E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan
Minggu ke-VII, Agustus 2012
Periode: 05 – 12 Agustus 2012
Oleh Afrilia Utami
Ditandus bebatuan padang layang yang gersang
Kembaraku tak memulang, pula enggan pergi memulai
Kala Malaikat rotasi mendengung menutup gerbang-gerbang hari
Dan rona bangkai bumi membusuk mati
Tangan-tangan Ar-rahman mengiring sapuan jingga melata
Membuka tatap tajam mata langit, meniup kalut yang terbang
Mengiring langkah-langkah maut berpulang meminang kekal
Dipenghujung laju tarikan nafas . .
Di Dermaga petang yang membilang
Mata timur terpejam akhiri senyawa. Menguras
Digelisah angin dan kepak sayap-sayap lembut
Alunan titah langkah yang memulang sejarah
Berkalikatur aku singgah di taman semusim semi
Mengiring dongeng-dongeng ditelinga bunga-bunga yang kian tertidur manja
Seperti yang sering kau singgahi dipecahan lamunanku menjelang senja
Meraba rambu-rambu rindu yang pilu ku seduh diteriknya haru
Adakah rasa dingin memucat pasi dalam kufur angkuh merayu?
Amis riwayat sejarah masih berdiam dibalik cadar Anugrah
dibelahan jiwamu aku terus menarik garis rindu
menahan luap rasa ingin bertemu
membicarakan rasa cinta yang tak jua menampar sayang
sementara hari-hari adalah jalang sepi yang memanjang
bulan-bulan adalah selaput bangkai cerita dibalik akar cakrawala
seperti kelopak bibir diwarna harapan baru
sementara aku berada di antara tengahnya
mengupah rindu, menyayat maut yang berpaut
mematikan rintih asa, mengusir ketidakberdayaan tingkah
“Kasih itu?”
“Kasihmu ?”
“Rindu ini?”
ya, rinduku
Kubuat sederharna mizan rinduku untuk kalian
***
*Terimakasih sahabat, ada rasa jenuh yang menyayat saat tiada waktu yang memilah tanpa sapa kalian, kepingan-kepingan yang menjadikan langkah memayat. Ada rasa kasih meraba hangat, dalam letih paruh yang meluruh memudar puyar. Sungguh, aku merindukan kalian, dalam tarian canda jabar aksara, merangkum sepi menghuni tawa dan tulusnya berbagi. Sangat rinduku ini. kini, Haru bersua kembali, mengingat uluran kasih sayang serta do’a yang menjadikan gelora semangat penyembuh dari segala penyembuh. Aku kembali karena kalian, aku disini untuk kalian. Terimakasih saudaraku. Kutemukan tulus erat jabat CINTA keluarga. 🙂
Kubuat sederharna mizan rinduku tuk kalian
Maaf, kerna nyataku tak bisa merangkai kaidah indah
Tak mewakili indahnya mengenal baik kalian
Tak mewakili indahnya waktu mengekang kerinduan
Untuk kalian …
(Mohon maaf karena keterbatasan tag, namun bilik sederharna ini terbuka untuk kalian para Sahabat baikku )
Terimakasih Sahabat, salam Sayang segenap Rinduku 😉
Untuk kalian …
RS, 13 Juli 2010
:Afrilia Utami
Oleh Adhy Rical
apakah kau bercanda?
tiga ratus lima puluh ulat daun sesorean itu
kau suguhkan padaku
seperti gaun yang sengaja kau singkap setengah
lalu diam-diam kau tertawa
membisikkan kata sayang: aku bisa memberimu bocah sepuluh
apakah kau bercanda?
usia tak patut dibicarakan
sebab melahap ulat sejumlah usia
dapat melihat malaikat yang turun padamu
membisikkan kata sayang: tuhan akan menelponmu malam nanti
katakata berdesis kau ulang
mengikuti perempuan bermata biru
yang kelak menjadi ibu dari empat ayahmu
tak ada cinta terlarang
maka carilah ulat biru sebagai bekal penolak saru
tiga ratus lima puluh hari setelahnya
“kau boleh menelpon ketika tak sedang rindu”
apakah kau bercanda?
tak satupun ulat berwarna biru di sini
katakata berdesis kuulang
seperti perempuan bermata biru
apakah kutuk datang padaku
kelak menjadi ayah dari empat perempuanmu?
Kendari, 2010
[]
* ulat biru: sebuah tradisi ungkapan cinta suku pedalaman di konawe.
(maaf, bukan biru)
Oleh Iwan Piliang
Bis Kopaja Enam-Enam petang itu menabrak jalur Busway menuju Manggarai
Metro Mini Enam Dua melanjutkan perjalanan menuju Pasar Minggu,
Adil kelas enam es de seusia anak pertamaku menjadi kernet
Ia bilang ibunya sudah berpulang
Adil pagi sekolah, siang hingga larut mengkernet
Ia perlihatkan dua garis di pangkal pahanya biru-biru
Ayahnya sang supir suka memukul
Adil menundukkan kepala menekuk kaki di pojok kiri
Adil, penumpang! Teriak si supir
Di perempatan Pancoran , billboard berukuran lapangan volley
Presiden dan Ibu Negara bervisual beragam kegiatan: Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat
Adil bilang buku kelas enam es de-nya belum terbeli
Di Durentiga menyeberang berselingkitan motor menabrak lampu merah
Motor bikin penumpang bis komprang-komprang berkurang
Berlabuh ke sebuah cafe bertajuk O, o-alah, ruko-ruko bersulap berdandan meng-cafe
Petuah sang kawan di cafe O, setiap kekayaan tambun cenderung berunsur kriminal
Sang kawan di Bareskrim Mabes Polri, mengaku gamang melihat kejahatan kerah putih
Lalu kami malam-malam menenggak dingin eskrim
Lantas hujan berlabuh rusuh, bertanya haruskah mengkriminil baru meluruh lusuh?
Membayangkan mengirim mimpi ke Adil menyeruput es krim
Di jalanan pukul dua tiga tiga puluh bis telah tiada
Menyusuri jalan raya Pasar Minggu menuju Pancoran
Rombongan pengajian Mejelis Zikir Rasulullah menyemut baru usai
Lapak pedagang sarung, kopiah, mukenah, minyak wangi, menepi jalan masih berdiri
Adil kiranya sudah di peraduan, hanya sebuah omprengan tua saja lewat
Dua gadis dan beberapa penumpang pria berwajah lusuh acuh
Mereka bekerja di sebuah rumah sakit
Mereka bilang jumlah pasien meningkat, insomnia dan lainnya penyakit.
Berjalan dari Pasar Rumput menuju rumah
Enam pasang tunawisma terlelap di pelataran toko-toko sepeda
Nyanyian nyamuk menyeka minat menggigit darah pahit
Tujuh gerobak membalut tubuh, membayangkan Adil tidur pulas bak manusia gerobak
Satu dua pengumpul berang bekas memilah gelas dan botol plastik
Menghitung bak lembar dolar di sebuah money-changer di sepelemparan batu Menteng
Tiga wanita ber-rok pendek di keremangan Pasar Rumput lalu empat lelaki menari-nari
Musik dangdut menghentak mengingatkan senandung kernet Adil di bis tadi petang
Sebuah lampu menyorot kepala patung sosok Gajah Mada di Markas PM Guntur
Bertanya ke hati, wajah asli Maha Patih Gajahmada-kah?
Hidung melengkung, muka keras, garis di jidat melilit, dagu belah kotak
Sejarah kadung menghafal tahun tanpa perlu verifikasi apalagi berguna nyanyian prestasi
Alam seakan tak perlu membaca mengejawantahkan lema adil
Membuka lembaran kamus Bahasa Indonesia yang lusuh
Adil: tidak berat sebelah, tidak memihak; berpihak kepada kebenaran.
Dapatkah kelak sosok kernet bernama Adil menjadi insan nan adil?
Menatap anakku, membayangkan Adil yang belum membeli buku kelas enam es de.
Anakku pun, belum membeli buku kelas enam es de
Di rumah televisi menyala sendiri menyiarkan ulang sebuah talk show tipi
Sesosok bergelar doktor hukum tata negara bertajuk Yusril berdebat keabsahan Jaksa Agung dan keadilan
Hampir semua doktor tak pernah lagi meninjau kawasan kumuh
Apatah pula sepenggal ruas Manggarai-Durentiga-Manggarai, bukan Manggarai NTT
Kendati letaknya tak sampai sekilo dari rumah Wapres ekonom bergelar doktor
Adil hanyalah sepenggal lema tak beda dengan Yusril, sebuah nama saja
Dini hari pekak telinga mendengar perdebatan doktor-doktor di tipi
Teringat kawan diminta menjawabkan pertanyaan mantan seorang pejabat ambil doktor
Rupanya pertanyaan itu dibocorkan tim penguji sang pejabat calon doktor
Agar cantik disimak orang diliput media di ujian doktor ala perjokian kotor
Adil yang belum bisa membeli buku kelas enam es de.
Para pejabat pendidikan, mantan pejabat, tokoh berlomba-lomba mengambil gelar doktor
Lalu ranah intelektual kotor demi gelar doktor-doktor
Adil tetap saja adil, sebuah kata tanpa makna
Adil yang belum bisa membeli buku kelas enam es de
Hanyalah penggalan kecil Indonesia di ruas Menggarai-Durentiga-Manggarai
Ribuan kilometer Indonesia berjuta Adil belum membeli buku kelas enam es de
Masih adakah Adil berhati wangi, bak Malaikat Subuh dijual di pinggir jalan tadi?
Adil sosok kernet yang belum bisa membeli buku kelas enam es de
Sebotol Malaikat Subuh lima ribu di pinggir jalan usai acara Majelis Zikir Rasulullah
Lima ribu bisa mahal bisa murah, relatif di kala kosong koin Rp 100 begitu berarti
Serelatif mencari malaikat keadilan di bumi Indonesia nan tak kunjung wangi.
Demi Adil yang belum bisa membeli buku kelas enam es de
Kepada-Mu Tuhan doa kupanjatkan agar Adil dapat membeli buku kelas enam es de
Semoga Malaikat Subuh wangi membelai Adil belum bisa beli buku kelas enam es de
Amin. Adil. Amin.
Jalan Malabar, Guntur, Jakarta Selatan, 13 Juli 2010
Oleh Dwi Klik Santosa
Pernah ingin kupetik bunga itu
“Jangan dulu, tunggu saatnya nanti tiba”
Angin seperti membisik memberitahuku
Setiap pagi tiba, menjelang sore, kadang di tengah malam
Selalu kuawasi makhluk mungil di pot itu
“Andai saja kau nanti menerimanya”
Hari-hari yang panas
Ibukotaku riuh diderak revolusi
Dimana keramaian adalah jerit tangis kehilangan
Dan gelak tawa adalah wajah-wajah yang hilang
Debu-debu mengepul menjelma sejarah kelam
Seonggok kangen kubawa
Dari rantau membara ke kota kasur tua
Bunga itu jadi kupetik setangkai dengan asaku
“Persetan dengan suksesi”
Perih, remuk, rinduku yang malang
Bungaku layu sebelum sampai padamu
“Naomiku, malaikat yang terlalu cepat
atau aku yang selalu terlambat”
pondokaren
5 juli 2010
: oo.27