Tag Archives: baru

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


[Buku Baru] Tempias di Beranda

Penulis: Saut Poltak Tambunan * Penerbit: Bestari * Halaman: 176 halaman * Dimensi: 14 x 21 cm, soft cover * Harga: Rp 35.000,-

Cuplikan “Tempias di Beranda

……

Sayang Niken meninggal ketika melahirkan Bimo, anak pertama mereka. Niken dan Weni – Selalu saya ingin menandai 28 Agustus dengan buku baru. Kadang gagal. Kali ini…! Adiknya berbeda seperti air dan api. Niken santun religius, sebaliknya Weni bergaul sangat terbuka. Weni tahu benar menikmati kecantikan dan kemudaannya.

Mertua Indra ingin Weni ‘naik ranjang’ menggantikan Niken jadi isteri Indra. Bagi Weni itu kuno dan merampas haknya untuk memilih jalan hidup sendiri. Ia ingin mewarnai dunianya sendiri dan tidak mau mewarisi jalan pilihan Niken.

“Aku tak bisa menggantikan Mbak Niken. Dia itu malaikat. Aku bukan,” tegas Weni.

Weni mengajak Indra bergabung dengan teman-temannya ‘dugem’ di club. Weni pamerkan kebebasannya, menari-nari mengumbar sensasinya. Sengaja, agar Indra berpikir berkali-kali sebelum meneruskan perjodohan itu. Sebaliknya darah muda Indra justru bergolak: Salahkah aku jika cemburu?

Sejak itu Indra selalu mencuri-curi memperhatikan Weni. Konyolnya, Weni justru sengaja memamerkan kemesraannya dengan pacar-pacarnya. Indra merasa jadi ilalang kering yang dibiarkan terbakar sendiri.

Tiba-tiba Indra yang berprofesi sebagai dosen, terpikat Helen – mahasiswinya dan mengajaknya menikah. Mertua Indra terpaksa setuju, karena Weni sudah tegas menolak ‘naik ranjang’.

Ternyata Bimo anak autis – hyperaktif. Keras kepala dan tidak terkendali. Anak 4 tahun itu selalu menjadi sumber pertengkaran antara Helen dan Indra. Puncak pertengkaran, Helen pulang ke orang tuanya.

Indra terpuruk ditinggal Helen. Weni muncul ke rumahnya dengan masalah lain: Ia hamil. Bahkan tidak tahu lelaki mana yang harus bertanggung jawab!

Indra yang sedang depresi, dihadapkan pada gadis yang selama ini hadir dalam fantasinya. Gadis yang selama ini menyulutkan api lalu membiarkannya terbakar sendiri bagai ilalang gurun.

Selasar Pena Talenta, 28 Agustus 2011

**

Saut Poltak Tambunan. Telah dikenal sejak tahun 1970an sebagai penulis dengan karya-karyanya yang tersebar di berbagai media, koran, majalah ibukota, seperti Femina, Kartini dan lain-lain.

Kali ini ia kembali menerbitkan novel yang menyajikan konflik keluarga dan rumah tangga yang melibatkan tokoh-tokoh sentral cerita seperti Indra, yang baru saja ditinggalkan istrinya, Niken, meninggal setelah melahirkan dan adik istrinya, Weni. yang berperilaku bebas dan energik, tipikal gadis kota besar.

Novel ini menarik terutama bagi kalangan perempuan yang melibatkan emosi pembacanya.


[Buku Baru] Perempuan di Balik Kabut

Segera terbit sekumpulan cerita, karya Susy Ayu “Perempuan Di balik Kabut“. Kata pengantar: Seno Gumira Adjidarma. Tebal 122 halaman.

Spesial: Bagi 100 pembeli pertama mendapatkan bonus satu buku Kumpulan Puisi Susy Ayu “Rahim Kata-Kata” (2010).

Harga pre-launching Rp. 40.000,-  dengan tandatangan pengarang. (belum termasuk ongkir).

Pesan sekarang. Hubungi segera akun Facebook Susy Ayu. Tersedia di TB Gramedia pada November 2011.

**
Simak Sejumlah Cuplikan Berikut:

Setangkai Lily dari Peking.

“Pacaran kamu sekarang sama pribumi?” Suatu hari papa menegurku dengan keras di depan rumah ketika Iwan baru mengantarku pulang dari pameran photography. Aku tidak diberinya kesempatan bicara.

“Berapa lama kamu ngabisin duit orang tuamu? 18 tahun? 19 tahun? SMA kamu sudah minta mobil kalo kuliah kamu minta apa? Ganti mobil yang ada tvnya sekalian? Kamu kuliah taruh kata 7 tahun, 3 tahun kamu habiskan di diskotik dan di pusat pertokoan!” Papa tidak berhenti bicara, kemarahannya ditumpahkan pada Iwan.

“Itu untung kalo kamu nggak narkoba. Kalo kamu narkoba, mabuk, ketagihan…orang tuamu akan menghabiskan puluhan juta lagi untuk mengirimmu ke rehabilitasi. Dikira saya tidak tahu? Terus berapa juta lagi untuk mobil baru biar perasaanmu senang, biar kamu lupa sama narkobamu itu? Kalo kamu lulus jadi insinyur, itu udah untung banget. Kamu akan tetap dibayar untuk bikin diskotik dan mall baru agar anakmu bisa belanja lebih gila-gilaan lagi. Generasi apa kamu?”

(dimuat di Minggu Pagi, KR,Yogyakarta)

**
Antara Jalan Tol dan Tepi Pantai

“Apa yg kamu inginkan kemudian?”

“Aku ingin bercinta dengan orang lain di pantai..bukan denganmu! Ini impian terindahku, tapi nggak adil, mas sudah merasakannya bersama orang lain. Perasaan kita nggak seimbang, aku nggak mau..nggak mau!”

“Pilihlah lakilaki lain, bilang kalau kau sudah, dan segera kita wujudkan impianmu itu: bercinta di tepi pantai dengan lakilaki yang paling kau cintai. Ah, kau cintaikah aku. Begini caramu perlakukan cinta kita? Dan kau tahu obsesi percintaanku yang belum pernah terwujud denganmu? Di mobil, di pinggir jalan tol! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Ini adilkan, sayang?”

(dimuat di harian Fajar, Makassar)
**
Rahasia Hati

Aku berada di sebuah kafe sesorean dan semalaman tadi, di hadapanku secangkir kopi amat pahit, sejumlah gadis melintas, slender, wangi, mengkilat seperti porselen yang rapuh namun jelita seperti boneka. Gerimis di luar, kupikir mungkin aku kesepian. Aku merasa seperti seekor laron, memburu hangat dan cahaya lalu membentur bentur dinding kaca untuk kemudian mati dalam bahagia.

Ketika kunyalakan rokok, kau melintas di antara ujung rokok dan korekku yg menyala. Di manakah kau? Setelah hembusan pertama kusadari ketololanku, kau ratusan kilometer dariku dalam sebuah rumah dimana kutinggalkan kau dgn sederetan tanya yang panjang.

(dimuat di majalah KARTINI)


**


Nota Perkawinan

Cuma senggama yang bisa menghasilkan gerakan lebih baik dari ini. Beberapa di antaranya mengingatkanku pada itu. Punggungnya melengkung ke atas ranjang, matanya membeliak dengan setetes air mengambang di sudut matanya, dan cengkeraman jari-jarinya. Kurapatkan kedua kakiku mencari sesuatu. Ah, sungguh tidak sopan kataku dalam hati. Tapi aku tidak sanggup menahankan perasaan ini, meskipun aku seorang istri baik-baik. Dan di usiaku yang ketigapuluh enam, susuku masih sekencang delima, hanya saja dengan suami megap-megap macam ini aku merasa agak tersinggung. Tapi ia sekarat, aku bisa melihatnya. .

(dimuat di harian Suara Karya)


ACFTA : Pemerintah Indonesia “Baru” Mulai Berbenah.

Seri Tolak ACFTA (V)

Oleh Ilham Q Moehiddin

Sangkaan bahwa pemerintah Indonesia hanya memberi berat timbangan perhatiannya pada skema-skema perdagangan dalam panel ACFTA, agaknya, perlahan-lahan mulai dikikis. Tetapi, apa karena itu, kawalan ini akan berhenti? Mungkin saja. Namun, kawalan macam ini, belum akan surut sampai pemerintah Indonesia benar-benar memberatkan timbangan keputusannya untuk rakyat kecil.

****

Dalam beberapa artikel terdahulu, tergambar jelas sejumlah kekhawatiran perihal dampak keras keikutisertaan Indonesia, dari perberlakuan ACFTA terhadap rakyat Indonesia. Dampak keras seperti itu, sudah pasti akan terjadi, jika para komponen peserta pasar bebas kawasan, khususnya Indonesia, tidak melihatnya sebagai hal serius.

Maka, saya pun berharap lebih terhadap keputusan terakhir dari kedua pihak; Indonesia dan China, untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi dampak ACFTA. Tetapi, saya masih saja tetap khawatir, jika putusan dengan bunyi macam itu. Sebab, kedua pemerintah, terlebih Indonesia, sebenarnya akan lebih baik meminimalisir—dan sebaiknya menghilangkan—potensi munculnya dampak negatif dari mekanisme pasar bebas. Jadi, bukan menunggu munculnya dampak, lalu kemudian “diatasi”—atau mungkin itu adalah sebutan halus untuk “direhabilitasi”?

Selain bekerjasama untuk mengatasi dampak ACFTA, pemerintah China bahkan sudah lebih dulu mengajukan diri untuk beberapa pola pendukung, untuk memperlancar sejumlah skema dalam panel pasar bebas kedua negara. Pemerintah China bahkan sudah menyatakan kesiapannya untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan sistem transportasi, dan menyatakan kesiapannya terkait pembangunan sejumlah proyek infrastuktur lain.

Tetapi, kemudian masalahnya tidak berhenti sampai disitu saja. Sebab, keseriusan pemerintah Indonesia terus dinanti-nanti. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bahkan menyambut sejumlah variabel pos tarif yang akan berlaku, jika Juli 2010 nanti Indonesia menghilangkan sekat proteksi secara permanen. Maka, Kadin pun mendesak pemerintah untuk menunda 228 pos tarif dalam panel ACFTA. Tentu saja ada alasan penting bagi Kadin untuk meminta penundaan pemberlakuan sejumlah pos tarif dalam panel ACFTA itu.

***

Di tengah kegelisahan sejumlah pelaku pasar domestik perihal kekurangan Indonesia dalam hal sektor energi, seperti yang terekam dalam siaran televisi “Flatform Ekonomi” di TVOne (pada artikel: Batalkan Perjanjian Free Trade; Indonesia Tak Perlu Malu), kalangan serikat buruh itu mempersoalkan pemerintah yang tidak bisa tegas soal energi dan sumbernya. Terlalu banyak sumber daya energi dan mineral Indonesia—menurut mereka—yang kini dikelola asing atau yang sementara ditawarkan ke pemodal asing. Kemudian diperparah dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) industri dan harga beli gas untuk industri. Berlanjut, ke rencana pemerintah Indonesia menaikkan TDL untuk masyarakat pemakai listrik 450 – 900 kwh (dengan beban diatas 30 kwh).

Rupanya, pemerintah tidak terusik dengan sejumlah keluhan ini, dan tetap jalan dengan rencananya; menawarkan 35 wilayah kerja sektor minyak dan gas kepada pihak swasta nasional (dan asing?).

Menurut Hatta Rajasa, jika pun pemerintah tetap akan bernegosiasi perihal tindak lanjut ACFTA, maka sebisa mungkin tidak merubah skema. Apa mungkin ada skema yang tidak berubah sama sekali, ketika keputusan dari proses negosiasi diambil, apalagi…jika keputusan negosiasi itu berbuntut pada kembalinya dukungan pemerintah terhadap model proteksi masyarakat dan sejumlah industri besar-menangah-kecil di Indonesia?

Saya kira, skema manapun harus berubah (jika perlu) untuk memenangkan statuta rakyat Indonesia, terhadap dampak ACFTA. Jangan sampai, dengan mempertahankan skema, Indonesia lantas benar-benar jatuh ke dalam “kuasa asing”. Setelah kuasa asing “merebut” sistem pasar Indonesia, pada gilirannya energi dan sumbernya akan ikut tergadai. Pun, tidakkah Anda miris dengan sejumlah pulau yang sudah dikuasai asing itu?

***

Benar saja, rupanya, pemerintah Indonesia “sudah terprovokasi” dengan sejumlah penolakan dari masyarakat Indonesia. Provokasi positif itu, baru memberi sedikit harapan dari banyak kehendak terhadap model perlindungan negara untuk rakyat Indonesia.

Perihal, proteksi terhadap kebutuhan pokok masyarakat yang berhubungan dengan pangan, kemarin, pemerintah mulai 1 April 2010, sudah mengumumkan pencabutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk lima (5) kebutuhan pokok.

Sebaiknya, penghapusan PPN ini, tidak berhenti terhadap lima kebutuhan pokok saja. Sebisa mungkin pemerintah terus memantapkan proteksi pangan terhadap rakyat kecil Indonesia, dengan ikut menghapuskan PPN untuk semua kebutuhan pokok lainnya, sekaligus juga menghapuskan 50% komponen tarif lainnya, yang masih tersisa dari komponen penentu harga barang-barang kebutuhan pokok itu.

Jika pemerintah masih tetap hendak melindungi sejumlah korporasi yang bermain, silahkan saja. Tetapi, cukuplah bagi pemerintah untuk menghapuskan komponen tarif yang “tidak penting” terhadap kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Pantas saja, jika selama ini, kebutuhan pokok itu masih kerap tidak terjangkau masyarakat Indonesia, sebab PPN menyumbang 30% dari harga barang.

Silahkan ber-Pasar Bebas…asal rakyat Indonesia tak perlu risau dengan kebutuhan pangan mereka, bukan?

***

Pemerintah, akhirnya terprovokasi dengan sejumlah isu penting seputar pelaksanaan pasar bebas kawasan. Isu-isu penting itu memang bukan sekadar rumor, justru segera menjelma menjadi ancaman serius, jika pemerintah tidak sigap membendungnya.

Yang juga paling serius dan mendasar, salah satunya adalah ancaman kejahatan transnasional. Dalam artikel saya sebelumnya, “Free Trade Area: Ketika Indonesia Berperang Tanpa Tameng”, dengan terang dijelaskan bahwa “Perdagangan bebas juga akan mendorong pasar gelap, sebagai efek samping. Pasar gelap akan mendorong perdagangan barang-barang ilegal; perdagangan senjata antar negara, perdagangan obat terlarang trans-internasional, perdagangan perempuan dan anak, perbudakan gaya baru, dan transfer konflik dari sebuah wilayah perang ke wilayah lainnya. Pasar bebas dan segala aturan dalam panelnya adalah rencana besar yang sesungguhnya mengarah pada penguasaan semua sumber daya alam, pangsa pasar, human irritations, dan kebijakan negara-negara yang terlibat”.

Itulah imbas yang tercipta dari hal yang saya istilahkan sebagai “capital cracking out”.

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya khawatir dengan side effect pasar bebas kawasan ini. Kejahatan transnasional akan mudah menyusup dalam panel pasar, sebab banyak fundamen pasar terbatas yang kemudian terganggu, dengan lahirnya kebijakan pasar bebas.

Makanya, pemerintah Indonesia mengangkat isu kejahatan transnasional pada KTT ASEAN di Hanoi 8-9 April 2010. Sebelumnya, sekitar “43 tenaga ahli dari 10 negara di Asia bertemu di Bali, untuk membahas perdagangan gelap senjata. Sebab, dengan pembatasan yang ketat selama ini pun, sindikat penjualan senjata antar negara, sukses mendistribusikan senjata ke berbagai area konflik di seluruh dunia, bahkan sampai ke Aceh dan Papua”. (Baca kembali artikel: “Batalkan Perjanjian Free Trade; Indonesia Tak Perlu Malu”)

Kekhawatiran itu beralasan, jika membaca laporan United Nations perihal satu milyar penduduk dunia saat ini, memiliki senjata ringan.

***

Optimisme pemerintah Indonesia terhadap panel ACFTA, rupanya tidak bisa pupus begitu saja, walau pemerintah harus melihat sejumlah masalah serius berkenaan dengan kondisi rakyat Indonesia secara umum, dan kondisi sektor riil serta industri dari beragam basis.

Optimisme itu makin kuat melihat laporan perdagangan yang dilansir per Februari 2010; yang menyebut nilai ekspor Indonesia mencapai nominal US$ 11,2 Milyar. Dan, nilai impor Indonesia mencapai angka US$ 9,5 Milyar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia pun surplus pada nilai US$ 1,71 Milyar. Neraca perdagangan ini untuk tiga negara utama tujuan ekspor Indonesia, yakni Jepang, China, dan USA.

Tetapi, saya tidak seoptimis pemerintah (walau nilai pesimisme saya tidak penting bagi pemerintah…bhahahaha) melihat neraca perdagangan yang cuma “terpaut” sedikit itu.

Bagaimana menurut Anda dengan skema ini: Tinggikan nilai ekspor, lalu minimkan nilai impor (dengan lebih banyak menggunakan produk dalam negeri), untuk mendapatkan surplus neraca perdagangan yang tinggi? Lebih bagus begini, kan?

Sebab untuk ACFTA, semua nilai yang dilaporkan baru sebatas prediksi, yang sungguh masih sumir terdengar. Semisal, ACFTA diprediksi akan meningkatkan nilai perdagangan Indonesia dan China senilai US$ 50 Milyar. Lalu, Menteri Perdagangan yang optimis, ekspor Indonesia ke China tumbuh di atas 10%. Kemudian, melalui ACFTA, Indonesia berpeluang meningkatkan ekspor sepatu ke China.

Angka prosentase dan prediksi-prediksi itu masih sulit diraih jika nilai impor Indonesia tidak bisa diminimalisir. Lantas, dari mana optimisme Indonesia akan berpeluang meningkatkan ekspor sepatu ke China, jika mata kita masih bersirobok pandang dengan sepatu-sepatu buatan China yang dipajang di sejumlah toko besar sekelas Mall, dan lods kecil di pasar-pasar tradisional, di sejumlah kota di Indonesia?

Mungkinkah, keyakinan saya soal retensi dan resistensi terhadap panel pasar bebas akan dibuat melayang begitu saja? Entahlah. []

(Sumber photo: http://img.m.kompas.com)


Batalkan Perjanjian Free Trade : Indonesia Tak Perlu Malu

Seri Tolak ACFTA (IV)

(Ketika Ekonomi Indonesia Mencoba Menari Di Lantai Pasar Bebas Yang Licin)

Oleh Ilham Q Moehiddin

Indonesia tidak saja akan “berdansa” di lantai licin…tetapi juga akan mendengar musik yang sama sekali asing bagi tarian ekonomi-nya. Sebab soalnya; bukan berlomba membangun kekuatan ekonomi negara agar terlihat prestisius di mata dunia, tetapi berusaha sekeras mungkin agar tingkat ekonomi dan taraf hidup seluruh masyarakat Indonesia terjamin dan terbangun…

***

Pasar bebas atau populer dengan Free Trade Area, adalah bentuk terbatas dari liberalisasi ekonomi yang sesungguhnya. Bentuk ekonomi semacam ini, sejatinya, adalah sekadar penerapan konsep ekonomi yang sifatnya alternatif saja. Jadi bukan bentuk satu-satunya, atau versus dari konsep ekonomi lainnya. Selain ekonomi liberal (ekonomi demokratis, atau rupa lain dari ekonomi kapitalis), dunia mengenal bentuk sistem ekonomi sosialis (dahulu, umumnya berlaku di negara-negara Eropa Timur), ekonomi Islam (syariah), ekonomi pasar terbatas (model ekonomi sosialis terapan yang berlaku di China), dan bahkan, Indonesia mengenal dan pernah menerapkan bentuk ekonominya sendiri, ekonomi Pancasila.

Tetapi, mari kita tengok dulu popularitas sistem ekonomi liberal, yang digadang-gadang pelaku ekonomi dunia saat ini dalam bentuk—yang menurut saya terlalu ekstrim—dengan nama kawasan pasar bebas.

Dalam tiga seri tulisan saya terdahulu perihal pasar bebas dan penolakan saya terhadap pemberlakuan sistem ini di Indonesia, khususnya, saya berusaha menekankan pentingnya sistem ini dihapus sama sekali dari naskah-naskah perjanjian ekonomi Indonesia dengan komponen ekonomi dunia lainnya. Jadi…bukan ditunda. Mengapa harus ditunda…jika kita bisa menolaknya sama sekali.

Saya tidak menampik pola penundaan, jika pemerintah Indonesia memang tak bisa mundur lagi. Tetapi, tekanan saya tetap berada pada titik yang sama, yakni menolak sistem liberalisasi ekonomi dalam sebuah kawasan. Sebab, saya menyebutnya dengan tegas, sebagai bentuk penjajahan gaya baru, yang saya diskreditkan dalam istilah The New Road Map of Imperialism.

Maksud saya…dengan benar-benar…mendiskreditkan sistem ini, sekaligus menolak meletakkan kepercayaan saya pada pendapat bahwa sistem ini akan membantu negara-negara dalam kawasan keluar dari tekanan krisis ekonomi. Sebab saya tetap berprinsip bahwa kawasan pasar bebas hanya akan menjadikan manusia bukan hanya semata-mata konsumen, tetapi manusia adalah wilayah jajahan produk. Lalu krisis ekonomi yang mana yang dimaksudkan itu? Bukankah krisis ekonomi yang selama ini dialami dunia, justru disebabkan kerakusan para industrialis-kapitalis Eropa dan Amerika dalam meraup gain keuntungan sebesar-besarnya. Dan, krisis itu makin diperparah dengan pemberlakuan berbagai sistem baru dalam kerangka uji-coba. Akibatnya, 118 bank di Amerika Serikat baru saja berhenti beroperasi. Syukurlah…masyarakat dan otoritas moneter Indonesia segera bereaksi…hingga Indonesia selamat, dapat lolos, dan sejarah penutupan sejumlah bank tidak tidak terulang seperti di tahun 2007.

Wajah Dunia yang Berangsur Berubah

Mereka—negara-negara pelaku ekonomi kapitalis—menolak percaya dan mengikuti trend ekonomi yang berlaku di setiap negara. Sistem kapitalis (pasar bebas) ini begitu semena-mena didesakkan, sebagai kendaraan untuk menancapkan hegemoni mereka terhadap dominasi kekuatan dunia yang mulai bergeser perlahan-lahan dalam formatnya, dan wilayahnya, menuju Asia.

Mereka menolak dan setengah tidak percaya bahwa wajah dunia sekarang ini telah berubah, dari bentuknya yang kerap mengerikan—berwajah perang dan pembunuhan—berangsur ke bentuk yang sedikit lebih ramah; dominasi kekuatan dunia kini bergeser pada kekuatan ekonomi.

Penolakan Eropa dan Amerika Serikat ini, terhadap visi kehancuran popularitas dominasi mereka di dunia yang sekian lama itu, memaksa mereka untuk mensejajarkan langkah mengikuti keinginan mayoritas masyarakat dunia. Perang tak populer lagi; bahwa pergerakan dunia bukan semata-mata penguasaan sumber-sumber daya alam seperti minyak di Semenanjung Arabia, Afrika dan Amerika Selatan.

Demikian pula dengan ideologi; bahwa siklusitas dunia tidak lagi melihat apakah Anda memiliki pemahaman dan ideologi yang berbeda selain demokratis. Jika dahulu, dunia pernah terpecah menjadi tiga blok besar—yang dasar perpecahan itu adalah perbedaan ideologis—maka kondisi dan pola pergaulan sosial dunia memaksa mereka menyingkirkan perbedaan ideologis itu, kembali bersatu untuk meraih superioritas yang nyaris hilang; Amerika Serikat makin tak dilihat sebagai kekuatan ekonomi dunia lagi, Rusia melemah dengan kondisi terpecah-belah, kalimat “Made in Jerman” bahkan bukan lagi menjadi perujuk sebuah produk akan laku dijual. Maka buru-buru, Barack Obama sang presiden Amerika Serikat itu, membuka dialog dengan Rusia, yang dianggap mampu wakili negara-negara skandinavia. Padahal, Amerika Serikat-lah yang dahulu memporak-poranda Rusia hingga memperoleh bentuknya yang sekarang, konfederasi

Tidak lagi. Perangkat ekonomi negara-negara yang disebutkan itu seperti tidak berdaya melawan kartel pembajakan produk yang dilakukan usahawan China (dan China sendiri lebih cenderung terlihat tak peduli dan protektif), atau sama tidak berdayanya memaksa India melupakan semangat swadesi-nya.

Maka tak perlu heran jika kini, negara berhaluan demokrasi berusaha menghilangkan sekat ideologis yang menghambat mereka dengan negara berhaluan sosialis-demokratis, untuk bersama-sama membentuk kekuatan dunia baru dalam bidang ekonomi. Mereka merasa harus kembali bersatu dalam bendera persamaan kepentingan, menggerakkan penjajahan gaya baru yang mereka format melalui WTO.

Jangan dikira, baik Amerika Serikat, Rusia, Negara-Negara Eropa Barat, saat ini tidak ketar-ketir menghadapi isu lajunya ekonomi Asia yang dipimpin China dan India; berkembangnya ekonomi Amerika Selatan yang dipimpin Brasil; licinnya gerak maju ekonomi Asia Timur yang dipimpin Dubai; dan naiknya potensi ekonomi Afrika yang dimotori Afrika Selatan.

Eropa dan Amerika Serikat pun sama takutnya, sama khawatirnya, jika tidak segera merealisasikan kawasan-kawasan bebas ekonomi itu, maka keinginan terus menancapkan kuku hegemoni kekuasaan mereka akan terhambat dan segera pupus. Soalnya sekarang; negara-negara yang sedang berkembang ekonominya itu tidak segera percaya—bahkan kini menolak sama sekali—dengan “bualan” mereka soal kemajuan yang akan diperoleh bersama dalam kawasan pasar bebas.

Bualan Eropa dan Amerika Serikat itu segera makin menjadi omong kosong, jika China tidak berhenti memberikan contoh kemajuan ekonominya dengan tetap menggunakan sistem ekonomi pasar terbatas-nya. Artinya, bahwa sistem ekonomi kapitalis dan sistem pasar kawasan, hanyalah sekadar jalan belaka, dan bukan solusi tunggal untuk mencegah dunia dari krisis, seperti yang mereka heboh-hebohkan selama ini. China ternyata lebih berdaya, lebih hebat, dengan sistem ekonomi ekslusifnya itu.

Sejumlah negara di kawasan Amerika Selatan, yang dimotori Venezuela, Chile, dan Cuba bersama-sama menentang kawasan pasar bebas Amerika Selatan dan Latin (SAFTA). Lalu, Senegal dan Republik Afrika Tengah juga segera menolak kawasan pasar bebas Afrika. Iran terus menggembosi kampanye pasar bebas kawasan yang masif dilakukan Israel dan Mesir—penolakan serupa juga diikuti Jordania dan Lebanon. Bagaimana kabar Indonesia dan Malaysia? Apakah penentangan yang kita lakukan akan segera membuhul keras menjadi penolakan permanen yang akan didukung negara? Kita belum tahu.

Sebab, pemerintah Indonesia sedang bersiap-siap melakukan re-negosiasi dengan sejumlah komponen pendukung kesiapan pasar bebas kawasan ACFTA. Negosiasi itu mulai berjalan April tahun 2010 ini, melalui kementrian perdagangan. Padahal, kementerian yang digawangi Marie Elka Pengestu itu, sedikit memberi harapan, ketika memberikan suara positif untuk tidak segera membahas FTA dengan pihak Australia.

Apa yang terjadi dengan pemerintah Indonesia sesungguhnya. Pada Kamis, 1 April 2010, Badan Pusat Statistik, mengeluarkan laporan yang tidak berdasar sama sekali, yang menyebut bahwa panel ACFTA sama sekali tidak mempengaruhi atau berdampak terhadap perdagangan Indonesia. Laporan ini juga persis dirilis bersamaan dengan kebijakan baru perihal tarif baru bea keluar barang eskpor yang mulai diberlakukan pada tanggal yang sama.

Apa yang membuat dua lembaga ini begitu yakin dengan data-data mereka, ketimbang melihat dengan jelas duduk masalah dari protes yang deras menentang pemberlakuan panel pasar bebas kawasan Asean-China oleh berbagai stakeholder? Pernahkan pemerintah duduk bersama dengan para pelaku bisnis kecil dan menengah yang akan terkena dampak paling keras dari pemberlakuan panel pasar bebas itu? Pernahkah kita mendengar apa tanggapan pemerintah setelah mendengar penolakan 19 asosiasi usaha kecil dan menengah? Tidakkah terlihat jelas, bahwa 15 usaha kreatif, yang didaulat pemerintah sebagai “benteng pertahanan” Indonesia dalam tarung pasar bebas itu, ternyata tidak ada apa-apanya. (Baca kembali seri tulisan penolakan pasar bebas dalam Free Trade Area: Ketika Indonesia Berperang Tanpa Tameng).

Belt Protections versus Side Effect

Padahal, ke 19 asosiasi itu, sesungguhnya tidak sedang berusaha berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Mereka hanya meminta pemerintah menunda panel itu sementara waktu, hingga pemerintah selesai menyiapkan proteksi permanen bagi dunia usaha Indonesia. Bahkan, sampai batas waktu pemberlakuan ACFTA, Juli tahun 2010 ini, pemerintah dan DPR belum terlihat menciptakan “belt protections” terhadap sedemikian banyaknya sulur ancaman yang mengintai dari panel pasar bebas tersebut.

Seperti yang sudah saya gambarkan dalam artikel-artikel sebelumnya, bahwa pasar bebas membawa side effect yang sangat meresahkan. Perdagangan bebas akan mendorong pasar gelap. Pasar gelap akan mendorong perdagangan barang-barang ilegal; perdagangan senjata antar negara; perdagangan obat terlarang trans-nasional; perdagangan perempuan dan anak; perbudakan gaya baru, dan transfer konflik dari sebuah wilayah perang ke wilayah lainnya. Pasar bebas dan segala aturan dalam panelnya adalah rencana besar yang sesungguhnya mengarah pada penguasaan semua sumber daya alam, pangsa pasar, human irritations, dan kebijakan negara-negara yang terlibat.

Pasar bebas akan membubarkan pasar gelap, yang selama ini berjalan bersisian dengan sistem pasar secara umum. Para pelaku pasar di kawasan Asia harus bersiap-siap dengan strategi baru yang akan dilancarkan para pelaku pasar gelap yang bisnisnya terganggu itu. Seruan untuk menghilangkan pasar gelap tidak segampang jika diserukan. Pasar gelap Asia yang telah lama dikuasai sindikat mafia akan bergolak, dan ini dampaknya

akan membahayakan kawasan. Hilangnya mata pencaharian mereka, akan memaksa

mereka mencari lahan operasi baru (perdagangan manusia, obat terlarang, prostitusi, dan terorisme), atau mereka akan mengacaukan pasar dengan tetap mensuplai barang-barang murah—lebih murah, atau semakin murah dari barang yang ada di pasaran resmi—sehingga menambah kerasnya persaingan.

Sebab, dalam pasar bebas, tidak saja lalu lintas perdagangan yang terbuka, namun semua

efek samping dari pola hidup hedonis-materialisme, seperti kehancuran moral, obat

terlarang, gaya hidup bebas, akan ikut terbawa-bawa. Dan, Indonesia sama sekali tidak siap

menerima semua efek samping itu.

Soal bebasnya perdagangan senjata ini, yang akan makin terbuka dengan berlakunya kawasan pasar bebas nanti, apa iya tidak membuat risau Indonesia? Tentu saja merisaukan. Bersama Indonesia, 43 tenaga ahli dari 10 negara di Asia bertemu di Bali, untuk membahas perdagangan gelap senjata. Dengan pembatasan yang ketat selama ini pun, sindikat penjualan senjata antar negara, sukses mendistribusikan senjata ke berbagai area konflik di seluruh dunia, bahkan sampai ke Aceh dan Papua.

United Nations baru saja melansir laporannya berkaitan dengan kepemilikan senjata ini; bahwa ada 1 miliaran penduduk dunia saat ini, memiliki senjata api ringan. Apa lembaga ini berani melansir laporan terkait perihal organisasi mana saja di seluruh dunia yang memiliki persediaan senjata berkaliber besar dan pemusnah massal?

Pemerintah Indonesia sendiri, sebenarnya, sudah masif melakukan pembicaraan soal ACFTA ini sejak tahun 2000. Karena menyadari diri belum siap, maka pemerintah Indonesia baru akan bersedia menandatangani perjanjian yang sifatnya mengikat pada tahun 2004. Nah, perjanjian 2004 itu sesungguhnya sengaja dilakukan untuk memberi ruang gerak yang demikian terbuka bagi pemerintah Indonesia untuk membangun sistem dan semua perangkat pendukung ekonomi dalam negeri, termasuk ekonomi mikro dan makro, sektor riil, perlindungan konsumen, dan lain sebagainya. Jenjang waktu itu diberikan ke Indonesia sampai Juli 2010. Tetapi seperti apa yang kita lihat dan dengar, pemerintah dan DPR bahkan belum menyediakan perlindungan terhadap segenap pelaku ekonominya, semacam menyediakan tameng perlindungan dari gempuran.

Apa ini murni kesalahan pemerintah dan DPR? Menyalahkan ke pemerintah dan parlemen yang ada sekarang ini, untuk semua alat pelindung ekonomi Indonesia itu, pun rasanya kurang pas. Kita harus memaklumi, bahwa untuk menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan ekonomi lokal, bagi pemerintah waktunya sangat sempit. Tetapi, pemerintah dan parlemen juga salah besar, ketika tidak “terburu-buru” menyiapkan kebijakan perlindungan terhadap konsumen tradisional menyangkut harga dan kesempatan masyarakat memperoleh kebutuhan dasar.

Sumatera Utara saja barusan mengimpor 8.700 ton garam dari India. Lihatlah, persoalan kebutuhan garam masyarakat yang selama ini mampu dipasok oleh produsen garam dalam negeri—bahkan diekspor ke beberapa negara tetangga—ternyata tak bisa lagi terpenuhi. Garam India ini akan memenuhi kebutuhan masyarakat Sumatera Utara, perlahan kemudian ke seluruh masyarakat Sumatera, lalu ke seluruh provinsi di Indonesia. Itu baru persoalan garam, komoditas yang rasanya asin dan berbahan dasar air laut itu. Lantas bagaimana dengan persoalan lainnya? Semacam, tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, pun baru saja merilis fakta soal sektor UKM tekstil dan produk tekstil, sebagai sektor yang akan terpukul cukup berat oleh dampak ACFTA. Sektor ini memang kasat mata terlihat tidak mampu membendung lajunya impor tekstil asal China.

Wushhhh...inikan urusan pemerintah. Soal bendung-membendung lajunya produk asing masuk ke Indonesia sesungguhnya adalah domain pemerintah saja. Lantas, kenapa pernyataan Kementerian Koperasi-UKM seperti membangun kesan pemerintah lepas tangan?

Asosiasi penerbangan Indonesia yang tergabung dalam Inaca, juga membangun desakan terhadap pemerintah perihal kerisauan mereka akan derasnya kepemilikan modal asing di maskapai penerbangan nasional. Inaca pantas risau. Derasnya kepemilikan modal asing di maskapai nasional akan membangun ketergantungan tenaga kerja nasional di bidang ini terhadap para pemain asing itu. Tanpa beleid baku yang bertujuan menghambat itu, tidak kunjung ada.

Maskapai nasional akan dikuasai oleh modal asing, dan sebagaimana biasanya pemodal asing akan lepas tanggungjawab jika terjadi hal-hal yang menyangkut konsumen. Sesungguhnya penguasaan modal oleh asing itu mulai tampak ketika sejumlah negara di Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap sejumlah maskapai nasional, dengan alasan bahwa maskapai Indonesia tidak professional dan tidak aman. Lantas, apakah keamanan penerbangan kemudian diukur dengan kepemilikan modal asing Eropa di maskapai nasional yang dilarang tadi? Bukankah ini terlihat hanya akal-akalan semata? Agar modal asing Eropa bisa bebas melakukan penawaran kepemilikan itu, lebih dulu, mereka membangun opini tentang ketidak-amanan penerbangan dengan menggunakan maskapai Indonesia. Agar aman harus dikelola profesional, dan pengelolaan profesional itu hanya bisa dilakukan jika pengusaha asing memiliki modalnya dan ikut mengelola.

Akal-akalan model usahawan asing begini..adalah bentuk penghinaan kepada Indonesia. Sudah sepantasnya jika Indonesia membalas perlakuan itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah menyerukan memboikotan serupa terhadap maskapai asing di wilayah terbang Indonesia. Makanya saya pun setuju-setuju saja dengan desakan Inaca itu, agar pemerintah membentuk aturan baku soal kepemilikan modal asing di maskapai nasional.

Apakah imbauan (eks) Menteri Keuangan Sri Mulyani—sebelum beliau mundur dari posnya—agar jangan terlena dengan masuknya arus modal, tidak memiliki alasan kuat? Tentunya, menteri keuangan yang pandai ini, punya alasan kritis mengapa Indonesia harus mengerem masuknya modal asing. Saya tak akan mengulas soal ini…biar ini urusan para menteri itu saja.

Tetapi, kelihatannya pemerintah bersikap ambigu dalam persoalan ini. Menanggapi penolakan kalangan usahawan, pemerintah justru menolak—untuk sementara—proses negosiasi FTA dengan Australia. Kemudian Menteri Keuangan memperingati kalangan bisnis Indonesia dan pemerintah daerah untuk tidak terlena dengan sejumlah inisiatif masuknya arus modal asing. Bahkan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan segera membatasi tenaga kerja asing di Indonesia. Ini pernyataan beberapa bulan lalu. Tetapi, pada bulan berikutnya, pemerintah sudah kembali berencana membahas FTA ini dengan pemerintah Australia.

Sikap ambigu pemerintah ini seharusnya jangan tampak…mengingat derasnya resistensisme masyarakat ekonomi Indonesia yang kian kritis itu. Kalangan usaha Indonesia yang kian paham bahaya pasar bebas segera menyadari bahwa panel itu sebaiknya tidak diteruskan, jika memang Indonesia belum siap sama sekali.

Sikap macam itu terekam jelas di programa “Flatform Ekonomi” yang ditayangkan di TVOne pada Rabu dini hari, 31 Maret 2010. Pada programa yang bertopik “Ketika Pasar Bebas Mengancam” itu, Menteri Koperasi dan UKM, Syarif Hasan tampil sebagai pembela pasar bebas. Dalam panel itu, kata beliau, Indonesia akan sangat diuntungkan dengan peluang perdagangan yang besar. Dan jika mundur dari panel ini, Indonesia akan dipermalukan di mata internasional karena dianggap tidak bisa tegas dalam perjanjian yang telah disepakati.

Saya kira, pandangan menteri itu, tidak akan datar begitu, dan—seharusnya—memilih kecenderungan melihat gejala yang berlaku kolosal; bahwa peluang perdagangan yang besar masih bisa diperoleh kendati tidak melalui panel pasar bebas. Apakah selama ini peluang perdagangan negara lain terhadap Indonesia—atau sebaliknya—dianggap kecil? Lalu, bapak menteri itu, pun tidak berusaha menjelaskan seperti apa besarnya peluang perdagangan yang dia maksud. Mungkin pak menteri itu lupa, bahwa jika pemerintah tak membangun hambatan khusus dan membuat aturan yang jelas, maka bisa dipastikan sektor UKM dan sejumlah perangkat ekonomi lokal akan mangrak di negeri sendiri, mati karena hempasan investor.

Mengapa pula harus malu? Perjanjian itu kan, kendati sifatnya mengikat pun, tidak akan mengubah pendirian WTO jika suatu saat ada negara yang menarik diri hanya karena terlambat melihat berbagai kelemahan dari panel yang ditawarkan. Bagaimana mungkin Anda menghindari mendapat malu dari organisasi dunia yang kekuatannya tidak solid itu, dan malu dengan negara-negara lain? Sedangkan Anda tak berusaha menghindari malu saat Anda gagal melindungi nasib masyarakat pasar tradisional, nasib industri rumahan yang tak padat modal, nasib industri menengah—yang bahkan kini sedang bertarung dengan sejumlah industri asal Tiongkok yang beroperasi di Jawa Tengah sana—dan khususnya nasib ribuan petani dan pekebun yang akan kesulitan menghindari gempuran komoditas serupa yang mereka hasilkan dengan harga yang lebih murah?

Bahkan isu penting yang dibangun kalangan serikat buruh dalam dialog singkat itu tidak berusaha dijawab tuntas oleh pemerintah dan anggota parlemen yang hadir ketika itu. Wakil serikat buruh itu mempersoalkan pemerintah yang tidak bisa tegas soal energi dan sumbernya. Terlalu banyak sumber daya energi dan mineral Indonesia yang kini dikelola asing atau yang sementara ditawarkan ke pemodal asing.

Pemahaman itu persis sekali dengan kekhawatiran saya mengenai masalah keterbatasan energi yang masih terus membelit Indonesia. Kemudian diperparah dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik industri dan harga beli gas untuk industri. Langkah pemerintah itu sungguh…sungguh membingungkan…

Anggota parlemen yang hadir pada acara itu pun, ternyata pemahamannya soal hambatan pasar bebas, tidak lebih baik dari si menteri. Dia dengan tegas menyatakan bahwa pasar bebas itu hanya bisa ditunda, tapi tidak bisa dibatalkan.

Ini jelas keliru. Pasar bebas itu panel yang dapat diikuti oleh negara mana saja dalam kawasan pasar yang dimaksud, dan keikutsertaannya dapat dianulir. Artinya, Indonesia bisa kapan saja menyuarakan kehendaknya untuk keluar—baik sementara atau permanen—dari panel pasar bebas kawasan. Memangnya ada apa dengan pasar bebas ini? Mengapa pemerintah dan parlemen sebegitu menggebu-gebunya untuk ikut serta tanpa peduli dengan kondisi riil ekonomi di dalam negeri? Apa sebenarnya yang dijanjikan negara deklarator pasar bebas seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, jika Indonesia menyerahkan sepenuhnya sistem pasarnya kepada liberalisasi pasar bebas? Menyerahkan sepenuhnya pasar Indonesia pada kehancuran…

Sebaiknya, siapapun yang sedang berurusan dengan panel ini jangan terburu-buru menanggapi agitasi WTO terhadap perkiraan mereka atas pertumbuhan perdagangan dunia, yang dikatakan organisasi itu akan tumbuh 9,5% pada tahun 2010. Yeah…namanya juga agitasi…tak perlu heran jika lembaga perdagangan dunia itu memiliki maksud dari setiap data yang dilemparkannya ke publik.

Hanya saja cukup mengherankan, jika WTO menyebut perkiraan pertumbuhan perdagangan dunia pada 2010 akan tumbuh sedemikian tinggi seperti itu, sementara beberapa data perdagangan yang berlaku antar negara di beberapa kawasan berbeda justru berlawanan dengan data WTO. Lihat saja, China sudah sukses menggeser Jerman sebagai eksportir terbesar dunia; dengan nilai ekspor barangnya pada 2009 yang mencapai angka fantastis; US$ 1,20 Triliun. Data ini menunjukkan, bahwa China sudah berhasil mengambil posisi pemimpin ekonomi dunia pada kwartal pertama tahun 2010. Sedangkan data WTO menyebut China hanya…”hanya” akan memimpin pertumbuhan ekonomi Asia saja.

Bukankah menteri dan anggota parlemen Indonesia yang berpandapat tadi itu jelas-jelas keliru. Jika China, bahkan India—kemudian data menyebut Indonesia pada urutan ketiga pada papan pertumbuhan ekonomi—mampu bergerak tanpa dukungan pasar bebas, maka apa bedanya jika ekonomi Indonesia tidak diserahkan pada liberalisasi pasar bernama pasar bebas itu? Ekonomi Indonesia akan tetap bisa tumbuh jika pemerintah Indonesia memiliki capacity to building for economic…dan perangkat ekonomi Indonesia memiliki capasity to willingness to economic progressive.

Tak perlu-lah terburu-buru dengan “menyeret-nyeret” langkah kaki sendiri ke pasar bebas itu. Tidak ada faedahnya…

Coba perhatikan paralelitas kenyataan perdagangan Indonesia jika “terburu-buru” dibenturkan dengan kekuatan ekonomi yang jelas-jelas besar itu. Indonesia tidak saja akan “berdansa” di lantai yang licin…tetapi juga akan mendengar musik yang sama sekali asing bagi tarian ekonomi-nya.

Sebab soalnya; bukan berlomba membangun kekuatan ekonomi negara agar terlihat prestisius di mata dunia, tetapi berusaha sekeras mungkin agar tingkat ekonomi dan taraf hidup seluruh masyarakat Indonesia terjamin dan terbangun…bukan begitu?

Maka, sikap saya masih tetap: TOLAK PASAR BEBAS!!! []

Sumber tulisan: http://ilhamqmoehiddin.wordpress.com

Sumber Photo: 4.bp.blogspot.com


Telah Beredar : NOVEL Kidung Cinta Pohon Kurma

TELAH BEREDAR DAN BUKTIKAN KOMENTAR MEREKA.

NOVEL Kidung Cinta Pohon Kurma

PENGARANG
Syaiful Alim

EDITOR
Joko Pinurbo
Sitok Srengenge

PROOF READER
Farah Maulida

TATA LETAK
Cyprianus Jaya Napiun

DESAIN SAMPUL
Iksaka Banu

PENERBIT
KataKita
Pesona Khayangan Estate CM-4, Depok 16431
Telp. 021-77832078, 0815 9610 204

Hak cipta dilindungi undang-undang.

All rights reserved.

ISBN 978-979-3778-64-8

Cetakan Pertama: Agustus 2010

Endorsmen:

“Mengungguli para penulis yang menggarap tema sejenis, Syaiful Alim membuktikan bahwa mendaras masalah agama tak selalu menurunkan mutu karya menjadi dakwah
yang dangkal. Memadukan cinta dan agama, roman dan iman—dua topik klasik yang hingga kini masih menjadi perhatian utama manusia —novel Kidung Cinta Pohon
Kurma ini, berhasil menyentuh kesadaran kita bahwa keragaman adalah keniscayaan. Gaya tutur yang lugas menjadikan novel ini sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mencerdaskan.”
( Sitok Srengenge, Penyair )

“Sebuah novel yang sungguh mencerahkan! Sarat dengan imajinasi religi, namun tetap kritis dan rasional. Keunikan novel ini terletak pada kemampuan penulisnya meramu latar belakang sosio-historis dan kultural ajaran Islam dengan realitas sosiologis umat Islam di berbagai wilayah, khususnya Indonesia dan Timur Tengah, sehingga terangkai sebuah cerita fiksi yang indah dan enak dibaca.” ( Musdah Mulia, dosen pascasarjana UIN Jakarta )

“Sebuah novel yang mengangkat tema serius namun dituturkan dengan cara yang menyenangkan. Membaca novel ini saya merasa pas karena kandungannya sesuai dengan selera dan “keyakinan” saya selama ini. Bagi saya beragama akan terasa nikmat jika dijalani dengan kegembiraan, bukan dengan ketegangan.” ( Acep Zamzam Noor, Penyair )

“Saya mendapat cerita baru dengan sudut pandang yang lain. Dengan bahasa yang lugas dan memikat, novel ini sangat menarik dan penting sekali untuk dibaca.” ( Zaskia Adya Mecca, aktris film )

“Apa yang terjadi jika agama terpenjara dalam kepicikan akal dan kegelapan hati manusia? Apa yang terjadi jika ayat-ayat suci dimanipulasi demi kepentingan politik dan kuasa? Novel yang sangat inspiratif ini mengajak kita untuk mencuci diri, menanggalkan berbagai kesalahkaprahan dan prasangka, demi terciptanya kehidupan yang diliputi cinta.“ ( Joko Pinurbo, Penyair )

“Kata-kata yang terangkai mampu membawa kita ke pengalaman batin tokoh yang terdalam. Gejolak jiwa, keimanan akan kebesaran Sang Khalik, cinta , juga harapan, melebur menjadi satu memberi makna dalam kehidupan ini dan kehidupan kekal nanti.” ( Nurman Hakim, sutradara film Tiga Doa Tiga Cinta )

“Bukan main! Lebih dari bacaan untuk remaja, novel ini merupakan salah satu karya yang tidak sekadar menyoal perkara cinta dalam artian “kata benda” melainkan juga menyentuh aspek KESADARAN MENCINTAI dan TANGGUNG JAWAB MENCINTAI dengan NUANSA RELIGIUS yang INDAH yang melingkupinya. Menginspirasi pembaca yang berakal sehat untuk TIDAK CENGENG, dan terutama untuk TIDAK PICIK SERTA FANATIK dalam menyikapi AGAMA SERTA SESAMA MANUSIA dan dalam menyikapi REALITAS MENCINTAI ATAU DICINTAI. Membaca novel ini bikin kita terlalu sayang untuk meninggalkannya. Walau sebentar. Mengasyikkan, menyentuh dan mencerdaskan.” ( Timur Sinar Suprabana, Penyair )

Miliki segera dengan pesan-beli via inbox saya. Harganya cuma Rp 60.000,- sudah termasuk ongkos kirim.

Atau, tuliskan pesanan Anda pada Dinding di Profil Facebook Syaiful Alim


Sketsa Puasa 2 : Berpuasa Berserial Animasi Malaysia

Oleh Iwan Piliang

Serial Upin Ipin, diputar berulang di TPI. Ceritanya kuat, walaupun secara teknis animasi, visual tokoh utamanya hanyalah dua bocah kembar plontos, minimalis; bersekolah, bermain, berkehidupan di kampung. Literair penggalan pengalaman saya di industri animasi, berupaya lalu patah di tengah jalan mengindustrikan animasi di Indonesia. Padahal kemampuan animator kita, jauh lebih baik dari Malaysia. Sama dengan lebih unggulnya skill anak Indonesia di industri perminyakan. Setidaknya Dt. Noor M. Chalid, kartunis Kampong Boy, pernah ingin mengorder animasi ke saya. Pada 13 Agustus lalu rasa keindonesiaan kita seakan ditampar oleh ditembaknya kapal Patroli Departemen Kelautan RI di wilayah RI, oleh Polisi Perairan Diraja Malaysia. Mereka menangkap tiga petugas kita. Saya menyebut langgam Malaysia ini bagaikan Orang Kaya Baru (OKB) di Indonesia. Kata orang kampung saya, mereka ongeh—setingkat di atas congkak. Tarian Randai Sungai Geringging, tanah kelahiran saya, pernah pula diaku Malaysia sebagai keseniannya. Namun Upin dan Ipin tetaplah menghibur! Mana serial animasi kita?

TIGA anak saya lelaki. Mereka sepuluh, delapan dan tiga tahun. Dua anak tertua kini sudah menjalankan ibadah puasa penuh. Hiburan utama kami di saat makan sahur bersama keluarga di Ramadan kali ini menyimak penggalan serial animasi Upin-Ipin, produksi Malaysia disiarkan oleh TPI.

Di sebuah serialnya, Ipin membayangkan berbuka puasa melahap ayam goreng. Lalu kakaknya, Ros, mengajaknya berbelanja ke pasar. Kak Ros memberikan lembaran ringgit, sedianya dibelikan untuk dua tiga potong ayam sahaja. Namun Upin dan Ipin, justeru merasa dapat angin. Mereka membelanjakan semua ringgit ke aneka ayam; ayam golek, ayam madu, ayam goreng, ayam bakar, ayam pandan.

Di pasar mereka melihat Mail, teman sekelas, menjual ayam goreng kegemaran Ipin.

“Kau belilah ayam aku ni ‘Pin, emak aku buat, enaklah!” Mail berpromosi.

Si kembar itu pun sepakat membeli. Tak tanggung-tanggung, semua ayam goreng dagangan Mail bersisa, mereka borong.

Visual Upin dan Ipin menenteng beragam bungkusan serba ayam dengan riang pulang. Tinggallah Kak Ros manyun terperangah, segenap ringgit telah berganti ayam.

Di meja makan berbuka puasa. Meja penuh dengan hamparan piring berisi aneka penganan serba ayam.

“Kau habiskan itu semua,” ujar Ros ke Upin dan Ipin. Wajah Ros dongkol.

“Tak lah Kak, tak kuat lagi kami makannya.” suara Upin dan Ipin memelas.

Suasana di ruang makan di kampung melayu, Malaysia, itu. Opa—nenek—lalu menasehati Upin dan Ipin dengan suara khas, bijak, bahwa kalau lagi berpuasa, di siang hari, memang serasa semua makanan seakan terlahap, namun nyatanya di saat berbuka, sedikit sahaja dimakan, perut sudah berasa kenyang.

Khas duniak anak-kanak, khas Melayu.

“Betul, betul, betul!” ungkapan khas Ipin.

Ia acap mengulang ucapan lema betul, bentuk persetujuannya akan sesuatu.

Lalu anak Indonesia mengenallah budaya Malaysia melalui animasi. Berlanjut membanjirlah merchandising Upin Ipin, termasuk mewabah mainan tangkai es krim, diantaranya.

Lantas pertanyaannya, mana budaya kita, mana industri animasi Indonesia?

PANTASKAH saya bertanya?

Setelah mencoba berbisnis di jasa iklan sejak berhenti jadi wartawan dari majalah SWA pada 1989, dari 1993 hingga 1995, saya fokus memproduksi serial animasi. Alasan saya ketika itu sederhana saja. Bahwa menjadi pengusaha haruslah punya produk dan atau jasa yang masuk ke pasaran. Itu pengusaha!

Kalimat itu terus saya sosialisasikan di setiap menulis mengupas kewirausahaan hingga kini. Konon, kemajuan Cina dahsyat kini, tiada lain karena kegigihan membanjiri dunia dengan manca-ragam produk.

Nah setelah “capai” di jasa yang saya rasakan lebih banyak tangan “di bawah”, saya memilih industri tak dilirik orang ramai. Yakni serial animasi. Pilihan saya kala itu animasi wayang, dengan membuat karakter anak-anak, ada yang plontos macam Upin Ipin, namun berbaju wayang. Saya memilih judul Burisrawa, berdialek Batak.

Mengapa wayang? Sulit bagi saya kala itu membuat cerita berserial banyak. Cerita Kancil saja, untuk dijadikan enam episode masing-masing 24 menit—untuk siaran setengah jam—sudah seret kisahnya. Saya memilih Wayang Carangan, yang tak akan habis dikembangkan kisahnya hingga beratus serial.

Maka singkat kata, setelah sempat melihat-lihat ke Disney, AS, saya pun mengumpulkan animator 2D terbaik negeri ini, dan membenamkan segenap uang yang dihimpun seperak dua perak dari usaha selama lima tahun, lalu fokus membuat serial animasi.

Sesungguhnya serial animasi itu gampang menghitung bisnisnya. Harga penjualan paling murah serial itu per episode US $ 1.000, lalu jika kita sudah memproduksi 52 episode, untuk setahun, diputar seminggu sekali, maka per paket US $ 52.000. Untuk melego ke-1.000 stasiun teve menayangkan di pasar global sesuatu yang dapat dijangkau.

Maka jika seribu teve manca negara membeli, akan didapat US $ 52 juta, alias Rp 500 miliar lebih, belum termasuk pendapatan penjualan karakter untuk merchandising. Anggaplah pesimis, 10% saja jangkauan penjualan, masih diraih US $ 5,2 juta.

“Untuk meraih seribu televisi, bukan suatu yang sulit, karena di suatu negara televisi lebih dari satu, belum termasuk hak ulang siar,” ujar David C. Fill, Direktur Burbank, Sydney, pernah mengunjungi studio animasi saya awal 1995.

David pula yang melihat potensi Burisrawa dengan perbaikan penambahan dialog. Ia menyanggupi memasarkan ke Eropa, Asia, Timur Tengah. Amerika Serikat tidak bisa tembus, karena karakter yang kami buat terlalu tradisional.

Maka ketika satu episode serial Burisrawa yang kami produksi kelar, saya pun membuat sebuah event di Hotel Le Meredien pada awal 1994, membedah produksi kami. Hadir seratusan pakar, budayawan, kalangan DPR, pemerhati anak. Kritik dan pujian mengalir.

Episode pertama itu pula yang membuat Datok Noor M. Chalid—akrab dengan tokoh kartunnya: Lat—menerima saya di Kuala Lumpur, 11 Februari 1995. Ia menjemput saya ke bandara dengan Pajero, yang ia kemudikan sendiri. Ia mengajak ke sebuah klub eksekutif tak jauh dari Masjid Raya, Kuala Lumpur. Di sana sambil makan siang dengan nasi beralaskan potongan utuh daun pisang, kami saling tertawa, bagaimana serial Kampong Boy, dibuat di Kanada, sebagian proses dikerjakan oleh animator Filipina.

“Batang kelapa berdaun pisang, pisang berdaun kelapa. Pedati jadi macam kereta kuda kerajaan,” ujar “Lat“. Kami lalu terbahak-bahak, menertawakan para desain karakter Kanada tidak pula tahu beda kelapa dan pisang, juga pedati hanya gerobak, kayu segi empat ditarik sapi atau kerbau.

“Segera tahun depan, saya akan berkunjung ke studiomu, kita jajaki kerjasama produksi, karena di Indonesia biaya produksi rendah,” ujarnya.

Rencana Datok “Lat” itu tak pernah kesampaian. Sebab di penghujung 1995, seluruh dana produksi yang saya miliki dengan jumlah serial animasi kelar 6 episode, mencapai hampir Rp 2 miliar terbenam sudah. Pre Letter of Intent dari sebuah televisi lokal yang berkenan membeli dan menayangkan, tak kunjung kontrak. Padahal saya berkenan mereka beli di harga berapa saja. Toh sudah ada komitmen pasar global. Karena tiadanya kontrak, saya kesulitan mencari loan ke perbankan lokal.

Produksi yang rampung enam episode itu mustahil dipasarkan, karena untuk tayang setidaknya perlu 13 episode, dan untuk dijual ke pasar globali dealnya 52 episode satu paket, minimum 26 episode.

Maka khatam sebuah upaya membangun sebuah animasi dalam kerangka industri itu.

Sepuluh tahun silam kepada Agung Sanjaya, animator di Bali, memiliki studio mengerjakan bagian proses animasi untuk banyak produksi serial Jepang, seperti Dora Emon, Candy-Candy, bahkan untuk film animasi layar lebar Jepang, saya sampaikan ide untuk ke depan memproduksi serial Wayan dan Made.

Sebab dari Sanjaya saya mengerti bahwa Jepang tidak bakalan mendukung industri animasi negara lain. Karena itu salah satu credential asset mereka, baik sebagai industri, maupun penetrasi budaya. Di Bali orang kita hanya menjadi tukang yuntuk Jepang, sebatas meraih gaji tak seberapa.

Maka, ide tinggallah ide. Kini Indonesia, heboh Upin Ipin.

Mencari permodalan untuk bisnis kreatif di Indonesia amatlah sulitnya. Apalagi yang namanya venture capital riil yang saya teriakan sejak 25 tahun lalu, untuk dunia industri kreatif Indonesia, hingga kini masih isapan jempol belaka.

DI MEJA saya ketika menuliskan literair ini, menggeletak buku Undang-Undang Nomor 11, 2008, tentang Informasi Transaksi Elektronika (ITE). Di bagian halaman awalnya, ada tanda tangan seorang Dirjen Aplikasi Telematika, Depkominfo. Pada awal ia menjabat sempat saya paparkan potensi Indonesia di konten dan animasi. Karena, Departemen inilah salah satu yang sedianya mampu mengembangkan animasi menuju industri, bekerjasama dengan Departemen Perindustrian dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun belakangan hari, sang Dirjen boro-boro mengembangkan industri animasi untuk konten telematika, malah membuat UU ITE yang mengakibatkan ranah kehidupan seakan gonjang-ganjing, bahkan seorang ibu menyusui macam Prita Mulyasari, harus dibuikan tanpa bisa pamit ke anaknya yang lagi disusui.

Kala itu saya menggugat UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK), seakan seorang diri. Kawan-kawan media kala itu belum ngeh. Sang Dirjen, di persidangan sempat membawa artis Azhari bersaudara, sehingga konten pasal 27 ayat 3 yang saya gugat, soal beratnya hukuman ihwal pencemaran nama baik, seakan beralih ke sisi privat artis yang harus dilindungi. Dan kuat dugaan saya sang artis datang ke MK dibayar dengan uang Departemen, uang rakyat.

Kini mantan Dirjen itu sudah pula menjadi Komisaris sebuah bank BUMN papan atas. Dilihat dari portofolio karirnya, mampu melompat-lompat dalam hitungan pendek; Sebelumnya Kepala PT Pos Sumut, lalu tak sampai setahun jadi salah satu jajaran pimpinan Percetakan Uang Negara RI (Peruri). Maka pahamlah saya, bahwa bicara dengan pejabat negara, menjadi seakan menghadapi tembok.

Di Departemen Perindustrian, saya pernah merintis pengadaan motion capture. Alat untuk meng-capture gerak, sehingga mempercepat proses produksi. Departemen manganggarkan untuk dua tahun uang negara Rp 3,7 miliar sesuai dengan alat asal Inggris yang saya rekomendasikan: 18 kamera infra red, real time.

Ketika turun anggaran tahun pertama Rp 1,7 miliar, eh, kawan di AINAKI (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia), dimana organisasi ini saya salah satu pendiri—bahkan logonya pun goresan tangan saya sendiri—bersama sang Departemen, malah membeli kamera berkualifikasi sangat rendah dengan spesifikasi kualitas VGA, yang tak sampai Rp 200 juta didapat di pasaran. Hal ini harusnya diverifikasi KPK.

Dengan membeli peralatan dari Inggris, padahal tetap ada profit 5%, industri tertolong peralatan terpakai untuk kepentingan industri secara riil.

Dan di tahun berikutnya saya tak tahu lagi. Konon alat yang telah dibeli berkriteria VGA itu menganggur. Padahal setelah motion capture, saya mengharapkan negara mendukung pembelian jaringan komputer untuk merender: Rendering Farm.

Apa dinyana, wong motion capture gagal, apalah pula rendering farm.

Saya kemudian lebih memilih menulis untuk publik. Dari jauh saya amati banyak sekali sosok mengaku begawan di dunia animasi di Indonesia, tetapi belum ada yang mampu menjadi sebuah industri memproduksi 52 episode.

Maka ketika di event Indonesia ICT Award (INAICTA) 2010 ini ada animasi 3D Larjo, masuk sebagai pemenang, Riza Endartama, animator, lalu menjawab ucapan selamat saya di facebook-nya, “Iya kan berkat upaya abang juga dulu.” Ketika masih aktif di AINAKI dulu, kami memang sempat meminta usulan kawan-kawan animator membuat rencana serial. Larjo (singkatan Lalar Ijo) salah satu yang terpilih untuk dicarikan solusi menjadi serial, minimum hingga 26 episode, pada 2004 lalu.

Kini dalam hati terkadang ada rasa berkecil hati; apalah kita dibandingkan Malaysia kini dengan Upin Ipin saja kita telap.

Toh Larjo saja barulah berdurasi 5 menit, tidak pula sampai sepuluh episode.

Saya terkadang senyum dikulum. Menertawakan diri sendiri: tahu jalan menuju roma, apa daya tangan tak sampai. Jadi ingat sosok Jarjit Singh, acap berpantun di serial Upin Ipin, “Satu dua buah manggis, gagal tak usahlah menangis.”

He he he

Begitulah kawan-kawan, sebuah narasi tentang animasi yang tak kunjung menjadi industri di negeri ini. Rindu akan pemimpin negeri ini paham akan potensi dan peluang credential asset anak bangsanya.

Selamat merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan! []

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com


20 Sajak Untuk Fordisastra

Oleh Syaiful Alim

Sajak Kesatu: Buka Kain Tubuhku dengan Cinta

Buka kain tubuhku dengan cinta
jemari bergetar
mawar di luar kamar
cemburu, memburu cahaya.

Kain kian landai
lantai iri, mari ke sini
biar lancar kau gapai
wangi pandan petani.

Lepas
tubuhku selembut kapas
juga sekeras cadas.

Kupaslah, ah kau terpukau
jangan lekas, ah aku pulau
simpan madu kata yang kau rindu.

Awas, pisau mengintai
ia sembunyi di daging sunyi
ia hanya kenal satu nama:
darah kental atau cair serupa air gangga.

Dakilah utuhku, dengan tangga atau tanpa
dagingku kuning mangga
kunyahlah, renyah tak kau duga.
Hisaplah, puasi dahaga
puisiku bening telaga.

Ah, basah.

Hening, kecup keningku
dan aku ucap cinta kau.

[]

Sajak Kedua: Perawan

Aku perawan Kata.
Aku tetap perawan walau seribu Penyair menggilirku
lahir bayi-bayi makna di ranjangmu.

Aku perawan Kata.
Menjebak Penyair dengan lirik mata
dan cantik payudara
kau menebak letak pada retak udara.

Seorang penyair memendam berahi
mendekatiku, bertanya seraya menggenggam jemari:

“Aku boleh menorehkan darah di tubuhmu?”

Boleh, asal asah dulu Pisau itu di resah batu
dan jangan ada sesal jika tak kau temui darah kental
juga kesal pada tubuhku yang tak lagi sintal.

Karena aku tahu, kau pemuja rupa lahir
dari pada batinku yang mencintai lahar getir.

Karena aku tahu, kau pengeja alpa
daripada mensyukuri segala.

Aku perawan Kata.
Kau bisa memasuki melalui pintu dan jendela
tapi aku bukan Pelacur
bisa kau paksa kala sepi menghambur.

Ingat! Aku perawan Kata!
hangat memelukmu
sangat sengat menusukmu.

[]

Sajak Ketiga: Kerinduan Pisau

Kerinduanku padamu
bagai sebilah pisau
yang baru selesai diasah
haus segar darah.

Sudah berapa basah darah
yang melumuri tubuh pisau itu?
Setiap lidahnya menjulur tergiur
darahku mengucur.
Setiap hidungnya mendengus
urat nadiku memutus.

Jangan kau basuh. Aku masih harap ratap aduh.

Darah ngalir-wajahmu hadir.

Diam-diam aku mengagumi bisikan amis pisau itu, sebelum mengiris,
“Manis, jangan menangis, aku bukan iblis”

Diam-diam aku menikmati kejam tajam tikaman pisau itu di daging rinduku,
yang membikinku tak kunjung padam.

Diam-diam aku ketagihan raung eranganku sendiri, di ruang terang atau remang.
Pintaku, lagikan tikamanmu, wahai pisau.

Diam-diam aku menikmati ketidakberdayaanku,
menggelepar-gelepar di kekar rengkuh pisau itu.

Dan diam-diam aku mulai jatuh hati pada kukuh birahi pisau itu.
Terkadang jatuh hati bermula dari benci. Benci yang menanti tuju.

Aku begitu cemburu ketika mata pisau bermain lirik mata
dengan apel merah di sebuah meja makan, meja kita, kangen kata.

Hatiku terik. Kutarik pisau itu. Kucabik-cabikkan di hatiku.
Darah netes. Lapar belum beres. Kugores-gores wajahku.
Wajahku wajahmu sejenak ketemu: lalu pisah di persimpangan waktu.

Lupakanku, kulupakanmu, bujukmu.

Kelak, jika berjumpa lagi di gubuk sajak, akan kutujahkan pisau ini di detak jantungmu.

[]

Sajak Keempat: Seorang Anak Mencuri Ibunya : Mitologi Sangkuriang dan Dayang Sumbi

Dosa terlalu indah untuk tidak dijamah.
Cinta begitu gula untuk tidak digila.

: Aku pecinta buta!

Hatiku bagai daun rapuh
luruh diteluh angin teduh.

Cintaku mendarah, ditujah lidah kekasih, “kau putraku!”
Rinduku mengapi, dikelabui sepi birahi, “aku ibumu!”

Langit terasa sempit.
bumi bergerak, menghimpit.
Seregu burung pipit bercericit,
tapi hatiku murung, dibelit dendam menjangkit.

: Aku mencurimu, ibu.

Gua yang hampa, bercahaya mata sangkuriang; terang yang pedang.
Dayang sumbi yang kilau bagai bintang, meradang.

“Kenapa kau mencuriku, wahai sangkuriang?”

Pertama: kau perempuan pemalas. Kau tak mau mengambil gulungan benang jatuh
dekat kakimu yang utuh.

Kedua: kau perempuan jahat. Kau tersenyum manis melihat para raja bergulat dan bergelut memperebutkanmu dengan tetesan tangis dan senjata bengis.

Ketiga: kau perempuan tamak. Kau bertapa dan minum obat awet molek.
Apakah kecantikanmu belum cukup membuat lelaki merengek?

Keempat: kau perempuan licik. Kenapa kau tidak bilang bahwa si tumang suamimu, bapakku?

Kelima: kau perempuan jahat. Kau menetak kepalaku hingga retak.

Keenam: kau perempuan tanpa hati. Telah kupahat kayu jadi perahu
dan telah kubendung sungai jadi telaga, namun kau menganggapnya tiada.

“Ah, apa peduliku dengan sebab lembab itu: aku tetap mencintaimu!”

“Cinta kita terlarang, sayang!”

Akan kugapai kau sampai dewa pun tumbang!

[]

Sajak Kelima: Malam Pertama

“Eva, surga apa yang harus kutuang di liang telanjangmu
supaya ikan-ikan di sungai berahiku berenang, senang melumat lumut di mulutmu?”

“Adam, aku juga tak tahu apa yang harus kuperbuat
tuhan dan malaikat juga tak menurunkan maklumat”

“Ha ha kenapa kita jadi lucu
sedangkan ular sanca di pohon khuldi itu begitu cemburu”

“Sudahlah, sayang, memulai sesuatu memang sulit
lihatlah, dingin menggigit tulang, di angin itu bukit terbelit”

Lalu luka
lalu suka
tak sempat diberi nama
entah sempit ruang jerit itu atau raung jerat dari mana
semua semu berlalu begitu saja
begitu saja!

“Eva, kenapa kata-kata yang kusimpan di bibir bubar ketika akan kuucap cinta?”

“Adam, mungkin tak semua butuh kata, cukup kecup di kuncup mata”

“Ah, alangkah hidup, alangkah sirup, alangkah sayap purnama”

[]

Sajak Keenam: Bulan Madu di Madu Bulan

“Eva, surga sudah tak layak lagi jadi ranjang malam-malam pengantin.
cinta ini makin membesar, membentuk balon raksasa.”

“Adam, lalu ke mana dan di mana kita menghabiskan manis bulan madu
mungkin ada surga lain yang lebih licin dan lilin?”

“Bagaimana jika kita menuju madu bulan
muda ruang, riang raung, gaung lebah agung?”

“Sayang, lalu bagaimana dengan surga, pohon khuldi, ular, iblis,
malaikat, dan tuhan? apakah kita biarkan mereka menangis?”

“Sayang, mari kita terbang dari sini,
kita sebentar lagi juga dibuang ke bumi”

[]

Sajak Ketujuh: Rindu dan Kulkas

Rindu ini, cintaku, kusimpan dalam kulkas
supaya tetap awet dan bernafas.

Sehabis mengiris alis manismu
aku didera derita insomnia
dililit derit jerit memanggil-manggil namamu
dalam gigil yang menggila.

Rindu ini, cintaku, kusimpan dalam kulkas
agar tetap segar dan membekas.

Selepas mengupas kulit hijaumu
aku dihempas ampas-ampas senyummu
yang menancap di pipi dan tubuhku
dan kini tumbuh luka baru yang biru.

Rindu ini, cintaku, kusimpan dalam kulkas
supaya kau tak lepas dari diriku yang ganas.

Seusai meneguk danau mungil di liang telanjangmu
aku dicumbu kerikil-kerikil perjalanan menuju rumahmu.
Jejakmu tak terlacak, bercak darahmu membeku
aku retak ditetak sajak-sajak baku.

Cintaku, kulkas itu tak kuat menampung gelombang rinduku.
Entah bagaimana caranya aku bisa menumbangkanmu
supaya darahmu menggenang di jantungku.

[]

Sajak Kedelapan: Perempuan Bermata Puisi

: Fidyatul Mila Siregar

Terang rembulan dan matahari bersarang di matamu
satu tatap meratap seribu pengap
seribu ratap merangkap sejuta harap
sejuta harap menangkap ngilu derap.

Mungkinkah matamu dicipta jemari pujangga
ketika cahaya melayari tirai jendela.

Di matamu tali temali kata merupa jaring laba-laba
menjerat siapa yang memuja.

“Aku mau meminjam matamu” pintaku

Kau diam, kau batu.

“Supaya aku mampu mengurai misterimu
puisi-puisi berloncatan bagai ikan dari bola matamu”

Kau menunduk, aku takluk.

“Agar sinar kata-kataku tetap binar
meski jemariku kelak pendar”

Kau mengerling, hatiku terguling.

“Hidup itu cuma sehirup sirup
puisi mengisi ruang redup”

Aduhai kau mengucap, suaramu desau angin
yang mengabarkan hujan.

Akulah kemarau, merindu hujanmu
berwindu-windu kucari setetes basah
sampai menetas darah, menggetas pasrah.

Perempuan bermata puisi
mari kugamit tanganmu
berjalan-jalan di pinggir pantai
panti asuhan ikan-ikan berenang
mengukir namamu di karang.

Perkenankan aku mengalirkan butir rindu di matamu.

[]

Sajak Kesembilan: Cinta Bercabang

Kau datang membawa sampan
lalu kita mengarungi lautan
dengan tangan sebagai dayung.
Kau kenalkan aku pada ikan duyung
juga kerang mengerang
oleh gores bebatu karang.
Kita berpeluk ketika ombak mengamuk
“Cinta tak kan remuk walau sampan lapuk.
Cinta tak kan rebah meski badai menjarah.”
Kau berkata seraya menatap mataku
dan aku makin lahap mendekapmu.

“Simpanlah sampanku di hatimu”

Kau datang menawari hujan
ketika sawah ladangku diterjang desah gersang
tanah hatiku retak oleh koyak kuku matahari jalang.
Hujanmulah yang membasahi tanah, tumbuhkan kembang
sehingga aku kuasa kembali melihat kembang dirayu kumbang.
“Cinta itu menghidupkan” kau berkata sambil merangkul leherku
dan aku mengambil senyum mungil dari pipimu.

“Hujanku selalu ada di dekatmu, kemarau tak mampu menjeratmu”

Kau datang menghidangkan terang rembulan
ketika mataku dihadang gelap gulita.
Rembulanmulah yang menemaniku menata kata jadi puisi dan cerita
“Cinta itu cahaya” kau berkata seraya membelai rambutku dengan lembut
dan aku membalut tubuhmu dengan hangat yang tersulut.

“Percayalah, rembulanku selalu menggantung di malammu”

Kalian hadir membawa butir-butir waktu
bagi hidupku yang sering tergelincir licin lereng tebing kehidupan.
Aku katakan sekali lagi, bahwa aku cuma debu
yang terombang-ombing angin.

Mauku pada satu
muara jiwaku cuma bisa menerima satu resah
datang dan singgahlah di gubuk sajakku
lalu beranjak meninggalkan seribu tujah.

Maafkanlah aku,
biarkan aku terkapar ditampar ragu.
Aku tak tahu kepada siapa menuju
pintu rumahku telah kuborgol
dan kuberlari gapai sebotol sepi
di puncak rindu yang api.

[]

Sajak Kesepuluh: Sajak – Sajak Kecil

1

Selingkuh

Bulan mencumbu batu

2

Tahun Baru

Tuhan mati
di tepi waktu

3

Perjalanan

Langkah seribu menuju dermaga
resah ibu merekah abu jelaga

4

Rindu

Mencari bayangmu di terang cermin
aku remang dicuri cahaya lilin

5

Ibu

Iba tiba
dibasuh air susu

6

Nasehat Ayah Kepada Anak Lelakinya

Jadilah ibu di kemarau danau
jadilah ayah di hijau sawah

7

Kenangan

Seonggok jejak di pojok kamar
tengok sajak di pokok mawar

8

Kepada Matamu

Pinjamkan aku kacamatamu
supaya aku tak berkaca-kaca bertemu mata kacamu.

9

Sajak Patah Hati

Akan aku rekatkan dengan pekat sunyi
lalu kupanggil burung-burung kecil terbang bersama
seusai kembali aku telah bersayap dua.

10

Ketika Kita, Ketika Kata

Ketika kita jatuh cinta
kata tiba menawari mawar
duri sembunyi mengintai jemari.

Ketika kata jatuh cinta
kita tiba mengakar lapar
diri memaki puisi tak kunjung jerami.

11

Kerudung Seksi

“Kerudungmu tampak seksi. Coba aku lihat lagi” kataku.
“Hai laki-laki, jangan macam-macam!” bentak perempuan berkurudung itu.
“Aku Cuma minta satu macam. Memandang kerudungmu sekali lagi” godaku.
Wajahnya tiba-tiba mendung. Kerudungnya mengepakkan sayap.
Mengajakku bermain kejar-kejaran di atas awan. Lenyap.

12

Elegi Natal

Bom itu meledak di gerejamu
aku punguti puing-puing air mata dari kering matamu.

Kelak, kutegakkan gereja di masjid sajakku.

[]

Sajak Kesebelas: Zaitun

: Palestina

Ketika kuncup-kuncup embun belum memekar
penduduk Zaitun itu tertunduk gegar.
Sisa-sisa kantuk tertumbuk pucuk-pucuk peluru.
Subuh lapuk, sembahyang berpeluk mesiu.

Embun pun pecah
ranting-ranting zaitun patah
Baitul Maqdis menangis
kering sudah senyum manggis bocah-bocah manis.

Di mana lagi tadarus dedaun
“Demi buah Tin, demi buah Zaitun
demi gunung Sinai
demi negeri damai ini”

Siapakah yang menyuruh butir-butir peluru itu
membunuh kuncup-kuncup zaitunku
siapakah yang mengayuh kupu-kupu bersayap besi itu
luruhkan darah dan meleleh nanah di dadaku.

Di mana kujumpa lagi negeri Zaitun berbuah embun
beningnya mengheningkan doa.
Di mana kujumpa lagi negeri Zaitun berkerudung bulan
terangnya mengeringkan duka.

Aku di sini memunguti jerit kata-kata
merakitnya jadi puisi
seraya sakit melantunkan doa-doa
jauh dari mati.

[]

Sajak Keduabelas: Perempuan Perdamaian

Jilbab hitam membalut rambut
serta dada gadis palestin itu begitu berlumut
lembab oleh darah dan dendam tersulut
namun keelokan wajahnya tak nampak surut.

Ia mencungkili kerikil di sisa rumah runtuh
untuk mencicil membangun gubuk kedamaian penuh
di kecamuk perang, perang yang selalu tumbuh.

Ia mendengar gemuruh pilu
jilbab disingsingkan, berlari menuju bising peluru
menemui anak-anak di kemah-kemah pengungsi
mengajak mereka membaca sajak dan bernyanyi.

Larik-larik sajak yang tergeletak di pecahan peluru.
Lirik-lirik lagu yang dicetak dari derap sepatu serdadu.

Dalam hujaman tembak mereka bersajak.
Dalam kejam amunisi mereka bernyanyi.

Aduhai, siapalah yang terkoyak dengan lembut sajak.
Aduhai, siapalah yang terkulai dengan merdu lagu.

Dengarlah. Dengarlah. Sajak itu makin mengombak.
Dengarlah. Dengarlah. Nyanyi itu makin nyeri.

“Kami sabar menanti kuncup perdamaian mekar
Seperti kami sabar menggauli lapar.”

“Kami kumpulkan kuntum-kuntum zaitun selagi bisa
Kami pikul harum harapan yang masih sisa.”

“Kami menangis tanpa air mata
Kami mengemis mata air di langit tak bernama.”

“Kami merdeka dari segala penjajah
Kami hidup dan mati di bumi sejarah.”

“Kembalikan Ayah-Ibu kami
Kembalikan darah-rindu kami”

Lihat. Lihatlah. Langit koyak oleh nyaring nyayi itu.
Lihat. Lihatlah. Bumi retak oleh runcing sajak itu.

Tapi tetap saja pedang berdenting
perang berdesing
beribu kuncup zaitun jatuh pecah berkeping
berjuta tubuh terbaring kering.

Beri kami roti gandum
sudah lama kami mati oleh leleh dentum.
Beri kami zaitun sekuntum
sudah lama kami tak mencium harum.

Tapi siapa yang memberi, jika tangan-tangan putus berserakan di lantai rumah ibadah
jika kapal-kapal sembako terjungkal di lautan darah
jika toko-toko hancur roboh berterbangan tak tentu arah.

Siapa? Siapa? Siapa?

Jawab! Jawab! Jawab!

Sesungguhnya apa yang kita ributkan?
Apa yang kita perebutkan?

Apa? Apa? Apa?

Jawab! Jawab! Jawab!

Perempuan perdamaian terus bersajak dan bernyanyi
sepi makin rinai
api amunisi makin ramai.

[]

Sajak Ketigabelas: Burung

Aku burung
murung terkurung sangkarmu
kicauku kau anggap pengacau tidurmu.

Sangkarmu gelap pengap
cahayaku kau bekap kain lap
tak ada dedahan atau reranting untuk hinggap.

Aku burung
namun kau duga aku barang yang membuat berang
ada embun di terang pagiku, jauhkan pedang dan kata perang.

Aku mau membawamu terbang ke langit biru
namun kau patahkan sayapku
ketika hidupmu senyap, kau labuhkan pisau di tubuhku.

Aku mati
lalu kau mencariku di celana dalammu.

[]

Sajak Keempatbelas: Imigrasi Ikan-Ikan

Sungai tinggal gumpal-gumpal lumpur
denyut laut tanggal oleh gempal dada kemarau yang lacur
tiang-tiang kapal bau basin
air hilang asin.

Entah siapa mengirim kain kafan
mungkin angin taufan
batu nisan dikulum bagai es krim di jembatan
mungkin tangisan mengharu manisan.

“Dulu aku sering mendengar bangkai radio dan televisi
menyiarkan kecipak ikan-ikan yang menggetarkan seisi
bumi, tapi kini, ah tak terdengar kecipak ikan lagi, cuma kepak elang basi”

“Aku tahu, sudah lama ikan-ikan jadi imigran
migrain imigrasi ke kolam-kolam orang kota,
akuarium, botol-botol minuman,
juga kalam-kalam penyair penyulam kata.”

“Sungguh?”

“Aduh!”

[]

Sajak Kelimabelas: Sajak Nasib Babu

Babu itu membolak-balik tubuhnya
di dipan tanpa kasur.
Ia tak kuasa tidur
padahal seharian dihajar kerjaan dapur.

Tuannya masuk tanpa ketuk
sempoyongan mabuk alkohol dan berahi.
Menyingkap selimut pembalut tubuh berisi
memeluk dan mematuki tengkuk.

Sekujur tubuh babu gemetar. Juga gentar.
Seperti ada ular menjalari darahnya.
Mungkin kekuatan ghaib merasuk di kedua tangannya.
Ia menolak tubuh tuannya yang kekar.

“Salah kamar, tuan!”

Tak usah banyak petunjuk
ayo letakkan bra.

“Tuan Tuhan, bukan?”

Tak usah banyak pertanyaan
ayo buka celana.

“Tuan, saya datang bulan!”

Tak usah banyak alasan
ayo lebarkan paha.

Tubuh babu masuk di perut tuannya.
Sang babu menjerit takut
tapi tak ada yang menyahut.
Malaikat langit sibuk bergelut
dengan pulpen dan raport baik buruk
mencatat siapa detik ini yang sujud yang rukuk.

Bagai nabi Yunus yang ditelan ikan paus
babu itu lalu didamparkan di pinggir laut
dengan kerongkongan haus
ia mengadu kepada pemilik denyut.

“Tuhan, saya diperkosa!”

Jangan mengadu
itu sudah nasibmu.

Seperti tertindih
ia melangkah letih
darah di selangkangan
meleleh jadi genangan.

“Tuan dan Tuhan sama saja, ternyata

Pemerkosa!”

[]

Sajak Keenambelas: Pelacur Kitab Suci

Tiada pelacur paling neraka kecuali pelacur kitab suci!

Daging-daging Tuhan dikurung dalam karung
dierami dalam sarung
ditawarkan ke warung-warung.

Kau pelacur kitab suci
aku pelacur puisi.

Kau giling daging-daging Tuhan
jadi berkeping-keping Surga
lalu kau tukarkan dengan dinar, dolar, dan sepiring kuasa.

Aku suling air mata
jadi sebening mata
lalu kuberikan kepada jiwa buta.

Kau kutuk pelacur-pelacur busuk di gubuk-gubuk lapuk
kau tusuk para pendosa dengan ayat-ayat neraka
kau tumpuk mayat-mayat atas nama malaikat.

: Kau juga mabuk peluk bidadari
yang kau rindu dalam khusuk rukuk.

Tiada pelacur paling keji kecuali pelacur kitab suci!

[]

Sajak Ketujuhbelas: Perahu Berlayar, Rindu Tak Kunjung Buyar

Aku akan menujumu
dengan perahu.
Angan lalu, ingin lalui
badai landai melanda dada ini.

Tengah malam, lengah mata memejam
aku berlayar, memutar detak geram jam.
Enyah segala goyah, menakar diam
menukar setikar gentar dengan getar asin garam.

Wahai angin dari segala penjuru
jadilah juru gerakku.
Wahai bintang-bintang bernyala biru
jadilah guru sajak bagi hari haru dan huru hara jejakku.

Kutantang kau, Ombak
telah kusiapkan tombak.
Lelah hidup punya wangi semerbak
kalah dan menang adalah takdir yang susah ditebak.

Gelombang O gelombang
ajariku membaca lambang
maut yang berpaut di ambang bimbang
denyut dan kalut dimuat tembang.

Perahu berlayar mengejar pijar
diburu cemburu, dirundung mendung menjalar.
Aku melagu lapar, berabad terdampar
di buih-buih berbuah perih, menggelepar.

Tangan badai melambai-lambai
ingin membelai pantai.
Hai badai, bela aku kalau lalai
tak lihai-lihai membingkai lunglai.

Biar! Biar kubelajar sabar merawat luka sungai
atau aku karam di laut paling dalam paling dasar.
Biar! Biar kusabar belajar mengurai derai dera derita musim masai
atau aku disambar nasar, membayar rindu tak kunjung buyar.

Rinduku adalah rengekan anak-anak sungai
ingin menyusu di dada laut.
Kau adalah dendam dan damai
yang saling bertaut.

Wahai, Laut
Datangkan riak ombak gelombang badai
di sekujur tubuh perahu
akan kuukur risau dengan tabuhan kasidah dedahan bakau
yang meragu jatuh dan tumbuh di utuh kambuh luka-luka kemarau
tersadai andai hujan mengguyur bumi
tumbuhkan butir-butir zikir rumi.

Wahai!
Adakah pelayaran yang tak sampai cium muara dan dermaga
jika lapar dan dahaga jadi niaga
juga tidur dan jaga terbentur langit berjelaga?

Wahai!
Mari berlaga seolah bermain catur sambil minum anggur
di musim gugur.

Wahai!
Masam masa silam, padam asa salam
terpendam dalam kubur umur, makam sembunyi di sunyi sekam.

Telah kusiapkan ranjang
dari kulit kerang dan batu karang
mengeranglah
aku tak kan kalah.

Perahu berlayar
rindu tak kunjung buyar
sebelum cium dan kulum
beranjak terinjak khianat kalam.

Wahai! Kau kekasih!

[]

Sajak Kedelapanbelas: Tahajud Mawar

Tubuhku wangi, tabah hati didesah duri
ini malam meredam dendam, menabuh peluh berdentam
bulan memancar, tenggelam di kolam kalam, lampu rindu bergetar
mengais tangis, menepis tipis pada kelam, melukis gerimis gumam.

O, malam-malam geram terlantar
ke mana kau mengumbar rerumput liar.
O, sekam-sekam makam terhampar
di mana kau simpan sampan menjemput debar.

Akulah mawar, bunga penawar ngaga luka
sujud di mekarmu, tahajud, membalut duka.

Akulah mawar, kembang pengusir bimbang
sembahyang, menembang zikir, menimbang fakir.

Bagaimana lebur dalam ranum wujudmu
jika kikir hilir mudik di kuntum-kuntum harumku
dada cabik, ada rindu tertampik, tak kuasa melirik sajak selarik.

O, gembur tanah, guyur debur tak sudah
adakah silsilah silat lidah yang tak mengucur nanah.
O, lumpur resah, menyembur di sembarang arah
aku pelacur, menukar setakar ayat dengan sebentang sajadah.

Runduk hamba, menimba rukuk dalam tindak tunduk
biarlah kubujuk bidak-bidak busuk sejarah
agar jadi budakmu, teriakkan retak-retak istirah.

Ah, berapa depa lagi jarak kulangkah
hingga kuncup bibirmu kukecup darah.
Ah, berapa waktu lagi kujejak
sampai semampai tubuhmu jadi utuh sajak.

Alangkah hidup mengemas cemas
Alangkah kuyup mengucap gemas.

Marilah bergegas menjemput tunas
sebelum segala meranggas.
Marilah lekas menjumput deras seutas
sebelum segara segera bekas.

O, Inilah simpuh paling rapuh
hendak berlayar, mengail secuil sinar
O, lumpuh aku dalam gigil peluh
kelak mengakar, mencungkil ingkar.

Tahajud mawar
tersungkur memar.

Tahajud mawar
menari kepak sayap burung-burung attar.

[]

Sajak Kesembilanbelas: Sujud Laut

Aku sadar cuaca suka bercadar
hingga tak kuasa aku bedakan
sinar yang jadi radar
dan jelaga penghalang jalan.

Sudah ribuan nelayan kugulung dengan ombak
anak istri mereka teriak karena tungku dapur retak
dari riak-riak air mata tegakkan tambak
menabur kecipak-kecipak ikan dengan mata kampak.

: mereka takut melaut, Tuan

Tapi kubiarkan kapal-kapal dagang berlayar
sesak barang selundupan dan orang-orang yang diperdagangkan
dijual di negeri-negeri minyak, dolar, dan dinar.

O gelombang yang berderap tegap
apakah kau telah kalah oleh suap
tuan-tuan berperut hiu
bermulut mesiu?

O gelombang
kenapa kau karamkan perahu-perahu nelayan
yang berangkat sejak petang
mengikat nasib di sela-sela jala kehidupan?

O aku alpa dan lupa mengejar cahaya terang
yang berpijar memayungi langit para petualang
getar-getar rindu mulai lunglai gersang
lalai melumat lelumut di sekujur karang.

O hidup tergadai badai
santai mengintai pantai
redup dirantai risau
merantau di degup bakau.

Sebelum kau jemput jumput alum waktuku
perkenankan kubersujud di wujud denyutmu
melabuhkan cium peluk
dalam aum amuk rukuk bikin tubuh dingin remuk.

Sujud adalah menggoyang perahu, berlayar raih rindu putih
sujud adalah memberi ikan para nelayan
sujud adalah menyiapkan asin garam pada santap malam
sujud adalah melenyapkan bajak laut dengan ombak yang sulut.

Maafkan, sujudku pasang surut.

[]

Sajak Keduapuluh: Menyambut Laut, Menyumbat Maut

Aku yakin padamu
sejak kau sajakkan kepak sayap burung dan kelopak kembang
di dadaku. Aku selalu mencintaimu
walau kapak nasib menyalibku tanpa upacara dan tembang.

Laut. laut yang kau sebut di denyut jantungku
berdetak ombak, mengoyak pundakku, surut terkatung-katung
menggapai gunung, murung terjebak gelombang pasang sampai ujung.

Nuh, datanglah, aku anakmu.

Menyambut laut, menyumbat maut.

Akulah perahu tak kunjung mencium bibir dermaga
bergoyang aku, tersandung gelembung-gelembung getir takdir.
Akulah pasir berdesir merampungkan bebutir zikir mega
berguncang aku, tersanjung kidung getar takbir.

Aku menyambutmu, laut, menyumbat maut
dengan mukim musim berkabut, angin yang tak hendak berpaut di latar layar
siapa menyulut api dan terbakar. Bolehkah aku menawar sejumput kalut
dan menakar debar.

Wahai nyiur yang melambai pantai petang
kabarkan elang yang tergiur ikan-ikan
burung-burung kenyang pulang ke sarang.
Dermaga. Dermaga tempatku menambatkan penat berlipat
tali-tali kapal merangkul tiang, jemari-jemari mengepal menunjuk gumpal awan
aku sudah pulang, sayang, lihat dadaku penuh sayat
muak amuk kerinduan, kecamuk peluk tak tertawan.

Dermaga. Dermaga pertemuan dan perpisahan bersahutan
ada air mata menetes, ada mata air merembes
dinding-dinding hening tergores, kepadamu denting darah kularutkan.

Aduhai bakau yang memangku segala baka kacau risau
kau atau aku yang mencabut pisau
berebut menikam kelam, pukauku dalam genggam
menari, menanti seraut wajah pada langgam.

Laut, laut, laut,
laut, laut,
laut!
l
a
u
t
Hanyut aku menyebut
menjemput denyut
menyumbat maut.

[] Khartoum, Sudan, 2010
—————————–

Novel Kidung Cinta Pohon Kurma adalah buku pertamanya. Akan segera disusul dengan novel kedua Bidadari Pencari Matahari dan kumpulan sajak Bulan Madu di Madu Bulan serta buku kumpulan cerita pendek Perempuan Pengunyah Rembulan.



Sajak – Sajak Kecil

Oleh Syaiful Alim

1

Selingkuh

Bulan mencumbu batu

2

Tahun Baru

Tuhan mati
di tepi waktu

3

Perjalanan

Langkah seribu menuju dermaga
resah ibu merekah abu jelaga

4

Rindu

Mencari bayangmu di terang cermin
aku remang dicuri cahaya lilin

5

Ibu

Iba tiba
dibasuh air susu

6

Nasehat Ayah Kepada Anak Lelakinya

Jadilah ibu di kemarau danau
jadilah ayah di hijau sawah

7

Kenangan

Seonggok jejak di pojok kamar
tengok sajak di pokok mawar

8

Kepada Matamu

Pinjamkan aku kacamatamu
supaya aku tak berkaca-kaca bertemu mata kacamu

9

Sajak Patah Hati

Akan aku rekatkan dengan pekat sunyi
lalu kupanggil burung-burung kecil terbang bersama
seusai kembali aku telah bersayap dua

10

Ketika Kita, Ketika Kata

Ketika kita jatuh cinta
kata tiba menawari mawar
duri sembunyi mengintai jemari

Ketika kata jatuh cinta
kita tiba mengakar lapar
diri memaki puisi tak kunjung jerami

11

Kerudung Seksi

“Kerudungmu tampak seksi. Coba aku lihat lagi” kataku.
“Hai laki-laki, jangan macam-macam!” bentak perempuan berkurudung itu.
“Aku cuma minta satu macam. Memandang kerudungmu sekali lagi” godaku.
Wajahnya tiba-tiba mendung. Kerudungnya mengepakkan sayap.
Mengajakku bermain kejar-kejaran di atas awan. Lenyap.

12

Elegi Natal

Bom itu meledak di gerejamu
aku punguti puing-puing air mata dari kering matamu

Kelak, kutegakkan gereja di masjid sajakku

[]

Khartoum, Sudan, 2010.

Ibu Menyapih


Biro Harga : Pengendalian Harga Pasar Ala China

Seri Tolak ACFTA (III)

(Boks I pada tulisan Free Trade Area : Ketika Indonesia Berperang Tanpa Tameng)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Pemerintah harus mengendalikan harga pasar. Maksud saya, “benar-benar mengendalikan harga”. Bukan model operasi pasar yang kerap dilakukan pemerintah saat ini. Model kerja pemerintah seperti itu, tidak menjamin kepentingan masyarakat terhadap harga. Malah terlihat jelas, bahwa operasi pasar pemerintah hanya sekadar hendak memastikan kondisi aman saat ada manuver pedagang menaikkan harga; agar tidak kacau, tidak grasa-grusu.

***

OPERASI Pasar. Dua kata itu benar-benar mengelitik. Apa maksud pemerintah dengan dua kata itu? Sebab mendengar penjelasan soal dua kata ini, dan dengan melihat aplikasinya sangat jauh berbeda. Bahkan tidak nyambung sama sekali.

Menurut terminologi pemerintah (dalam hal ini; Badan Urusan Logistik dan Departemen Perdagangan RI), operasi pasar, adalah operasi yang dilakukan pemerintah untuk melihat kondisi harga kebutuhan pokok di pasar-pasar, baik pasar tradisional dan pasar modern, untuk mengantisipasi gejolak akibat kenaikan tersebut sehubungan daya beli masyarakat. Dan, dilakukan secara dadakan.

Padahal, dahulu, ketika pertama kali mendengar dua kata itu, saya menduga pemerintah akan ke pasar-pasar, meneliti harga-harga. Jika mereka menemukan harga yang naik secara tidak normal, mereka akan menindak pedagang yang bersangkutan, lalu kembali menormalkan harga yang terlanjur naik tadi. Saya selalu senang, jika dahulu saya diminta redaktur meliput soal ini. Tetapi, lalu gairah saya menurun ketika menemukan kondisi yang sebenanrnya, diluar perkiraan saya itu.

Memang, pada implementasinya, toh harga di pasar-pasar tetap naik juga. Toh masyarakat tetap kesulitan ketika pedagang menaikkan harga kebutuhan pokok. Ketika pemerintah melakukan operasi pasar, mereka mendapati harga-harga kebutuhan pokok tetap stabil, tetapi begitu mereka meninggalkan pasar, harga-harga kembali tinggi. Ini tentu sangat meresahkan.

Saya tentu, tetap akan mengaitkan ini dengan kondisi masyarakat Indonesia di level bawah, dan mencoba mencari pembenaran atas dugaan saya; jika ini tidak diantisipasi dari awal, di tengah rencana pemerintah maju ke panel pasar bebas, tentu akibatnya bisa diluar dugaan. Masyarakat bisa-bisa tambah melarat alias miskin alias terjepit. Nah, kacau kan jadinya…

PNS Naik Gaji, Harga Sembako Meroket

Kenyataan ini bahkan sudah menjadi lazim, jika ada isu pemerintah akan menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS), sepekan sebelum isu itu pungkas, harga-harga sembako di pasar-pasar langsung meroket, tak terkendali.

Biasanya, ibu saya, yang guru PNS di sebuah sekolah dasar di Kendari itu, langsung mengomel panjang lebar. Komentarnya pedas soal ini. Tentunya tidak sambil memaki. Ibu saya tidak pernah berkata kasar. Makanya, jika pulang dari pasar, tidak cuma pedagang, kebijakan pemerintah yang tidak tegas pun ikut dia komentari. Kakak perempuan saya, yang PNS juga, ikut nimbrung. Akhirnya, ramai mereka sahut menyahut.

Nah, di rumah kami saja seperti itu, bagaimana di rumah-rumah lainnya, yang pemiliknya senasib dengan ibu saya? Ini kenyataan yang sulit disembunyikan. Bahwa pemerintah kesulitan mengendalikan harga pasar, memang demikian adanya. Untuk soal ini, sepertinya, pemerintah harus melakukan manuver ekstrem, bertindak keras.

Saya teringat pada China. Negeri Tirai Bambu itu, patut dicontoh dalam mengendalikan harga-harga di pasar-pasar negara mereka. Berbeda dengan praktek ekonomi di negara-negara Barat, terlebih di Indonesia, otoritas perdagangan pemerintahan China punya kantor khusus yang disebut Biro Harga.

Biro itu bertanggung jawab menetapkan kebijakan harga pasar dan memantau pelaksanaannya. Meskipun harga produk atau jasa dapat ditentukan oleh perusahaan, masing-masing perusahaan atau usaha patungan China harus melaporkan rencana harga yang akan diberlakukan kepada Biro Harga untuk dipertimbangkan.

Pemerintah pusat China berpendapat, harga barang dan jasa harus diukur dan dikendalikan agar ketidakpuasan politis terhadap reformasi ekonomi dapat diketahui dan dihindari. Menurut pemerintah China,  “kepanikan masyarakat” terhadap harga tidak boleh tidak, harus dihindari. “Kepanikan”, kata mereka, dapat mempercepat hiperinflasi dan menurunkan nilai mata uang.

Oleh karena itu, para pejabat Biro Harga harus melaksanakan tugas mereka dengan bersungguh-sungguh. Selain mengerjakan beberapa kegiatan lain, setiap tahun Biro Harga mencocokkan berbagai komoditi di pasar dengan harga yang ditetapkan pemerintah dan melaporkan hasilnya. Selain harga makanan (sembako), dan barang lainnya (rokok, minuman keras, dan lain-lain), Biro Harga secara teratur memeriksa biaya-biaya yang terkait dengan jasa seperti pariwisata dan angkutan (distribusi).

Biro Harga memiliki hak yang ditetapkan oleh undang-undang untuk mengenakan denda (yang terberat adalah sanksi hukuman kurungan) kepada seseorang yang menetapkan harga produk atau jasa di luar aturan harga resmi. Selain harga, macam atau ragam produk dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan asing atau usaha patungan juga berada di bawah kekuasaan hukum administrasi Biro Harga.

Jika Anda memasok produk atau jasa ke pasar China maka hubungan dengan Biro Harga tidak dapat dihindari. Pada Mei 1998, undang-undang harga yang pertama mulai berlaku di China. Aturan itu menentukan bahwa harga komoditi harus disesuaikan dengan penawaran dan permintaan pasar, tetapi jika diperlukan pemerintah pusat masih berhak mengendalikan harga, terutama harga barang-barang kebutuhan pokok. (Bab Enam: Pejabat Pemerintah Cina; Buku Menembus Pasar Cina; Yuan Wang, Rob Goodfellow, Xin Sheng Zhang).

Pemerintah China sangat peka dengan potensi pergolakan yang mungkin timbul dari hal-hal, yang oleh negara lain dianggap remeh. Biro Harga yang mereka bentuk, bertindak penuh atas nama rakyat dan undang-undang serta pemerintah. Rakyat tidak boleh “panik” akibat kenaikan harga. Sebab “kepanikan” akan mendorong pada instabilitas keamanan dan politis. Ini harus dihindari.

Bahkan, Biro Harga juga menentukan seberapa besar ongkos distribusi suatu barang dan jasa, lalu menentukan harga barang dan jasa yang didistribusikan itu, hingga barang dan jasa yang harus dibayar masyarakat sesuai dengan pendapatan mainimumnya. Jika ada yang tidak patuh terhadap kebijakan Biro Harga, mereka tidak segan-segan menangkap para pelanggar atas nama konstitusi dan dituduh “hendak mengacaukan kondisi rakyat” alias dianggap hendak makar.

Peraturan harga itu tidak terkecuali juga berlaku bagi perusahaan swasta dan perusahaan swasta patungan. Jika tak suka dengan aturan ini, pemerintah mempersilahkan investor yang dianggap “tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyat China” itu, untuk angkat kaki dari negara itu, untuk menghindari tindak nasionalisasi perusahaan dan asetnya, oleh pemerintah China.

Inilah yang menjawab mengapa ekonomi China mampu bergerak maju secepat itu. Masyarakat China kini hidup di atas rata-rata. Penduduk kaya negara Panda itu bertambah drastis. Semua itu dikarenakan ketegasan pemerintah mengontrol harga barang kebutuhan pokok dan harga lainnya, yang tentu saja bersinggungan langsung dengan rakyat kecil.

Pemerintah China beranggapan, jika mereka bisa menjamin kehidupan masyarakat kecil, maka pemerintah tinggal melaksanakan agenda besarnya saja. Terangkatnya kehidupan masyarakat kelas bawah akan menjamin ketahanan nasional; pemerintah akan memiliki banyak energi untuk memajukan sektor lain dan sektor riil—sebab masyarakat yang memotori sektor itu tidak dipusingkan lagi dengan masalah kebutuhan hidup mereka.

Perusahaan yang bergerak di bidang kebutuhan pokok masyarakat, harus benar-benar memegang kendali terhadap bahan baku dan biaya produksi barang mereka, untuk menghindari pemotongan harga oleh Biro Harga (seberapa pun perusahaan menentukan harga, Biro Harga akan tetap memotong harga produk mereka, dengan berpegang pada nilai rasional—yang perhitungannya ditentukan dari pendapatan paling minimum masyarakat China—barang atau jasa tersebut).

Pemerintah Indonesia jangan terlampau percaya diri berlebihan dengan panel Pasar Bebas. Pada panel ACFTA, Indonesia akan benar-benar berhadapan pada kekuatan ekonomi yang “terlatih”. Ini fakta empirik yang akan membantu Anda mengetahui lebih dalam lagi, bagaimana kesiapan China dalam panel ACFTA.

Bahwa, sejak reformasi Pintu Terbuka pada 1978, pemerintah China sudah berusaha membentuk sistem ekonomi pasar bebas khas China. Salah satu unsur terkuat dalam model pasar bebas pada perekonomian China yang sedang tumbuh itu adalah pengawasan Partai Komunis (partai yang berkuasa) dan Pemerintah China terhadap berbagai bidang ekonomi.

Jadi penerapan pasar bebas di dalam negeri China sendiri, sudah dilakukan 32 tahun sebelum Indonesia menyetujui panel serupa yang diajukan WTO (dimotori negara-negara kapitalis). Betapa Indonesia jauh tertinggal dalam soal pasar bebas ini.

Meskipun usaha patungan yang telah terdaftar memiliki otonomi untuk mengawasi manajemen dan operasi perusahaan, masih banyak urusan yang ditentukan oleh pemerintah, dalam bentuk dukungan pemerintah. Mencari staf baru, memperoleh pinjaman dari bank, membeli bahan-bahan mentah yang langka, pengangkutan, telekomunikasi, dan bahkan persediaan air dan listrik, adalah kegiatan operasional yang melibatkan campur tangan pemerintah secara langsung.  Baik pengusaha asing maupun China pemilik usaha patungan itu harus melakukan segala daya untuk mendapatkan dukungan pemerintah sesuai dengan kebutuhan tersebut.

***

Tidak ada yang baik dalam pasar bebas nanti. Saya tidak “ketakutan” dengan panel pasar yang akan membuat semua kondisi terbolik-balik itu. Saya hanya mengkhawatirkan banyak hal yang akan berimplikasi buruk pada masyarakat dan generasi Indonesia selanjutnya sehubungan dengan panel pasar bebas yang menyesatkan itu. Makanya, panel itu saya tolak sama sekali.

Akan tetapi, jika pemerintah, memang sudah berkeras hati untuk terus maju, saya hanya berharap pemerintah mau mempersiapkan masyarakat kelas bawah dulu, dari kemungkinan terburuk dari panel pasar bebas itu. Tidak dalam kerangka pasar bebas saja, masyarakat kecil Indonesia masih ada yang hidup “terengah-engah”, kadang setiap hari harus was-was dengan harga kebutuhan pokok di pasar-pasar.

Gunakanlah indikator yang realistis; semisal jika masih ada masyarakat yang mati karena busung lapar, atau jika masih ada masyarakat yang makan aking dan daun ketela untuk mengganjal perut, atau jika masih ada anak Indonesia yang tidak dapat ke sekolah karena alasan yang beragam, atau jika masih ada masyarakat yang tidak bisa berobat karena tidak ada dana, maka sebaiknya urungkan niat Anda berlaga di pasar bebas.

Jangan menjadikan alasan, bahwa kehidupan sejahtera pada masyatakat justru akan terbangun kalau Indonesia ikut dalam Pasar Bebas.

Lho kok,…kenapa justru berharap masyarakat baru akan sejahtera setelah ikut pasar bebas? Itu sama saja “berharap menang perang setelah berada di medan perang”. Bukankah lebih baik, mempersiapkan diri dengan mencukupi semua kebutuhan pokok masyarakatnya lebih dulu, kemudian baru maju ke pasar bebas. Itu artinya, “mantapkan strategi perang dulu, baru berangkat perang” Gitu lho…Ibu M. Elka Pangestu…

Tolak Pasar Bebas! No Free Trade! Ini lebih baik. []