Tag Archives: abadi

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Sepucuk Surat Kepada Cinta

Oleh Hera Naimahh

aku mengenalnya lewat lembar-lembar catatan yang memuat tentang riwayat cinta abadi sepasang kekasih yang membuat penglihatanku terpaku di kedalaman setiap kalimatnya

aku menjumpainya di penghujung senja saat kenangan dan kenyataan berbaur dan mengabur dari penglihatan

Aku memahaminya lewat percakapan demi percakapan yang membuat langit jiwaku berpendar-pendar oleh cahaya jingga hingga aku mengira dialah kekasih jiwa yang akan menemaniku menjemput malam

(Aku mohon maaf padamu untuk semua hal yang tak kumengerti, untuk semua kebimbangan dan ketidakpastian, dan untuk keterasingan yang membentang di antara kita)

mampukah aku berlari meninggalkannya demi ketenteraman lain yang tak sepenuhnya kupahami? haruskah kuingkari panggilan jiwa dan lari menuju lorong tanpa cahaya menuju negeri tak bermusim?

wahai cinta peluklah aku dan berikan kesejukan pada setiap tarikan nafasku yang tak henti meneriakkan asmaMu

wahai jiwa yang dikepung rindu tak berkesudahan. kupasrahkan segenap hasrat menjelma kesejatian dan tunduk patuh pada kehendakMu

sungguh, Tuhanlah yang berkuasa memberi keajaiban kepada siapa saja yang dikehendakiNya, dan memberi cinta kepada orang-orang yang tak henti menjumpaiNya

aku akan di sini. setia menanti hujan datang menghalau kemarau dan membasahi hati dengan kehangatan tak terduga, lalu kita bersama-sama lagi menulis dan membaca puisi, merenda hari dengan rangkaian huruf demi huruf, kemudian melengkapinya menjadi sebait simfoni dan kita nyanyikan berdua hingga akhir usia

***

hera
19 Ramadan 1431 H
29 Agustus 2010


Mug-Mug : Panggung Yang Penuh Harapan

Oleh Halim HD

SEBUAH kosa kata yang berasal dari bahasa Inggris, “Mug”, yang artinya wadah untuk minum, menjadi tajuk bagi sebuah pertunjukan yang sangat menarik dan energik dan menjadi suatu bentuk alternatif yang kreatif yang disajikan pada siang dan malam hari oleh Teater Anawula Menggaa (TAM) pada tanggal 29 Desember 2006 di gedung kesenian Sulsel “Societeit de Harmonie”, Makasar. Sebelumnya, TAM menyajikan karyanya di Solo (Taman Budaya Surakarta, secretariat LSM Pattiro dan SMA Santo Yosef) dan Bandung (CCL, Culture Central Ledeng yang dikelola oleh tokoh dan aktor teater handal, Iman Soleh). Beberapa bulan yang lalu, grup ini pula terpilih sebagai penyaji terbaik pada FDRN 2006 (Festival Drama Remaja Nasional) di Semarang.

Pementasan dengan durasi sekitar 40 menit itu mengangkat cerita dengan tema persahabatan di antara kaum remaja dan anak-anak. Cerita berlangsung dalam suatu ruangan di mana tiga orang anak-anak yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan persaudaraan Tutut Velta Sari, Rasdiana, Ainna Kasturi). Sebagaimana dunia anak-anak yang penuh dengan energi yang meluap yang sering pula membuat mereka satu dengan lainnya saling bersaing dank arena itu pula mereka sering bertengkar. Dan pertengkaran itu, awalnya sangat sederhana, mereka memiliki mug dan masing-masing orang menganggap bahwa mug mereka memiliki identitas, dan identitas itulah yang mereka pertahankan sebagai bagian dari diri mereka. Di antara pertengkaran itu, masuk seorang rekan mereka (Arni Eva Yanti) yang membawa kabar tentang penjahat yang ingin mengambil mug mereka. Dari sini cerita berlanjut kepada bagaimana mereka menyiapkan diri untuk mempertahankan mug milik mereka, dan dengan kesiagaan bagaikan para prajurit yang siap tempur, mereka mengolah tubuhnya dalam berbagai bentuk bela diri.

Adegan ini mengingatkan kita kepada dunia teve yang memiliki pengaruh kuat kepada dunia anak-anak dan remaja khususnya serial sinetron dengan tema pendekar silat nusantara. Yang menarik, justru pengaruh teve yang menjadi bagian dari adegan itu ditunjukkan bukan dengan cara konsumtif, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam: mereka bukan hanya sekedar konsumen yang dijejali oleh informasi dan dunia hiburan belaka. Lebih dari itu, silat nusantara menjadi inspirasi buat mereka untuk mempertahankan wilayah identitas mereka dari gangguan pihal luar. Tentu sebagaimana kebanyakan ujung cerita di kalangan anak-anak dan remaja, happy ending menjadi bagian terpenting: melalui mug dan dengan kehadiran para penjahat itu mereka menyatukan diri sebagai saudara sekandung yang saling menolong dan membentuk solidaritas. Yang menarik, plot cerita ini berujung pada kehadiran sosok lain, seorang tamu yang lebih dewasa (Kiki Reskiayan Ilyas) yang memberitahukan kepada mereka bahwa ruangan tempat mereka berada itu akan digunakan untuk pementasan. Maka alur cerita berganti kembali ke dalam bentuk keseharian tentang dunia anak-anak dan remaja yang penuh dengan keceriaan dan juga rasa ingina tahu yang besar. Di sini, penulis memang piawai mengolah dan menjalin cerita yang saling berlapis; durasi 40 menit itu mampu menggambarkan suatu dunia kehidupan yang beragam dan penuh dengan berbagai suasana hubungan yang manusiawi.

Yang menarik dari pementasan TAM ini adalah tidak adanya usaha untuk menjadikan lakon dan panggung sebagai media untuk menjejali berbagai pandangan, sebagaimana sering kita lihat di teve dalam bentuk sinetron dan sosiodrama atau teater kampus yang cenderung cerewet. TAM yang menyajikan “Mug-Mug” yang ditulis dan disutradarai oleh Abdul Razak Abadi dengan cerdas mengungkapkan realitas keseharian sebagaimana dunia remaja yang tidak tendensius, sangat bersahaja. Dan kekuatan ini juga terletak pada penyutradaraan yang sangat memahami psikologi perkembangan anak-anak dan remaja, dan dengan cerdas sutradara mengeksplorasi potensi yang dimiliki oleh mereka dan dipadukan dengan kuat melalui bingkai pemahaman tentang kehidupan anak-anak dan remaja dengan dunia sekitarnya yang telah menjadi bagian yang paling dalam dari permainan grup TAM.

Saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh Titus Albertus (Forum Pinilih, Solo) dan Iman Sholeh (dua juri FDRN di Semarang) ketika saya menelpon mereka beberapa hari setelah acara FDRN, dan mereka menyatakan bahwa anak-anak di grup TAM bermain dengan pola realisme yang subtil jika dibandingkan dengan grup-grup lain yang mengikuti FDRN. Yang paling penting lainnya, property dan setting yang mereka garap merupakan suatu bentuk alternatif yang cerdas yang membuat mereka bisa menggunakan berbagai level, kotak, dan menjadikannya apa saja, dari kursi, meja, dan bentuk lainnya yang imajinatif. Yang terakhir inilah yang perlu juga kita garisbawahi: begitu banyak teater yang makin cerewet oleh tubuh dan berbagai bentuk property dan setting yang sesungguhnya menjadi alat bantu dalam permainan teater justru sering memperangkap pemain. Dengan kata lain, sutradara telah memperhitungkan dengan cerdas, dan membuka berbagai kemungkinan bagi pemain untuk menciptakan ruang pertunjukannya menurut potensi dan aktualisasi diri mereka. Saya teringat Takeyama, dedengkot dan salah seorang ideology teater Jepang pada masa pembaharuan teater Jepang tahun 1960-70-an; dia menyatakan, bahwa teater mesti menciptakan ruang bagi kehadiran manusia, dan di situ pula manusia hadir bersama dalam rentang sejarah yang diciptakan dan mengolah kembali realitas social dan sejarah yang ada di lingkungannya dalam ruang teater. TAM terasa sekali mampu bermain pada ruang apa saja, tanpa beban dan kesulitan artistik.

Satu hal yang perlu saya tambahkan dan garis bawahi di sini, bahwa lakon “Mug-Mug” oleh TAM yang telah memainkannya sebanyak 30 kali selama rentang 2-3 tahun merupakan suatu proses yang perlu kita pelajari dan amati dengan cermat. Pelajaran itu menyatakan bahwa jika teater dan kehidupan grup dengan pilihan lakon yang secara terus-menerus dijalani secara intens dan mendalam, dan menjadikannya setiap pemainnya tidak lagi dilihat secara teknis akting belaka. Mereka melakukan di atas panggung dengan seluruh kehadiran tubuh dan diri mereka, ekspresi yang paling dalam tanpa suatu kecerewetan sebagaimana kebanyakan teater kampus yang dipenuhi dan didorong oleh keinginan mengejar jumlah nomor produksi, kuantitas, dari waktu ke waktu namun tiada pendalaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya mengalami kejenuhan pada tingkat yang memualkan ketika saya menyaksikan grup teater mahasiswa yang sekadar naik panggung. Dan membandingkannya dengan TAM, dengan proses kerja mereka, serta ketekunan serta jalinan kerja antara anggota TAM dengan sutradaranya bisa menjadi inspirasi yang visioner bagi siapa saja yang ingin memasuki dan menapaki dunia kesenian, khususnya teater.

Catatan akhir yang ingin saya sampaikan di sini, bahwa kehadiran TAM bisa menjadi suatu bentuk model dan pola pengembangan teater di sekolah. Tentu bahwa hal itu juga berkaitan dengan komitmen Abdul Razak Abadi yang menjalani dunia pendidikan dan teater sebagai bagian paling dalam dari dirinya. Untuk itu, kita bisa memberikan bukan hanya applaus dan tepuk tangan. Sosok ulet itu juga membutuhkan masukan, kritik, dialog dan tentu saja dukungan dari berbagai pihak. Apalagi jika kita secara geografis memandang posisi TAM yang lahir, tumbuh dan berkembang dari sebuah wilayah terpencil, kecamatan Lambuya, kabupaten Konawe yang oleh sebagian besar tidak diketahui letak dan posisinya pada peta Indonesia. Saya ingin menegaskan bahwa sebuah komunitas, sebuah grup teater anak-anak dan remaja bisa menjadi image yang positif. Dan citra itu kini telah melintasi dan membawa nama baik wilayahnya. Lebih dari itu, di antara sistem pendidikan kita yang selalu mengalami krisis dari waktu ke waktu, dan di antara pola hidup yang kian konsumtif khususnya kaum anak-anak dan remaja yang dijejali oleh teve yang banyak membawa dampak kepada pola tingkah laku kekerasan, kehadiran TAM sangat inspiratif bagi kalangan orang dewasa, orangtua, dan para pendidik.

Akhirulkalam, saya ingin menyatakan bahwa theatre is life, film is art, television is furniture – dan TAM membuktikan ungkapan itu dalam wujud mereka yang penuh harapan.

[]

Makasar, 30 November 2006


Halim HD

Bagi jurnalis muda, nama Halim HD belumlah dikenal secara luas. Maklum postur tubuhnya yang menyerupai ’biksu’ Shaolin ini tak banyak bicara dihadapan para wartawan muda, khususnya di Solo. Tapi bagi para pewarta senior, nama Halim tak asing lagi. Meski berpenampilan tak mencolok, ia toh tetap dikenal oleh para jurnalis ’kaplak-awu’ sebagai ’pengembara’ budaya, melanglang dari kota-ke-kota. Networker kebudayaan dan penulis, tinggal di Solo dan Makassar.



Caraku Mencintai…

(aku ingin– another version)

Oleh Hary El Tampanovic

Kata Sapardi,……
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
seperti kata yang tak sempat diucapkan…
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
seperti isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kata Saut Situmorang,
Aku ingin mencintaimu dengan membabibuta
dengan sebotol racun yang diteguk romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya menjadi puisi
Aku ingin mencintaimu dengan membabibuta
dengan sebilah belati yang ditikamkan juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

Kataku,
Aku tidak ingin mencintaimu dgn sederhana
Bukan seperti kayu dan awan tolol
Yang hanya sekedar berkata-kata atau menyampaikan isyarat saja tak bisa
Bukan seperti kisah Romeo dan Juliet yang berakhir tragis

Aku hanya ingin mencintaimu dengan hormon dewasa
Seperti takdir yang di titahkan pada DNA
Bahwa manusia mesti melanjut darah Adam dan Hawa

Kata perempuanku…
Dasar lelaki
Yang dipikir cuma birahi

Kataku lagi,
Bah, bukankah kamu yang selalu minta 3 kali sehari?


Cespen : Rambut Mio

Oleh Adhy Rical

Ini tentang Mio. Perempuan yang memiliki dua rambut berbeda. Hitam dan putih. Tidak biasa sebab yang hitam itu rambut lelakinya. Lima puluh dua tahun lalu ketika beringin depan rumah masih setinggi cucu perempuannya.

“Kenapa kau berikan rambut padaku, sayang? Kenapa bukan cincin. Tak harus emas. Besi dari badik pun kuterima.”

“Pernikahan itu indah. Kitab-kitab bilang begitu. Tapi cinta akan tertutup karenanya.”

“Apakah pernikahan harus memberimu cincin? Bukankah rambut lebih abadi? Kelak, ketika kita renta, rambutku tetap menghitam di rambutmu. Kita pun akan melalui rambut. Tentu.”

Lalu kau bercerita tentang pelukan pertama. “Jika kau memeluk pasanganmu, katakanlah ‘hangat sekali’. Jika tidak, kau harus memasak air sampai pagi.”

***

Pagi itu, Mio mengajakku ke kebun peluru. Belakangan aku tahu kalau kebun peluru adalah kuburan. Mungkin karena di sekitar kuburan terdapat jagung, kacang, dan beberapa tanaman umbi. Tapi yang lebih penting selain tujuh nisan di kebun peluru adalah Mio memiliki ribuan selongsong peluru.

“Kau jangan banyak bicara, Nak”, pesan Mio padaku.
“Hanya ambil gambar, Bunda,” bisikku.
“Tiga orang dari tujuh nisan di sini karena mereka banyak bicara. Peluru lebih peka mendengar suara tukang kebun daripada suara tukang bicara.”

“Siapa tukang bicara?”
“Sstt… tak baik bertanya di kebun peluru.”
“Tapi siapa?”
“Kami tak punya tipi tapi kami tahu, tukang bicara banyak di tipi.”

***

Kini, aku masih menyimpan rambut Mio. Tapi entah untuk siapa. Sebab rambut Mio tak lagi hitam atau putih tapi merah. Darah itu merah, Mio. Semerah darahku membesi pada kepalamu yang pecah siang tadi. Rasanya tak percaya, peluru lebih memilih kepalamu daripada tukang bicara sepertiku. []

Kendari, 2010