat diantara pejuang-pejuang muda kita. Karena, banyak diantara mereka yang masih hidup tapi tanpa pengetahuan teoritik yang cukup, tapi mereka teruji di bawah siraman peluru.  Mereka teruji di dalam keadaan perjuangan yang paling sulit, dengan kesetiaan yang telah terbukti kepada rejim revolusioner sejak kelahiran dan perkembangannya, mereka berkait erat semenjak perang gerilya pertama di Sierra Maestra itu. Kita juga mengembangkam kader-kader ekonomi, yang akan mengabdikan dirinya khusus untuk menghadapi perencanaan yang sulit dan tugas-tugas negara sosialis pada masa pembentukannya.

Adalah perlu untuk bekerja dengan kaum profesional, dengan mendesak kaum muda untuk mengikuti salah satu karir teknik yang lebih penting dalam upaya memberikan ilmu pengetahuan, sebuah energi antusiasme ideologis yang menjamin kelajuan pembangunan. Adalah keharusan untuk menciptakan suatu tim administratif yang mengetahui bagaimana mengambil manfaat dan menyesuaikan pengetahuan teknis khusus lainnya, serta membimbing perusahaan-perusahaan organisasi negara lainya, untuk membawa membawanya sejalan dengan irama revolusi.

Ukuran umum bagi semua kader ini adalah kejernihan politik. Tapi ini bukan berarti dukungan membabi buta terhadap dalil-dalil revolusi, melainkan suatu dukungan yang beralasan. Hal itu memerlukan kapasitas yang besar untuk berkorban dan satu kapasitas analisis dialektis yang memungkinkannya untuk memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada semua tingkatan, hingga memperkaya teori dan praktek revolusi.

Kawan-kawan ini harus diseleksi hanya dengan penerapan prinsip bahwa yang terbaiklah yang akan maju ke depan dan yang terbaiklah harus diberikan kesempatan terbesar untuk berkembang.

Dalam semua situasi ini, fungsi kader adalah sama pada masing-masing front yang berbeda. Kader adalah komponen penting dari motor ideologis dari Partai Persatuan Revolusi. Hal ini adalah sesuatu yang dapat kita sebut sebagai gigi penggerak dari motor itu. Menjadi penggerak lantaran ia merupakan bagian dari motor yang menjamin agar motor tersebut bekerja dengan benar. Menjadi penggerak karena ia tidak hanya sekedar penyampai slogan atau menuntut kenaikan atau penurunan, tetapi seorang pencipta yang akan membantu dalam pengembangan massa dan penyampai informasi pada para pemimpin serta menjembatani kontak diantara mereka. Kader memiliki misi penting yang melihatnya bahwa semangat besar revolusi tidak terkikis, dan semangat besar revolusi tidak terbuang percuma dan tidak terlelap atau berkurang ritmenya. Ini merupakan posisi yang rawan. Ia menyampaikan apa yang datang dari massa dan menanamkan orientasi partai pada massa.

Oleh karena itu pengembangan kader sekarang adalah sebuah tugas yang tak dapat ditunda lagi. Pengembangan massa telah dilaksanakan oleh pemerintah dengan tekad yang besar dan dengan program-program bea-siswanya, dengan prinsip seleksi dengan program studi untuk para pekerja yang menawarkan berbegai kesempatan bagi pengembangan berbagai teknologi; dengan pengembangan sekolah-sekolah teknik yang khusus; dengan pengembangan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang membuka karir-karir baru.

Pendeknya, hal ini dilakukan dengan pengembangan studi, kerja, dan kewaspadaan revolusioner sebagi semboyan bagi seluruh negeri kita, yang secara fundamental berbasis pada Persatuan Komunis Muda, darimana semua jenis kader harus muncul di masa depan. Bahkan kader-kader pimpinan revolusi.

Hal yang berkaitan erat dengan konsep “kader” adalah konsep kapasitas untuk berkorban, untuk memperlihatkannya melalui contoh-contoh pribadi dari kebenaran dan semboyan revolusi. Sebagai pimpinan politik, para kader harus memperoleh penghargaan dari para pekerja oleh tindakan-tindakan mereka. Adalah suatu keharusan, bahwa mereka memperoleh penghargaan dan kecintaan dari kawan-kawan mereka yang mereka harus bimbing dalam jalan kepeloporan.

Karena semua inilah, tidak ada kader yang lebih baik daripada mereka yang dipilih oleh massa di dalam pertemuan-pertemuan yang memilih para pekerja teladan, yang akan bergabung di dalam PURS bersama anggota-anggota lima ORI yang lulus dalam semua ujian seleksi. Pada awalnya, mereka hanya merupakan sebuah partai kecil tapi dengan pengaruh yang besar diantara para pekerja.  Kemudian akan tumbuh di saat kemajuan kesadaran sosialis mulai menunjukkkan hasilnya dan ketaatan total terhadap perjuangan rakyat menjadi suatu hal yang diperlukan. Dengan pimpinan-pimpinan perantara dengan kualitas ini, tugas-tugas sulit yang berada di hadapan kita akan diselesaikan dengan kesalahan yang lebih sedikit.

Setelah melalui suatu periode yang membingungkan dan metode yang buruk, akhirnya kita tiba pada satu kebijaksanaan yang tepat yang tidak akan pernah ditinggalkan. Dengan impuls kelas pekerja yang selalu diperbarui yang disirami dari pancuran air yang tiada habis-habisnya, para anggota PURS masa depan, dan kepemimpinan partai kita, sepenuhnya kita laksanakan tugas pembentukan kader-kader yang akan menjamin perkembangan yang kukuh dari revolusi kita. Kita harus berhasil dalam tugas ini. [September 1962].

(Artikel ini dimuat dalam Jurnal Bulanan Cuba Socialista, Edisi September 1962)

Tanggapan terhadap tulisan ini:

Isu Sosial Demokratik Gaya Lama Terbantai Oleh Ilham Q Moehiddin


Sketsa VIII: Pengadilan Pajak, Depkeu, Lembaga Uang Rakyat Bisa Kualat

Oleh Iwan Piliang, literary citizen reporter

Sosok Mahfud MD, Ketua Mahkamah Kostitusi, pernah bilang di TV One, betapa komunikasi pejabat kaku ke publik menjadi musibah, contohnya di kasus Tanjung Priok pekan lalu. Hal senada disampaikan oleh Jusuf Kalla, Ketua PMI, dalam menanggapi kasus Satpol PP dan masyarakat. Sosok Judi Latif, di seminar di Minggu lalu di Media Center, Jakarta, mengatakan, kini untuk mengubah keadaan seakan melewati kekerasan. Apakah dengan kekerasan rakyat pula, Depkeu, Pengadilan Pajak, baru berubah? Dan pengalaman mencekam pertama Didik L Pambudi, Citizen Reporter, ke Pengadilan Pajak (PP), benarkah Kadin Indonesian punya wakil di PP

RABU, 21 April 2010, lobby Menara Kadin, Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Sudah hampir tiga tahun saya tak menginjak bangunan itu. Sebuah cafe kecil di sudut di sebelah Bank Mega, masih seperti 3 tahun silam. Di meja dan kursi putih, dulu, adakalanya saya mengorder secangkir kopi, menunggu rapat ke Lantai 29, kantor Kadin Indonesia. Saya pernah jadi Ketua Pokja Pengembangan Konten dan Aplikasi di bawah Bidang Telko, di organisasi itu.

Hari ini saya bersama Raymond Suen, asal Singapura, memiliki sebuah aplikasi, ingin diperkenalkan ke anggota Kadin. Adalah Hariadi Saptadji, Direktur Eksekutif Kadin Indonesia kami temui. Sosoknya sudah lama saya kenal. Sejak saya menulis ihwal pajak, Transfer Pricing (TP), Pengadilan Pajak (PP), saya pertanyakan kepada Hariadi mengapa Kadin Indonesia, pengurusnya ikutan menjadi hakim di PP?

Hakim mengadili PT Toyota Motor Manufaturing Indonesia (TMMI), contohnya. Menurut staf Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah wakil pengurus Kadin Indonesia. Sosok perusahaan wajib pajak, menjual Kijang Innova untuk ekspor dengan untung brutonya minus 7%, Avanza minus 14%, penjualan lokal cuma untung bruto di 2% lebih, pada 2005. TMMI anggota Kadin Indonesia.

Dalam keadaan terindikasi memainkan penjualan demi mengurangi pajak, urusan kewajaran menjadi tak wajar, atau istilah kerennya memainkan Transfer Pricing (TP), TMMI menyerahkan saja keputusan bandingnya ke hakim. Dugaan saya antara wajib pajak dan hakim sudah “main mata”.

Jika Kadin Indonesia terbawa-bawa, akankah organisasi ini menjadi bagian “merampok” bangsa?

“Saya sudah cek. Sejak saya jadi direktur eksekutif Kadin, tidak pernah membuat surat rekomendasi bagi pengurus menjadi hakim di pengadilan pajak,” ujar Hariadi Saptadji, Direktur Eksekutif Kadin Indonesia.

Hariadi mengaku, sesuai petunjuk dari Adhi Tahir, Ketua Pelaksana Kadin Indonesia, menyarankan saya mengkonfirmasi kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang diketuai pengusaha Sofyan Wanandi.

Seusai mempertemukan Raymond Suen dengan Hariadi, saya lantas menghubungi Sofyan Wanandi melalui telepon.

“Tidak pernah kami Kadin mendukung seseorang duduk sebagai hakim pengadilan pajak,” ujar Sofyan.

“Apindo juga tidak melakukan hal itu.”

“Tetapi secara historis, dulu di era Sukamdani menjadi ketua Kadin, sekitar 15 tahun lalu, Kadin pernah medudukkan wakilnya di pengadilan pajak, “ ujar Sofyan pula, “Sosok itu dipercayakan kepada Rosita Noer.”

Lantas siapa gerangan menempatkan wakil Kadin di PP?

Pertanyaan itu membuncah di benak saya sepekan ini, terlebih ketika datang ke Depkeu tadi pagi.

JARUM jam menunjukkan pukul 10 pagi. Saya dan Didik L Pambudi, Citizen Reporter, menuju Departemen Keuangan. Kami hendak menuju Pengadilan Pajak (PP).

Pintu masuk kendaraan di gerbang, sudah berubah pindah kesebelah yang agak jauh.. Satpam berbaju setelan biru tua bertopi macam waja tentara, bertuliskan PKD – – agaknya singkatan Petugas Keamanan Dalam. Saya perhatikan dua tali lebar putih meliliet di pundak hingga pinggang. PKD bak sosok tentara menyandang harnes. Di pinggangnya terselip pentungan bagikan senajata laras panjang.

Sebagai orang awam, dari mulut pagar saja, Departemen yang dibiayai uang rakyat dan mengelola uang rakyat ini, seakan terlihat berpagar tinggi bak barak militer.

Di lobby Gedung Sutikno Slamet, Depkeu. Begitu turun dari taksi, dua satpam bersafari biru asyik tampak memegang radio komunikasi, HT. Saya sengaja berjalan ke kiri ruangan kea rah kantin. Didik, langsung menuju ke arah lift. Di sana Didik digadang 4 Satpam. Saya perhatikan Didik ditanyai dari jauh.

Dua anggota satpam menegurnya. Seorang bertubuh gempal satunya lagi langsing.

Didik menuturkan:

“Bapak dari mana?”

“Mau ke mana?” tanya yang bertubuh gempal

Didik lantas menjawab, menjelas bahwa seorang jurnalis dan ingin menuju lantai sembilan tempat Pengadilan Pajak berada.

Mengetahui Didik seorang wartawam, kedua satpam melarangnya naik, kecuali telah mendapat izin dari Kepala Humas Depkeu.

Bagi Didik permintaan itu suatu hal menggelikan, terkesan pamer kekuasaan.

Berdasarkan UU, sebagaimana sudah saya tuliskan di Sketsa sebelumnya, sidang di Pengadilan Pajak terbuka bagi umum. Sehingga Didik menolak mentah-mentah perintah menghadap ke bagian Humas.

Kedua satpam, terutama bertubuh langsing tetap ngotot melarang Didik naik ke atas. Mereka beralasan, sedang menjalankan tugas diperintahkan atasan. Sebuah tugas itu mengingkari, melanggar, undang-undang.

“Sidang pajak terbuka untuk umum. Itu perintah undang-undang. Siapa pun boleh ke sana,” kata Didik beradu kata.

“Saya wartawan. Bapak bisa dikenai sanksi UU Pers karena menghalang-halangi upaya peliputan,” tutur Didik ke sang satpam.

Kedua satpam tetap meminta agar Didik menghadap ke Humas. Nada keduanya sudah tidak lagi memaksa.

Merasa bosan meladeni kedua satpam yang patuh perintah atasan itu, Didik meninggalkan mereka menuju lift. Ia masih sempat mendengar celotehan satpam bertubuh langsing meminta Didik menjumpai Humas di lantai enam.

Begitu sampai di lantai sembilan tempat Pengadilan Pajak (PP) berada, Didik segera memasuki ruang sidang III.

Sidang dihadiri, sebuah perusahaan kosmetik yang melakukan banding terhadap DJP. Juru bicara pembanding seorang lelaki berkumis tipis. DJP, terbanding, diwakili empat pegawai berusia muda.

Uniknya, hakim ketua yang sudah dipenuhi kerut, berkening lebar, berkacamata sempat bertanya kepada Didik, “Mas berasal dari mana?”

Didik menjawab,”Masyarakat biasa, Pak.”

“Oh, Mas, sebagai masyarakat ingin tahu bagaimana jalannya persidangan pajak?”

“Iya, Pak.”

“Iya sidang ini memang terbuka untuk umum sesuai amanah undang-undang. Siapa saja bisa menyaksikannya,” kata hakim ketua bernada arif.

Didik tersenyum.

“Mestinya kalimat bijak itu disampaikan pada pihak humas dan aparat satpam,” kata Didik dalam hati.

Sidang banding pajak dari perusahaan kosmetik berlangsung lumayan menarik. Pihak pengusaha enggan membayar pajak sesuai yang ditentukan DJP karena mereka mengklaim mesti membayar royalti ke Amerika Serikat, induk perusahaan.

Di Sketsa sebelumnya, saya sudah menuliskan kepada Anda.. Bentuk akal-akalan kewajaran, Transfer Pricing (TP), antara lain melalui membayar royalty. Apakah masuk akal, misalnya, produsen susu membayar royalty merk susu bendera Rp100 miliar lebih setahun saja?

Di sidang di ruang III itu, tidak ada titik temu. Sidang ditunda hingga 19 Mei 2010.

Setelah perusahaan kosmetik keluar ruang sidang, sambil menunggu wajib pajak yang mengajukan banding dan pihak terbanding dari DJP di sidang berikutnya, Hakim Ketua kembali bertanya kepada Didik yang duduk di bangku belakang.

“Mas ini dari masyarakat atau wartawan?”

”Ya masyarakat, ya wartawan juga, Pak.”

Entah mengapa, Hakim Ketua kemudian berpanjang-lebar mengatakan, pihak pengadilan pajak sangat senang ada wartawan mau meliput persidangan terbuka untuk umum itu.

“Silakan dilihat baik-baik apakah tas-tas besar yang mereka bawa di sini memang berisi uang,” kata Hakim Ketua. Dua hakim lainnya menimpali dengan tawa.

“Banyak desas-desus miring yang dialamatkan ke arah majelis hakim, seolah-olah kami tidak benar.”

Didik menjawab, bahwa ia tidak tahu soal itu, karena baru pertama kali berkunjung ke Pengadilan Pajak.

Hakim kemudian mengatakan, orang seperti Gayus Tambunan – – yang makan uang pajak – – duduk di kursi di pihak terbanding, selaku wakil DJP, sambil menunjuk ke posisi duduk empat staf dari DJP.
.
“Tetapi Mas, tentu tidak termasuk,” kata Hakim Ketua.

“Sebagai masyarakat, saya duduk di belakang, Pak. Gayus duduk di depan,” kata Didik membalas gurauan hakim.

Ketika sidang kemudian dibuka, dengan menghadirkan perusahaan di agenda berikutnya Didik meninggalkan ruangan.

“Ini pengalaman aaya menemukan nuansa soal peradilan pajak yang saya baca di Sketsa,” tutur Didik.

MENGINGAT pengalaman Didik, sontak saya teringat ketika pertama berkunjung ke Washington DC, AS, pada delapan belas tahun silam. Di sana, setiap orang, warga AS maupun turis dari belahan jagad manapun boleh bertandang ke Gedung Putih; FBI, markas intelijen; Pentagon, markas pertahanan AS.

Masuk FBI dan Pentagon begini ceritanya: Di FBI, setiap orang boleh mengantri sebanyak 40 orang per rombangan masuk ke dalam gedung. Bercelana pendek pun oke saja. Anda akan disambut ramah sebagai visitor. Pada Sketsa saya dua tahun silam di blog-presstalk.com, saya deskripsikan jika seorang agen setelah memperagakan aneka macam senjata di ruang latihan menembak FBI, sebelum berpisah bertanya santun ke tamu:

Anak kecil bertanya. Sang agen selalu menjawab dengan kalimat, ”Yes Sir, thank you for questions…”

Santun.

Ketika baru masuk gedung itu, penerima tamu senyum ramah, wajah tampak sumringah membantu.

Tak ada kalimat dan laku petantang-petenteng.

Di FBI saya mendengar cerita ihwal penangkapan Al Capone, mafia besar, yang kemudian akhirnya bisa dihukum karena penggelapan pajaknya. Kontras sekali dengan keadaan kita di Indonesia kini, beribu pengusaha menggelapkan pajak berjamaah dengan oknum pemerintah, bermain mata dengan parlemen dalam membuat undang-undang, ongkang-ongkang, senang-senang di balik penderitaan rakyat..

Di Pentagon lain lagi. Anda boleh masuk antri 20 orang per rombongan. Di sini layanan ke publik lebih menukik santun. Seorang marinir tanpa senjata menjadi guide, mengantar keliling menjelaskan keberadaan Pentagon.

Sepanjang perjalanan di gedung Pentagon itu, sang marinir berjalan mundur. Mukanya selalu menghadap kita pengunjung. Kala itu, saya berpikir berapa lama mereka latihan menghafal belokan jalan, anak tangga gedung, sehingga tampak santai menjelaskan keberadaan ruang-ruang di Pentagon dengan terus berjalan mundur.

Tempat percetakan uang, Departemen Keuangan AS, semuanya, ada bagian yang dibuka untuk publik dengan pintu terbuka dan penerima tamu ramah. Agaknya, inilah yang disebut bagian pelayanan publik. Mereka sadar bahwa yang mereka kelola hak rakyat. Ada ranah publik di sana.

Kenyataan ini, bertolak belakang dengan yang dihadapi oleh Didik L Pambudi bukan?

Hingga ke kenyatan perbandingan inilah saya memberi judul tajam Sketsa ini. Apakah harus menunggu publik anarkis untuk segala lini baru berubah?

Depkeu kini kian membentengi diri seakan kian membentengi publik masuk.

Bila langgam demikian esok dan ke depan terus dilakukan, tak berlebihan saya mengingatkan mereka akan kualat.

Mengapa?

Pengadilan Pajak terindikasi amat pah-poh, Depkeu di urusan rekening liar uang negara mencapai 50 ribu belum terurus di kantung-kantung atas nama pribadi pejabat dan mantan pejabat.

Angka total asset negara juga merendahkan akal sehat di Depkeu. Menterinya mengaku mengaku berprestasi menaikkan Rp 200 triliun aset negara dari sebelumnya, kini hampir Rp 900 Triliun?

Pengadilan pajak, urusan rekening liar , mengurus nilai asset negara secarab “asal” sekaligus absurd rendah angkanya? Beginikah Departemen dan atau Menteri yang berprestasi itu?

Indikasi transfer pricing 2009, yang sedianya dapat menjadi sumber pendapatan negara, justru “bobol” di pengdalian Pajak, Depleu.

Sebelum menaikkan naskah ini, saya dapat pula kabar dari Kadin Indonesia, bahwa Kadin kini akan mengirim 10 wakilnya bersama pemerintah membicarakan masalah pajak.Konon akan menyangkut urusan peningkatan penerimaan pajak.

Padahal di esensi urusan utama, di kedua lembaga itu, mengoreksi diri masing-masing terlebih dahulu. Bila masing-masing membentengi diri, bila masing-masing mencari solusi “bersama”, tanpa jernih apa yang urusan yang harus dibenahi, jangan-jangan yang mengemuka hanya stempel bagi mensahkan melegalkan urusan “merampok” negara melalui pajak. Macam anggota DPR yang membuat UU seakan melegalkan penggelapan pajak itu: boleh diselesiakan di luar pengdailan dengan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.

Jika sudah demikian, memang bermimpi sajalah kau rakyat kebanyakan, sekaligus melongok saja di luar pagar Depkeu, yang ke depan jangan-jangan, angin pun akan dihambat masuk. Begitulah setori singkat Sketsa VIII ini.

Akhirul kata: pemangku kuasa, lupa betapa kayanya rakyat Indonesia telah membuat mereka nyaman hidupnya dengan menistakan sesama. []

Sumber:

http://www.facebook.com/iwan.piliang.dua

http://blog-presstalk.com