Category Archives: Hukum

Opini: Memapas Koruptor Atas Bawah dengan Gergaji Angin

Oleh Iwan Piliang


Tumpuan memberantas korpsi kini berpulang kepada gerakan masif publik bila ingin keluar dari lakon gergaji angin.

***

JAUH sebelum heboh kasus Nazaruddin, saya pernah mengundang Fuad Bawazir, mantan Menteri Keuangan, pernah dua periode menjabat Dirjen Pajak, hadir ke acara Presstalk saya di QTV —kini Beritasatu— tayang di kanal Firstmedia, teve kabel.

Pada satu kesempatan, saya tanyakan ihwal dana Upah Pungut (UP), yang dilakukan oleh badan urusan pajak bumi dan bangunan sebelum bergabung ke Direktorat Pajak dulu. Konon dana UP jumlah juga triliunan, itu ada di rekening Bank Bumi Daya pusat atas nama pribadi  Fuad Bawazir.

Fuad membantah. Ia bilang, “Soal rekening liar itu saya yang buka ke Gus Dur agar diselidiki.”

Dalam verifikasi saya, hingga hari ini lebih 3.000 uang negara rekeningnya atas nama pribadi pejabat, terutama di Departemen Keuangan. Majalah Wartaekonomi, bila saya tak keliru, awal 2010 pernah mengupas ihwal ini. Mereka mengindikasikan masih mencapai 2.000 rekening liar atas nama pribadi pejabat.

Dari rekening liar merangkak ke rekening gendut.

Majalah TEMPO, salah satu media getol menuliskan soal rekening gendut di kepolisian. Lalu kasus ini seakan mendem di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada dua kasus besar ditulis TEMPO, rekening gendut dan kasus impor BBM berl;abel ZATAPI, menguap bak BBM dalam drum tanpa tutup, menguap bersama angin.

Kembali ke urusan pajak, sudah lama pula saya verifikasi sepak terjang mantan Dirjen pajak Hadi Purnomo. Di dalam catatan saya, ada dua hal yang layak terus diverifikasi. Pertama soal pembangunan gedung Direktorat Pajak dan kedua soal IT mereka.

Di urusan gedung itu, Anda agaknya kaget, kalau saya lagi-lagi menyebut nama Mahfud Suroso.

Mahfud adalah nama yang duduk bersama Anas dan Nazaruddin dalam perusahaan mereka di PT Anugerah Nusantara. Dalam keterangan Nazar, Mahfud-lah yang mengalokasikan Rp 50 miliar pertama, dari proyek Hambalang senilai Rp 1,2 triliun. Uang Rp 50 miliar itu terindikasi dipakai untruk Anas maju jadi Ketua Partai Demokrat. Anda tentu paham di Hambalang yang dimenangkan PT Adhi Karya

Di mana ada PT Adhi Karya, di mana terindikasi tajam ada Mahfud di belakangnya.

Di pembangunan gedung Direktorat Pajak, perusahan Mahfud yang mendapatkan pekerjaan manajemen proyek dan Mechanincal Engineering (M&E). Sosok ini pula yg terindikasi mulai menjalin hubungan dekat dengan Anas Urbaningrum sejak mendapatkan proyek pembuatan kotak suara di KPU. Dan dari Mahfud pula, alokasi uang untuk pejabat tak terkecuali terindikasi untuk Hadi Purnomo mengalir.

Makanya saya tak henti-henti himbau, KPK mengejar sosok Mahfud.

Kita semua paham, sosok seperti Hadi Purnomo kemudian didukung oleh hamper semua partai duduk sebagai Ketua Badan pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan yang mengherankan saya sosok yang saya kenal sperti Nurlif, pernah duduk sebagai anggota Komisis IX di DPR era sebelum ini, malah duduk pula sebagai wakil BPK. Nurlif terindikasi bermasalah, ikutan menerima uang sogokan Gubernur BI, di mana Hamka Yandhu, Dudhie Makmun Murod, sdh terpidana duluan, sementara Nurlif menjadi Wakil Ketua BPK. Ketiga sosok ini sama-sama dengan saya dilantik menjadi angghota HIPMI, ketika saya sempat berbisnis pada 1989-1998.

Singkatnya jika sosok-sosok bermasalah dari atas sampai bawah bermasalah, bahkan ada di berbagai lembaga yang seharusnya kredibel maka apapun lading penebas, akhirnya hanya menghasilkan kesia-siaaan, saya mengistilahkan sebagai upaya menggergaji angin saja.

Bagaimana tidak, setelah berjumpa Komite Etik KPK Jumat, 9 September lalu, saya seakan mendapatkan pencerahan, bahwa mulai dari Presiden hingga lini terbawah bermasalah. Di level Presiden, terindikasi laporan dana kampanyenya ada yang dari Hamba Allah, lalu Hamba Allah 1, 2, 3 dan seterusnya dan minta dituliskan demikian oleh KPK, apa tidak bermasalah namanya?

Nah sampai di sini tingga;ah tugas media menuliskan, terlebih berharap banyak kepada media social, plus gerakan plontos nasional diteruskan.

Berhgarap ke lembaga formal, seperti KPK kendati pun secara angka prestasinya ada, pada akhirnya hanyalah pekerjaan menggergaji angin.

Di tangan rakyat kebanyakanlah kini pemberantasan korupsi bisa digelandang. Bila tidak kita hanya hari-hari ribut dan rusuh di media bikin kuping pengang. ***

Iwan Piliang, aktifis media sosial.


Sketsa: Behind The Scene Skype Nazaruddin (2)

Oleh Iwan Piliang

 

Nazaruddin terindikasi berbohong untuk kebohongan dan kini kekeh ingin membongkar kebohongan.

SETELAH penayangan wawancara via Skype dengan Nazaruddin, aplikasi online berbicara tatap muka, ditayangkan oleh Metro TV pada 22 Juli 2011malam, telepon genggam saya seakan tiada henti bergetar. Miss call banyak. Ada telepon masuk dari sahabat lama, hingga pesan misterius tak beridentitas.

Maka tidak berlebihan bila Sabtu 23 Juli itu hari terasa panjang. Perasaan was-was menghadang. Ada ancaman baik-baik. Masuk pula telepon berkata-kata kasar. Di rembang petang menjelang, di saat saya masih berada di atas taksi di bilangan Cik Ditiro, Jakarta Pusat, seorang menelepon dari hand phone yang tiga nomor akhirnya 626.

“Halo apa kabar?”

Suara terkesan muda bernada gaul.

Maaf nih, HP gue hilang, data banyak lenyap, siapa ni? Saya menjawab.

Ahh masa lupa…saya Djoko, itu lho yang kontak waktu masalah David?”

Mendadak sontak saya berujar, nuwun sewu, waah orang besar menelepon, terima kasih, maaf banget ya Pak.

“He he tak apa …”

Saya mempersingkat obrolan dengan menyampaikan bahwa saya meminta waktu akan menghadap ke kantor Menko Polhukam.

Benar. Sosok itu adalah: Djoko Suyanto, Menteri Kordinator Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), yang mengkordinasi 10 kementrian, termasuk Polri, dan lima badan seperti Badan Intelijen Negara (BIN).

Pada saat kasus David Haryanto, mahasiswa Indonesia yang “dibunuh” di Singapura di saat persidangan coroner terakhirnya, Wapres Boediono, bersamaan waktunya meresmikan kerjasama program S2 Rajaratnam-Nanyang Technological University (NTU) dengan Indonesia, di Singapura.

NTU adalah kampus di mana David “dibunuh”. Sehingga peresmian kerjasama dengan sekolah itu di akhir persidangan coroner kasus David, saya rasakan sebagai “penghinaan” kepada keluarga David, kepada anak dan bangsa Indonesia umumnya.

Maka sehari sebelum hal itu terjadi, saya berbicara keras di TVONE. Saya sampaikan ke pemirsa, bahwa saya bertemu dan berbicara dengan seorang warga Singapura. Saya Tanya opininya menyimak kasus seperti David. Dia bilang kalau warga Singapura satu saja kalimatnya, “Are you patriot or not?” Apalagi di tingkat penyidik, sebagai polisi. Pastilah yang diutamakannya kepatriotannya sebagai bangsa Singapura.

Pertanyaan yang sama seakan saya tujkukan di TVONE kepada Boediono, “Are you patriot or not?”

Jawabannya?

Di saat saya hendak menutup pintu rumah menuju bandara, sosok Djoko Suyanto menelepon. Ia bertanya apa sebaiknya dilakukan terhadap David? Saya katakan kerjasama antar negara karena memang sudah direncanakan lama silakan saja. Namun paling tidak negara harus menunjukkan empati.

Saya lempar ide, bagaimana bila keluarga David diterima oleh Bapak Boediono di Singapura. Djoko Suyanto lalu meminta waktu. Sekitar 10 menit ia balik menelepon saya kembali. Djoko mengatakan silakan pukul 14 hari itu juga Boediono berkenan menerima keluarga David di Hotel Shangrilla, Singapura. Pertemuan itu pun terjadilah. Adalah Menko Polhukam di belakang layar mengatur pertemuan itu.

Begitulah seorang Djoko Suyanto, yang saya kenal. Sosok rendah hati. Di luar kasus David itu, saya tak pernah lagi menjalin kontak. Pernah sekali waktu sebelum nomor HP-nya raib dari file saya, pernah mengirim SMS sekadar mengirim salam, tapi tak berbalas. Anda paham, sebagai Menko, pastilah ia sangat sibuk sekali.

Barulah setelah Metro TV menayangkan wawancara Skype saya dengan Nazaruddin, untuk kedua kalinya, Djoko Suyanto menjalin kontak kembali..

Senin, 25 Juli 2011, karena kesibukan sehari-hari, saya belum berkunjung ke kantor Menko Polhukam. Barulah Selasa esoknya setelah tampil di acara Apa Kabar Indonesia Pagi, dengan meminta diantar oleh mobil TVOne, saya langsung menuju ke kantor di kawasan Merdeka Barat itu.

Tentulah saya tak membuat janji. Saya langung menuju area belakang di mana ada warung kecil di pinggir parkir yang bersebelahan dengan kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Sambil minum teh panas, saya mencoba menghubungi staf Djoko. Hari itu dapat kabar jadwal padat sang Menko. Saya melamun di warung yang masih sepi. Membayangkan apa gerangan yang hendak disampaikan. Saya berusaha berpikir positif.

Setelah lebih tiga puluh menit berlalu, kaki seakan menggerakkan saya untuk melangkah pulang. Namun di luar dugaan, sebelum melewati bangunan rumah bak pendopo di mana Menko berkantor, tampak keluar beberapa ajudan. Tak lama kemudian tampak Djoko Suyanto berjalan, menuju ke arah saya. Ia berpantalon hitam, berbaju batik bercorak coklat tua. Rambutnya diberi jeli, ditegakkan, bagaikan gaya anak muda. Segar.

Tentu dengan mudah saya dapat menyalaminya. Saya menjabat tangannya. Saya tanyakan kapan bisa mengahadap. Kepada stafnya Djoko bertanya apakah nanti sore setelah dengan Presiden ada jeda waktu untuk saya bisa jumpa. Stafnya mengatakan akan dicoba. Saya pun menyampaikan kesiapan kembali. Lalu kami berpisah.

Belum tiga langkah berjalan, Djoko memanggil, ia mengajak saya turut ke lantai 6. “Ada kegiatan media, sekalian saja ikut,” ujarnya.

Maka saya pun berjalan bersamanya menuju lantai 6 di Gedung Dewan Ketahanan Nasional. Rupanya di lantai 6 itu sudah banyak hadirin. Dominan yang hadir para tokoh media, pimpinan PWI, KPI dan lainnya. Di podium saya lihat bertuliskan: Peran Media Massa dalam Pengelolaan Masalah-Masalah Nasional. Rupanya ada seminar terbatas.

Begitu Menko Polhukam datang, acara langsung dibuka. Ia mengutarakan seluruh konten media setidaknya harus menganut tiga hal, yakni informasi, pendidikan, dan hiburan. Walaupun tidak lepas bahwa media ada unsur komoditas, tapi seyogianya roh jurnalisme harus menjadi topangan utama dibandingkan dengan roh bisnis.

Djoko juga mensitir bahwa media sosial yang berkembang saat ini, sebagai sesuatu yang positif. Agak tak “nyaman” saya, ketika di pengantar seminar ia menyebut saya sebagai tokoh media sosial yang hadir di ruangan itu. Kikuk rasanya , sebagai sosok tak diundang, mendadak datang. Apalagi di ruangan itu ada senior di jurnalisme Indonesia seperti Sabam Siagian.

Djoko Suyanto mengingatkan bahwa salah satu tanggung jawab media agar memiliki jiwa nasionalisme. Pola pikir besar media juga harus berpihak kepada negara. ”Pers harus ada keberpihakan terhadap negara,” tuturnya.

Sebelumnya F.H.B. Soelistyo, Deputi VII Menko Polhukam, di pengantarnya mengatakan desain silaturahmi iti ditujukan bukan untuk mempengaruhi peran dan fungsi masing-masing kelembagaan maupun institusi khususnya media massa, namun lebih pada upaya mencari titik temu simbol profesionalitas diantara fungsi dan peran masing-masing kelembagaan.

Pertemuan itu juga dihadiri J. Kristiadi Peneliti Senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Margiono Ketua PWI Pusat. Mereka berdua Pembicara. Moderator Tarman Azam Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Margiono mengutip hasil riset Kompas, bagaimana saat ini lembaga yang dipercaya publik adalah TNI dan Pers. “Itu artinya kalau pers dan TNI bersatu, bikin apapun saat ini dukung rakyat,” ujar Margiono tertawa. Lembaga terendah mendapat kepercayaan rakyat kini adalah DPR, hanya 16%. Dalam hati saya bertanya berapa persen pula kalau dirinci kepercayaan publik terhadap pers mainstream dibanding media alternatif, media sosial?Saya mengikuti hingga acara tuntas di jam makan siang.

Hingga hari ini pertemuan khusus saya dengan Menko Polhukam belum terjadi. Agendanya padat sekali. Saya belum bisa menduga apa gerangan yang akan ia sampaikan berkait dengan kasus Skyping saya dengan Nazaruddin.

Bagi saya jika ditanyakan apa premis berwawancara dengan Nazaruddin?

Jawabnya sederhana, verifikasi. Tidak ada niat menjadi corongnya Nazar. Tanpa saya berwawancara pun jagad jurnalis sudah pasti mencari sosoknya untuk konfirmasi. Bukan media di Indonesia saja. Saya tahu pasti lembaga kantor berita asingpun mencari akses untuk bisa mewawancarainya.

Logikanya, bagaimana kita menilai sesuatu itu benar atau salah jika informasi saja tak ada. Dalam kerangka inilah menjadi penting mewawacarai Nazaruddin, tersangka kongkalingkong di kasus Wisma Atlit. Dari paparan Nazar pula, kita semua paham, bahwa ada indikasi tajam pemakaian uang, anggaran APBN, yang dominan dihimpun dari pajak rakyat, digunakan untuk kepentingan pribadi, di mana melibat beberapa nama mulai Anas Urbaningrum, Machfud Suroso, Andi Muchayat, dan kalangan anggota DPR, sebagaimana sudah banyak diberitakan media massa.

Dari wawancara melalui Skype dengan Nazar pula kita dapat informasi bahwa ada indikasi pertemuan anggota KPK di kediaman Nazar. Ia menyebut nama-nama anggota KPK Ade Raharja dan Chandra Hamzah. Sesesorang menuding saya, karena wawancara Skype saya telah membuat tokoh seperti mereka plus Johan Budi tidak lulus seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitukah?

Menanggapi tudingan itu, saya hanya menjawab, bahwa saya sudah lama juga memverifikasi KPK, karenanya saya tidak mendukung salah satu pihak di era gencar-gencarnya dualisme Cicak-Buaya. Namun jika saya diminta beropini, saya tentu juga tak akan mengamini kalimat Marzuki Alie yang bikin kontroversi mengusulkan KPK dibubarkan saja.

Bagi saya institusi KPK penting. Ia menjadi tidak bergigi dan kredibel, karena orang-orang di dalamnya terindikasi melanggar komitmen pemeberantasan korupsi. Jika insannya bermasalah, mengapa institusinya kita lebur? Di lain sisi tak dipungkiri dengan banyak lembaga add-hoc kini, telah membenahi anggaran negara, namun hasil dicapai tak sesuai dengan harapan.

Selasa malam 27 Juli itu sebagaimana telah disimak publik, saya hadir di acara Jakarta Lawyer Club, TVOne, yang dipandu Karni Ilyas, dengan topik “Salahkah Media Menyiarkan Kasus Nazaruddin”, tentu termasuk di dalam topik utama ihwal ber-skype-ria saya dan Nazaruddin. Kuat dugaan saya Anda tentu telah menyimaknya apalagi Minggu, 31 Juli malam program itu telah disiarkan ulang.

Satu catatan saya, bahwa pada Kamis, 28 Juli, 2011, usai bertemu berberapa kawan dari TVOne di Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, saya menemui seorang kenalan di Mood Café. Saat itu pengunjung café sedang berkonsentrasi ke televisi, menyimak pertandingan bola Indonesia-Turkmenistan. Pada kesempatan bola masih 2-0 untuk Indonesia seuntaian kalimat itu disampaikan ke saya, “Bisa tidak seluruh data Nazar Anda minta dan ia tak usah pulang ke Indonesia?” Kalimat itu diikuti dengan tawaran ini dan itu.

Saya menjadi teringat akan serial film The Godfather. Bagaimana sebuah deal mafia dilangusngkan. Saya sangat kagum denagn orang-orang yang memainkan peran demikian, di banding dengan sosok yang mengaku “jagoan” mengancam-ancam lewat telepon.

Dulu ketika saya menulis soal sebuah restrukturisasi yang dilakukan BPPN, kini PRT Pengelola Asset, oknum pejabat di sana mengancam saya. Karena beraninya hanya melalui telepon saya berikan alamat lengkap saya dan saya tunggu ia kala itu juga.

Sehingga berbeda sekali langgam dulu dengan yang saya hadapi kini. Rada ngeri-ngeri sedap.

Saya akan menceritakan lagi ihwal ini di Sketsa berikutnya, sembari saat ini berfokus menjalin komunikasi dengan Nazaruddin menuntut janjinya untuk ber-skype lagi. Komunikasi dengannya, bagi akan juga terus berjalan dengan wartawan lain, terus terjalin melalui BackBerry Messenger.

Di balik hari-hari sejak wawancara ditayangkan Skype dengan Nazaruddin di Metro TV, hingga tulisan ini saya buat, keseharian saya tentulah tidak lagi sebagaimana biasanya.

Sekarang setiap saya keluar rumah, saya harus membuat janji dengan tek-tok; maksudnya dengan mengubah tempat pertemuan mendadak. Handphone disadap sudah biasa. Tetapi ancaman aneh-aneh tampaknya memang harus diantisipasi.

Akan halnya “serangan” terhadap tulisan dan momen mendapatkan Skype eksklusif itu, saya cukupkan ke haribaan publik yang menilainya.

Saya hanya sangat percaya satu: kerja jurnalisme itu kerja hati nurani. Muaranya kebenaran. Verifikasi tiada henti dengan kejernihan hati, saya yakini mengantarkan ke kebenaran sejati. (bersambung)

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blogger, blog-presstalk.com

 

Baca artikel sebelumnya: (Sketsa: Behind The Scene Skype Nazaruddin #1)


Premis Verifikasi Kasus Nazar-Anas

Oleh Iwan Piliang

Jauh sebelum ribut kasus Nazaruddin saya sudah memverifikasi ihwal tender pembangunan proyek pemerintah. Ada beberapa hal yang menarik dari verifikasi itu. Pertama bila proyek bernilai di bawah Rp 100 miliar, maka fee yang bisa “dimainkan” masih dalam %. Tetapi jika proyek di atas Rp 100 miliar, pemilik proyek biasanya bisa mematok uang yang dapat digangsir.

Bagaimana cara mengganggsirnya?

Biasanya perusahaan BUMN seperti PT Adhi Karya –yang disebut Nazar di kasus Hambalang— dimenangkan ketika tender. Sebelum kemenangan itu, di bawah meja, sudah ada kontrak bawah tangan dengan perusahaan Konsultan Konstruksi. Bendera perusahaan  jasa inilah yang dijadikan lalu lintas kas.

Mengapa begitu?

Perusahaan seperti Adhi Karya adalah perusahan terbuka (Tbk.), sulit untuk berkongkalingklong, karena diaudit dan dilaporkan ke publik. Karenanya jika pakai bendera  Adhi Karya akal-akalan pasti akan tercium. Begitu logika mereka yang bermain.

Nah dalam tatanan inilah, PT yang terindikasi melibatkan Nazar dan Anas menggangsir dan  jika diverifikasi mendalam, pelakunya akan muncul nama itu ke itu, dan bertemulah  sosok terindikasi seperti Machfud Suroso (MS). MS inilah salah satu pemain utama, selain Andi Muchayat, putra Muchayat, komisaris Bank Mandiri.

Kepada publik sudah saya jelaskan saya pernah membantu media Demokrat. Saya tahu ada faksi di dalam. Tetapi tak ada hubungan saya dengan salah satu faksi. Bagi saya hal itu hanyalah bagaikan puzzle perjalanan. dari potongan satu ke potongan lainnya saya mencoba menyusunnya sehingga dapat dibaca publik secara utuh.

Ruh jurnalisme yang mengantarkan sajian ini semua.

Bukan hal lain.

Mengapa menayangkan wawancara Nazar?

Bagaimana untuk mengetahui kebenaran dan atau kesalahan, jika informasi hanya sepihak, tidak ada info dari Nazar. kalau pun ada selalu dibantah, BB dibantah palsu, SMS dianggap sampah! Karenanya semua jagad jurnlis di indonesia BAHKAN DUNIA, saya berani menyebut dunia karena jaringan AP, Reuters juga mencarinya dan meminta berwawancara.

Soal Didik L. Pambudi yang menulis di situs Demokrat dan Bobby Triadi, gencar memojokkan saya?

Didik yang memasukkan saya ke Demokrat. Bahkan hampir tak masuk ke sana. Ia sampai “merengek” apalagi setelah ayahnya berpesan sebelum ajal, “sudah di Demokrat saja.” Bahwa Didik hari ini menulis di situs Demokrat seperti sekarang, silakan publik menilai sendiri. Saya tak kenal Bobby semula. Saya hanya kenal dari Dididk. Saya tahu Bobby dari Didik. Karenanya soal Integritas Bobby mantan Kordinator Reportase Tempo yang pernah  membawahinya ketika menjadi kontributor foto dapat ditanya dan tak ada urusan personal saya dengannya.

Sehingga tak perlu lagi tanggapan dari saya, dan atau juga menangapi setiap hal yang ditulis dua oarang itu.

Saya bekerja keras sekarang, menjernihkan hati dan pikirtan, bagaimana agar bahan video, dan data lain diperoleh, meneruskan verifikasi indikasi keterlibatan Adhi Karya   berkolusinya masif “mengangsir” uang rakyat, dibongkar. Ini premis utama. Karena dari uang tambun yang digangsirlah, terindikasi Anas Urbaningrum bisa bayar-bayar.

Ruh jurnalisme itu hati nurani. Acuan hati, selalu memandu kita ke arah kebenaran.

Bagaikan saya verifikasi soal penggelapan pajak transfer pricing, hal itu terjadi setelah Lillahi Taala setelah di suatu tengah malam bertanya ke langit di Abu Dhabi, Emirat Arab,  untuk kerja sosial: Tuhan, mengapa perempuan Indonesia diperkosa, bekerja  jadi babu, apakah negara saya miskin?

Ternyata dari verifikasi penggelapan pajak tambun, Tuhan membelalakkan mata saya bahwa negeri ini kaya raya luar biasa secara angka dapat dibuktikan! ***

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blogger, aktifis media sosial.

Nazaruddin memegang flashdisk berisi bukti yang diklaimnya, dalam rekaman percakapan Skype dengan jurnalis Iwan Piliang (sumber foto: iwan piliang/istimewa)


Sketsa: Behind The Scene Skype Nazaruddin (1)

Oleh Iwan Piliang

 

Semangat menjalankan elemen jurnalisme. Lain tidak.

***

Minggu, 24 Juli siang di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Saya menyerahkan surat keterangan kematian ayah saya kepada petugas, yang belum sempat kami berikan di saat berpulangnya mendiang, 16 Juli lalu. Makam-makam lain, dijejali peziarah. Rasa Ramadan sudah.

Menatap pusara ayah, tanah masih merah. Saya terpana berdiri. Di makam sama sudah terlebih dahulu ibu mendiami. Seorang bapak menghentikan langkah lalu menyapa.

“Ketemu di mana ya?” katanya sambil menunjuk wajah saya.

“Saya dari Depok, kita pernah ketemu di mana ya?”

Saya perhatikan bapak itu berpikir lama. Kian serius menduga-duga, hingga keningnya mengkerut. Demi menghentikannya berpikir jua saya jawab: ketemu di televisi ya Pak? Bapak itu langsung menarik keras tangan, menjabat sangat erat, lalu berujar “Iya, Iwan Piliang.”

Ketika bangun di pukul  04.30 pagi, isteri saya menepuk badan, “Eh selebriti bangun, jemputan Metro bentar lagi datang.” Pagi itu saya memang akan tampil lagi di Metro pagi .

Di dalam buku The Element of Journalism, disebutkan esensi jurnalisme adalah verfikasi, bermuara ke kebenaran, keberpihakan kepada publik. Jadi kalau ada ledekan selebriti dari orang rumah sendiri, jauhlah yauw dari tujuan jurnalisme.

Dan bila ada tudingan di media online Iwan Piliang sebagai pahlawan atau bayaran? Jauh pula dari dada dan benak saya. Sebagai salah satu sosok yang menemani Biill Kovach, ketika berkunjungan ke Jakarta pada 2003, penulis buku yang sebutkan tadi –kini dianggap simbol hati nurani jurnalisme Amerika Serikat— ajaran professionalnya saya camkan tajam mendalam.

Saya memang menerima bayaran menulis untuk opini yang dimuat koran. Juga menerima bayaran menulis untuk advertorial. Termasuk ketika pemilihan Capres 2009 lalu, saya diminta Edelman PR sebagai blogger menuliskan ketika ikut dalam kampanye Jusuf Kalla, sebanyak dua kali.

Kala itu rate card menulis saya Rp 1.200 per kata. Dan Edelman membayar lebih untuk tulisan Semangkok Soto Dalam Kampanye, di tulisan lebih dari 1.200 kata. Malahan karena saya senang dengan pemikiran Prabowo, beberapa kali saya menulis sebagai Ghost Writer untuknya di blog, tanpa dibayar. Kalau pun ada imbalan, itu terjadi  karena saya mengenalnya setelah saya menjadi pemenang menulis di blog yang diadakan Prabowo, mendapatkan hadiah satu laptop dan modem internet. Itulah pengertian bayaran yang saya maksudkan.

Sedangkan dalam banyak tulisan jurnalistik, tentulah jauh dari bayar-bayar. Memverifikasi kasus David, kasus penggelapan pajak, dan banyak hal lain, secara faktual karena saya bergerak di media alternatif, malah selalu devisit membiayai liputan sendiri. Di dalam ranah kejurnalistikan dari dulu hingga kapan pun saya melarang wartawan menerima amplop.

Karena pemahaman itulah misi utama mewawancarai Nazaruddin jelas berpegang kepada elemen jurnalisme. Misi utama berikutnya adalah semua data yang dia perlihatkan di wawancara sebelumnya, dapat dibuka. Saya menyarankan kepadanya untuk data itu ditempatkan di Rapidshare, sehingga linknya dapat diberikan ke semua media dan publik.

Wawancara ekslusif saya melalui jaringan Skype di internet dengan bendera Presstalk, sebuah nama untuk talkshow sejam di Qtv dulu, juga jaringan indie untuk pembelajaran menulis literair  –pernah disponsori Bank BNI— serta sebuah account Presstalktv di youtube.com, Presstalk di yahoogroups, juga blog-presstalk.com, bukanlah produk instan di lingkup jurnalisme.

Bendera presstalk-lah yang saya ajukan ke Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang keberadaannya hingga kini belum diketahui, untuk memuat wawancara dengannya. Di prestalktv di youtube dalam rekaman jejak merk ini, pernah saya pakai mengisi ruang bagi tampilnya Anas Urbaningrum maju menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, sebelum Kongres pada Mei 2010 lalu.

Saya sampaikan ke Nazaruddin: Ingat dulu Presstalk memuat wawancara untuk Anas di youtube. Kini jika ada yang tak benar, adalah layak Presstalk memverifikasi lagi?

Begitu selalu saya yakinkan Nazaruddin.

Dalam dunia jurnalisme, saya sampaikan juga kepada Nazar, kesemua pihak harus didengar keterangannya. Keterangan di internal Partai Demokrat, dan personal yang disebutkannya sudah banyak beredar, tetapi Nazar tak bisa ditemui?

Tak lama setelah Nazaruddin kabur ke Singapura, melalui BlackBerry Messenger (BBM), acap kali saya menyapanya.

Kapan bisa saya wawancarai?

Saya pernah tawarkan apakah berkenan kalau saya datang ke Singapura dan atau di mana Nazar ada, saya rekam wawancara, lalu saya “buang” ke Presstalk di Youtube?

Dalam satu kesempatan berbalas BBM, Nazar pernah menyetujui. Namun ada sepekan komunikasi terputus dengannya.

Fakta ini terus berulang. Saya tak bosan-bosan menanyakan, kapan bisa wawancara, sambil sesekali bertanya kesehatannya. Kemudian malah duluan dua teve nasional yang mendapatkan wawancara Nazar melalui telepon. Saya terus-terusan meyakinkannya, kalau BBM dan SMS-nya bisa dituding palsu. Bahkan faktanya ia dicap berhalusinasi oleh beberapa orang dari Partai Demokrat.

Sampai Minggu pertama Juli 2011, Nazar mengangetkan saya. Ia menawarkan mewawancarainya pakai Skype saja di internet?

Skype?

Saya agak terperanjat kala itu.

Mengingat setahu saya sebelumnya Nazar tidak terlalu biasa dan tahu dengan teknologi online.

Saya sampaikan pada Nazar untuk menunggu dulu. Sementara itu saya mempelajari landasan hukum, teknologi yang dapat dipertanggung-jawabkan secara digital forensik, jika dibutuhkan pembuktian bahwa wawancara itu bukanlah barang palsu. Termasuk untuk menghindari tudingan lainnya.

Maka demi menjaga keotentikan wawancara itu saya membeli aplikasi untuk merekam di komputer di youtube seharga US $ 39. Setelah itu saya mencari tempat yang memiliki akses internet broadband. Dan barulah saya pede menyampaikan kepada Nazar melalui BBM kepadanya untuk setuju ber-skype-ria.

Dari tanggal 12 Juli kepastian itu sudah saya dapat, lalu belum dipastikan waktunya. Tanggal 14 begitu lagi, pasti, tapi tak jadi lagi. Pada 16 Juli pas di hari ulangtahun saya ke-47, sesuai janji, akan kami lakukan Skype. Dan jika hari itu terjadi, wawancara menjadi kado ulang tahun buat saya, tanpa Nazar paham kalau saya hari itu ulang tahun. Namun Tuhan berkehendak lain, kado hari itu ternyata ayah saya berpulang di pukul 10 pagi. Dan saya otomatis tak jadi mengontak Nazar.

Singkatnya komunikasi terus saya jalin. Wawancara melalui Skype dapat saya lakukan dengan meminjam tempat di kediaman kawan yang akses internetnya broadband. Waktu diberi tahu mendadak oleh Nazar, di saat saya masih di atas taksi di jalan, di bilangan Jakarta Pusat. Saya meminta waktu lebih sejam agar  bisa online. Barulah pada tanggal 21 Juli pukul 23.12 kami bisa sama-sama melihat wajah di internet.

Saya melihat wajah Nazar segar. Ia tak turun berat badan hingga 18 kg seperti yang pernah disampaikan pengurus Partai Demokrat.

Saya mengajaknya berbicara rileks santai, lebih dari setengah jam. Barulah saya kemudian serius memulai wawancara yang sebagian besar sudah ditayangkan Metro TV.

Ketika Metro TV menayangkan rekaman itu, Jumat, 22 Juli malam, Indra Maulana, pembawa acara, membuka twitternya, mendapatkan kabar di beberapa kota jalanan sepi, dominan publik menyimak program itu. Di internal Metrotv sendiri, siaran breaking news itu telah menunda jam tayang Kick Andy. Tak lazim.

Saya benar-benar tak menduga perhatian demikian tinggi. Dan sekali lagi saya juga tak berpikir menjadi selebriti apalagi pahlawan, mengingat sejatinya verifikasi saya masih belum selesai, karena misi utama mendapatkan kebenaran dan siapa data di flash disk dan video yang ingin disampaikan Nazar, memang merujuk ke kebenaran sejati yang hingga hari ini masih saya tunggu.

Satu hal catatan pendek saya, yang akan saya urai di Sketsa berikutnya, terjadi keanehan menimpa kolega saya Oka, menetap di Bali, yang hari itu baru pulang menerima hadih sebagai pemenang animasi yang diadakan oleh MNC Group, di Bandung. Oka saya ajak ke Metro TV. Ketika saya dalam siaran live, HP dan BB saya mati. Anehnya ke HP Oka masuk telepon seseorang.

Suara menyapa Oka bilang begini, “Lagi bersama Iwan Piliang ya?”

Oka gemetar.

Ia lapor ke keamanan Metro TV.

Setelah handphone saya nyala, ancaman lisan dan sms mulai masuk.

Ada juga telepon baik-baik dari Denny Kailimang, Divisi Hukum Partai Demokrat yang memang saya kenal. Ia bilang, “Hai fren, yu bilang apa di Metro TV?”

Saya jawab apa Abang menonton semua?

“Tidak nonton semua, kawan-kawan bilang, you ngomong apa?”

Saya katakan saya menjalankan misi jurnalistik. Abang simak saja utuh.

“Iya hati-hatilah, ini kan ranah hukum,“ katanya ramah.

Masuknya telepon asing ke Oka, sudah membuat saya tak langsung pulang ke rumah malam itu. Kami pun ke luar dari Metro teve melalui jalan berliku, menuju parkir dan diantar oleh mobil tanpa merk Metro TV. Tentulah masih panjang kisah ini. (bersambung)

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blogger.

Dapat dibaca juga di:

Kompasiana (Sketsa: Behind the Scene Skype Nazaruddin #1)

 


Sketsa: Majikan Sumiati Bebas dan Koin Gugat Perdata

Oleh Iwan Piliang *)

 

Dugaan saya bahwa majikan Sumiati —TKW kita disiksa majikan dengan cara-cara biadab, bibir digunting— akan bebas di pengadilan pidana Arab Saudi, bukan isapan jempol. Bak gempa menghantam asa, begitulah membaca berita bebas murni 3 tahun penjara untuk si majikan “drakula”. Tenggang hukuman 3 tahun saja terasa tak menusiawi, apatah pula bebas-blas. Sejak awal Januari 2011, saya membuat link di Facebook, koin menggugat perdata majikan Sumiati, sebagai solusi. Sayangnya, tiada orang berduit negeri ini berempati; bukan pula anggota DPR dan DPD di baris depan; pemerintah berotoritas berbuat, justeru bocah SD, di sebuah desa di Pati, Jawa Tengah, berkeliling kampung mengumpulkan koin bahkan di tengah hujan angin. Sebuah cerminan pro kemanusiaan ngeri negeri. Bandingkan dengan  biaya ulang tahun anak artis dan pengusaha di Hotel Sultan, mencapai Rp 1 miliar, angkanya tak sampai sejumlah itu dapat membela Sumiati, perempuan tumpah darah Indonesia. Uang membela Sumiati tak ada apa-apanya dibanding 30 tas Hermes di rentang harga Rp 600 juta hingga Rp 1,5 miliar, yg dimiliki oleh sosok yang mengaku pikun ke KPK. Mereka yang saya sebut terakhir boleh berkilah, mereka bukan negara. Inilah Ibu Pertiwi hari ini!

***

SENIN, 4 April 2011. Jarum jam menunjukkan pukul 00.08. Saya baru saja menggulung sarung usai menunaikan shalat Isya. Saya anak dan isteri sudah nyenyak sekali. Sebelum melangkah ke peraduan saya membuka detik.com di internet. Ada berita berjudul: Pengadilan Madinah Akhirnya Bebaskan Majikan Sumiati.

Sontak jantung saya berdegup. Jantung seakan ingin melawan kendati baru merasakan tumbukan benda tumpul dan keras.

Kawan-kawan di Facebook, tiga bulan ini tentulah menemukan fakta. Foto status saya tidak berganti dari Koin Menggugat Perdata Majikan Sumiati, sebuah link, bagi publik Facebook, Indonesia, melakukan gerakan mengumpulkan koin bagi menggugat perdata sang majikan.

Mengapa perdata?

“Hanya melalui jalur perdata kita bisa menuntut keadilan. Bukti kejahatan ada. Jadi tinggal bayar lawyer yang kompeten,“ ujar Amin Appa, staf KBRI di Abu Dhabi.

Amin beristerikan wanita Bosnia. Ia fasih berbahasa Arab, pernah saya temui ketika memulangkan sosok Ziad Salim Zimah, yang tak dapat balik ke Indonesia selama 8 tahun di Abu Dhabi, awal 2010. Di kasus Ziad  itu, rentang 8 tahun negara juga seakan terhadang karena dugaan kasus pidana pada diri Ziad. Dobrakan secara independen, membuahkan cairnya permasalahan. Ziad berhasil  pulang bersua dengan ibundanya, menangis darah dalam arti riil, rindu menahun pada anaknya.

Maka atas obrolan chatting di online awal 2011 itu bersama Amin, saya pun sangat yakin bahwa peluang mencari keadilan bagi Sumiati satu-satunya melalui jalur yang disebutkan Amin: pengadilan perdata!

Lantas kendalanya?

Masalah klasik, tidak tersedianya anggaran membayar  pengacara.

Lalu apa akal? Jika ranah negara bekerja berdasar pagu anggaran, menanti upaya itu bisa saja bak menunggu godot. Maka ketika memiliki porto folio turut serta memotivasi publik mengumpulkan koin untuk Prita Mulyasari, sosok ibu menyusui yang dipenjara karena jeretan UU ITE  pasal 27 ayat 3, lalu saya pun membuat link di Facebook itu: Koin Menggugat Perdata (Pengadilan Jinaiyyah) Majikan Sumiati

Wajah Sumiati (foto: AP/news.asiantown.net)

“Hukuman tiga tahun untuk sang majikan rasa keadilan terasa diinjak-injak,” ujar Irwan Suhanto, dari lembaga riset Etos Indonesia.

“Apalagi kini dibebaskan sama sekali. Hal ini menghina akal sehat hukum seakan sudah mati.”

Kalimat Irwan itu bagi saya masih terasa santun diucapkan. Saya lebih cenderung memakai  lema biadab, kendati subjektif saya pribadi.

Di menjelang fajar menyingsing, mata saya enggan terlelap. Bagi kebanyakan warga Indonesia yang sedang tidur neyenyak, seperti tiga anak lelaki saya yang sedang tidur, agaknya Sumiati tak ada hubungan apa-apa dengan kehidupan mereka.

Entoh, Pancasila kini sudah banyak pula anak SD yang tidak hafal lagi, apalagi untuk sosok yang di atasnya, tahu mengucapkan tak pandai lagi mewujudkan isinya. Sebaliknya saya sangat bangga kepada anak SD di Pati, Jawa Tengah, yang tergugah mengumpulkan koin untuk mengugat perdata majikan Sumiati. Kepada mereka tampaknya bangsa ini bisa berharap.

SATU bulan yang lalu, di Bakoel Coffie, di bilangan Cikini Jakarta Pusat. Saya berjanji untuk bertemu dengan seorang kawan di sana. Tak terduga, tepat menghadap jendela kaca  menatap ke arah luar duduk sendiri dengan laptop suami Prita Mulyasari, yang kini sudah bebas itu.

Saya bertanya, kegiatan sosial apa saja yang dilakukan dengan uang dukungan karena kasus isterinya tempo hari. Seingat saya koin lebih Rp 600 juta, dana cash lebih dari Rp 200 juta. Ia jawab, memberi bantuan langsung kepada gempa Jogja, antara lain. Lalu saya pun menyampaikan bahwa saya sedang mengumpukan koin untuk menggugat perdata majikan Sumiati, barangkali berminat membantu dari dana itu.

Sang suami Prita, menjawab oh ya, dan hingga hari ini tidak ada kabar berita. Saya memang berharap bahwa di dalam hidup kita memang harus saling membantu. Namun saya juga seakan diingatkan, adalah hak seseorang menggunakan uangnya untuk apapun, termasuk membeli tas Hermes berpuluh-puluh, pesta mewah ulang tahun anak, dan seterusnya.

Untuk melengkapi Sketsa kali ini, saya sajikan kembali Opini yang saya tulis pada 13 Januari 2011 lalu:Opini: Onde Mandeh Majikan Sumiati 3 Tahun! ***

(ditulis 04 April 2011)

*) Narliswandi (Iwan) Piliang, blogger literair, mencalonkan diri  Gubernur DKI 2012-2017, Calon Independen. MODAL: rangkaian Sketsa DKI dalam 5 tahun terakhir, bertanya ke publik, masih sangat sedikit berbuat bagi kemanusiaan, asset utama kejernihan hati; semoga  42% warga DKI yang tidak memilih pada 2007, tergugah mendukung, bagi perbaikan ibukota nyata.


Opini: Onde Mandeh Majikan Sumiati 3 Tahun!

Oleh Iwan Piliang (Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com)

 

Dari pengalaman langka memverifikasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya, belakangan pembunuhan Aries Jasuwito di Singapura, juga verifikasi  “memulangkan” Ziad Salim Zimah setelah tertahan 8 tahun di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab, dua hal melekat di benak saya; KBRI seakan bukan bangsa sendiri dan KBRI berpihak.

***

PADA dua lokasi kasus yang saya paparkan di taiching (pemikat) tulisan ini, memang terdapat dua benang merah berbeda. Di Singapura pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dalam berhadapan dengan negara di mana ia ada, tampak jelas mengalir begitu saja. Seakan menikmati sajian proses hukum yang ada di negara jiran itu.

Jika telinga dapat bertukar jadi mulut, ia akan berkata ‘mak muaknya mendengar: Kami ini hanya staf KBRI. Kami harus menghormati hukum negara di mana ada. Kami dibatasi oleh hubungan bilateral antar kedua negara. Ada ketentuan diplomatik kami patuhi.

Walaupun sosok yang berkata itu secara personal juga gemas menghadapi sajian yang ada di depan hidungnya, ia akan mengulang-ulang kalimat sama. Ia menabalkan pakem abadi, bak bicara ke sebatang tiang baja, nir karat pula. Mereka lupa bahwa di dalam hidup ada kata wisdom, kebijakan.

Maka ketika saya mencoba bertanya ke sumber intelijen, mengapa KBRI demikian? Sosok itu secara terang-terangan mengatakan dari semua KBRI kita di dunia, ia mengindikasikan  bahwa KBRI Singapura itu, sudah lebih Singapura. Anda dapat menterjemahkan sendiri kalimat sumber anonim saya ini. Dan ingat, kali ini saya menulis Opini, bukan Sketsa, sebagaimana biasa.

Sedangkan pada kasus Ziad yang tertunda-tunda pulang, oknum KBRI berpihak dalam mengurai permasalahan. Rutinitas staf dengan beban kerja melimpah sehari-hari, membuat kegigihan mengurus, menjadi kesempatan langka.

Sehingga ketika saya ke sana, untuk menemui seorang hakim, lalu mengantri bak sales obat di antara pasien dokter, bahkan hingga pukul 01.00 dini hari, tetap mengantri, termasuk rela duduk di barisan tahanan berseragam hijau dengan kaki berantai.

Di sebelah merekalah saya duduk —tentu ditemani staf KBRI— demi mendapat jawaban dari seorang hakim. Kegigihan itu menjadi penentu keberhasilan memecah kasus seakan membeku delapan tahun. Di kasus itu, sebelumnya Ziad hanya berhadapan dengan tembok kamar, takut ke luar rumah, tak bisa pulang ke Indonesia.

Kegigihan, kegigihan dan kegigihan, membuat Ziad, akhirnya bisa bertemu dengan sosok rindu ibunya yang pernah menangais darah meminta bantuan agar memulangkan Ziad sebelum ajal.

KETIKA Menteri Urusan Perempuan dan Anak, mengunjungi Sumiati yang mendapat perlakuan amat keji oleh majikannya, termasuk mulutnya digunting, Ibu Menteri tidak diperbolehkan berfoto lagi dengan Sumiati. Saya tak paham mengapa sang menteri mengamini saja. Apakah logika sama dengan pejabat KBRI Siungapura. Tentu jika saya ada di sana, saya akan “meminta”, jika perlu saya tunggu siang malam dan mogok enggan pergi dari sana. Laku Norak memang, tetapi begitulah, kemanusiaan memang harus diperjuangkan.

Wajah Sumiati (foto: news.asiantown.net)

Jauh sebelum rombongan menteri menjenguk Sumiati, kepada seorang kawan memiliki akses kekuasaan ada dua hal saya ajukan.

Pertama bisakah negara mengongkosi saya mencoba mencari solusi independen, sebagai wakil rakyat kebanyakan untuk kasus kelebihan masa tinggal (Over Stayer) di Arab Saudi, yang harus berarak bak gagak-gagak lusuh kehujanan di bawah kolong-kolong jembatan layang di Arab Saudi? Jumlah mereka mencapai 20 ribu orang.

Persoalan sehari-hari yang meraka hadapi total football beragam kepahitan kehidupan: mulai  diperkosa, mengais sampah untuk makan siang?

Kedua bisakah saya diberi kesempatan memverifikasi kasus Sumaiti dan memverifikasi tuntas, termasuk “mengawal” kasus hukumnya?

Atas dua keingin terhadap itu, kawan tadi dengan tringan bilang, “Kita lihatlah dulu hasilnya, Presiden sudah menungaskan pembantunya.”

Maka ketika di kasus Sumiati terasa menyembilu bak pisau menusuk jantung, bahkan luka di dada ini seakan ditetesi air limau purut, dan lalu: keputusan pengadilan hanya menghukum 3 tahun saja majikan Sumiati?!

Saya kembali bertanya di mana negara?

Di mana KBRI?

Mungkin dari dua pengalaman saya, yang boleh dikata tak bernilai apa-apa bagi bangsa ini, saya ingin menegaskan: Saya mencoba tulus melihat permasalahan. Dari situ menabalkan keyakinan bahwa derajat dan harkat manusia itu mulia. Sehingga segenap jiwa raga saya tumpahkan termasuk tanpa peduli akan nyawa sendiri demi memberi penghargaan ke sisi kemanusiaan.

Perhatian ke harkat kemanusiaan menunjukkan beradab tidaknya sebuah bangsa.

Maka ketika pengadilan Arab Saudi hanya mengganjar 3 tahun saja untuk majikan Sumiati —kendati pintu banding masih terbuka— hal itu terjadi hakkul yakin saya karena tata cara kita menangani kasus ini tekena dua penyakit kronis yang saya paparkan di atas: Pertama, terlalu taat kaedah dengan pakem baku diplomatik. Kedua tidak memiliki kegigihan mengurus dan mengurai kasus!

Dua hal itu saja sesungguhnya.

Begitu jernihnya.

Sehingga jika ditanyakan kepada saya solusinya: harus ada sosok-sosok inpenden wakil publik, yang dengan kebersihan hati, kegigihan total memecah dua kebekuan menghantui ranah diplomasi kita di hampir semua KBRI di dunia kini. ***

(ditulis pada 13 Januari 2011)


Sketsa ke-2 Aries: Sia-Sianya Nyawa Aries?!

Oleh Iwan Piliang (Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com)

 

Tepat 4 Januari 2010, saya merilis Sketsa soal Aries Jasuwito. Sosok 25 tahun  itu terpisah dari keluarganya di Rafles City Mall, Singapura, penghujung Oktober 2009; 23 hari kemudian polisi mengabarkan Aries tewas. Lebam di punggung, indikasi pukulan benda tumpul. Tidak ada rahang dan gigi rusak, kepala utuh, menepis sangkaan Aries bunuh diri dari ketinggian. Maka, ketika saya menulis Sketsa ini, baru ngeh, saya bertemu sang ayah, Jasuwito di Bali, 4 Januari 2011, tepat setahun, di saat petang kala hendak menuju bandara pulang. Pengadilan koronernya di Singapura, 5 hari berturut di September 2010, tidak satupun media Indonesia meliput, termasuk saya yang memberi perhatian ke kasus ini.

 ***

MENJELANG petang di saat pertokoan mulai sepi pengunjung, Denpasar, Bali, 4 Januari 2011. Di sebuah ruko menyediakan peralatan kain pintu, gorden, tampak duduk sosok pria. Rambut depannya mulai dikikis umur. Tekanan waktu, membuat lekukan kulit tebal di bagian bawah matanya. Kenyataan fisik demikian, menambah sendu wajah Jasuwito, ayah almarhum  Aries. Puteranya, Aries terindikasi kuat dibunuh di Singapura, Oktober 2009 lalu.

Sosok anak muda di sampingnya, Joko, kakak Aries, tampak tenang. Ia pertama buka suara setelah saya menyalami keluarga ini. Mereka menuturkan kemuakannya terhadap polisi Singapura, pengadilan Singapura, yang menggampangkan segala urusan berkaitan dengan nyawa orang.

Di dalam hati saya bertanya, bukankah bangsa ini juga demikian adanya?

Padahal peningkatan peradaban, sejatinya, bagaimana memuliakan insan.

Dari balik kaca tokonya, Joko Jasuwito memperagakan bagaimana mereka hanya melihat jasad Aries dari balik kaca.

“Seperti ini nih,” tangan Joko memperagakan ke saya bak rekonstruksi di kejadian perkara.

Saya dari balik kaca di balik tirai pajangan dagangan keluarga ini mencoba membayangkan.

“Saya ngotot untuk dapat melihat jasad anak saya.”

“Apalagi saya baru tahu kalau otopsi sudah dilakukan, tanpa kami keluarga memberikan persetujuan,” ujar Jasuwito.

Ayah almarhum Aries baru dapat melihat jasad anaknya ketika sudah dirapikan, sebelum  dikremasi.

“Itu pun ketika saya masuk ruangan, setelah menunggu hampir dua jam, di dalam sudah berdiri dua orang body guard?” kata Jasuwito pula, “mungkin dikira saya akan mengamuk sehingga perlu body gurd!”

Jasuwito, ayah Aries,. 4 Januari 2011 (foto: Narliswandi Piliang)

Bagi saya sosok pendek, kurus, sudah lebih setengah baya, berwajah sendu, tentulah tak perlu ditakuti. Tiada guna dua tukang pukul berbadan besar. Kendati demikian begitulah yang dihadapi Jasuwito hanya untuk sekadar tahu keadaan jasad anaknya.

“Saya lihat di dada anak saya sampai atas kemaluannya bekas jahitan. Segenap badan di dada sesak seperti disumpel benda tak jelas.”

Panjang kata melanjutkan Sketsa ini, karena saya menulis di media sosial, blog, Facebook, milis —lebih banyak terlewatkan oleh pembaca umum— maka saya akan melanjutkan Sketsa ketiga soal Aries ini esok.

Agar sekadar mengikuti kasus ini, Anda dapat membaca Sketsa pertamanya, sebagaimana di bawah ini:

MEDIO JUNI 2009. Begitu keluar dari stasiun kereta api bawah tanah di area Stasiun MRT Rafles, Singapura, itu saya menatap langit cerah seakan dipagari monumen jangkung. Gedung-gedung di seputar tinggi. Taman di antara gedung menjadi oase publik untuk sekadar duduk sambil menenggak secangkir kopi hangat.

Burung-burang gagak hitam, berkelompok hinggap di lantai semen. Mereka turut berjalan tak terganggu langkah kaki cepat manusia di kesibukan kota besar di udara cerah siang itu.

“Kami salah satu polisi terbaik di dunia”

Kalimat itu terngiang di benak saya berulang-ulang.  Saya duduk di selasar taman, sembari terus dihantui urusan kata:  salah satu polisi terbaik di dunia. Omongan yang membuat gemas karena kemudian terbukti tidak seirama dengan laku, khususnya di kasus David Hartanto Wijaya, kini bertemu pula di kasus terbunuhnya Aries Jasuwito.

Kalimat polisi Singapura itu dituturkan kepada Hartono Wijaya dan isteri Tjhai Lie Kiun, di saat mereka menanyakan soal penyelidikan kasus meninggal anaknya, 2 Maret 2009. Ketika mereka bersua penyidik di Kepolisian Jurong, Singapura, saya diminta menunggu di luar pagar di jalanan. Saya bukan keluarga David.

Hampir dua jam saya menunggu di terik panas, dengan ubun-ubun sakit disengat matahari. Setelah mengaku terbaik, “menyiksa” tamu laku lain polisi Singapura. Namun sengatan matahari itu tak begitu menganggu dibanding kalimat congkak tadi.

Oleh kampusnya, NTU, David dikatakan menusuk Prof Chan Kap Luk, dosen pembimbing ditugas akhir. Setelah menusuk, David lalu melukai diri sendiri dan lompat bunuh diri. Rilis sempat berubah-ubah dikeluarkan oleh rektor NTU, Su Guaning; Tempat kejadian perkara  langsung bersih dalam hitungan sejam; membuat kecurigaan mendalam: ada sesuatu yang tak beres dalam kematian David.

Di persidangan koroner soal David, polisi terang-terangan menemukan tiga hal yang berkait ke data digital. Pertama, ketika surat David, di Laptopnya, mengatakan bahwa ia berminat bunuh diri. Kedua, dua kunjungan ke situs berkait ke suicide. Celakanya di persidangan polisi tidak bisa menampilkan bukti digital, hashing data, atau digital finger print.

Akibatnya setelah vonis jatuh, sesuai indikasi skenario mereka di persidangan, bahwa David dinyatakan bunuh diri, maka orang tua David berikut ahli forensik digital Indonesia minta sekalian laptop David dikembalikan berikut digital konten. Polisi Singapura mangkir hingga saya menuliskan ini. Jika tak ada apa-apa di laptop itu, mengapa polisi Singapura yang mengaku salah satu terbaik di dunia itu, takut mengembalikan?

“Sebelum sidang koroner, polisi berjanji mengembalikan Laptop David,” ujar Hartono Wijaya.

Begitulah, sidang usai, bahkan hingga hari ini, janji tinggal janji. Inilah laku  polisi yang mengaku salah satu terbaik di dunia.

(Catatan: saya sudah menulis Sketsa XIX : David, Pengembalian Laptop dan Pembuktian Kebohongan, di mana laptop sudah dikembalikan dan kini sedang diforensik digital ulang oleh Ruby Alamsyuah)

PADA 26 Oktober 2009, siang. Keluarga Jasuwito, asal Bali, memanfaatkan liburan Galungan ke Singapura: Erna, anak tertua yang kebetulan sudah kost menetap di Singapura, Joko, nomor dua, dan Aries putra ketiga, bersama ibunya, Linda Dewi Jasuwito, menikmati kawasan mall Rafles City, lokasi di salah satu gedung di mana saya beberapa kali rehat ketika di Singapura dalam memverifikasi kasus David.

Lantas, di saat berjalan-jalan di mall, Aries Jasuwito, terpisah dari rombongan keluarga. Kakak dan ibunya masih melihat Aries di eskalator. “Keluarga berpikir ia mungkin pergi ke toilet,” ujar Jasuwito, ayah Aries.

Setelah ditunggu Aries tak kunjung kembali.

Keluarga panik.

Mereka melapor ke polisi. Foto Aries pun dicetak. Pamflet dibuat. Keluarga menyampaikan berita anak hilang ke radio dan koran Singapura.

Anehnya: baru 23 hari kemudian polisi mengabarkan penemuan Aries.

Pada 18 November 2009, Polisi menelepon, “Silakan datang melihat kemungkinan ditemukannya Aries, silakan mengenali sosoknya.”

“Saya yang tiga hari sebelum Aries hilang sudah duluan pulang ke Bali, diberi tahu oleh isteri dengan senang, Aries ditemukan. Semula keluarga tidak diberitahu tahu bahwa Aries sudah meninggal,” tutur Jasuwito.

Jasuwito tentu senang. Namun keceriaan segera lenyap, setelah keluarga ke rumah sakit bersama polisi, hanya menemukan jasad Aries sudah membeku.

“Saya langsung ke Singapura. Saya melihat sendiri anak saya yang rupanya sudah diotopsi duluan tanpa pemberitahuan keluarga,” ujar Jasuwito.

Itu artinya, polisi Singapura yang mengaku salah satu terbaik di dunia ini, telah melanggar ketentuan baku secara universal bahwa mengotopsi jenazah tanpa sepengetahuan keluarga, wali, orangtua.

“Di jasad Aries dari bagian leher hingga kemaluan tampak bekas jahitan.”

“Yang menyakitkan kami, di bagian punggung Aries, saya lihat ada lebam-lebam semacam bekas pukulan benda tumpul.”

“Bagian lengan kiri Aries, ada dugaan kami, semacam dipelintir akibat menangkis sesuatu.”

Polisi mengatakan kepada keluarga, bahwa Aries melompat  dari ketinggian gedung di daerah Simei. Membandingkan jarak bilangan area Simei ke lokasi mall Rafles City, ibarat di Jakarta, dari Grand Indonesia di Jl. Thamrin, Jakarta Pusat, hinga ke Pondok Indah Mall, jaraknya nun di ujung selatan.

“Kala itu saya sudah curiga, anak saya dibunuh,” ujar Jasuwito.

“Apalagi hand phone-nya kata polisi tak ditemukan, termasuk KTP-nya. Sama sekali tanpa identitas.”

SEBAGAIMANA Almarhum David Hartanto, jasad Aries pun oleh polisi Singapura “dipaksa” dikremasi di Singapura. Bedanya, jika David, kremasi diurus oleh kampus NTU, termasuk segenap biaya hingga ke Mandai Crematorium.

“Sementara urusan kremasi anak kami, dilakukan oleh satu perusahaan jasa yang diminta polisi. Ongkosnya mencapai sepuluh ribu dolar Singapura. Dan kami pula harus bayar,” tutur Jasuwito lagi,

“Kami tak mampu membayarnya.”

Jasuwito lalu meminta polisi menyelesaikan urusan pembayaran.

“Kami sudah berduka, kehilangan anak kami, yang masih kami ragukan penyebab kematiannya, mohon pengertian untuk tidak dibebani biaya yang tak dapat kami pikul.”

Sebagai seorang pengusaha UKM di dagang kain gorden, dan keperluan interior di Denpasar, Bali, angka S$ 10 ribu memberatkan.

“Dan lebih menyesakkan dada, hingga kini kami tak dapat foto di mana Aries jatuh, atau ditemukan, sama sekali tak ada. Sama sekali tak ada keterangan.”

Dalam keadaan demikian, sebagai WNI di negeri orang, keberadaan Kedutaan Besar RI di Singapura, seharusnya dapat dijadikan andalan tempat mengadu dan berlindung. Namun faktanya KBRI memang tidak proaktif berbuat. Kenyatan ini kian membuat perasaan  “sendiri” di negeri orang kian kental. Hal itu juga dirasakan oleh keluarga David, sebagai mana saya tangkap kesan ketika memverikasi kasus David Hartanto Wijaya.

Kepada Detik.com, 31 Desember 2009 Teguh Wardoyo, Direktur Perlindungan Warga, Deplu, mengatakan meraka sudah mempertanyakan ihwal kematian Aries ini ke pemerintah Singapura. Saya mencoba menghubungi Teguh via SMS mobile phone-nya, pada 31 Desember 2009 itu juga. Namun hingga tulisan ini saya turunkan belum ada konfirmasinya.

Di saat ajalnya, Aries sudah kembali menetap di Bali, memperfasih belajar bahasa Inggris. Liburan ke Singapura bersama keluarga adalah atas permintaannya kepada orang tua. Sebelumnya selama empat tahun sebelum kembali menetap bersama orangtua di Bali, Aries belajar bahasa Mandarin di Xin Ya College, di bilangan Pasar Pagi, Kota, Jakarta Utara.

Dan Aries, jika tak ada hubungan kekerabatan dengan Anda, tentu bukan siapa-siapa. Namun di balik kematiannya, menyisakan misteri, sudah seharusnya verifikasi mendalam layak dilakukan, demi mencari kebenaran.

Kendati kasus David belum tuntas saya verifikasi, semoga selalu ada energi untuk melakukan hal yang sama di kematian Aries Jasuwito. ***

(ditulis pada 10 Januari 2011)


Egoisme Seorang Perokok

Oleh Ade Anita

DATA mereka yang digolongkan sebagai perokok aktif di seluruh dunia, bisa jadi amat sangat banyak. Di layar televisi, di lembar-lembar media massa, sering kita lihat gambar orang-orang yang sedang menghisap batangan berbalut kertas dan mengeluarkan asap racun nikotin ini terpampang baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Bahkan, pemandangan orang yang sedang merokok ini sering tampak di acara-acara siaran langsung dari ruang sidang di gedung dewan perwakilan rakyat (baca+ sebuah ruang tertutup yang ber-ac dan nyata disadari ada kamera televisi yang sedang merekam gambar jalannya sidang).

Tentang bahaya rokok, sudah diketahui secara umum apa saja bahayanya. Hal ini tertera di bungkus rokok (meski kurang mencolok tulisannya) yang memberikan peringatan akan bahaya rokok seperti kanker, kelainan pada janin, impotensi dan gangguan kehamilan. Semua penyakit ini disebabkan karena memang asap dari rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh.

Jika data mereka yang tergolong sebagai perokok aktif di seluruh dunia amat sangat banyak, lalu berapa kira-kira data mereka yang menjadi perokok pasif? Ini yang luar biasa. Karena, jumlah perokok pasif jauh lebih banyak dari jumlah perokok aktif. Seorang perokok aktif yang mengebulkan asap rokoknya ke udara, telah dengan sengaja mengirim asap racunnya untuk harus dihisap oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya. Mungkin anaknya yang masih balita, mungkin istrinya, mungkin kekasihnya, mungkin orang tuanya, mungkin siapa saja selama mereka berdiri atau sedang berada di dekatnya ketika mereka sedang merokok. Kasihan sekali para perokok pasif ini karena mereka terpaksa didorong untuk menerima asap racun rokok tanpa bisa melakukan perlawanan apa-apa.

PERDA MATI SURI

Di DKI Jakarta, pada tahun 2005 sebenarnya sudah dikeluarkan sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang parangan merolong di beberapa kawasan. Yaitu melalui Perda DKI Jakarta No. 75 Thn 2005 ttg Kawasan Dilarang Merokok. Ada beberapa tempat yang diatur sebagai kawasan dilarang merokok dalam perda tersebut. Wilayah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok (pasal 1 ayat 23).

2. Dilarang merokok di ruangan tertutup tempat atau ruangan yang menjadi bagian dari suatu bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan dan/atau usaha (pasal 1 ayat 24).

3. Dilarang merokok di tempat umum yang menjadi sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk tempat umum miliki Pemeriontah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum, tempat pelayanan umum, antara lain terminal termasuk busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbenalnjaan, pasar serba ada, hotel, restoran dan sejenisnya (pasal 1 ayat 25).

4. Termasuk kawasan dilarang merokok juga adalah ruang tertutup yang bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat sumber-sumber bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rpat, ruang sidang/seminar, dan sejenisnya (pasal 1 ayat 26).

5. Termasuk wilayah dimana dilarang merokok disana juga adalah angkutan umum, yaitu alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, udara termasuk di dalamnya taksi, bus umum, busway, mikrolet, angkutan kota, kopaja, kancol, dan sejenisnya (pasal 1 ayat 27).

6. Tempat Ibadah keagamaan seperti mesjid (termasuk mushalla), gereja (termasuk kapel), pura, wihara dan kelenteng adalah tempata-tempat ibadah yang dimasukkan ke dalam wilayah dilarang merokok (pasal 1 ayat 28).

7. Selanjutnya, yang dimasukkan sebagai kawasan dilarang merokok adalah arena yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-anak, seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), tempat pengasuhan anak, arena bermain anak-anak atau sejenisnya (pasal 1 ayat 29).

8. Juga dilarang merokok di tempat terjadinya proses belajar mengajar atau pendidikan atau pelatihan termasuk perpustakaan, ruang praktik, atau laboratorium, museum dan sejenisnya (pasal 1 ayat 30).

9. Terakhir, yang termasuk kawasan dilarang merokok adalah tempat pelayanan kesehatan atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat seperti rumah sakit, Puskesmas, praktik bidan, toko obat atau apotek, pedagang farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium dan tempat kesehatan lainnya, antara lain pusat dan/atau balai pengobatan, rumah bersalin, serta Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKAI) (pasal 1 ayat 30).

Inilah tempat-tempat yang dijadikan kawasan dilarang merokok.

Pada awal pemberlakuan perda tersebut di DKI Jakarta, gairah untuk menegakkan peraturan cukup menggembirakan karena banyak anggota masyarakat yang secara aktif ikut menegakkan peraturan tersebut. Penertiban oleh satuan petugas keamanan gedung atau satuan petugas keamanan dan ketertiban DKI Jakarta sering melakukan razia untuk menjaring mereka yang melanggar peraturan tersebut.

Sayangnya, sanksi yang diberikan untuk mereka yang melanggar peraturan tersebut ternyata tidaklah tegas dan memberi efek jera sama sekali. Ditambah dengan para tokoh yang seharusnya menjadi figure panutan masyarakat tidak memberi contoh yang baik (lihat saja di layar televisi bagaimana para anggota dewan perwakilan rakyat, pejabat bahkan beberapa ulama dan tokoh masyarkat yang terhormat, sering kedapatan diwawancarai sambil memegang sebatang rokok di tangannya dan terkadang kedapatan sedang melakukan aktifitas merokok meski diam-diam). Akhirnya, Perda Larangan Merokok ini pelan-pelan mengikuti jejak teman-teman perda lainnya, mati suri atau terlupakan sedikit demi sedikit untuk akhirnya tinggal kenangan saja.

Lebih miris lagi adalah, beberapa saat yang lalu ketika Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok, banyak pihak yang ramai-ramai meragukan fatwa haram tersebut. Para petani tembakau dan para pedagang rokok ramai-ramai turun ke jalan untuk melakukan demo menentang perberlakuan fatwa haram rokok tersebut. Hmm… jika para petani tembakau dan para pedagang rokok turun ke jalan untuk melakukan demo menentang perberlakuan fatwa haram rokok, mungkin bisa masuk di akal karena mereka adalah pihak-pihak yang kehidupannya memang terlibat langsung sebagai produsen rokok alias menggantung kehidupannya dari rokok; tapi menjadi mencengangkan dan miris ketika banyak tokoh masyarakat dan tokoh agama yang ikut-ikutan menolak pemberlakukan fatwa haram rokok. Ada banyak alasan, mulai dari memberikan keterangan bahwa fatwa ini dikeluarkan oleh sebuah struktur organisasi yang masih di level menengah seperti majelis tarjih, bukan oleh level tinggi seperti organisasi; memberikan keterangan bahwa yang dimaksud haram disini masih berstatus makruh (dilakukan tidak baik tapi ditinggalkan lebih baik); sampai sebuah debat di sebuah televise swasta yang mengatakan bahwa ada organisasi keagamaan non muhammadiyah yang tidak mengharamkan rokok sama sekali karena banyak ulamanya yang memang menjadi perokok tapi tetap aktif sebagai ulama.

Lalu Harus Bagaimana?

Pada akhirnya, semua larangan merokok menjadi mentah lagi karena ternyata kekuatan untuk mempertahankan rokok menjadi sama kuatnya dengan kekuatan untuk menentang rokok.

Produsen rokokpun semakin merasa di atas angin. Mereka menjadi egois dan jumawa. Iklan-iklan rokok dibuat semakin heboh dan menggiurkan. Bahkan, acara-acara yang memacu andrenalin, acara-acara yang ditujukan untuk generasi muda semakin dibidik sebagai ajang untuk mempromosikan kegiatan merokok. Tak heran jika saat ini, usia mereka yang merokok aktif dimulai dari usia 5 tahun (bukan lagi usia 12 tahun seperti kondisi 10 tahun yang lalu).

Tak ada lagi rasa bersalah untuk menghembuskan asap rokok dan menyeret paksa lingkungan untuk ikut merasakan racun dan mengidap penyakit-penyakit berbahaya yang disebabkan oleh rokok. Perokok memang egois. Bagaimana lagi yang harus dilakukan untuk menghadapi egoism mereka? Itu sebabnya perlu kiranya mulai dipikirkan sebuah rancangan peraturan yang bukan hanya melarang merokok di kawasan larangan merokok, tapi juga mengatur sanksi bagi para pelanggarnya dengan sebuah sanksi yang benar-benar memberikan efek jera sekaligus memberikan dampak agar semua orang sadar akan bahaya merokok baik bagi si perokok itu sendiri maupun lingkungan yang ada di sekitarnya.

[]

[ artikel yang sama dimuat pula di situs : www.kafemuslimah.com, tanggal 14 Mei 2010 ].


Oknum Polisi Sialan

Oleh Very Barus

 

SUDAH gue bilang berkali-kali,  kalo gue itu sejujur-jujurnya BENCI BANGET sama polisi. Terserah elo deh yg punya sodara, keluarga ato kerabat yang ada hubungannya dengan mahluk Tuhan berseragam kopi susu itu.

Banyak kisah tidak sedap yang berhubungan dengan polisi. Ujung2nya DUIT DUIT DUIT dan DUIT… pliss..kalo bisa “oknum” polisi2 yang mental mata duitan begini nih yang PANTAS ditembak mati sama teroris!  Biar habis tuh oknum polisi bermental mata duitan! Mental preman! Menjijikkan!

Cerita  pilu lagi yang berhubungan dengan ‘oknum’ polisi mata duitan..

 

Tadi pagi…Sekitar jam 9 gitu deh…

Jadwal gue mau fisioterapi ke RS.Barromeus. jadi dari rumah gue sudah buru2 saja berangkat naek motor kesayangan gue.(ya iyalah… wong cuma punya motor doang!)

Pagi itu gue melintasi jalan Riau atau jalan R.E.Martadinata. lurusssssss aja… sampe pas di pertigaan Riau Junction, gue belok kanan kearah Trunojoyo. Setau gue disitu BEKABOLANG alias belok kanan boleh langsung. Dan beberapa kali lewat situ gue aman-aman saja…

TAPI…

Pagi itu gue emang apes kali ya…

Pas motor gue belokin kearah Riau Junction, eh, gue dihadang sama seorang polisi yang sedang berjaga. Gue sih anteng aja serasa nggak ada beban. Kali aja si polisi nyetop motor gue pengen minal aidin walfaizin… ya  kali aja..kan masih suasana lebaran (maksa banget ya …!!)

Gue pun berhenti..

“pagi pak.. bapak tau kenapa saya berhentikan?”

“Tidak..” (kalo tau gue sudah kabur duluan dong! Bego banget nih polisi!)

“tadikan masih lampu merah tapi bapak jalan terus..”

“Lha, kan tidak ada rambu2nya ke kanan tidak boleh belok?”

“Bisa lihat sim dan STNK?”

Langsung gue buka dompet dan rogoh SIM dan STNK.langsung gue kasih… tanpa ba-bi-bu sim dan stnk gue dibawa ke pos polisi yang ngumpet dibalik-balik mobil. Sialan deh… pasti ujung2nya duit nih..pikir gue.

Gue ikutin deh si ‘oknum’ bajingan itu. Dan ternyata disitu ada dua oknum lagi menunggu. Langsung sok sibuk nanya sana sini..mencari2 kesalahan.

“sori nih pak..”

“Iya, tapi harus di tilang..”

“terserah bapak deh..”

“Mau ditilang ato gimana nih..?”

“Mau bapak apa..?”

“Ya tilang atau gimana nih..?”

“TERSERAH..!!!! SAYA BURU2 MAU FISIOTERAPI.NGERTI NGGAK..???”

Jujur tiga oknum polisi blo’on itu gue bentak sangkin kesalnya. Bener2 dongok banget..!!!

Sok kritis tapi ujung2nya minta duit..

“udah deh, kasih berapa aja biar langsung cabut!”

Jujur aja, sebenarnya gue ogah ngasih. Tapi sangkin dongkolnya berurusan sama POLISI, langsung aja gue rogoh dompet gue dan kasih 10.000 untuk mereka bertiga…

Eh, ketika disodorin uang 10.000 mereka langsung senyum-senyum. Oalaaaaaa…nasibmu lah nak. Harga dirimu hanya 10.000 SAJA..!!!!!!

Edan ya…. Kok bisa polisi2 bermental begini LOLOS jadi POLISI. Wajar saja kalo masyarakat sekarang banyak yang tidak simpatik dengan polisi. Karena banyak yang bermental KRUPUK! Alias RAPUH dan tidak layak jadi polisi!

[]


Sketsa XIX David: Pengembalian Laptop dan Pembuktian Kebohongan

Oleh Iwan Piliang

 

Pada Selasa, 28 September 2010, kami kembali ke Singapura. Pada 6 Agustus 2009, setahun lalu, kami gagal membawa pulang laptop Almarhum David Hartanto Wijaya, mahasiswa Indonesia dibunuh di kampusnya, NTU, Singapura. Rekan-rekan mahasiswa Indonesia di Singapura tak bernyali melakukan sesuatu di kasus ini, KBRI juga?! Apakah kami berhasil membawa laptop David pulang berikut digital kontennya, setelah kepolisian Singapura mengancam hancurkan barang bukti di tangan mereka akhir September 2010 ini?

 

PUKUL 09.30 Pesawat Lion Air kami tumpangi mendarat di Changi Airport, Singapura. Saya, Hartono Wijaya, William Hartanto—ayah dan kakak almarhum David—Ruby Alamsyah, ahli forensik digital, dan Menara Iman Hutasoit, SH,. LLM, pengacara dari kantor hukum Kaligis, sepakat mencari food court. Udara di luar bandara cerah. Matahari mulai menyapa aspal jalanan.

William dan ayahnya, memilih Nasi Ayam Hainan. Saya langsung menuju deretan komputer desktop menyediakan internet gratis, sekadar mengisi status Facebook. Ruby memilih men-charge Black Berry-nya, lalu bergegas ke gerai makanan. Nara, sapan akrab Menara I Hutasoit, mencari sendiri pilihan sarapan tak berat.

Di pesawat ekonomi makan dan minum tak disedikan. Saya memesan teh, dua telur setengah matang dan setengah potong roti bakar. Usai mengorder, mata saya tertumbuk ke sebelah kanan gerai makanan, ada beberapa bungkusan nasi dalam daun.

“Nasi lemak,“ kata penjualnya.

Saya menambah S$ 3 (sekitar Rp 20 ribu) untuk sebungkus nasi lemak. Begitu saya buka, isinya nasi putih dengan sekitar delapan potong teri setengah kelingking dibelah dua, lalu ikan goreng dua jari tipis, plus sambal belacan.

Saya tertarik membeli sarapan nasi lemak, mengingat di sebuah airport post modern mentereng, ada nasi bungkus. Akan tetapi, entah karena tak paham mengolah bahan tradisional, itu nasi lemak kendati berdaun pisang, aroma sang daun tak mereka bikin mengepul. Mereka membungkus nasi di saat dingin. Mereka tidak berusaha menyangrai daun hingga panas, lalu aroma daun mumpun.

Otomatis, tentulah lebih enak sebungkus nasi uduk di pinggir jalan di Jakarta dibanding nasi lemak ala Changi, Singapura itu.

Usai sarapan ligat, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat.

Janji meeting dengan pihak kepolisian Singapura di KBRI, pukul 11. Kami bergegas memburu waktu. Kami berlima, memilih Maxi Cab, Ssang Yong Rodius Stavic, mobil Korea bermesin Mercedes Benz, berbandrol S$50 mengantar ke tujuan manapun dari airport.

Saya duduk di pojok kanan belakang. Di sebelah kiri Nara. Ruby di sebelah supir. Di sepanjang perjalanan, entah mengapa satu pun dari kami tidak berkata-kata. Suasana hening. Kami berlima hanyut dengan pikiran dan perasaan masing-masing, sambil melihat panorama Singapura kian banyak gedung menjangkung. Mendekati kawasan KBRI, saya melihat setidaknya dua kawasan bangunan apartemen baru.

Kami terlambat sampai di KBRI di jalan Chatsworth Road Nomor 7. Sehari sebelumnya saya mendapatkan informasi di jam sama di Jakarta, rombongan pihak kedutaan Singapura di Jakarta melakukan kunjungan perkenalan ke DPP Partai Demokrat (PD) di bilangan Jl Pemuda, Jakarta Timur. Demokrat partai pemenang pemilu 2009. Kepada seorang kawan pengurus PD saya meminta tolong menanyakan soal kasus David, terutama ihwal laptop David yang enggan dikembalikan berikut digital kontennya itu.

Seperti biasa, kami langsung menuju ruang Sekretaris Pertama KBRI, Yayan Mulyana. Ia tak ditempat. Kami disambut stafnya, Lina. Tak lama kemudian baru Yayan muncul menyalami kami satu persatu. Yayan langsung mengajak ke sebuah ruang rapat berukuran setengah lapangan volli di lantai dua. Di dalamnya sudah menunggu 3 orang pihak polisi Singapura.

Soh Kien Peng, Kepala Investigator, Polisi Singapura sudah kami kenal. Dua lainnya satu terbilang muda, dan seorang lagi, tidak mengenalkan diri. Hartono menyiapkan tripod dan merekam momen itu dengan video handycam yang telah ia siapkan sejak dari Jakarta. Begitu semuanya duduk di ruangan itu, seperti tahun lalu, Yayan Mulyana membuka  pembicaraan, menyampaikan maksud pertemuan. Ia didampingi oleh Sachmad Djatmiko, Pejabat Konsuler KBRI Singapura.

Polisi Singapura, memperlihatkan formulir serah terima yang sudah harus ditandatangani oleh keluarga almarhum David. Kami semua lalu berdiri ke arah meja seukuran setengah meja pingpong. Di meja itu sudah diletakkan laptop David, berikut sebuah sandal hitamnya di dalam kantung plastik. Juga terlihat sebuah flashdisk. Apa yang kami lihat tak berbeda dengan apa yang kami simak pada 6 Agustus 2009 tahun lalu. Formulir sama. Benda-benda akan dikembalikan sama. Hanya suasana beda.

Tidak ada kalimat menyatakan bahwa polisi Singapura melengkapi pengembalian dengan data digital, berikut hashing data—berisi 32 angka menerakan digital finger print, di saat serah terima kepada keluarga.

Harapan laku saling menginformasikan finger print atau tanda tangan digital itu sebagai bukti bahwa polisi Singapura memang terbuka, kepada ahli kita, kepada keluarga, kepada bangsa, kepada Indonesia, bahwa: polisi Singapura bekerja jujur dalam memforensik digital laptop David, bukan sebaliknya melakukan kebohongan, menutupi dengan segala cara.

Jika Anda, Sidang Pembaca Sketsa ini masih ingat, di persidangan koroner, polisi forensik digital Singapura menyatakan bahwa David membuat surat ia ingin bunuh diri. Kalimat ini dibantah keluarga, karena di tanggal, jam, menit dan detik sama sebutkan, keluarga punya alibi: David sedang makan siang di Restoran Angke, Jakarta.

Poin utama kedua, polisi Singapura mengatakan bahwa, David mengunjungi situs internet dengan browser Mozilla Firefox ke-3 situs berkaitan dengan keinginan bunuh diri. Aneh tapi nyata, sang polisi ketika ditanya di pengadilan mengaku tidak menemukan tanggal, jam, menit, detik, ketika David berselancar ke tiga situs internet ihwal bunuh diri itu?!

Atas dasar dua fakta di ataslah, maka, keluarga ngotot meminta pengembalian laptop. Dan pengembaliannya harus berikut tanda-tangan digital atau digital finger print alias digital konten, dan bisa saling diperlihatkan bahwa kalimat polisi Singapura bukan kebohongan belaka. Lalu fakta ini berguna sebagai alat bukti jika dikemudian hari pihak keluarga ingin mengajukan gugatan ke high court.

Fakta-fakta lain terindikasi diputar-balikkan di persidangan koroner, sulit untuk diminta keluarga. Termasuk keterangan saksi dan foto 8 detik dari sebuah kamera hand phone yang merekam David berada di jembatan kaca hendak terjun melompat bunuh diri.

”Kami yakin seyakin-yakinnya, foto di hape itu bukanlah David,” ujar Hartono.

Sehingga, karena alasan tiada dusta di antara polisi Singapura dengan keluarga David itulah, maka data digital konten laptop menjadi begitu berarti bagi sebuah upaya mencari kebenaran, bagi sebuah energi menegakkan keadilan.

 

SABTU, 25 September 2010, telepon genggam saya bergetar. Ruby Alamsyah, menelepon.

“Ibu saya baru meninggal dua puluh menit lalu, bisakah kita tunda Kamis, 30 September ke Singapura-nya, tolong sampaikan ke Pak Hartono?”

Saya mengucapkan kata turut belangsungkawa sedalam-dalamnya kepada Ruby. Kehadirannya ke Singapura penting untuk “memaksa” polisi berkenan mengembalikan forensik digital laptop David. Apalagi ia juga kenal dengan sosok Edwin, ahli forensik digital kepolisian Singapura, satu asosiasi dengan Ruby di http://www.htci.org.

Saya menyampaikan hal itu kepada Hartono Wijaya. Ia tak bisa berkata apa-apa selain turut memberikan doa bagi almarhumah ibunda Ruby. Dan tentu jika tak jadi berangkat Selasa, tiket sudah dibeli hangus.

Senin siang Ruby menelepon. ”Tak apa kita tetap berangkat Selasa, saya kuatir nanti kalau tanggal 30, jika ada apa-apa polisi Singapura langsung memusnahkan barang bukti sesuai ancamannya?” kata Ruby di telepon.

Maka kami tetap berangkat di Selasa itu, dalam susana Ruby Alamsyah berkabung.

Otomatis di ruang rapat KBRI Selasa siang itu, Ruby memang menjadi andalan kami dalam meminta kembalinya laptop berikut digital konten. Polisi tetap kukuh tak bisa mengembalikan digital konten.

Susana di ruang rapat lantai dua itu terasa panas. Kendati ruang berpendingin dengan AC dua PK.

Saya sampaikan kepada Yayan Mulyana, bahwa publik di Indonesia peduli dengan kasus ini. Seharusnya KBRI bisa menekan polisi Singapura, tak sekadar pasrah.

”Kami kalau melepas baju pegawai negeri, sama dengan Bapak, juga marah. Tetapi sebagai  diplomat, kami harus menghargai hukum negeri ini,” kata Yayan menjawab kalimat saya. Kelihtaan Yayan yang selalu berbicara lambat, pelan, kali ini nadanya lancar.

Hartono dan William berdiri.

Hartono berbicara dalam bahasa Mandarin kepada polisi Soh.

Kami semua tak mengerti apa yang disampaikan Hartono.

Raut muka Hartono tegang, kerut di keningnya menguat.

Saya buka suara lagi, menyarankan, jika polisi Singapura tidak mengembalikan laptop berikut digital konten, silakan dia musnahkan saja laptop berikut digital kontennya di hadapan kita. Kita rekam pemusnahan itu. Sekalian karena ini adalah semacam ancaman polisi Singapura, kita beli ancaman itu, saran saya!

”Bagaimana kalau kita berembuk dulu di ruang lain, sebelum kita bicara lagi dengan polisi ini,” Yayan mencairkan suasana.

Maka kami bertujuh bersepakat pindah meninggalkan tiga polisi di ruang rapat itu. Kami  berapat di ruang kerja Djatmiko, Konsuler.

”Saya kurang sepakat dengan ide mas Iwan. Mending kita terima saja laptop berikut flashdisk itu. Nanti Pak Ruby bisa memforensik. Hasilnya akan kita rumuskan dalam klausul bila kelak akan kita uji di pengadilan lebih tinggi,” petuah Menara Iman Hutasoit, mewakili OC Kaligis.

Begitu kalimat Nara meluncur, saya perhatikan Yayan Mulyana dan Djatmiko wajahnya lega. Bahkan sekelebat senyum saya perhatikan mengalir di bibir Djatmiko.

Ruby mencoba pamit untuk menemani ketiga polisi Singapura tadi. ”Saya akan coba kalau bisa berbicara di telepon dengan Edwin di forensik digital,” kata Ruby memecah keheningan.

Tak lama kemudian Hartono angkat bicara. Ia menyetujui saran Nara. ”Mungkin ini langkah maksimal,” ujarnya.

Saya menyarankan bawah di bagian surat tanda terima untuk keluarga itu diberi catatan, bahwa laptop yang diterima tanpa waranty seal pabrikan pembuat laptop. Sebab biasanya jika Anda membeli laptop, apalagi branded, maka di bagian tempat batere, hard disk, selalu ada stiker yang menyakan garansi. Dan laptop David yang kami lihat, perihal stiker garansi itu sudah tak ada sama sekali.

Kami sepakat kembali bergabung ke ruang rapat bersama polisi Singapura tadi.

Kembali Yayan Mulyana menyampaikan kesepakatan keluarga, bahwa berkenan menerima laptop dengan catatan mengisi kolom Remark.

Investigator Soh berusaha menelepon kantor pusatnya menanyakan apakah boleh ia menandatangani dengan tambahan catatan. Tak lama kemudian: ”Oke silakan,” ujar Soh.

Yayan menulis draft setelah disepakati kedua belah pihak lalu dituliskan Yayan ke kertas serah terima. Bunyinya: Upon its receipt by the family, the laptop had no warranty seal. Normally a laptop has warranty seal.

Hartono menandatangani setelah pencantuman catatan di atas. Lalu Yayan Mulyana membubuhkan tandatangan saksi. Giliran ke tanda tangan Soh, dengan enteng dia berujar, ”Saya tanda tangan ini. Tetapi di bawahnya saya kasih catatan lagi bahwa ketika saya menerima laptop ini juga tanpa warranty seal?”

Dagelan!

 

Seketika Hartono dan William sontak berdiri.

Saya lalu mengatakan kepada Soh, apakah kamu hendak menulis fiksi?

Hartono marah dalam bahasa Mandarin. Saya duga ia memaki dan mengancam sang pejabat polisi itu.

Saya perhatikan Soh, polisi yang berbaju sipil berambut belah samping, itu tampak kecut. Satu asistennya sosok anak muda, dengan rambut berjeli, badan tinggi agak kurus, macam anak muda di kawasan Kota, Jakarta, kebanyakan, terdiam. Satu koleganya berbadan pendek, sosok Melayu Singapura. Sosok Melayu ini dari awal kehadiran kami, plus menyimak teriakan Hartono, saya perhatikan mukanya selalu masam. Bahkan sosok itu selalu buang muka jika kami berhadapan di meja (dapat Anda simak gayanya di foto ini).

Akhirnya dalam keadaan tak nyaman ketiga polisi itu pamit. Polisi yang melayu tidak menyalami kami. Hanya Soh berjabatan tangan plus anak buahnya yang muda. Saya perhatikan Hartono menunjuk-nunjuk Soh, bagaikan seseorang mengancam.

Sepulang ketiga polisi itu saya tanya kepada Hartono, Bapak bilang apa?

”Saya maki-maki, sekalian saya ancam, bahwa keadilan mesti tegak dan kamu terancam lahir batin jika tak menegakkan keadilan!”

Kami dipersilakan oleh Yayan dan Djatmiko menggunakan ruangan itu, termasuk jika butuh makan siang ke kantin KBRI dengan memasukkan bill makanan ke nama mereka. Tinggalah kami berlima di ruang KBRI itu.

Langkah mengkloning flashdisk 2 giga dilakukan Ruby hanya dalam tempo 15 menit.  Belum apa-apa, sudah ketemu satu kebohongan lagi. Di persidangan polisi mengaku menemukan ada program kuliah David tentang Open Computer Vission, plus film Prison Break. Saat dibuka, hanya berisi program Open CV saja. Tak ada film. Tak ada data lain, termasuk tugas akhirnya.

Ruby akan mengkloning hard disk laptop. Begitu dibuka memang ada tanda dari kepolisian Singapura bahwa hal itu telah mereka forensik. Dan tiga jam kemudian proses kloning baru selesai.

“Saya membutuhkan waktu khusus di Jakarta membaca data ini,” ujar Ruby, sambil mengemasi peralatan khusus yang ia bawa dari Jakarta.

Khusus laptop ini, jika logika nalar Anda coba bergerak, di saat david menemui profesornya, Chan Kap Luk, ia hanya membawa ransel dan flashdisk. Laptop ditinggalkan di ruang kamarnya. Apa hubungan sebuah laptop dengan rencana tudingan polisi Singapura, David ingin membunuh profesor lalu bunuh diri.

Saya jadi teringat kalimat OC Kaligis, “Apa laptop alat untuk membunuh?”

Hingga di sini bertambah-tambahlah absurdnya perkara ini.

Hari menjelang petang. Rona senja mulai menampakkan diri. Di airport Changi sambil menunggu pesawat take off pulang ke Jakarta, Nara menyampaikan kepada saya, “Sulit mencari lawyer Singapura yang mau mengajukan kasus ini kembali.”

Loh tadi Anda bilang kita akan maju ke high court?

”Coba kita cari lawyer muda yang punya idealisme,” jawab Nara.

Sesuai dengan ketentuan hukum di Singapura, maju berperkara di negaranya harus menggunakan lawyer dalam negerinya.

Seandainya dapat pun sosok pengacara muda, saya menduga awalnya sang lawyer berani maju ke pangadilan. Akan tetapi kemudian ia dan keluarganya diancam oleh polisi Singapura, untuk mundur memajukan kasus ini?

”Wahh iya ya?” Nara sontak berpikir keras.

Kami lalu sama-sama terdiam.

Sejenak saya membayangkan sosok Truman Garcia Capote. Ia penulis non fiksi Amerika yang tekun memverifikasi sebuah kasus pembunuhan di tulisan yang pernah dimuat di  majalah The New Yorker, 1965. Karya itu sudah dibukukan berjudul In Cold Blood. Saya kagum akan kesabaran Capote memverifikasi, laku yang kini kian sulit dicari dalam langgam jurnalisme Indonesia yang cenderung, seperti mengutip kalimat wartawan almarhum Budiman S Hartoyo, “Jurnalisme Indonesia kini terlanjur Jurnalisme Ludah.” Maksudnya, malas verifikasi, mengurangi laku reportase, entah karena pertimbangan biaya, atau mabuk laku instan, sehingga media mainstream tidak begitu peduli ke kasus David ini hingga kini.

Sosok Capote, salah satu penulis yang saya kagumi, berpulang 25 Agustus 1984. Sungguh tak sebandinglah hal remah yang saya lakukan dibanding penulis hebat itu.

Namun dengan kerendahan hati, saya berusaha belajar menghidangkan verifikasi yang belum selesai ini ke hadapan Anda, dengan segala kekurangan yang ada, juga dengan segala pengorbanan kami sekeluarga, termasuk mengratiskan deretan panjang tulisan ini ke publik Indonesia.

Di dalam pesawat kami pun kembali diam, mengisi waktu perjalanan dengan terkantuk-kantuk bak beruk. Ya bak beruk! *** (bersambung)

Iwan Piliang, literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com

 

Investigator Soh memperlihatkan formulir serah terima laptop, didampingi satu asisten, dan seorang asisten lainnya membuang muka


Bukti bahwa hard disk mereka buka