Tag Archives: surat

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Surat Panjang untuk Suami Tercinta, Demi Anak Perempuan Kita

Oleh : Julia Napitupulu

 

 

Suamiku, suatu saat kamu akan berterimakasih aku pernah tempelkan surat ini di kulkas kita (p.s.: ga usah pula kamu tanya kenapa aku nempelnya di kulkas ya). Peristiwa tadi sebetulnya ga perlu terjadi, kalau saja kamu bisa pegang beberapa nasihatku…ini mengenai bagaimana memahami (atau istilahmu: menangani) Putri kita:

Yang Pertama, jangan pernah lupa bahwa anak perempuan kita seorang Wanita, seperti Aku. Mungkin ukuran dada kami berbeda tapi dia tetap W A N I T A, terima dan pahamilah fakta ini.

Kedua, mengenai koleksi bonekanya. Tak usah kamu coba untuk bernalar berapa banyak boneka yang harus ia miliki, dan mengapa pula semuanya harus dalam warna pink), karena aku juga ga bisa menjelaskan kepada buku kas belanjaku, kenapa aku harus beli lipstik lagi, padahal yang tiga terakhir, setahun juga ga bakal abis.

Ketiga, mengenai frekuensi nonton Barbie. Meskipun dia sudah nonton film 129 kali, so what kalo dia masih pengen? Temenin aja kenapa sih? Ga usah terlalu takut dia bakal ke-Barbie-berbie-an. Aku tadinya juga anti Barbie kok, sampai aku pelajari kalau Barbie jaman modern udah beda. Kenapa memang kalau Putri kita Cantik, sekaligus Seksi, sekaligus Pintar, plus Berbakat, plus Berani dan Berhati Mulia?? Sudah tak berlaku lagi tuh filosofi konyol: “Daripada Cantik tapi Bodoh, mending Jelek tapi Pintar”.

Sehubungan dengan masalah Barbie, nanti kamu tinggal ajari dia bagaimana memilih Pria Terbaik dari sepeleton Pria Keren yang tersandung jatuh karena cinta pandangan pertama sama dia. Pesonanya emang udah begitu, udah bawaan orok.

Aku merasa kamu agak enggan untuk main rumah-rumahan sama dia. Padahal dunia sudah membuktikan bahwa Pria Straight juga bisa menjadi ratu di dunia persalonan, perkulineran, musik, dan dunia otak kanan lainnya? Jadi ga usah merasa jadi wadam kalau kamu menemani anakmu main rumah-rumahan, sisir-sisiran, dan juga ga usah repot mikir mengenai aturan main, siapa menang, siapa kalah. Itu hanya cara untuk meng-enjoy sebuah hubungan. Just be natural & go flowing with her…(jangan lupa ajak anak laki-laki kita juga).

Keenam, bisa ga kalau dia lagi main masak-masakan dan kamarnya seperti kapal pecah, kamu turut merasa happy dengan excitement-nya? Dan bukannya komplain dengan kamarnya yang berantakan? Suasana kapal pecah itu salah satu cara dia mencintai kehidupan, sama seperti dapurku yang kayak abis perang padahal cuman masak teri sambel pakek pete.

Yang ketujuh ini penting-ting banget..(p.s.: aku sampai gemeter terharu tau ga sih nulis ini). Lain kali, saat dia mendatangimu dengan berurai air mata, dan mulut tertarik ke bawah, apa pun yang sedang kamu lakukan, listen to me: a p a p u n, letakkan itu dan simak dia baik-baik. Itu moment of trust yang bisa kamu bangun atau kamu hancurkan, saat itu juga.

Kedelapan. Ini juga maha penting: jangan langsung percaya kalau dia berkata: ‘aku happy, Papa’. Kami, para wanita, punya 5 lapisan rasa…simak yang tersirat di belakang kata.

Kesembilan. Ini sebenarnya nyambung dengan yang pertama. Hanya karena Kamu Papanya dan dia putrimu, bukan berarti kamu bukan Pria dan dia bukan wanita. Oleh karena itu sadarilah bahwa ada masanya kamu memang tak berdaya luluh lantak kalah hanya oleh sorot matanya, tetap bukan alasan kamu harus menguras kantongmu untuk memborong seluruh isi mall untuknya. Belajar mengendalikan dia dari aku. Ijazah-ku udah delapan dalam hal begitu-begitu.

Terakhir nih. Suamiku. Aku tau kamu lelah utk menafkahi kita, dan menata kerajaan ini agar aman lohjinawi sepeninggalmu kelak…tapi pernah-kah kamu berpikir, bisa saja aku yang meninggal duluan kan?? Karena aku merasa dia sudah cukup belajar mendengar, menari, beres-beres, bergaul dan melatih kepekaannya. Tapi kurasa dia masih perlu belajar untuk menerobos waktu 10 tahun ke depan, berkuda di jalur terdepan, bangkit untuk yang ke-100 kali setelah 99 kali jatuh, juga menantang derita fisik demi kebenaran dan kejujuran. Itu TUGAS MU, Suamikuga semuanya bisa ku-handle meski aku nyaris superwoman. Karena itu, jangan terlalu serius untuk mengamankan kerajaan dari badai dan topan, tapi hiruplah juga sarinya. Puaskan lah matamu saat melihat putrimu sedang kasak kusuk cekakak cekikik dengan ibunya, itu momen terindah, yang membuat tubuh lelahmu bisa segar lhoh, dengan seketika…Betapa waktu seperti Pencuri, Sayang…

Aku udah nangis setengah jam…ketahuilah, tulisan cakar ayam ini puncak kelelahanku dan juga bukti sayangku. Semoga terbaca oleh mata hatimu ya…

Tertanda,

Lady of the House & Penguasa dapur kerajaanmu

[]

 

(p.s.: yang masi tetep keren meski udah brojol beberapa kali…)

 

 

Julia Napitupulu

Lahir di Jakarta, 8 April 1974. Ibu dari Willi (putra, 7 tahun), dan Abel (putri, 6 tahun). Misi terbesarnya adalah menjadi pengajar. Setelah resign sebagai pelatih (psychology) di HR Consultant, Julia kini aktif bekerja sebagai pelatih di bidang Soft Competence dan Assessor Recruiting & Assesment karyawan, serta Konselor tes minat-bakat anak. Julia juga punya bejubel aktivitas, yakni Singing Pianist, Presenter Radio, MC. Menulis baginya adalah bentuk theraphy baginya untuk bisa melihat lebih jernih, dunia di luar dan dalam dirinya. Sebagai trainer, Julia kerap menggunakan metode menulis dalam proses kepelatihan; dalam bentuk studi kasus, kuis, skrip roleplay.

 


[Buku Baru] Surat dari Matahari

SURAT DARI MATAHARI

Sebuah Antologi Sajak

Karya : Syaifuddin Gani
Desain Sampul : T. Ramadhan Bouqie
Visual Isi : Tim KomodoBooks
Cetakan ke-1, April 2011 100 hlm. 14 x 20,5 cm
ISBN 978-602-95983-4-6
HARGA: Rp30.000.- (luar Kendari tambah ongkos kirim)

SURAT DARI MATAHARI Sebuah Antologi Sajak © Syaifuddin Gani
Hak cipta dilindungi undang-undang. All right reserved.

Penerbitan antologi ini berkat kerja sama HIMPUNAN SARJANA-KESUSASTRAAN INDONESIA (HISKI) KOMISARIAT SULAWESI TENGGARA dengan

PENERBIT PT KOMODO BOOKS

Jl. Pepaya Blok Q No. 9, Mekarsari, Depok, Indonesia Telp. 021-8715771 Faks. 021-8715771 Email: komodobooks@publicist.com

Sekilas Ulasan WAN ANWAR (Alm.)

Ada kegelisahan antara keberangkatan dan kedatangan. Orang datang dan pergi, beragam perjumpaan di sana terjadi, tetapi tidak untuk berhenti dan diam bermukim. Dalam situasi semacam itu, penyair menjalani bahasa sebagai sesuatu yang dimasuki dan dialami tapi sekaligus juga diciptakan: di luar sekaligus di dalam. Ia menjadi bahasa perjumpaan: bahasa selatan tenggara! Ia menjadi bahasa perjumpaan darat dan laut, pertanian dan pelabuhan, ketakjuban dan keganjilan. Kolaka memang merupakan tempat perjumpaan. Berbagai-bagai orang hadir di sana: Bugis, Makassar, Jawa, Minang, dan sebagainya. Berbagai profesi pun berbaur, mulai dari petani, nelayan, kuli pelabuhan, penambang, pedagang, hingga petualang.

Perjalanan adalah ihwal penting dalam sajak-sajak Syaifuddin Gani. Dari dermaga satu ke dermaga lain, dari pulau ke pulau, ia hijrahkan dirinya. Ia percayakan nasibnya kepada keberangkatan, perjalanan, dan kepulangan.

Dari segi makna referensial banyak sekali kota-kota, dan tempat-tempat yang disapa dalam sajak-sajaknya. Kota dan tempat-tempat itu tampaknya adalah tempattempat di mana diri Gani sendiri pernah menghijrahkan diri. Semua pengalaman perjalanan dan kepindahannya ia percayakan pada puisi dan kata untuk merekam semua pengalaman dan penghayatan pribadinya.

WASSALAM

Pemesanan :

Syaifuddin Gani ( HP: 0813.4167.7013)

Untuk pemesanan wilayah kota Kendari, selain dapat menghubungi nomor di atas, juga dapat datang langsung ke alamat : BTN Puri Tawang Alun 2 Blok H Nomor 11, atau di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Buku Surat dari Matahari juga sudah bisa dipesan via online di Gramedia Online


Diproteksi: Rumah Umak

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:


Weeeeeeeeekkkkk…

Oleh Dwi Klik Santosa

 

 

Weeeeeeeeekkkkk ….

Kusobek surat itu ragu-ragu

“Engkau manis, tapi, sebaiknya jangan terlalu berharap padaku …”

Weeekk … weeekk … weeekk … weeeekkk

Jadi serpihan ia

Dan kutebar penuh semangat, memanja mengkalku

Weeeeeeeeekkkkk ….

Tak sengaja kaki menginjaknya

Nampak sebal, ia bangkit lagi dan nyebur ke sungai

Weeekk … weeekk … weeekk … weeeekkk

Suara itu bagai tawa yang menyebalkan

Huh … melamunkan berdansa mesra bersamamu

Malah terpeleset mandi bersama bebek itu

Weeeeeeeeekkkkk ….

Celanaku sobek sewaktu badanku terjatuh, terjengkang

Sepeda itu njungkel ke parit mempertegas seduku

“Mata yang nakal, kenapa tak bisa melupa .. kenapa tak bisa …”

Kupalingkan mukaku, supaya tak terbaca aib itu

Weeekk … weeekk … weeekk … weeeekkk

Huh …. buru-buru gerakku, kian saja melapangkan cela itu

Dan barang ajaib pula tersembunyi pun menganga tak lagi ragu

Tapi, ahai … malu hanya sejenak

Engkau yang pingkal, senyum-senyum melihatku

Justrulah biang, muasal lekatnya engkau dan aku

Zentha

30 September 2010

: 16.01


Doa Kecil

Oleh Adhy Rical

: Yu

telah kubaringkan resah, yu

sekadar mengingat dua belas jarimu

yang pernah menghamba pada ibu:

sekolah adalah keharusan

agar kelak kau punya surat

yang benar-benar tak berlumut

jadi pembungkus kancing safari

mimpilah seperti mereka, yu

biar ilalang tak pernah tumbuh dalam bantal:

jadi sarang merpati

janji-janji rayap diternakkan

“dongeng kedua hewan itu tak perlu!”

kau menangis lalu menggambar rumah

“kalau ibu tak pergi, tak perlu sekolah!”

sekolah buat apa, yu?

belajar mencintai perempuan

agar kelak tak meninggalkan ayah

seperti ibuku

Hukaea, 2010



[]


Ular Liar dalam Dada

Oleh Syaiful Alim

“Adam, ada ular liar dalam dada
berbisik, hai Eva, kenapa kau
masih di sisi Adam, cari cara curi
rusuk kanannya. Lalu ajukan surat cuti
lari dari diri menari bersama matahari”

“Eva, juga pada dadaku. Seolah ditusuki paku
berbisik, hai Adam, kenapa tak kau
ambil lagi rusuk kirimu. Supaya kau
kian lelaki.”

Semua bermula dari bisik
lalu luka karma serupa sisik
laku ular menebar kobar berisik.

Ah! Alangkah asyik!
Ah! Alangkah cabik!

[]

Khartoum, Sudan, 2010.



Poelang Kampoeng ke Cinangneng

Oleh Hera Hizboel

PADA suatu siang yang terik (22/4) Dinda, putri kecilku pulang sekolah dengan wajah sumringah. Dia mencium tanganku dan kedua belah pipiku sembari sibuk bercerita tentang rencana sekolahnya yang akan menyelenggarakan piknik bersama ke Desa Wisata Cinangneng (Bogor) pada Kamis pekan depan. Ditunjukkannya surat dari sekolah yang berisi jadwal piknik dan formulir pendaftaran. Rupanya, karena event itu merupakan event jalan-jalan terakhir siswa TK B Sekolah PUTIK, maka sekolah mewajibkan keikutsertaan seluruh anak dan orangtua TK B.

Sepanjang hari itu Dinda terus membujuk aku untuk ikut menemaninya piknik nanti. Dalam hati, aku tidak terlalu antusias untuk pergi. Sebabnya tentu saja lututku yang masih (juga) nyeri kalau dipakai berjalan jauh apalagi kalau medannya naik turun seperti di daerah Cinangneng yang berada di kaki Gunung Salak itu. Tapi, hati ibu manakah yang tega mematahkan semangat putrinya yang memohon-mohon dengan mata berbinar seperti Dinda siang itu. Maka, kusanggupi juga permintaan putriku itu. Sembari tentu saja dalam hati aku berdoa semoga pada hari “H” nanti kakiku cukup sehat.

Sejak hari itu juga hingga sepekan ke depan Dinda tak henti meluapkan harapannya tentang acara yang akan diikutinya di Cinangneng nanti. Setiap ada kesempatan dia membacakan jadwal acara yang ada di lembar surat sekolah yang ditujukan untukku. Acara Kartinian di sekolahnya yang diadakan beberapa hari sebelum ke Cinangneng tidak cukup menarik minat Dinda. Ya, Dinda yang aktif tentu saja lebih tertarik dengan kegiatan outdoor macam bermain angklung, berlatih gamelan, dan memandikan kerbau di sungai ketimbang lenggang-lenggok jalan di catwalk sekolahnya. Maka, jadilah persiapan lomba kartinian dilakukan sekedarnya saja olehku. Baju Bodo dari Sulawesi Selatan yang kubeli untuk anakku tidak kulengkapi dengan accessories yang heboh, agar Dinda tetap nyaman ketika tampil membawakannya.

Poelang Kampoeng ke Cinangneng

Kamis pagi (29/4) langit Jakarta berwarna biru. Matahari bersinar cerah, secerah hati anak-anak TK PUTIK Cipayung yang berbaris rapi menuju dua bus besar bertuliskan White Horse yang parkir tepat di seberang sekolah. Aku dan Dinda plus asisten (pribadi) mendapat jatah kursi di bus nomor 2. Tentang asisten (pribadi) yang perlu-perlunya kuajak serta, tentu saja untuk menolong dan “mengawal” Dinda kalau harus berjalan jauh melalui pematang sawah untuk berkunjung ke rumah-rumah penduduk di sekitar Desa Wisata Cinangneng. Karena lututku juga, aku hanya akan menemani Dinda di acara-acara yang medannya aman-aman saja.

Bus mulai bergerak meninggalkan PUTIK tepat pukul 07.15 sebagaimana jadwal yang tertulis di surat sekolah. Zidane, salah seorang teman sekelas Dinda pada menit terakhir mengurungkan keberangkatannya, karena salah seorang pamannya sakit. Sekitar lima belas orang anak plus orang tua dan pengantar memenuhi bangku-bangku bus bagus itu. Bu Lisbet, bu Lia, dan seorang satpam sekolah mengawal anak-anak yang ada di bus 2. “Insiden” kecil yang terjadi sempat membuat bus mendadak menepi pada jarak lima puluh meter dari PUTIK. Penyebabnya adalah topi plus tas kecil milik Dinda yang tertinggal yang memaksa bus menepi. Semenit kemudian bus benar-benar berangkat.

Ketika bus mulai masuk ke jalan tol Jagorawi, dua bu guru cantik mulai beraksi. Bu Lisbet dan bu Lia “duet” memberikan tebak-tebakan pada anak-anak dan orang tua dengan hadiah menarik yang sudah disiapkan, dan mengajak bernyanyi di sela tebak-tebakan. Tentu saja kepiawaian dua guru itu membuat perjalanan menjadi riuh. Anak-anak dengan serius menyimak pertanyaan dan melonjak girang ketika tebakannya benar dan mendapat hadiah. Kecerdasan, keberanian, dan spontanitas anak-anak yang demikian mengagumkan tentu saja hasil dari pembelajaran dan pembiasaan mereka di sekolah. Tak ada yang menangis karena tidak kebagian hadiah, tak ada yang mengejek teman karena jawaban temannya salah, dan ikut bersorak senang ketika temannya mendapat hadiah, adalah deretan sikap positif semua anak yang patut diacungi jempol.

Keasyikan bernyanyi dan bermain tebak-tebakan membuat kami kesasar. Cinangneng terlewati hingga ratusan meter. Yang mencengangkan, ternyata sopir bus tidak tahu letak persis Desa Wisata Cinangneng dan para ibu guru pun belum pernah pergi ke sana. Yang melakukan survei lokasi dari pihak sekolah rupanya adalah orang dari administrasi yang saat itu justru tidak ikut. Hahahahaha….

Aku yang pernah ke Cinangneng bertahun lalu untuk menjenguk istri sopirku yang melahirkan, yang kebetulan berasal dari desa itu tentu saja tidak terlalu ingat jalan masuk ke lokasi. Aku baru sibuk mencari tahu lewat ponsel ketika melihat rambu ke arah Gunung Bunder sudah di depan mata. Seorang kerabat yang memiliki villa di Gunung Bunder pun segera kuhubungi dan kutanyakan letak persis jalan masuk ke Cinangneng. Akhirnya, bus segera mencari tempat aman untuk putar arah. Tak disangka ternyata bus nomor 1 pun ikut kesasar sebagaimana halnya kami. Seisi bus gaduh menertawakan kejadian itu. Bayangkan saja, dua bus besar dengan isi puluhan anak kecil sibuk berputar arah di jalan yang tidak terlalu lebar itu, dan tentu saja hal itu membuat banyak kendaraan lain harus berhenti memberi jalan.

Semua orang kemudian serius berkonsentrasi mencari papan penunjuk bertuliskan Desa Wisata Cinangneng. Yang menggelikan, kerabatku mengatakan bahwa papan petunjuk yang harus kami cari itu berwarna kuning, padahal ternyata berwarna merah! Meski “gaduh” tapi akhirnya semua bernapas lega ketika tak lama kemudian kami sampai di tempat yang dituju. Dengan sabar anak-anak turun dari bus satu persatu dan berjalan menuju sebuah kawasan bagus bertuliskan Desa Wisata Cinangneng yang terletak beberapa meter dari tempat parkir.

Cinangneng Village adalah kawasan wisata yang cukup luas. Beberapa bangunan permanen bergaya tropis yang ada di sekitar lokasi, di tata dengan apik. Meski berada di wilayah Jawa Barat tapi atmosfir yang diciptakan lebih terkesan Bali. Hester Basoeki sang pemilik rupanya memilih menegaskan unsur ke Sunda-an Cinangneng Village lewat menu paket wisata yang diramunya. Tak hanya rombongan anak sekolah yang bisa berkunjung ke sana. Rombongan keluarga dengan jumlah minimal 20 orang pun dilayani dengan paket harga yang sama dengan rombongan besar. Untuk dewasa dikenakan biaya Rp. 90.000,-/orang dan Rp. 195.000,-/anak.

Beragam Kegiatan di Kampoeng

Seluruh rombongan dikumpulkan di sebuah ruang terbuka dengan deretan bangku-bangku berwarna biru. Anak-anak menempati kursi biru itu dan orang tua duduk di kursi lenong kayu yang ada di pinggir arena. Mamang dan Teteh pemandu dari Desa Wisata Cinangneng satu persatu memperkenalkan diri sambil berdiri rapi berjejer di samping spanduk persegi berisi notasi lagu sunda di depan anak-anak. Tapi, acara tidak bisa segera dimulai karena rombongan bus nomor 3 dari PUTIK Pondok Kopi belum tiba. Salah seorang murid yang ada di bus itu ternyata adalah artis cilik bernama Cinta (anak perempuan dari artis Uya Kuya), yang siang itu diliput kegiatannya oleh stasiun televisi SCTV. Semua anak diminta bersabar beberapa menit lagi. Bu guru segera mengambil alih kendali. Anak-anak diajak bernyanyi-nyanyi agar tidak jenuh.

Setengah jam kemudian rombongan baru tiba. Acara pertama segera dimulai setelah sebelumnya bu Lisbet menjelaskan dan meminta izin liputan untuk SCTV. Anak-anak segera tersedot perhatiannya ke depan. Setiap anak dibagikan alat musik tradisional Sunda-Angklung. Salah seorang mamang pemandu berdiri sembari menunjuk not-not yang ada di spanduk dan mengajak anak-anak membunyikan angklungnya sesuai not masing-masing. Maka, disiang yang terik itu mengalunlah lagu “Burung Kakak Tua” lewat alat musik bambu yang dipegang anak-anak kecil, meningkahi kicau burung dan semilir angin kiriman dari Gunung Salak. Usai lagu pertama, mengalun lagu ke dua. Kali ini sebuah lagu Sunda. Liukan notasi khas Tanah Pasundan pun membelai telinga dan hatiku.

Setelah belajar angklung, anak-anak dibagi perkelompok untuk bergiliran mengikuti acara demi acara. Hal itu dilakukan agar semua anak kebagian berkegiatan sesuai durasi yang disediakan. Acara melukis di atas caping (topi khas yang dikenakan oleh Pak Tani di sawah) disambut gembira. Anak-anak dibagi caping dan alat lukis satu-satu. Teteh pemandu membolehkan anak-anak menggambar apa saja sesuai keinginan mereka dan diminta menuliskan namanya. Ya, setelah dilukis caping-caping itu akan dijemur dan akan dibagikan ke setiap anak sesuai namanya, sebelum pulang.

Selanjutnya anak-anak digiring ke sebuah meja di tepi kolam renang. Mereka merubung meja yang sudah berisi perlengkapan membuat kue Bugis (kue khas dari Sunda). Dengan serius anak-anak menyimak penjelasan para teteh dan mencoba membuatnya satu persatu. Setelah semua adonan selesai dibentuk selanjutnya dikukus dan akan dibagikan juga satu-satu bersama caping nanti.

Usai membuat kue Bugis, anak-anak diajari caranya membuat Jahe Bubuk untuk membuat minuman menyehatkan “Wedang Jahe”. Kali ini tak hanya anak-anak yang serius, para ibu dan bapak-bapak pun tampak menyimak baik-baik. Termasuk aku yang dengan sungguh hati akan mempraktekkannya nanti di rumah.

Berikutnya anak-anak dikumpulkan di sebuah ruang terbuka mirip panggung pertunjukan yang masih berada di sekitar kolam renang. Rupanya anak-anak akan diajari caranya menari Jaipong-tarian khas Sunda yang terkenal itu. Setelah semua anak menyampirkan selendang jumputan yang dibagikan di leher masing-masing, kemudian diberi contoh beberapa gerakan tari. Tak lama kemudian, mengalunlah musik dinamis berirama Sunda dari tape recorder yang menjadi pengiring tarian anak-anak. Hebatnya, meski tak lebih dari lima menit diberi instruksi, tapi semua anak bisa menari sesuai yang dicontohkan teteh pemandu di depan mereka. Sangat menakjubkan.

Seperti tak kenal lelah, anak-anak kemudian diajari cara membuat tahu dan bermain gamelan. Ketika memperhatikan cara membuat tahu, ekspresi mereka tak seantusias ketika berhadapan dengan seperangkat gamelan. Bagaimanapun musik memang memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi anak-anak. Nang ning neng nongNang ning neng nong… demikian bunyi yang terdengar.

Dimenit-menit awal belum ada harmoni yang terdengar. Tapi beberapa menit kemudian setelah dijelaskan cara memainkan dan cara bekerja sama yang benar dalam bermusik, terdengarlah sebuah komposisi sederhana yang cukup merdu di telinga dan hati. Meski anak-anak masih senang dengan alat musiknya masing-masing, tapi mereka sudah harus mengikuti acara selanjutnya yakni membuat wayang golek dari pelepah daun singkong.

Entah karena durasi yang terbatas atau aku yang lamban tiba di meja praktek membuat wayang, Dinda tidak berhasil menyelesaikan wayangnya. Lututku yang nyeri sudah tak sanggup lagi berdiri lama-lama. Letak tempat acara demi acara yang cukup jauh dengan medan naik turun, tentu saja cukup membebani lututku. Padahal setiap anak harus didampingi ibunya untuk bisa menyelesaikan wayangnya. Dalam hati aku agak iri melihat Wulan ibunda Naila menenteng karyanya ketika menuju bus menjelang pulang. Tapi, tentu saja aku harus terima nasib. Hiks hiks hiks

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.10. Waktunya makan siang untuk semua. Karena keterbatasan waktu, kami harus menyelesaikan makan siang dengan menu sayur asam dan ayam goreng plus sambal itu dengan segera agar semua acara bisa selesai tepat pada waktunya.

Setelah makan siang, aku tidak lagi bisa mendampingi Dinda mengikuti kunjungan ke rumah-rumah penduduk dan memandikan kerbau di sungai, karena medan yang harus dilalui sungguh tidak memungkinkan bagi lututku. Kendali mendampingi Dinda pun kuserahkan pada Ninik-pengasuhnya, dan kamera video kutitipkan pada Sisca (ibunda Deniss). Aku minta tolong Sisca untuk merekam gambar anakku memandikan kerbau di sungai. Pasti menarik, pikirku.

Aku kemudian beristirahat di sebuah pendopo terbuka sembari ngobrol dengan Wulan dan menikmati sepoi angin. Kami punya alasan sendiri-sendiri mengapa tidak mendampingi anak-anak kami saat itu. Aku dengan lututku yang bermasalah, dan Wulan yang kecapekan dan merasa sudah pernah mengikuti kegiatan serupa di tempat yang sama beberapa waktu lalu.

Di tengah keasyikan kami mengobrol, udara yang sepanjang pagi dan siang itu terasa panas tiba-tiba terasa dingin. Kulihat langit mulai gelap dan awan tebal tampak berarak. Wulan segera beranjak menuju tepi sungai untuk menjemput Naila dan memandikannya, sedangkan aku sendiri mencoba menyusul pelan-pelan di belakangnya. Kuminta Wulan bergegas saja khawatir didahului hujan, karena aku tidak terlalu berambisi bisa mencapai tepi sungai yang letaknya sangat-sangat curam itu.

Benar saja, beberapa menit kemudian hujan turun dengan deras seolah ditumpahkan dari langit. Aku segera balik arah menuju pendopo menunggu Dinda dan Ninik datang. Hanya hitungan menit mereka sudah ada di depanku dan segera kuminta Ninik memandikan Dinda dan menggantikan bajunya. Selanjutnya, seluruh rombongan berkumpul kembali di ruang tempat anak-anak bermain angklung tadi dan mengantri untuk menerima hasil karya masing-masing anak hari itu. Ada caping lukis dan ada kue Bugis. Sebelum pulang, anak-anak menerima sertifikat tanda keikutsertaan mereka pada “Program Poelang Kampoeng Cinangneng dari Mamang pemandu”. Setelah itu semua menuju bus masing-masing untuk kembali pulang.

Baru beberapa meter melangkah, kami dipanggil untuk kembali ke ruang pertemuan karena rupanya ada sesi pemotretan dengan mamang dan teteh pemandu,untuk kenang-kenangan. Dinda yang sudah capek dan saat itu tengah terkagum-kagum pada angklung di tangannya, menolak ajakan itu. Alat musik bambu seharga 20 ribu yang kubeli di tempat penjualan souvenir itu rupanya cukup membius Dinda, sehingga dia tidak berminat foto-foto. Aku dan beberapa orang lain yang juga enggan berfoto, beriringan menaiki bus. Hujan yang sempat berhenti sejenak segera turun kembali dengan derasnya begitu bus mulai bergerak meninggalkan halaman parkir Cinangneng Village.

Aku yang sudah kecapekan langsung terlelap begitu bus membelah jalan raya. Ayunan bus dan suara hujan di luar memabukkanku. Tak sampai 15 menit aku terlelap, aku terbangun oleh suara riuh rendah anak-anak. Stamina bu guru dan anak-anak sungguh mengagumkan. Semua segar bugar dan tetap gaduh bercengkerama. Sekali-sekali Sisca mondar-mandir memotret kegaduhan itu. Meski sambil duduk, aku ikut-ikutan mengabadikan dengan kamera saku dan kamera video yang ada ditanganku.

Alhamdulillah semua berjalan lancar dan menyenangkan. Kami sampai di PUTIK pukul 15.25 dengan selamat. Hujan masih turun dengan derasnya. Satpam sekolah menyambut kami dengan sigap dengan payung di tangan dan mengantar setiap anak masuk ke mobil jemputan masing-masing. Suamiku dengan manis sudah menunggu. Mobilnya ada dibarisan terdepan para penjemput, sehingga bisa langsung melesat begitu aku dan Dinda masuk ke mobil. Karena hujan pula aku abai pamit pada bu guru dan teman-teman para orang tua. Semoga semua maklum. Tentu saja terima kasih sepenuh hati atas kesabaran dan kebaikan hati bu Lisbet dan bu Lia. Sungguh, sebuah akhir perjalanan (wisata) yang menyenangkan, yang tentu saja akan menjadi catatan indah di benak anak-anak yang sebentar lagi akan melangkah ke bangku sekolah dasar.

[]

Menang Kuis di Bis

Dinda dan Bunda

Dinda dan Naila

Dinda dan Rani

Main Angklung

Belajar Gamelan

Melukis Caping

Caping Lukis Itu

Membuat Kue Bugis

OTW to Jakarta


Seseorang Yang Mungkin Anda Kenal (1)

Oleh Adhy Rical
1
Semakin banyak anda berteman maka semakin banyak kebohongan yang anda lakukan pada orang lain. Namun, semakin sedikit anda berteman maka semakin banyak pula anda membohongi diri sendiri. Sungguh pembohong besar jika anda sama sekali tak ingin berteman.

2
Jika ingin menguji kejujuran seseorang, lakukanlah dengan cara yang ikhlas. Jika hari ini ia pergi, ikhlaskanlah. Ia pasti datang dengan cara yang jujur

3
Semalam kau mengambil buku tua dalam mimpiku, lalu membisikkan letak buku itu di samping bubu. Sepagi ini, aku dapati bukumu di dalam bubu. Belum bisa menang melawan sunyi dengan diam.

4
Ada empat bau badan yang kau rindukan: bau badanmu, bau badan kekasihmu, bau badan anakmu, dan bau badan ibumu.

5
Ia merakit kaligrafi dengan bambu. Kemudian menulis surat cinta di dinding batu. “Puan, tiga sujud bawamu pergi: Alkitab, keris ibuku, dan kepala Labolontio”. Ampunkan hamba, tak ada sepotong telinga untukmu.

[]

di bawah tilongkabila


Begini Saja

Oleh Adhy Rical

bukankah kau akan menyayangi sungguh?
seperti kau gandeng tanganku riuh
di rumah panggung, perahu tanpa sauh
tentang nisan tetua, pusaka, dan petuah
yang lepas abad dan adab
juga surau tak berjejak kaki
dan pohon tumbang, makian aparat biadab
katamu, mereka hanya daki

bukankah kau akan mengirim surat?
tanpa cap jari dan syarat
janji-janji karat
di tanah lapang, panas memberat
entah, gemerlap bantuan dalam berita
tentang rumah panggung yang tenggelam
buatku tegap antri: latah bercerita
bahwa kami tak punya dendam

aku begini saja
buat perahu dalam rumah, pepucuk sawit yang mengair
tak sekolah: satu pensil jadi sepuluh
tak bisa marah. kami hanya mencatat syair
“hidup harus ditempuh”

Kendari, 2010