Tag Archives: nasional

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Opini: Larasita Hingga Musrenbangnas

Oleh Iwan Piliang (Calon Gubernur DKI Independen 2012, pendiri Jayakarta Woodball Club, Mereposisi Jakarta Menuju Jayakarta)

 

Sebuah  rejim merusak bahasa, apatah pula logika

***

PADA Rabu, 6 Juli 2011, saya melewati perempatan Jl. Sabang, Jakarta Pusat, menuju ke arah bilangan Menteng. Di pojok kanan ada pemandangan yang mengusik mata. Sebuah papan reklame besar dengan tulisan Larasita, lalu visual pejabat di Badan Pertanahan, berjalan melangkah bersama Presiden SBY.

Larasita

Acap saya terganggu dengan singkatan dibuat kalangan pemerintahan kini.

Saya bukan ahli bahasa. Pelajaran Bahasa Indonesia saya rata-rata. Ketika kuliah di Jurusan Komunikasi, satu semester kami belajar buku tipis tentang Ejaan Yang Baik dan Disempurnakan. Pembelajaran itu juga tak membuat nilai saya bagus. Ponten saya do-re-mi  saja. Maksudnya di bawah lima. Entah karena anggap enteng karena bukunya tipis?

Sejak lama kuat dugaan saya, pelajaran bahasa dimulai di tingkat Sekolah Dasar, walaupun dianggap penting, tetapi lupa menekankan sejatinya bahasa bak matematika, pondamen logika.

Jika saya mengomentari soal penulisan singkatan ini, dalam konteks bukanlah pakar, bukan ahli bahasa, tidak pula sosok jagoan bernilai tinggi bahasanya. Telaah saya adalah di ranah logika, dengan latar aktif menulis sejak 1983.

Lema lara menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bermakna sedih, susah hati, sakit. Sedangkan sita; tuntutan pengadilan, perihal mengambil dan menahan barang-barang menurut keputusan pengadilan oleh negara ; pembeslahan. Ada juga makna sita: putih.

Setelah saya memajang foto billboard yang saya maksud di Facebook, barulah saya paham ketika ada seorang kawan memberi tahu kepanjangannya. Di papan reklame Larasita tidak ada kepanjangannya. Agaknya, semua publik sudah paham akan kata itu?! Konon kepanjangan Larasita versi Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu: Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah.

Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah

Secara diksi, ada makna kata di dua suku kata yang mereka singkat. Secara logika, hingga era reformasi ini, Badan Pertanahan tidak mengubah diri dari langgam amtenar ke bertutur sebagai pelayan publik. Mereka masih memakai layanan rakyat.

Lantas mereka siapa?

Tuan tanah?

Mereka digaji melayani rakyat. Untuk melayani rakyat itu fasilitas mereka disiapkan segalanya oleh negara dari uang rakyat.

Dan billboard yang mereka buat, juga dipasang dengan biaya uang rakyat. Alangkah naifnya segala fasilitas mereka gunakan merusak logika bahasa.

Maka tidak berlebihan saya katakan bahwa rejim saat ini memang perusak logika. Dan jika Anda telaah di sana, saya yakin berjibun yang bergelar doktor dan kalau dikritik akan marah, lalu datang dengan argumen ini dan itu yang membuat Anda sebagai rakyat digobloki.

Begitulah, bisa saya pastikan.

Kira-kira dua bulan lalu, mata saya juga tertumbuk pada spanduk besar di depan Gedung Bappenas di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Ada spanduk cukup besar bertuliskan Pra Musrenbangnas. Musrenbangnas versi pemerintah adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional. Mungkin banyak di antara Anda sudah paham karena acap disosialisasikan. Namun terkadang sedang berjalan hanya membaca Pra Musrenbangnas dengan tambahan visual pejabat, benak bertanya, apa ya kiranya Pra Musrenbangnas?

Jika logikanya spanduk tadi ingin memberitahu sedang persiapan musyawarah, apakah pesan menjadi sampai? Celakanya publik, tepatnya rakyat, yang ingin diberitahu adalah pemilik itu gedung, pemilik itu uang pembuat spanduk. Kerendah-hatian untuk melayani rakyat seakan lenyap. Bertanya saya logika apa yang dipakai, toh nyatanya bahasa menjadi rusak.

Jika ketaatan kaedah bahasa yang dirujuk, maka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional seharusnya disingkat Mupepenas dan atau MP2N, Namun mungkin kegenitan selera mendengar lebih enak, tentu menurut mereka pejabat yang dibayai rakyat tadi, seakan tak peduli dengan kuping rakyat itu yang tak nyaman dengan Musrenbangnas. Dan toh kembali ke logika: yang pejabat kan saya, kami, kalian semua rakyat tahu apa.

Sekali lagi karena bahasa adalah logika, maka kesemrawutan berbahasa, khususnya membuat singkatan kata, tak kalah dahsyatnya dari masalah korupsi menimpa bangsa.

Bak jalanan Jakarta yang hari-hari kusut, tidak dibenahi oleh pejabat yang hatinya bersih dan jernih, maka kita sebagai rakyat; diperkosa menikmati kelakuan pemangku kuasa, mengaku berpendidikan pula. Kita semua ini dicap bodoh diperkosa ‘nrimo! ***

(ditulis pada 07 Juli 2011)


[Buku Baru]: Gejolak Ekonomi Kerakyatan & Gejala Ekonomi Regional

Gejolak Ekonomi Kerakyatan & Gejala Ekonomi Regional

Judul: GEJOLAK EKONOMI KERAKYATAN & GEJALA EKONOMI REGIONAL
Penulis: Arsalim Arifin
Penerbit: Komunika

Sebelum ramai membicarakan ekonomi kerakyatan di era reformasi sekarang, seorang aktivis dan pemikir muda, Arsalim Arifin, sudah menuangkan ide ekonomi kerakyatan itu di masa orde baru. Ia menyebarkan gagasannya ke berbagai koran daerah dan nasional. Kini tulisan-tulisan itu telah diterbitkan dalam sebuah buku oleh penerbit KOMUNIKA. Silahkan dapatkan bukunya di toko terdekat.

Kontak person: M. Djufri Rachim


Mug-Mug : Panggung Yang Penuh Harapan

Oleh Halim HD

SEBUAH kosa kata yang berasal dari bahasa Inggris, “Mug”, yang artinya wadah untuk minum, menjadi tajuk bagi sebuah pertunjukan yang sangat menarik dan energik dan menjadi suatu bentuk alternatif yang kreatif yang disajikan pada siang dan malam hari oleh Teater Anawula Menggaa (TAM) pada tanggal 29 Desember 2006 di gedung kesenian Sulsel “Societeit de Harmonie”, Makasar. Sebelumnya, TAM menyajikan karyanya di Solo (Taman Budaya Surakarta, secretariat LSM Pattiro dan SMA Santo Yosef) dan Bandung (CCL, Culture Central Ledeng yang dikelola oleh tokoh dan aktor teater handal, Iman Soleh). Beberapa bulan yang lalu, grup ini pula terpilih sebagai penyaji terbaik pada FDRN 2006 (Festival Drama Remaja Nasional) di Semarang.

Pementasan dengan durasi sekitar 40 menit itu mengangkat cerita dengan tema persahabatan di antara kaum remaja dan anak-anak. Cerita berlangsung dalam suatu ruangan di mana tiga orang anak-anak yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan persaudaraan Tutut Velta Sari, Rasdiana, Ainna Kasturi). Sebagaimana dunia anak-anak yang penuh dengan energi yang meluap yang sering pula membuat mereka satu dengan lainnya saling bersaing dank arena itu pula mereka sering bertengkar. Dan pertengkaran itu, awalnya sangat sederhana, mereka memiliki mug dan masing-masing orang menganggap bahwa mug mereka memiliki identitas, dan identitas itulah yang mereka pertahankan sebagai bagian dari diri mereka. Di antara pertengkaran itu, masuk seorang rekan mereka (Arni Eva Yanti) yang membawa kabar tentang penjahat yang ingin mengambil mug mereka. Dari sini cerita berlanjut kepada bagaimana mereka menyiapkan diri untuk mempertahankan mug milik mereka, dan dengan kesiagaan bagaikan para prajurit yang siap tempur, mereka mengolah tubuhnya dalam berbagai bentuk bela diri.

Adegan ini mengingatkan kita kepada dunia teve yang memiliki pengaruh kuat kepada dunia anak-anak dan remaja khususnya serial sinetron dengan tema pendekar silat nusantara. Yang menarik, justru pengaruh teve yang menjadi bagian dari adegan itu ditunjukkan bukan dengan cara konsumtif, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam: mereka bukan hanya sekedar konsumen yang dijejali oleh informasi dan dunia hiburan belaka. Lebih dari itu, silat nusantara menjadi inspirasi buat mereka untuk mempertahankan wilayah identitas mereka dari gangguan pihal luar. Tentu sebagaimana kebanyakan ujung cerita di kalangan anak-anak dan remaja, happy ending menjadi bagian terpenting: melalui mug dan dengan kehadiran para penjahat itu mereka menyatukan diri sebagai saudara sekandung yang saling menolong dan membentuk solidaritas. Yang menarik, plot cerita ini berujung pada kehadiran sosok lain, seorang tamu yang lebih dewasa (Kiki Reskiayan Ilyas) yang memberitahukan kepada mereka bahwa ruangan tempat mereka berada itu akan digunakan untuk pementasan. Maka alur cerita berganti kembali ke dalam bentuk keseharian tentang dunia anak-anak dan remaja yang penuh dengan keceriaan dan juga rasa ingina tahu yang besar. Di sini, penulis memang piawai mengolah dan menjalin cerita yang saling berlapis; durasi 40 menit itu mampu menggambarkan suatu dunia kehidupan yang beragam dan penuh dengan berbagai suasana hubungan yang manusiawi.

Yang menarik dari pementasan TAM ini adalah tidak adanya usaha untuk menjadikan lakon dan panggung sebagai media untuk menjejali berbagai pandangan, sebagaimana sering kita lihat di teve dalam bentuk sinetron dan sosiodrama atau teater kampus yang cenderung cerewet. TAM yang menyajikan “Mug-Mug” yang ditulis dan disutradarai oleh Abdul Razak Abadi dengan cerdas mengungkapkan realitas keseharian sebagaimana dunia remaja yang tidak tendensius, sangat bersahaja. Dan kekuatan ini juga terletak pada penyutradaraan yang sangat memahami psikologi perkembangan anak-anak dan remaja, dan dengan cerdas sutradara mengeksplorasi potensi yang dimiliki oleh mereka dan dipadukan dengan kuat melalui bingkai pemahaman tentang kehidupan anak-anak dan remaja dengan dunia sekitarnya yang telah menjadi bagian yang paling dalam dari permainan grup TAM.

Saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh Titus Albertus (Forum Pinilih, Solo) dan Iman Sholeh (dua juri FDRN di Semarang) ketika saya menelpon mereka beberapa hari setelah acara FDRN, dan mereka menyatakan bahwa anak-anak di grup TAM bermain dengan pola realisme yang subtil jika dibandingkan dengan grup-grup lain yang mengikuti FDRN. Yang paling penting lainnya, property dan setting yang mereka garap merupakan suatu bentuk alternatif yang cerdas yang membuat mereka bisa menggunakan berbagai level, kotak, dan menjadikannya apa saja, dari kursi, meja, dan bentuk lainnya yang imajinatif. Yang terakhir inilah yang perlu juga kita garisbawahi: begitu banyak teater yang makin cerewet oleh tubuh dan berbagai bentuk property dan setting yang sesungguhnya menjadi alat bantu dalam permainan teater justru sering memperangkap pemain. Dengan kata lain, sutradara telah memperhitungkan dengan cerdas, dan membuka berbagai kemungkinan bagi pemain untuk menciptakan ruang pertunjukannya menurut potensi dan aktualisasi diri mereka. Saya teringat Takeyama, dedengkot dan salah seorang ideology teater Jepang pada masa pembaharuan teater Jepang tahun 1960-70-an; dia menyatakan, bahwa teater mesti menciptakan ruang bagi kehadiran manusia, dan di situ pula manusia hadir bersama dalam rentang sejarah yang diciptakan dan mengolah kembali realitas social dan sejarah yang ada di lingkungannya dalam ruang teater. TAM terasa sekali mampu bermain pada ruang apa saja, tanpa beban dan kesulitan artistik.

Satu hal yang perlu saya tambahkan dan garis bawahi di sini, bahwa lakon “Mug-Mug” oleh TAM yang telah memainkannya sebanyak 30 kali selama rentang 2-3 tahun merupakan suatu proses yang perlu kita pelajari dan amati dengan cermat. Pelajaran itu menyatakan bahwa jika teater dan kehidupan grup dengan pilihan lakon yang secara terus-menerus dijalani secara intens dan mendalam, dan menjadikannya setiap pemainnya tidak lagi dilihat secara teknis akting belaka. Mereka melakukan di atas panggung dengan seluruh kehadiran tubuh dan diri mereka, ekspresi yang paling dalam tanpa suatu kecerewetan sebagaimana kebanyakan teater kampus yang dipenuhi dan didorong oleh keinginan mengejar jumlah nomor produksi, kuantitas, dari waktu ke waktu namun tiada pendalaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya mengalami kejenuhan pada tingkat yang memualkan ketika saya menyaksikan grup teater mahasiswa yang sekadar naik panggung. Dan membandingkannya dengan TAM, dengan proses kerja mereka, serta ketekunan serta jalinan kerja antara anggota TAM dengan sutradaranya bisa menjadi inspirasi yang visioner bagi siapa saja yang ingin memasuki dan menapaki dunia kesenian, khususnya teater.

Catatan akhir yang ingin saya sampaikan di sini, bahwa kehadiran TAM bisa menjadi suatu bentuk model dan pola pengembangan teater di sekolah. Tentu bahwa hal itu juga berkaitan dengan komitmen Abdul Razak Abadi yang menjalani dunia pendidikan dan teater sebagai bagian paling dalam dari dirinya. Untuk itu, kita bisa memberikan bukan hanya applaus dan tepuk tangan. Sosok ulet itu juga membutuhkan masukan, kritik, dialog dan tentu saja dukungan dari berbagai pihak. Apalagi jika kita secara geografis memandang posisi TAM yang lahir, tumbuh dan berkembang dari sebuah wilayah terpencil, kecamatan Lambuya, kabupaten Konawe yang oleh sebagian besar tidak diketahui letak dan posisinya pada peta Indonesia. Saya ingin menegaskan bahwa sebuah komunitas, sebuah grup teater anak-anak dan remaja bisa menjadi image yang positif. Dan citra itu kini telah melintasi dan membawa nama baik wilayahnya. Lebih dari itu, di antara sistem pendidikan kita yang selalu mengalami krisis dari waktu ke waktu, dan di antara pola hidup yang kian konsumtif khususnya kaum anak-anak dan remaja yang dijejali oleh teve yang banyak membawa dampak kepada pola tingkah laku kekerasan, kehadiran TAM sangat inspiratif bagi kalangan orang dewasa, orangtua, dan para pendidik.

Akhirulkalam, saya ingin menyatakan bahwa theatre is life, film is art, television is furniture – dan TAM membuktikan ungkapan itu dalam wujud mereka yang penuh harapan.

[]

Makasar, 30 November 2006


Halim HD

Bagi jurnalis muda, nama Halim HD belumlah dikenal secara luas. Maklum postur tubuhnya yang menyerupai ’biksu’ Shaolin ini tak banyak bicara dihadapan para wartawan muda, khususnya di Solo. Tapi bagi para pewarta senior, nama Halim tak asing lagi. Meski berpenampilan tak mencolok, ia toh tetap dikenal oleh para jurnalis ’kaplak-awu’ sebagai ’pengembara’ budaya, melanglang dari kota-ke-kota. Networker kebudayaan dan penulis, tinggal di Solo dan Makassar.



Produsen Aib Nasional

Oleh Iwan Piliang

Kini 67 program infotainment sehari ditayangkan di teve nasional. Lebih 100 teve lokal menayangkan ulang; 6.700 program infotainment menghampiri ranah pemirsa teve Indonesia. Crew infotainment bukan jurnalis. Di Uni Emirat Arab, negeri yang pernah saya kunjungi kwartal I tahun ini, aib haram diberitakan. Jika pun ada, lebih untuk menghukum seseorang dan esoknya tak akan ada lagi berita aib itu. Beda sekali dengan ranah penyiaran di negeri ini. Apa gunanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), salah satu badan ad-hoc, yang dibentuk paska reformasi, jika hanya untuk menegur-sapa saja? Tulisan ini tak menuding semua infotainment berkonten aib, namun jika dominan urusan perselingkuhan, perceraian, lagak-langgam negatif personal, aib memang.

PADA 18 Juni malam lalu saya menghadiri resepsi ulang tahun lembaga swadaya masyarakat LIRA, Lumbung Informasi Rakyat, yang ke-5 di Hotel Sultan, Jakarta. Adalah Yusuf Rizal, Presidennya, sosok yang saya kenal dulu pernah menjadi wartawan di majalah SWA, media di mana saya juga pernah menjadi reporter.

Di kesempatan malam itu saya berjumpa dengan seorang pemilik production house, sebut saja Munap namanya. Saya bertanya berapa sesungguhnya pendapatan rumah produksi per episode membuat infotainment itu?

Di luar dugaan saya, angka yang ke luar dari mulut Munap begini: untuk durasi sejam paling tinggi dibayar teve Rp 12 juta. Durasi setengah jam paling mahal Rp 9 juta. Rata-rata penjualan setengah jam hanya Rp 3,5 juta.

Dengan harga demikian berapa lama tenggang waktu pembayaran dari pihak televisi?

Sebelum menjawab pertanyaan saya, wajah Munap tampak nyengir. Rasa ingin tahu saya kian tinggi. ”Ekstrimnya ada teve yang membayar kami setahun setelah tayang. Rata-rata, sih, tiga bulan kemudian,” ujarnya. Satu dua teve karena ada hubungan ”baik” ada yang bermurah hati membayar sebulan setelah tayang.

Itu artinya untuk memproduksi infotainment diperlukan cash flow panjang. Jika saja biaya per episode Rp 1 juta, maka untuk membiayai satu program setengah jam untuk 90 hari (3 bulan), diperlukan Rp 90 juta biaya modal. Angka ini jelas bertolak belakang dengan rupiah yang ditangguk oleh televisi.

Munap bukan pemain utama di infotaiment. Dia hanyalah pengekor. Kendati demikian ia memproduksi lebih satu konten infotainment sehari.

Pihak teve ada yang menjual slot iklan infotainment untuk satu spot 30 detik di atas Rp 20 juta. Jika dalam setengah jam program ketentuan iklan 20% dari durasi, maka ada 6 menit alias 12 spot iklan dapat diisi iklan.

Maka dengan angka harga iklan Rp 20 juta per spot, setidaknya Rp 240 juta diperoleh stasiun teve. Dan pihak teve terindikasi acap melanggar ketentuan iklan 20% dari durasi itu. Mereka kadang menjejalkan iklan hingga 10 menit alias 20 spot, dan Anda dapat hitung sendiri pendapatannya.

Pihak teve pun bisa menekan biro iklan dan atau pengiklan, bahwa mereka maksimal harus dibayar sebulan kemudian. Bahkan ke biro iklan baru, teve meminta pembayaran di muka. Mutlak.

Nah dalam konteks program infotainment itu, yang paling diuntungkan adalah pihak televisi. Teve-lah pemakan daging empuk bisnis infotainment.

Bagaimana dengan Munap, pemilik production house?

“Tentu kami memiliki keuntungan. Namun lebih ke memutar cash flow,” ujar Munap.

Karenanya tidak berlebihan saya katakan, bahwa crew yang diambil pun dengan gaji di level upah minimum. Janganlah diharap wawasan luas, banyak baca. Crew karyawan production house, macam milik Munap itu, di lapangan berimprovisasi. Jika Anda ingat, sejak empat tahun silam mereka meminta untuk diakui sebagai waratawan. Dan adalah sangat aneh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), mengakui karyawan rumah paska produksi ini sebagai jurnalis.

Di tengah profesi wartawan yang kian terbuka, pengakuan terhadap karyawan infotainment itu adalah wartawan, telah melanggengkan pula laku indikasi menerima amplop (baca uang), di kalangan crew infotainment. Toh, tauladan besarnya sesuai dengan data dari Aliansia Jurnalis Indpenden (AJI) mengatakan hampir 80% wartawan menerima amplop. Sementara jaringan indie yang saya gerakkan di blog, media kampus, Presstalk, mensinyalir 97% wartawan penerima amplop.

Sehingga jika pun crew rumah produksi infotainment bergaji kecil, pengakuan sebagai wartawan itu terindikasi telah membuat peluang baginya untuk “berwira-usaha” mendapatkan tambahan pendapatan. Mereka tak peduli dengan etika, termasuk bahwa aib itu sesungguhnya haram disosialisasikan, seperti yang diatur di negeri mengaku tidak Pancasilais sekalipun.

Dari paparan di atas, dengan jernih saya katakan, bahwa perihal infotainment, perihal teve menayangkan, adalah soal memproduksi aib dan kerakusan dalam mendapatkan fulus. Di era di mana segalanya hepeng mangatur nagaraon, terkadang manusia memang tak ubahnya menjadi beruang, hewan berkaki empat.

Namun, jika kembali ke jati diri, bahwa manusia bukanlah makhluk berkaki empat, di badannya melekat akal budi, maka peradaban kemanusian seharusnya menjadi acuan.

Jika pemilik siaran televisi, tak kunjung paham bahwa siaran teve itu menguasai hajat hidup ranah publik, dia hadir hingga ke relung batin ke kamar pribadi, ranah privat publik secara masif, lalu produsennya melepaskan esensi akan kemanusiaan, maka khalas (selesai) jadinya: teve menjadi produsen aib nasional.

Itulah perihal utama mendera kita kini hari-hari belakangan ini. Dengan kata lain esensi kemanusia telah mereka hijrahkan dari insan kaffah berkaki dua ke makhluk berkaki empat. Lain tidak.[]

Tulisan ini dapat juga dibaca di: www.blog-presstalk.com


Me-Reevolusi Sistem Ujian Nasional

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Mendekati sasaran utama dengan pola yang terencana, harus simetris dalam tindakan dan sifat sasaran utama tersebut. Jika berbeda sedikit saja, jangan harap “berhasil” Anda dapatkan. Tetapi, mematahkan stereotype dengan langkah revolusioner kadang diperlukan, walau maksud dari tindakan itu sekadar memastikan apakah langkah terdahulu yang kita lakukan itu, sudah benar, atau mesti dirombak sama sekali.

***

Ujian Nasional baru saja dimulai beberapa hari berselang, belum lagi usai. Beberapa hari lalu itu, benar-benar dijadikan momentum kalangan pendidikan nasional, dan seluruh masyarakat, untuk membuktikan, bahwa Ujian Nasional ini, memang perlu, atau tidak sama sekali.

Kalangan yang melihat Ujian Nasional sebagai alat ukur yang baik, memposisikan pendapatnya, bahwa mekanisme inilah yang paling tepat dijadikan sebagai alat ukur. Namun, pada kalangan yang berseberangan pendapat, Ujian Nasional dilihat sebagai upaya pembelaan diri sejumlah lembaga, dan menempatkan pembenaran itu di atas ketidakmampuan mereka menggebas sistem pendidikan nasional yang paripurna.

Sangkaan pihak pertama, sejauh ini, ada benarnya. Apakah, juga sangkaan pihak lainnya itu memuat kebenaran yang sama, atau justru tendensius sama sekali? Sebab, lembaga pemerintah untuk urusan pendidikan nasional, Departemen Pendidikan Nasional, memang tampaknya tidak pernah belajar dari banyak kejadian empirik yang berlaku di atas ranah pendidikan Indonesia, baik di Jakarta atau pun di daerah-daerah.

Ujian Nasional sebagai Alat Ukur

Akhirnya, tiba juga masanya, Ujian Nasional dilihat sebagai faktor penghambat kemajuan anak didik. Dahulu, pada jaman saya, Ujian Nasional ini begitu “tolak” sekaligus pula “dinanti-nanti”. Kata “ditolak” disini, tidak sama artinya dengan penolakan yang ada sekarang terhadap objek yang sama. Oh…jauh beda sama sekali.

Dahulu, pada awal tahun 1990-an, kami “menolak” Ujian Nasional, karena sejujurnya…anak sekolah pada masa itu masih betah berlama-lama di SMA. Masih betah berlama-lama dengan romantisme sekolah menengah yang memang sarat kisah itu. Siapa pun yang menemui masa itu, pastilah merasa nyaman, menyaksikan gerombolan gadis—adik kelas yang manis-manis itu—melintas di lapangan depan kelas Anda; sedikit menggoda mereka di kantin sekolah; atau, usil bersama kawan se-gank. Seorang kawan, malah, masih merasa perlu menceritakan keusilannya; berteriak-teriak mengepung gadis-gadis adik kelas sebelah, membuat mereka menangis, lalu terbirit-birit lari menghindari petugas BP yang galak.

Sekaligus “dinanti-nanti”, sebab kami dihampiri kejenuhan rutinitas di SMA yang saban hari, selama tiga tahun, hanya itu-itu saja. Belum lagi mendengar agitasi kakak-kakak kami yang sudah berkuliah itu; tentang kebebasan mereka mau masuk kuliah atau tidak, tentang posisi mereka terhadap dosen, dan tentunya, tentang bentuk romantisme yang berbeda.

Tetapi, selebihnya, karena Ujian Nasional di awal 1990-an itu, masih lebih asik, ketimbang pelajarannya itu sendiri. Bagaimana tidak asik; Anda hanya perlu mensarikan pelajaran Anda, lalu menjawab soal-soal sebanyak 100 nomor itu. Bukankah ini masih lebih asik, dari pada harus membaca buku paket pelajaran yang bahasanya kaku itu. Masih lebih oke, dari pada harus mendengar ocehan guru selama enam jam. Di jaman itu pun, standar nilai kelulusan, yang sekarang diributkan itu, sudah ada loh

Namanya, Nilai Ebtanas Murni (NEM). Ebtanas itu singkatan dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Lucu ya…? Singkatan yang lalu disingkat lagi… Cara menghitungnya pun gampang; tinggal menjumlahkan nilai yang diperoleh siswa untuk semua mata uji dalam Ebtanas, lalu dibagi dengan jumlah mata pelajaran yang diujikan, hingga diperoleh angka rata-rata. Peringkat kelulusan terbaik ditentukan dari seberapa tinggi setiap siswa memperoleh angka rata-rata itu.

Elannya berbeda, mekanisme juga berbeda. Tentu saja.

***

Agaknya, Depdiknas, sebagai lembaga pemerintah harus mengusulkan moderasi kebijakan Ujian Nasional ke parlemen untuk disetujui. Ujian Nasional sekarang ini, telah dilihat sebagai momok, maka secara psikologis, mekanisme ini cenderung ditolak. Tetapi, lembaga itu, untuk sementara, hanya punya sistem ini sebagai alat ukur utama dalam tanggungjawabnya membangun parameter pendidikan nasional.

Sebagai alat ukur utama, mekanisme Ujian Nasional telah dibangun sedemikian rupa, untuk—seharusnya—memenuhi tuntutan lembaga-lembaga pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia. Terus terang , mekanisme ini sangat menghabiskan dana dan sumber daya.

“Wah…itu proyek dong?” Hahaha…iya, tentu saja.

Di dalam sebuah program, Anda membutuhkan alat ukur yang baik dan efektif, untuk mengetahui sampai dimana progresifitas program Anda. Alat ukur itu, akan memberi informasi pada Anda, bahwa dalam struktur program Anda ada beberapa bagian yang lemah; ada beberapa bagian yang kuat; ada beberapa bagian yang perlu dibenahi secara serius; dan ada beberapa bagian yang perlu dirombak total. Termasuk; apakah Anda harus terus melanjutkan program ini atau menghapusnya sama sekali.

Saya, tidak sedang memposisikan diri menolak atau setuju-setuju saja perihal Ujian Nasional ini. Bagi saya, sejauh ini, Ujian Nasional ini baik, dalam artian sebagai alat ukur. Tetapi, jika ada yang resah dengan penerapannya, tentu saya akan berfikir, ada yang salah dalam Ujian Nasional ini.

Apa mungkin karena pengelolaannya yang sentralistik? Boleh jadi. Apa mungkin Depdiknas tidak memiliki data faktual tentang kondisi bahan ajar dan mekanisme belajar-mengajar di setiap lembaga pendidikan di Indonesia? Saya yakin ada, tetapi saya juga pesimis tentang akurasi datanya. Apa mungkin Depdiknas terlalu membebaskan beberapa elemen penting alat bantu pendidikan berada di luar domain yang seharusnya? Ini pun boleh jadi penyebabnya.

Saya bertanya ke beberapa orang—termasuk sejumlah kawan—yang aktif sebagai pendidik, apa yang mereka lihat dalam soal-soal Ujian Nasional yang dikirimkan dari Depdiknas itu? Lalu saya mencari sejumlah literatur yang paralel, untuk mencari tautan perihal bagaimana memformat pertanyaan-pertanyaan ujian, sejumlah implikasinya, dan dukungan peraturannya.

Kawan-kawan yang saya temui, rata-rata mengeluhkan tentang daftar pertanyaan dalam Ujian Nasional—mereka mengambil contoh soal Ujian Nasional tahun lalu—yang hampir 35 persen belum pernah diajarkan, bahkan tidak terakses oleh mereka dan anak didik mereka. Wah…ini serius neh. Pantas saja, para peserta ujian di beberapa daerah—khususnya di sekolah-sekolah di wilayah yang jauh dari kota provinsi atau kota kabupaten—tidak dapat menjawab soal-soal Ujian Nasional.

Ditolak, Tapi Perlu

Ada guru yang gelisah, ada pula yang tenang-tenang saja. Ada pula murid-murid yang risau, tetapi ada juga yang tetap cool.

“Bagaimana tak gelisah, kalau pemerintah sepertinya tak hirau dengan pendapat dan penilaian kami? Ujian Nasional itu, kan, sistem yang terlalu memberatkan murid-murid kami.” Kata guru-guru yang gelisah tadi.

“Repot, pak. Masa’ iya sih, setiap tahun standar nilai kelulusan naik terus…? Tahun kemaren naik menjadi lima, sekarang standarnya naik lagi jadi 5,5. Dari mana dasar penghitungannya seh? Pelajarannya kan nggak nambah-nambah, itu-itu aja.” Kata siswa-siswa yang risau itu. Risaunya itu dicampurnya dengan marah-marah pula.

Tetapi, dengar juga pendapat pihak yang tak terganggu, dan tenang-tenang saja ini. Biar adil saja.

Lho, tujuan Ujian Nasional kan untuk memantau progresifitas sistem pendidikan; sudah bagus, atau apakah masih harus dibenahi. Ujian Nasional ini alat ukur, hanya tools saja. Pemerintah juga kan gak mau program pendidikan nasional mengalami kegagalan. Kalau belum apa-apa, kita sudah mengeluhkan sistem, yang bahkan kita sendiri sudah maklum targetnya untuk apa, kita ini opportunis sekali. Menuntut perbaikan, menuntut anggaran. Begitu pemerintah memberi keleluasaan , kita sendiri malah yang membangun halangan itu.” Kata tenaga pengajar yang tak risau itu.

Output-nya sudah kelihatan. Tahun lalu saja, angka kelulusan, jauh di bawah harapan. Apa mungkin Anda tidak risau dengan kondisi itu?” Tanya saya, selidik.

Dia menarik senyum, agak kagok, tetapi dijawabnya juga, “bukan begitu, mas. Soalnya kan, ini adalah alat ukur saja. Kalau ternyata banyak siswa yang tidak lulus karena penggunaan alat ukur itu, maka masalahnya perlu dicari pada guru dan muridnya. Bisa saja kan gurunya kurang telaten mengajar, atau justru muridnya yang kurang menyimak pelajaran, hingga kurang cakap.”

Bagus. Saya senang, dia membela pendapatnya.

Tetapi, bagi saya, kita sudah bisa menemukan ujung beberapa benang merah dalam penerapan beberapa program di pendidikan Indonesia, sekaligus dua persoalan klasik para komponen pendidikan. Selanjutnya kita bisa dengan saksama menelusuri benang-benang merah itu hingga ke ujung yang lainnya.

Benang-benang merah itu adalah; standar nilai kelulusan dalam Ujian Nasional, penggunaan Ujian Nasional sebagai alat ukur, dan output yang diharapkan dalam penerapan alat ukur tersebut. Sedang dua persoalan klasik lainnya, yakni; kecakapan guru, dan kemampuan murid.

Kita lihat, apa kita bisa berdiri di tengah menanggapi polemik ini.

***

Kalangan yang tidak sependapat dengan penerapan sistem baru penilaian akhir terhadap proses belajar mengajar itu, segera memvonis sistem ini melanggar hak asasi manusia. Murid dan guru memang terkesan dipaksa untuk menggunakan sistem, sementara menurut mereka, Depdiknas belum menyiapkan infrastruktur dan ruang yang cukup bagi daya dukung sistem tersebut. Ini membuat semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia terkaget-kaget.

Kalangan ini setengah tidak percaya, bahwa jalan yang sedang mereka tempuh dalam kebijakan pemerintah itu, tidak berbanding lurus dengan keinginan UUD terhadap tanggungjawab pemerintah mengelola pendidikan nasional. Pemenuhan anggaran pendidikan yang sudah sesuai konstitusi, sesungguhnya bertujuan memajukan pendidikan dan membuang hambatan sistemik—yang berbau kolutif dan koruptif—yang selama ini terbukti mengganggu kebangunan pendidikan di Indonesia.

Pemenuhan anggaran pendidikan itu juga dimaksudkan hendak me-rebuilding sistem pendidikan yang memenuhi harapan masyarakat akan akses dan peruntukan pendidikan yang setara dan berkelanjutan. Sayangnya, menurut kalangan resistensir ini, niat-niat baik itu keburu hendak dirobohkan dengan sembarang kebijakan yang mereka anggap tidak mendukung kehendak konstitusi, sama sekali. Semisal, kata mereka, Ujian Nasional itu tadi.

Jika anggaran sudah dipenuhi sesuai harapan konstitusi, lantas mengapa Depdiknas RI kemudian terkesan mendesakkan program-program yang justru jauh dari tuntutan pendidikan terkini? Apa benar demikian? Saya pun sepenuhnya tidak sepakat dengan tendensi ini. Belum tentu, kebijakan yang ada—perihal Ujian Nasional—seketika tidak segaris dengan tuntutan konstitusi dan pendekatan pendidikan terkini.

Pada Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebut bahwa; sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (bagian Menimbang, huruf C).

Lalu, masih pada Undang-Undang yang sama, pada Pasal 6, bagian 1, disebutkan; Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Dan bagian 2, disebutkan pula; Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

Tetapi, dunia pendidikan Indonesia, menurut para kritikus pendidikan, belum berpijak pada hal-hal yang esensial, semisal, pemenuhan sarana pendidikan yang memadai, alat pendidikan yang berkualitas, tenaga pengajar yang bagus, biaya pendidikan yang murah, terjangkaunya pendidikan bagi semua orang Indonesia (maksud saya…semua orang Indonesia…bukan semua anak Indonesia loh ya…). Jika mau yang lebih ekstrem; dengan mengacu pada Undang-Undang di atas, maka bisa saja negara memberi sanksi pidana kepada warga negara yang tidak mau bersekolah. Itu pun, jika mau…loh!

Tetapi, saya pun dapat memahami dasar kritikan itu, bahwa Depdiknas memang belum menyentuh keseluruhan hal-hal subtantif dalam isu pendidikan nasional. Kesenjangan antara lembaga pendidikan negeri di daerah dan Jakarta—minimal yang paling dekat dengannya—sangat jelas terlihat. Masih banyak lembaga pendidikan negeri yang berada di daerah-daerah yang belum tercukupi sarana prasarananya. Tenaga pengajar berkualitas belum terbagi secara merata, bahkan masih ada tenaga pengajar—Guru Tidak Tetap—yang belum beruntung menjadi guru tetap berstatus PNS bertahun-tahun demi mengajar di daerah terpencil. Masih banyak hambatan subtantif yang belum pungkas sama sekali.

Gambaran-gambaran ini, makin memperjelas dilematisnya posisi pendidikan nasional kita. Seolah-olah, segala program yang diluncurkan departemen ini berlari sangat kencang meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan negeri jauh tertinggal dibelakangnya. Lalu…sekarang dunia pendidikan Indonesia disodori sistem Ujian Nasional..yang ditentang sebagian orang, dan diterima sebagian orang yang lain.

Revolusi Sistem Ujian Nasional

Saya khawatir, persoalan Ujian Nasional ini, akan lebih berdarah-darah, dibanding menonton parpol “adu kuat” di Senayan. Saya khawatir, ada pihak yang gagap menterjemahkan “alat ukur”, ketimbang melihat cekatannya remaja sekarang bergaul di Facebook dan Twitter. Saya risih, mendengar ada yang bilang; “Gak usah ikut UN…percaya aja, anak kita pinter-pinter kok. Apa iya, sekolah bertahun-tahun…bisa gagal dalam sehari, hanya karena gak bisa menjawab satu-dua soal Ujian Nasional?”

Ujian Nasional seharusnya tidak menggunakan pola yang ada sekarang. Sistem ini bisa tetap ada, namun sebisa mungkin polanya diterapkan secara lebih fleksibel saja. Semisal, soal-soal untuk Ujian Nasional tidak dibuat secara sentralistik. Bukankah, pengertian “nasional” tidak harus melulu diartikan “Jakarta” atau “pusat”, hanya karena predikat “nasional” melekat di belakang objek “ujian”…?

Mari kita buat ilustrasinya, untuk memperjelas apa maksud saya.

Seorang siswa di suatu SMU di kabupaten A, jika pindah ke suatu SMU di kabupaten lainnya, pada provinsi yang sama, akan mengalami kesulitan mengikuti proses belajar mengajar. Jika bukan, karena materi yang dia terima di sekolah barunya lebih cepat dari materi yang sama yang diperolehnya di sekolah lama, maka tentulah lebih lambat.

Contoh lainnya; seorang siswa kadang mengaku kebingungan dengan perbedaan penggunaan buku panduan pelajaran (buku paket) yang dipakainya di sekolah lama, dengan buku paket yang digunakan di sekolah baru.

Amsal lainnya; ada siswa yang ternyata tidak paham terhadap penjelasaan materi pelajaran yang sama, dibandingkan oleh siswa di sekolah lainnya.

Pada case sample yang pertama; hal demikian terjadi dikarenakan perbedaan penerapan kalender pendidikan, yang penerapannya seharusnya serentak dan terpadu. Anehnya, penerapan kalender pendidikan yang berbeda, demikian ini kerap terjadi.

Pada case kedua; sekolah kadang menerapkan kebijakan internal sendiri-sendiri dalam penggunaan buku paket pendukung pelajaran, di luar kebijakan dinas pendidikan setempat—atau, bahkan Depdiknas. Padahal, seharusnya, ini tidak boleh terjadi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.

Departemen Pendidikan Nasional bahkan telah membeli paten sejumlah buku pelajaran untuk disebar secara digital, dengan maksud memangkas kesenjangan dan keluhan yang kerap datang mengenai ketidakefisienan proses belajar mengajar karena hambatan tiadanya buku paket yang sifatnya fundamental itu. Nah, anehnya, ini juga kerap terjadi. Terbukanya keran kebijakan penggunaan buku paket yang dapat diperoleh secara digital itu tadi, tidak diikuti dengan penutupan keran terhadap kepentingan bisnis penerbit buku pelajaran yang kerap “berkeliaran” di sekolah-sekolah, menjajakan buku paket mahal—dan menjanjikan keuntungan fee pada guru—yang memuat materi yang agak berbeda dari yang dirujuk oleh Depdiknas.

Belum terdistribusinya bantuan komputer dan sarana internet ke seluruh sekolah di Indonesia adalah pula salah satu faktor penghambatnya. Buku pelajaran yang sudah dapat diakses bebas oleh guru dan murid itu, tentu saja belum dapat dinikmati oleh sekolah yang tidak memiliki perangkat komputer dan akses internet. Lubang ini segera dimanfaatkan oleh para distributor buku paket pelajaran untuk masuk. Adanya kasus, buku paket pelajaran berbau porno, sedikit banyak membuktikan kelemahan di sisi ini.

Kecuali pada case ketiga ini, yang masalahnya berputar pada kualitas guru. Pada kasus ini, baik tidaknya guru membangun pemahaman tentang suatu materi, akan sangat menentukan bagaimana siswa membangun faham yang sama. Karena soalnya adalah “faham yang baik” tentang materi pelajaran dalam kurikulum yang sama, maka seharusnya, semua guru memiliki pula kesamaan faham dan cara menjelaskannya pada siswa.

Tetapi…Preekkk…ternyata Depdiknas sangat tulalit menerapkan sistem sertifikasi guru. Masih banyak guru yang belum memiliki sertifikat sebagai bukti mereka layak mengajar.

Di tengah invaliditas semua komponen pendukung pendidikan nasional seperti di atas, Depdiknas justru makin “menggila” dengan sistem Ujian Nasional dengan standar tinggi itu—atau bolehlah saya mengistilahkannya “berstandar ganda”; di satu sisi Depdiknas, dengan sistem Ujian Nasional ini, seperti hendak membuktikan bahwa mereka bisa memenuhi harapan konstitusi, namun di sisi lain, mereka memberi kesan pada masyarakat bahwa mereka sedang menguji kehandalan sistem ini. Preekkk…lagi lah

Kembali ke soal sistem Ujian Nasional yang seharusnya fleksibel itu…maka semestinya soal untuk Ujian Nasional tidak dikelola secara sentralistik dan tertutup, tetapi dibuat terbuka dan melibatkan dinas pendidikan di daerah-daerah.

Soal-soal untuk Ujian Nasional dapat diformat sesuai kebutuhan dan pencapaian batas kurikulum yang berlaku di daerah-daerah. Ini untuk menghindari kesenjangan siswa dalam memahami dan menjawab soal. Pembuatan soal Ujian Nasional, melahirkan kesan, bahwa Depdiknas seolah-olah tidak tahu-menahu masalah pencapaian siswa dalam proses belajar mengajar, yang terjadi di daerah-daerah. Jadi, tak perlu heran, jika masa Ujian Nasional tiba, tingkat kelulusan siswa merosot, yang lebih disebabkan karena masih ada siswa yang bahkan belum pernah menerima materi yang termuat dalam soal.

Jika yang disebut-sebut selama ini, bahwa penyebab tingginya angka siswa yang tak lulus adalah standar nilai kelulusan, maka persoalan yang sebenarnya—seperti dalam ilustrasi di atas—tak akan pernah diketahui, dan gagal ditelusuri lebih lanjut oleh Depdiknas.

Logikanya, seberapa pun tingginya Depdiknas menerapkan standar nilai kelulusan, jika siswa mampu menjawab soal-soal sesuai materi pelajaran yang telah mereka dapatkan, maka mubazir mempersoalkan sistem Ujian Nasional ini lebih lanjut, bukan? Masalah ini akan pungkas dengan sendirinya.

Karena menyadari masalah yang sebenarnya, maka saya pun senang sekali mengemukakan usulan ini. Bahwa, soal Ujian Nasional tidak lagi dibuat atau diformat di kantor Depdiknas Pusat, tetapi pengelolaannya bisa diserahkan pada dinas pendidikan di daerah-daerah, yang mana mereka lebih tahu seberapa tinggi rendahnya pencapaian pendidikan di dearah setempat.

Formulanya, atau cara memformat soal-soal itu, tak perlu berubah, yang disesuaikan hanyalah, soal ujiannya dengan materinya. Demikian pula dengan format standar penilaian, format penentuan angka kelulusan, format pengawasan, format distribusinya, dan format kerahasiaan negara yang terkandung didalamnya.

Desentralisasi pembuatan soal Ujian Nasional ini akan memberi banyak keuntungan dalam pelaksanaannya; soal-soal Ujian Nasional itu akan mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa—seberapa pun sulitnya soal itu disuguhkan—karena soal ujian dibuat sesuai pencapaian materi pelajaran di daerah itu; akan memudahkan dalam mencapai standar nilai kelulusan, seberapa pun tingginya standar itu; juga akan memudahkan dalam penentuan angka kelulusan dengan memuaskan, dan tidak mengundang protes serta kritikan; pola distribusi soal-soal ujian itu lebih efisien dan ekonomis, dikarenakan wilayah cakupannya dan pendeknya rantai distribusi; dengan mudah lembaga pendidikan nasional setempat membangun pola pengawasan ujian yang melibatkan semua stakeholder (Diknas setempat, guru, lembaga swadaya masyarakat independen, kepolisian, komite sekolah, BPOG, bahkan jurnalis).

Jika desentralisasi sistem Ujian Nasional ini bisa diberlakukan seperti ini, ke depan kita tidak akan disibukkan dengan kasus-kasus klasik seperti kebocoran soal (dikarenakan rantai distribusinya yang panjang, hingga membuka pintu peluang kebocoran soal di tengah jalan, seperti yang ditemukan Komunitas Air Mata Guru di Medan); penggabungan sekolah-sekolah peserta Ujian Nasional (seperti kasus penggabungan 27 SMU di Jawa Barat karena tidak memenuhi standar jumlah siswa peserta ujian).

Tertukarnya soal Ujian Nasional (kasus tertukarnya soal ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Inggris di Bali); curiga mencurigai antara pengawas ujian (kasus penyitaan phonecell para pengawas oleh panitia pelaksana di beberapa provinsi); peredaran kunci jawaban soal ujian melalui pesan singkat elektronik (kasus peredaran Kunci Jawaban Ujian Nasional melalui SMS, mengagitasi siswa hingga tak peduli lagi kunci jawaban itu, valid atau tidak); hingga terhindar dari hal-hal yang keluar dari konteks ujian nasional (kasus sejumlah siswa yang melupakan persiapan belajar dan menggantinya dengan ritual doa dengan harapan bisa lulus ujian). Ah…ada-ada saja…

Pemerintah, lewat instansi terkait, boleh mempelajari sejumlah ketimpangan yang terjadi itu. Semua komponen masyarakat, yang merasa bertanggungjawab dengan pendidikan nasional—minimal peduli dengan pendidikan anak mereka—harus membantu dengan mengumpulkan data-data penting, dengan tujuan untuk mendorong pengembangan pendidikan nasional Indonesia agar lebih baik; sebuah pendidikan yang Indonesianis.

Bagi saya sih…pihak-pihak yang bertanggungjawab itu, mau me-revolusi sistem Ujian Nasional ini… Tapi itu sih..kalo mau saya. Mana saya tahu kalau mereka pun mau… Tetapi, omong-omong… Cobalah.

Ini usul saja… Kupingnya jangan ikut-ikutan merah loh yah….[]

Sumber: http://ilhamqmoehiddin.wordpress.com