Category Archives: Budaya-Tradisi

Sesekali Dengarkan Keluhku

Oleh Dwi Klik Santosa

 

Kula nuwun para sedulur …

Perkenalkan nama saya Tejomantri. Panggilan keren saya Togog. Mohon maaf, jika sesekali saya akan mengeluhkan apa-apa yang akan menjadi keresahan hati saya. Banyak yang tahu, bahwa di dunia pewayangan, saya ini popular dan lebih dikenal secara konotatif karena selalu beriringan dengan tokoh-tokoh sora. Raja jahat, banyak ambisi, dan suka semena-mena, gitulah …. Ya, kalau di zaman sekarang ini, jika harus dilakonkan, mungkin saya masih akan kebagian peran yang tidak jauh-jauh dari lingkup antagonis seperti itu. Mengikuti para-para yang punya kecerdasan, kelihaian, kebagusan, kekuasaan tapi gemar berjudi, manipulasi, menindas, korupsi, suka aleman dan cewekan … hehehe … sepaketlah.

Aduuuuhh … padahal secara genitas, saya ini kan terlahir mulia. Sebagai dewa berjuluk Tejamaya. Yang kalau diartikan bisa berbunyi cahaya langit yang teduh. Coba bayangkan. Lha tapi … ini kan tugas dari Bathara Tunggal, ayah saya. Kewajiban yang harus saya emban, karena lahirku yang serba ajaib dan punya kelebihan yang linuwih.

“Jika pemegang aturan terus dikemudi manusia keblangsak, maka ilmu pengetahuan akan kehilangan makna,” begitu titah beliau.

Dan benar belaka rasanya. Jangankan harkat adat, tradisi dan moral yang adiluhung. Agama yang sakral saja … bisa saja diplintir-plintir, dijadikan kedok-kedok.

Aduuuhhh … Betapa kata-kata ayah itu terus saya pegang dan pahami hingga membumi sebagai amanat yang paling utama.

Tapi, begini lho para sedulur …

Sesungguhnya, sejujurnya saya ingin mengeluh dan curhat. Andai saja sedulur sekalian memahami perasaan saya. Sudah didandani sebagai makhluk buruk begini rupa, ditugaskan pula sampai masa yang tak terbatas. Untuk terus mengiring dan menyaksikan keblangsakan makhluk rakus bernama manusia murtad. Lae … lae …

Tidak bolehkah saya ini sekali-sekali menampilkan kemahiran saya. Kehandalan saya. Kelaziman saya. Yang tentunya selama para sedulur semua terlalu sering mengenal saya sebagai makhluk bego, lupa membaca saya. Bahwa saya ini bisa juga klimis, mahir berjargon. Jago nggombal. Dan berbakat buaya juga … hehehe …

Tapi, … tapi … waduuhhhh … Untuk apa saya harus membajul. Atas nama dan untuk kepentingan apa. Wong menyaksikan bencana sedemikian rupa. Airmata saya lebih sering terjatuh. Kata-kata bungkam. Bahkan tak kuasa jua meminta tolong kepadaNya. Bukankah sesering dan setiap kali kita menyebut, mengagungkanNya .. bukankah … bukankah … ah, pastilah Yang Maha itu selalu tahu … tidak sepatutnya saya rasa mempertanyakan ini. Tidak sepantasnya.

Kalau gitu saya mau bertanya saja pada diri saya sendiri: “Hai .. Gog! Apa pentingnya kamu suka nangis. Apa pula itu sok kritis. Sok tahu. Kamu kan punya jiwa dan raga yang kuat. Intelek. Banyak tahu dengan cara-cara dan bagaimana sebaiknya harus berbuat. Ayo apa yang bisa kamu lakukan!”

Lae … lae … Duh, Gusti Pangeran ingkang Maha Welas … nyuwun daya. Nyuwun kekiatan ….

[]

 

Pondokaren
20 November 2010
: 15.46




Kampung Kita : Kampung Nusantara

Oleh Dwi Klik Santosa

Bersalam-salaman. Berbagi sapa. Berbagi senyum. Berbagi bungah. Inilah adab kami, gotong royong itu punya nama.

Era boleh berganti nama. Gombalisasi global boleh saja hendak mengubah arah. Tapi di hati yang putih, dan memerah nusantara, tidak ada (insyaAllah) merobohkan élan juang itu untuk hakiki.

Fitri, mari kembali ke fitrah kita yang sahaja. Dalam lingkar kerukunan dan kebersamaan, semoga dibumikan sari-sari pencarian itu kepada inti yang sejati.

Salam saya.

dari kampung Sukoharjo

11 September 2010

: 07.2o

[]

HARI FITRI YANG BERKAH : Bersalam-salaman seluruh warga kampungku

SINERGI : Alam kampungku pun renyap mengasihi penghuninya yang saling berbagi kegembiraan

MEREKA SUDAH PADA BESAR : Anak-anak sanggar ketapelku dulu dan aku

LUCU DAN MENYENANGKAN : begitu kira-kira kenangan dulu itu masih tersimpan, meski kami jarang lagi bertemu. Hanya karena tuntutan nafkah dan perjuangan mencapai bentuk


Mudik Lebaran : Aku Pulang, Ibu

Oleh Dwi Klik Santosa

MUDIK lebaran. Tak dipungkiri, ini peristiwa besar. Betapa tidak. Coba kita simak dan teliti dari pemberitaan-pemberitaan dan fakta, betapa penuh, padat, berhimpitan, seruas jalan dari lajur utama ibukota menuju jalur selatan dan utara Jawa. Dari sejak setidaknya seminggu menjelang lebaran. Pesawat-pesawat terbang, Kereta-kereta Api, Bus-bus penuh penumpang. Mobil-mobil pribadi beriringan sesak oleh penumpang dan barang. Sepeda motor-sepeda motor, bahkan berduyun-duyun, bersemangat, ibaratnya iklan KB saja. Berisi bapak, ibu dan dua anak. Juga truk-truk bak terbuka. Sepenuh-penuh, sesesak-sesak. Begitupun bajay dan metromini serta kendaraan apa saja, asal dapat mengantar diri sampai ke tujuan. Sampai ke asal dulu kami pernah diadakan.

Ada apa dengan lebaran? Kenapa harus mudik? Adakah bangsa lain mengenal adab seperti ini?

Lebaran adalah kosa kata nusantara, yang bisa dimaknakan pengenyahan atau penghancuran dari sampah-sampah, sisa-sisa atau jelaga-jelaga. Lebar, lebarlah. Enyah, enyahlah. Hancur, hancurlah. Maka, kami menandang nelangsa selama 30 hari lamanya. Menahan lapar dan dahaga. Mengendapkan nafsu-nafsu dan melatih sabar. Tapi diri yang kreatif inilah intuisi untuk produktif. Puasa kami tidak kenal malas dan stagnasi. Hanya semoga kalbu kami disucikan dari kotoran dan pamrih-pamrih yang menyesatkan. Semoga kreatifitas kami mampu menembus batas yang multi guna. Menghadirkan manfaat yang nyata, mengalirkan kasih sayang bagi sesama.

Di kedalaman sanubari yang fitri. Ibulah pernah mengandung, mengasuh dan melindungi. Di gua garbanya yang suci dan teduh, disitulah pertapaan kedap oleh perdu-perdu. Kampung halaman adalah fitrah dulu kita pernah merasakan hawa dan musim, ketika lalu sang pencipta menitahkan kita terlahir sebagai bayi kehidupan. “Oa .. oaa .. oaaaaa …..” begitu bunyi tangis kita. Keras, pekak dan membahana. Di haribaan udik lah dulu tangis pertama itu menandai. Lahir, besar dan njenggureng sebagai insan. Sebagai umat bagi Penciptanya. Sebagai makhluk sempurna bernama manusia. Sebagai patria bagi nusa dan bangsanya, agama dan lingkungannya. Mudik, menuju udiklah kami. Sujud dan sungkem kami di hakekat telapak kakimu, Ibu. Putra-putrimu yang ingin selalu merindumu. Ingin senantiasa mensyukuri berkah lahir, besar dan mulia. Atas segala sakit dan nestapa ketika dulu kami engkau kandung. Engkau asuh, engkau pintakan nafas kepada sang maha. Terimalah dera kami, tangis kami, sungkem kami.

Tuhan maha Akbar … Tuhan Maha Segala … Tuhan maha suci ….
Semoga Kau-murnikan harkat dan martabat juang kami dari khianat, bangsat dan laknat.

Sukoharjo
11 September 2010
: 06.41

[]


Merdeka, Jujur, Indah

Oleh Dwi Klik Santosa

Karena kami diancam

dan kamu memaksakan kekuasaan…

maka kami bilang : TIDAK kepadamu

KETIKA hidup kita penuh kekangan, lilitan dan tekanan, apalah arti kewajaran dan keberlangsungan? Jika kita dikaruniai kelengkapan berupa pikiran, naluri dan nurani, kenapa kita harus takluk oleh hidup yang profan? Merdeka, inilah kebutuhan manusia yang paling hakiki. Tetapi dasarnya manusia hidup dalam kejalangan ambisi, kemapanan dan status sosial telah menjadikan tujuan, dimana tahta dan harta kemudian menjilma panglima. Apa itu kejujuran? Di mana keindahan berada, jika hidup terus menetek pada kamuflase dan ketidakmasifan? Apa itu cita-cita hidup yang sejati?

Pada musim penghujan di masa Orde Baru, menggulirlah pada suatu ketika sebuah kisah. Datuk Anwar Ibrahim menjadi berita besar di seantero nasional karena kedatangannya sebagai tamu negara ke ibukota Jakarta. Di rumah Rendra di perkampungan Cipayung Jaya, yang terletak di sudut wilayah Kota Depok, suatu saat berderinglah teleponnya. Datuk Anwar Ibrahim berkenan mengundang kehadiran Rendra di sebuah tempat terhormat di ibukota. “Insya Allah, saya akan datang Tuanku,” jawab Rendra.

Sekian lamanya, sebagaimana disepakati, Rendra tak datang jua menemui undangan itu. Lalu berderinglah kembali telepon di rumah Rendra. “Saya sudah berusaha menepati janji, Paduka Datuk, tapi mobil saya kering tidak berbensin, sehingga tidak dapat segera mengantarkan saya sampai ke Jakarta,” kata Rendra. Oh, …Lalu beberapa jam kemudian, datanglah mobil mewah memasuki jalan Cipayung Jaya yang berlumpur dan sudah menjadi kebiasaan pada saat musim penghujan datang.

Rendra merupakan sahabat yang terkenal dan besar namanya di Malaysia, tapi melihat Rendra yang sahaja dan sakit, meneteslah air mata Paduka Datuk. “Mas Willy, jika Anda berkenan, tinggal dan hiduplah di Malaysia. Ada rumah, fasilitas dan kemapanan hidup yang layak untuk mendukung Anda berkarya,” kata Datuk Anwar.

“Terima kasih, Tuanku Datuk atas tawarannya. Tapi walau bagaimana pun, Indonesia adalah rumah saya,” kata Rendra dengan tenang. Lalu mengalirlah kehangatan. Berpelukan kedua sahabat itu mengurai kerinduan masing-masing.

Begitu pula, berita-berita lain menggulirkan kisah. Rendra menolak kerjasama dan hadiah dari cukong-konglomerat penindas rakyat. Rendra menolak bantuan pemerintah asing. Rendra menolak sponsor dari lembaga dan perusahaan asing di tengah miskinnya hidup yang dijalani. Adalah manik manikam di bumi kita yang kaya akan epos legenda dan dongeng pelipur lara.

Meyakini pilihan hidupnya, Rendra kaya dalam kemiskinannya. Menjadi seniman yang ‘berseberangan’ merupakan pilihan yang rumit di tengah bergulirnya zaman edan yang munafik. Tapi niat telah ditetapkan. Tidak ada sewujud aral mampu mengkotak-kotak hidup manusia. Hanya dengan ketulusan dan kebesaran jiwa, maka manusia akan menjadi arif.

Rendra adalah seorang seniman besar. Lebih dari setengah abad, hidupnya dipenuhi pengabdian yang mengharukan. Berbagai gerak dan laku hidupnya senantiasa mengalirkan harapan dan berbuah berita yang mencengangkan banyak orang. Tak pelak, dinamika kehidupan telah menempatkan Rendra sebagai tokoh sekaligus cermin bagi para penggandrung dan pendulang hidup bermakna. Esensi sebuah pencarian adalah pengabdian. Jika seseorang mudah marah, putus asa, dan lalu menindas, maka ia hanya menjadi sampah saja bagi kehidupan. “Menjadi seniman harus tahan hidup dalam kesepian,” kata Rendra, “maka niscaya kelak kita akan mengerti apa sebetulnya yang sedang kita cari.”

Dan kemudian… “Aku muak pada seniman-seniman muda yang tidak mempunyai tenaga, tidak mempunyai kegagahan jiwa, tidak mempunyai kelurusan pikiran dan pengendapan pengalaman.” Inilah cetusan marah seorang Rendra yang lantas karenanya menjadi intuisi bagi para seniman dan kreator untuk bangun kembali dari keterlenaannya karena terlalu memuja keindahan tanpa ikut andil menegakkan kemerdekaan dengan laku yang jujur dan sahaja.

[]


Diproteksi: Literair : Moodulele, Menani, Syair Tua Orang Moronene (2)

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:


Diproteksi: Literair : Moodulele, Menani, Syair Tua Orang Moronene

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:


Daeng

Oleh Mappajarungi Manan

Tiga puluh tahun silam, tiap liburan sekolah, aku selalu diajak oleh bapak untuk liburan ke kampung halaman kakek-nenek. Maklum, saya tinggal di desa yang terpencil di Rate-Rate, Kolaka. Begitu riang gembira rasanya. Bisa jalan-jalan ke Ujung-Pandang (Makassar, kini). Kendatipun kampung bapak di Bontoramba, namun terbilang dekat jaraknya dari kota Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa. Demikian halnya dengan Ujung Pandang.

Memori masa kecil masih tergambar dalam benakku. Setelah lebih dari 30 tahun itu. Apalagi tiba-tiba dari gedung Senayan tempat wakil rakyat itu berkantor keluar kata Daeng dari mulut Poltak (politik tak karuan) yang meminta mantan Wapres M Yusuf Kalla agar tenang dengan memanggil Yusuf Kalla, “Daeng”. Kontan para wakil rakyat yang ada di gedung itu memprotes. Tak ayal lagi, gemanya hingga ke penjuru belahan negeri ini. Disambut nada protes!.

Sejak kecil, ditelingaku akrab mendengar sebutan Daeng. Teringat, saat bermain di rumah sepupu di Sungguminasa, di samping rumah sepupu tinggal seorang perempuan nan cerewet. Di halaman perempuan itu terdapat pohon mangga. “Mappa, kita panjat mangga” ajak sepupuku yang namanya Accang. Adik Accang, Cilli, juga ikut. Kedua sepupuku badannya ramping. Tapi, dalam soal panjat-memanjat, aku terbilang lincah.

Pendek kata, aku memanjat mangga di halaman perempuan tua itu. Maklum anak-anak melihat mangga ranum, langsung sikat saja. Cilli yang kecil dan lincah tiba-tiba lari dan teriak. “Mappa!!,.. Turun!!.. ada Daeng Kuning”. Accang juga berlari. Tinggallah aku di atas pohon mangga itu meringis. Namun, aku sempat berpikir : “Kok perempuan ini dibilang Daeng Kuning, kenapa pakaian dan kulitnya tak kuning?” Aku tak berani turun dari pohon mangga itu, kendatipun Daeng Kuning meminta aku turun. Tegang , aku pasrah.

“Punnah teako naung, kujoloko,” kata Daeng Kuning. Akupun turun dan segera berlari menuju rumah sepupuku yang bertetangga dengan Daeng Kuning. Tak menghiraukan omelan Daeng Kuning. Dari kecil, aku sering bertanya dalam hal apa saja. Nah yang selalu terngiang soal Daeng Kuning, kenapa sampai dinamakan Daeng Kuning?..

Di Sulawesi Selatan semua yang dianggap tua dipanggil Daeng. Bagi etnis Makassar yang mendiami Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros. Tidak memandang itu tukang becak, dipanggil daeng becak, tukang kayu dan tukang apa saja kalau dia lelaki lebih tua dari yang memanggil, pasti dipanggil Daeng. Entah sejak kapan panggilan itu melekat pada diri Daeng becak dan Daeng-Daeng lainnya. Kata Daeng mulai merakyat dan dipergunakan pada khalayak setelah Indonesia merdeka, maka nilai-nilai sakral daeng mulai tergerus oleh zaman.

Padahal, bagi etnis Makassar, penggunaan kata Daeng itu, sangat sakral. Itu, hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan. Kalau bukan bangsawan, maka ia akan dipanggil sesuai dengan namanya saja. Misalnya, seorang lelaki bernama Hardik, maka ia akan dipanggil dengan Hardik saja. “Oe Hardik, kamu mau kemana?” begitulah panggilan buat yang bukan keturunan bangsawan.

Tapi, bila ia keturunan bangsawan, ia akan memakai nama pemberian Daeng. Misalnya Sultan Hasanuddin Daeng Mattawang, atau Rahim Daeng Nyonri. Demikian pula dengan wanitanya juga ada pemberian Daeng (Pa’daengang). Misalnya: Hayati Daeng Rannu (perempuan yang periang) Wati Daeng Puji (Wanita terpuji perbuatannya), Endang Daeng Te’ne (Perempuan yang manis). Jadi cara memanggil mereka, jangan menyebut nama yang ada didepannya, tetapi nama pemberian yang ada setelah Daeng, Misalnya Endang, harus dipanggil Daeng Te’ne. Kalau memangil namanya, akan kurang sopan dan dinilai tidak bermartabat..Nah kepada Perempuan Daeng Kuning, sampai sekarang saya masih belum mengerti kenapa diberi nama Daeng Kuning?.. Nama sebelum Daeng Kuning, saja juga tak tahu. Entahlah.

Di Kalangan etnis Bugis dan etnis lainnya di Sulawesi Selatan seperti Lu’, Mandar, Tator, Duri, Silaja, yang merupakan saudara-saudara etnis Makassar sangat kental penggunaan kata Daeng. Dulu, sebelum penggunaan kata Andi, bagi bangsawan Bugis, juga menggunakan pemberian nama Daeng. Namun entah, bagi kalangan Bugis sudah jarang penggunaan Daeng. Hanya saja kalangan Bugis menggunakan kata Daeng untuk memanggil orang-orang yang lebih tua baik kepada perempuan maupun kepada Laki-laki. Jadi bagi orang Bugis, kata Daeng adalah Kakak Tertua. Begitupun kini di kalangan Makassar.

Di bumi sulawesi selatan, kendatipun ada beberapa etnis yang berlainan bahasa namun sikap dan karakteristik sama. Sama-sama menjunjung tinggi harga diri. Siri na pace. Siri adalah malu, pacce adalah harga diri yang turut membantu teman, intinya adalah solidaritas. Jadi, jangan heran persatuan dan kesatuan dari Sulawesi Selatan sudah lama terbangun. Jadi, ketika orang-orang Sulsel dipermalukan, maka akan timbul pacce secara serentak, untuk melawan orang yang mempermalukan itu. Sebab, bila tidak maka orang yang dipermalukan tak lain itu ibarat hewan. Malu adalah harga diri, harus ditegakkan.

Dalam kasus Poltak tadi, etika penggunaan kata Daeng memang kurang tepat. Karena dalam forum terhormat itu, alangkah bijaknya kalau Poltak memanggil M Yusuf Kalla sebagai saudara. Karena bagaimanapun, parleman merupakan lembaga tinggi negara yang dipilih oleh rakyat. Kalau memanggil Bapak, juga kurang tepat. Namun, etika politik Poltak intinya tidak elegan. Sistem komunikasi politik yang dimilikinya tidak ada.

Sedikit mengutip pakar komunikasi politik, Barlund, dalam berkomunikasi, harus dinamis yaitu suatu proses perilaku yang dipikirkan seorang penafsir dan bukan suatu yang tersendiri dan tidak dipikirkan. Lalu, dia memahami makna yaitu ada urutan yang linear dalam arus makna dari seorang kepada yang lain. Tapi si Politik Tak Karuan itu, tidak memahami makna, terkesan ingin mengacaukan dan carmuk. Tidak hanya melecehkan “Daeng” tapi juga pernah menghina Chines. Nah Poltak. []

Tulisan ini juga bisa dibaca di: http://www.mappajarungi.multiply.com/


Pengantin Jepang Ala Yogya

Oleh Hera Ibrahim

Suara merdu gending sayup-sayup terdengar dari sebuah rumah megah yang terletak di sisi utara alun-alun kidul. Tak seperti biasanya, rumah berhalaman asri tersebut yang selama ini dikenal sebagai ndalem Prabukusuman dan pintu gerbang hijaunya selalu tertutup rapat, pagi itu terbuka lebar-lebar dengan hiasan janur melengkung di sekelilingnya.

Hari itu, Sabtu 22 Desember 2001, sang pemilik rumah yakni GBPH H Prabukusumo Spsi. sedang punya gawe cukup unik, yaitu menikahkan sepasang pengantin dari Jepang, Tsuyoshi Miyagawa (28 ) dengan Mineko Saito (25).

Bermula dari sang ibu mempelai pria, yakni Ny. Shizuko Miyagawa (60-an tahun) yang sejak 1988 secara teratur berkunjung ke Indonesia, khususnya Yogyakarta, untuk melakukan wisata spiritual ke Candi Mendut. Kunjungannya yang rutin ke Kota Gudeg itu, akhirnya memunculkan kecintaan, hingga ia menganggap Indonesia adalah tanah air kedua baginya. Ny. Shizuko Miyagawa adalah President of Nyoi Kenshin Kai, sebuah sekte keagamaan cukup terkenal di Jepang. Sebagai pimpinan, ia berkewajiban mengajak umatnya untuk makin mencintai Tuhan. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan kegiatan keagamaan secara rutin di Candi Mendut yang legendaris itu.

Restu Sultan Pernikahan dengan upacara tradisional khas Jawa gaya Yogyakarta itu mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Tak terkecuali, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Sultan menyambut baik digunakannya upacara tradisional Jawa pada pasangan pengantin Jepang itu. Ia juga memberikan doa restu serta ucapan selamat ketika kedua mempelai sowan (baca: berkunjung) kepada kepala pemerintahan Yogya itu, sehari sebelumnya di Kepatihan.

Bahkan Sri Sultan berharap, bahwa pernikahan dengan upacara tradisional Jawa gaya Yogyakarta itu tak sekadar membangun kenangan indah, tetapi senantiasa mewarnai kebahagiaan keluarga mempelai nantinya.

Sultan juga menegaskan, penyelenggaraan upacara pernikahan dengan adat tradisional Yogya ini merupakan acara yang penuh makna simbolik. Makna simbolik itu diyakini sebagai upaya untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Dengan demikian, segala tata cara yg dilaksanakan itu dimaksudkan agar dalam membina kehidupan perkawinan, senantiasa mendapat ridho dari Tuhan. Menurut Tienuk Riefqi, sang perias, tidak ada hambatan sama sekali dalam menangani pasangan asing ini. Kedua mempelai dan ayah-ibu yang terlibat langsung pada upacara itu, sangat kooperatif. Bahkan, Ny. Miyagawa amat memahami penjelasan panjang lebar yang disampaikan Tienuk pada malam midodareni.

Keesokan harinya, ketika upacara panggih berlangsung, dan menerima sungkeman sang putra, Ny. Miyagawa tak sanggup menahan airmata harunya. Saat itu sama sekali tak tampak bahwa ia bukanlah orang Jawa. Sebab, perias terkenal ini tidak hanya memberi penjelasan teknis semata, tetapi juga makna-makna simbolik yang terdapat pada tiap tahapan upacara yang dilalui. Setiap tahapan adalah refleksi hubungan manusia dengan alam dan Tuhan.

Apresiatif Forde pernah berpendapat (1949:463 dalam Steward 1976:35-36) bahwa kebudayaan itu tidak statis, tetapi adaptif dan dapat dimodifikasi, disesuaikan dengan kondisi lingkungan fisik. Dalam konteks ini, pengantin Jepang tersebut bolehlah dipuji karena tidak hanya apresiatif terhadap kebudayaan Jawa yang adiluhung itu, tetapi sekaligus meleburkan diri di dalamnya.

Tak tanggung-tanggung, upacara panggih lengkap dalam tata cara tradisional Yogya, dengan busana Yogya Paes Ageng, diadopsinya untuk memasuki tahapan penting dalam kehidupan mereka.Pada akhirnya kita memang tidak boleh “sombong” dengan menyatakan kebudayaan kita yang adiluhung itu tabu untuk diadopsi oleh orang asing. Apalagi belakangan ini, bahkan masyarakat kita sendiri makin praktis dan enggan memakai adat komplet dalam upacara perkawinannya, baik untuk alasan efisiensi waktu maupun biaya.

Peristiwa pengantin budaya di atas justru boleh dijadikan cermin. Adat, betapapun rumitnya, akan memberi wawasan dan pengalaman batin yg dalam bagi si pelaku.Maka, kalau adat pengantin Bali telah lebih dulu populer, dan diminati oleh orang-orang asing bahkan para selebriti dunia, kini Yogya pun boleh mulai ‘tersenyum’ karena, setidaknya telah dimulai oleh pasangan Tsuyoshi Miyagawa dengan Mineko saito di atas. []

(Tulisan ini pernah dimuat di: Sinar Harapan, Sabtu, 19 Januari 2002)

Sumber: http://www.facebook.com/hera.ibrahim


Munjungan, Tradisi Nyekar Ala Desa Tambi

Oleh Hera Ibrahim

INDRAMAYU — Pada masyarakat Jawa, dikenal istilah ”Nyadran” atau ”Nyekar”. Sebuah istilah yang mengandung arti mengunjungi makam keluarga yang telah meninggal. Kegiatan Nyadran atau Nyekar marak dilakukan pada bulan-bulan menjelang bulan suci Ramadhan. Pada saat itu, biasanya peziarah menabur bunga di atas makam, sambil membaca doa bersama-sama. Kegiatan hampir serupa, namun berbeda dalam ritual, dilakukan di desa kecil bernama Tambi, bagian dari Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Nyandran atau Nyekar di desa ini dikenal dengan nama Munjungan. Keunikan Munjungan ini terletak pada tata ritualnya. Para peziarah makan bersama di kompleks makam sang leluhur, sambil menyaksikan pentas berbagai kesenian, macam wayang kulit, tari topeng, tarling, hingga dangdut. Yang mementaskan adalah para keluarga, anak dan cucu almarhum.

Usai Panen, Almarhum Ki Wisad, yang makamnya terletak di salah satu sudut desa Tambi, dulu adalah seorang dalang wayang kulit, dalang topeng, sekaligus seorang pelawak topeng. Maka, tidak mengherankan bila kemudian banyak anak-cucu keturunannya yang menjadi seniman. Yang membedakan lagi Munjungan dan Nyekar adalah waktu pelaksanaannya. Jika Nyekar hanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, Munjungan tidak terbatas waktu. Kapan saja bisa. Namun, yang paling sering dilakukan pada bulan Jumadilakir dalam penanggalan Jawa.

Menurut Pak Taham, yang merupakan keturunan kelima belas almarhum Ki Wasad dan Nyi Nasilem, yang dijumpai di sela-sela acara Munjungan, 3 September 2001, bulan Jumadilakhir adalah bulan di saat panen kedua usai setiap tahun. Sehingga kegiatan Munjungan tersebut dapat berjalan lancar. Hal ini terkait juga dengan biaya yang ditanggung bersama oleh seluruh keluarga.

Selain makam Ki Wisad, terdapat juga makam Buyut Tambi, yang merupakan cikal bakal penduduk desa Tambi. Seperti Ki Wisad, Buyut Tambi pun adalah seorang dalang wayang kulit. Asal-muasal Buyut Tambi tak pernah diketahui secara pasti. Namun, dialah yang kemudian membuka lahan pemukiman yang saat itu masih kosong. Maka, sejak saat itu, berkembang anak-cucu Buyut Tambi di desa itu. Untuk menghormati almarhum Buyut Tambi, dinamakanlah desa itu sebagai Desa Tambi.

Meski sebagian besar penduduk desa ini bermata pencaharian sebagai buruh tani, darah seni yang dimiliki Buyut Tambi ternyata tetap mengalir kuat. Maka, tidak heran bila di balik penampilan mereka yang sederhana, tersimpan kemahiran menari, menyanyi, memainkan berbagai alat musik, memahat, hingga mendalang. Ada kesepakatan tak tertulis, namun dipatuhi bersama di desa tersebut, yakni kegiatan Munjungan di makam-makam lain baru boleh diadakan, bila telah dilakukan Munjungan besar di makam Buyut Tambi, yang merupakan punden atau cikal bakal dari penduduk desa Tambi. Tidak terkecuali Munjungan di makam almarhum Ki Wisad dan Nyi Nasilem, dan Munjungan di desa-desa kecil sekitarnya.

Reuni Keluarga

Pada hari pelaksanaan Munjungan, biasanya seluruh keluarga besar, baik yang berada di wilayah Indramayu sendiri, maupun yang telah tersebar di lain tempat, akan berdatangan sejak beberapa hari sebelumnya, untuk mengadakan persiapan. Yang dilakukan adalah pembagian tugas, persiapan panggung, sampai urutan acara dan siapa saja yang akan unjuk kebolehan pada hari itu.

Maka pada hari yang telah ditentukan, sejak pagi para keluarga mulai datang berduyun-duyun membawa makanan khas, seperti tumpeng, ayam panggang, sampai urap (campuran beberapa macam sayuran rebus yang dibumbui cabai dan parutan kelapa).

Uniknya juga, tiap makanan yang dibawa, sebelumnya dilaporkan kepada salah seorang wakil keluarga yang berada tepat di sisi makam, untuk diambil sedikit dan ditaruh di atas daun pisang dan diletakkan di dekat makam yang telah harum karena aroma kemenyan yang dibakar. Makanan itu kemudian dibawa ke depan panggung, tempat para sanak keluarga telah berkumpul dengan bawaan masing-masing. Tanpa dikomando lagi, acara demi acara berjalan dengan lancar. Semua ambil bagian untuk unjuk kebolehan sesuai urutan yang telah disepakati sebelumnya.

Berbagai kesenian ditampilkan, mulai dari nyanyi, tari, lawak, wayang, dangdut, dan lain-lain. Munjungan di makam Ki Wisad dan Nyi Nasilem tahun ini tampak istimewa dengan hadirnya penari topeng terkenal yang telah berusia 72 tahun, yakni Mimi Rasinah, asal desa Pekandangan, Kabupaten Indramayu.

Penari topeng yang telah malang-melintang selama puluhan tahun, dan sampai saat ini masih kerap manggung di luar negeri ini, menarikan dua macam tari topeng, yaitu Topeng Pamindo dan Topeng Kelana. Lengannya masih tampak liat dan gerakannya masih lincah ketika membawakan tarian dinamis ini.

Tepat pukul 12.00 WIB semua kegiatan dihentikan sejenak untuk memulai acara makan siang bersama. Maka berlangsunglah acara tukar-menukar lauk-pauk sembari diseling guyon di sana sini. Usai makan siang, acara pun dilanjutkan hingga malam hari, atau bahkan keesokan harinya, bila kesenian yang ditampilkan sangat banyak.

Semua orang bersuka-cita pada acara itu, tidak ada isak tangis dan air mata meski kegiatan dilakukan di komplek makam. Bahkan, masih menurut Pak Taham, Munjungan selain bermakna sebagai wujud terima kasih kepada almarhum leluhur, juga sekaligus menjadi ajang reuni keluarga besar yang telah tersebar di segala penjuru. []

(Tulisan ini pernah di muat di: Sinar Harapan, Kamis, 29 November 2001)

Sumber: http://www.facebook.com/hera.ibrahim