Oleh Iwan Piliang
Pada Selasa, 28 September 2010, kami kembali ke Singapura. Pada 6 Agustus 2009, setahun lalu, kami gagal membawa pulang laptop Almarhum David Hartanto Wijaya, mahasiswa Indonesia dibunuh di kampusnya, NTU, Singapura. Rekan-rekan mahasiswa Indonesia di Singapura tak bernyali melakukan sesuatu di kasus ini, KBRI juga?! Apakah kami berhasil membawa laptop David pulang berikut digital kontennya, setelah kepolisian Singapura mengancam hancurkan barang bukti di tangan mereka akhir September 2010 ini?
PUKUL 09.30 Pesawat Lion Air kami tumpangi mendarat di Changi Airport, Singapura. Saya, Hartono Wijaya, William Hartanto—ayah dan kakak almarhum David—Ruby Alamsyah, ahli forensik digital, dan Menara Iman Hutasoit, SH,. LLM, pengacara dari kantor hukum Kaligis, sepakat mencari food court. Udara di luar bandara cerah. Matahari mulai menyapa aspal jalanan.
William dan ayahnya, memilih Nasi Ayam Hainan. Saya langsung menuju deretan komputer desktop menyediakan internet gratis, sekadar mengisi status Facebook. Ruby memilih men-charge Black Berry-nya, lalu bergegas ke gerai makanan. Nara, sapan akrab Menara I Hutasoit, mencari sendiri pilihan sarapan tak berat.
Di pesawat ekonomi makan dan minum tak disedikan. Saya memesan teh, dua telur setengah matang dan setengah potong roti bakar. Usai mengorder, mata saya tertumbuk ke sebelah kanan gerai makanan, ada beberapa bungkusan nasi dalam daun.
“Nasi lemak,“ kata penjualnya.
Saya menambah S$ 3 (sekitar Rp 20 ribu) untuk sebungkus nasi lemak. Begitu saya buka, isinya nasi putih dengan sekitar delapan potong teri setengah kelingking dibelah dua, lalu ikan goreng dua jari tipis, plus sambal belacan.
Saya tertarik membeli sarapan nasi lemak, mengingat di sebuah airport post modern mentereng, ada nasi bungkus. Akan tetapi, entah karena tak paham mengolah bahan tradisional, itu nasi lemak kendati berdaun pisang, aroma sang daun tak mereka bikin mengepul. Mereka membungkus nasi di saat dingin. Mereka tidak berusaha menyangrai daun hingga panas, lalu aroma daun mumpun.
Otomatis, tentulah lebih enak sebungkus nasi uduk di pinggir jalan di Jakarta dibanding nasi lemak ala Changi, Singapura itu.
Usai sarapan ligat, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat.
Janji meeting dengan pihak kepolisian Singapura di KBRI, pukul 11. Kami bergegas memburu waktu. Kami berlima, memilih Maxi Cab, Ssang Yong Rodius Stavic, mobil Korea bermesin Mercedes Benz, berbandrol S$50 mengantar ke tujuan manapun dari airport.
Saya duduk di pojok kanan belakang. Di sebelah kiri Nara. Ruby di sebelah supir. Di sepanjang perjalanan, entah mengapa satu pun dari kami tidak berkata-kata. Suasana hening. Kami berlima hanyut dengan pikiran dan perasaan masing-masing, sambil melihat panorama Singapura kian banyak gedung menjangkung. Mendekati kawasan KBRI, saya melihat setidaknya dua kawasan bangunan apartemen baru.
Kami terlambat sampai di KBRI di jalan Chatsworth Road Nomor 7. Sehari sebelumnya saya mendapatkan informasi di jam sama di Jakarta, rombongan pihak kedutaan Singapura di Jakarta melakukan kunjungan perkenalan ke DPP Partai Demokrat (PD) di bilangan Jl Pemuda, Jakarta Timur. Demokrat partai pemenang pemilu 2009. Kepada seorang kawan pengurus PD saya meminta tolong menanyakan soal kasus David, terutama ihwal laptop David yang enggan dikembalikan berikut digital kontennya itu.
Seperti biasa, kami langsung menuju ruang Sekretaris Pertama KBRI, Yayan Mulyana. Ia tak ditempat. Kami disambut stafnya, Lina. Tak lama kemudian baru Yayan muncul menyalami kami satu persatu. Yayan langsung mengajak ke sebuah ruang rapat berukuran setengah lapangan volli di lantai dua. Di dalamnya sudah menunggu 3 orang pihak polisi Singapura.
Soh Kien Peng, Kepala Investigator, Polisi Singapura sudah kami kenal. Dua lainnya satu terbilang muda, dan seorang lagi, tidak mengenalkan diri. Hartono menyiapkan tripod dan merekam momen itu dengan video handycam yang telah ia siapkan sejak dari Jakarta. Begitu semuanya duduk di ruangan itu, seperti tahun lalu, Yayan Mulyana membuka pembicaraan, menyampaikan maksud pertemuan. Ia didampingi oleh Sachmad Djatmiko, Pejabat Konsuler KBRI Singapura.
Polisi Singapura, memperlihatkan formulir serah terima yang sudah harus ditandatangani oleh keluarga almarhum David. Kami semua lalu berdiri ke arah meja seukuran setengah meja pingpong. Di meja itu sudah diletakkan laptop David, berikut sebuah sandal hitamnya di dalam kantung plastik. Juga terlihat sebuah flashdisk. Apa yang kami lihat tak berbeda dengan apa yang kami simak pada 6 Agustus 2009 tahun lalu. Formulir sama. Benda-benda akan dikembalikan sama. Hanya suasana beda.
Tidak ada kalimat menyatakan bahwa polisi Singapura melengkapi pengembalian dengan data digital, berikut hashing data—berisi 32 angka menerakan digital finger print, di saat serah terima kepada keluarga.
Harapan laku saling menginformasikan finger print atau tanda tangan digital itu sebagai bukti bahwa polisi Singapura memang terbuka, kepada ahli kita, kepada keluarga, kepada bangsa, kepada Indonesia, bahwa: polisi Singapura bekerja jujur dalam memforensik digital laptop David, bukan sebaliknya melakukan kebohongan, menutupi dengan segala cara.
Jika Anda, Sidang Pembaca Sketsa ini masih ingat, di persidangan koroner, polisi forensik digital Singapura menyatakan bahwa David membuat surat ia ingin bunuh diri. Kalimat ini dibantah keluarga, karena di tanggal, jam, menit dan detik sama sebutkan, keluarga punya alibi: David sedang makan siang di Restoran Angke, Jakarta.
Poin utama kedua, polisi Singapura mengatakan bahwa, David mengunjungi situs internet dengan browser Mozilla Firefox ke-3 situs berkaitan dengan keinginan bunuh diri. Aneh tapi nyata, sang polisi ketika ditanya di pengadilan mengaku tidak menemukan tanggal, jam, menit, detik, ketika David berselancar ke tiga situs internet ihwal bunuh diri itu?!
Atas dasar dua fakta di ataslah, maka, keluarga ngotot meminta pengembalian laptop. Dan pengembaliannya harus berikut tanda-tangan digital atau digital finger print alias digital konten, dan bisa saling diperlihatkan bahwa kalimat polisi Singapura bukan kebohongan belaka. Lalu fakta ini berguna sebagai alat bukti jika dikemudian hari pihak keluarga ingin mengajukan gugatan ke high court.
Fakta-fakta lain terindikasi diputar-balikkan di persidangan koroner, sulit untuk diminta keluarga. Termasuk keterangan saksi dan foto 8 detik dari sebuah kamera hand phone yang merekam David berada di jembatan kaca hendak terjun melompat bunuh diri.
”Kami yakin seyakin-yakinnya, foto di hape itu bukanlah David,” ujar Hartono.
Sehingga, karena alasan tiada dusta di antara polisi Singapura dengan keluarga David itulah, maka data digital konten laptop menjadi begitu berarti bagi sebuah upaya mencari kebenaran, bagi sebuah energi menegakkan keadilan.
SABTU, 25 September 2010, telepon genggam saya bergetar. Ruby Alamsyah, menelepon.
“Ibu saya baru meninggal dua puluh menit lalu, bisakah kita tunda Kamis, 30 September ke Singapura-nya, tolong sampaikan ke Pak Hartono?”
Saya mengucapkan kata turut belangsungkawa sedalam-dalamnya kepada Ruby. Kehadirannya ke Singapura penting untuk “memaksa” polisi berkenan mengembalikan forensik digital laptop David. Apalagi ia juga kenal dengan sosok Edwin, ahli forensik digital kepolisian Singapura, satu asosiasi dengan Ruby di http://www.htci.org.
Saya menyampaikan hal itu kepada Hartono Wijaya. Ia tak bisa berkata apa-apa selain turut memberikan doa bagi almarhumah ibunda Ruby. Dan tentu jika tak jadi berangkat Selasa, tiket sudah dibeli hangus.
Senin siang Ruby menelepon. ”Tak apa kita tetap berangkat Selasa, saya kuatir nanti kalau tanggal 30, jika ada apa-apa polisi Singapura langsung memusnahkan barang bukti sesuai ancamannya?” kata Ruby di telepon.
Maka kami tetap berangkat di Selasa itu, dalam susana Ruby Alamsyah berkabung.
Otomatis di ruang rapat KBRI Selasa siang itu, Ruby memang menjadi andalan kami dalam meminta kembalinya laptop berikut digital konten. Polisi tetap kukuh tak bisa mengembalikan digital konten.
Susana di ruang rapat lantai dua itu terasa panas. Kendati ruang berpendingin dengan AC dua PK.
Saya sampaikan kepada Yayan Mulyana, bahwa publik di Indonesia peduli dengan kasus ini. Seharusnya KBRI bisa menekan polisi Singapura, tak sekadar pasrah.
”Kami kalau melepas baju pegawai negeri, sama dengan Bapak, juga marah. Tetapi sebagai diplomat, kami harus menghargai hukum negeri ini,” kata Yayan menjawab kalimat saya. Kelihtaan Yayan yang selalu berbicara lambat, pelan, kali ini nadanya lancar.
Hartono dan William berdiri.
Hartono berbicara dalam bahasa Mandarin kepada polisi Soh.
Kami semua tak mengerti apa yang disampaikan Hartono.
Raut muka Hartono tegang, kerut di keningnya menguat.
Saya buka suara lagi, menyarankan, jika polisi Singapura tidak mengembalikan laptop berikut digital konten, silakan dia musnahkan saja laptop berikut digital kontennya di hadapan kita. Kita rekam pemusnahan itu. Sekalian karena ini adalah semacam ancaman polisi Singapura, kita beli ancaman itu, saran saya!
”Bagaimana kalau kita berembuk dulu di ruang lain, sebelum kita bicara lagi dengan polisi ini,” Yayan mencairkan suasana.
Maka kami bertujuh bersepakat pindah meninggalkan tiga polisi di ruang rapat itu. Kami berapat di ruang kerja Djatmiko, Konsuler.
”Saya kurang sepakat dengan ide mas Iwan. Mending kita terima saja laptop berikut flashdisk itu. Nanti Pak Ruby bisa memforensik. Hasilnya akan kita rumuskan dalam klausul bila kelak akan kita uji di pengadilan lebih tinggi,” petuah Menara Iman Hutasoit, mewakili OC Kaligis.
Begitu kalimat Nara meluncur, saya perhatikan Yayan Mulyana dan Djatmiko wajahnya lega. Bahkan sekelebat senyum saya perhatikan mengalir di bibir Djatmiko.
Ruby mencoba pamit untuk menemani ketiga polisi Singapura tadi. ”Saya akan coba kalau bisa berbicara di telepon dengan Edwin di forensik digital,” kata Ruby memecah keheningan.
Tak lama kemudian Hartono angkat bicara. Ia menyetujui saran Nara. ”Mungkin ini langkah maksimal,” ujarnya.
Saya menyarankan bawah di bagian surat tanda terima untuk keluarga itu diberi catatan, bahwa laptop yang diterima tanpa waranty seal pabrikan pembuat laptop. Sebab biasanya jika Anda membeli laptop, apalagi branded, maka di bagian tempat batere, hard disk, selalu ada stiker yang menyakan garansi. Dan laptop David yang kami lihat, perihal stiker garansi itu sudah tak ada sama sekali.
Kami sepakat kembali bergabung ke ruang rapat bersama polisi Singapura tadi.
Kembali Yayan Mulyana menyampaikan kesepakatan keluarga, bahwa berkenan menerima laptop dengan catatan mengisi kolom Remark.
Investigator Soh berusaha menelepon kantor pusatnya menanyakan apakah boleh ia menandatangani dengan tambahan catatan. Tak lama kemudian: ”Oke silakan,” ujar Soh.
Yayan menulis draft setelah disepakati kedua belah pihak lalu dituliskan Yayan ke kertas serah terima. Bunyinya: Upon its receipt by the family, the laptop had no warranty seal. Normally a laptop has warranty seal.
Hartono menandatangani setelah pencantuman catatan di atas. Lalu Yayan Mulyana membubuhkan tandatangan saksi. Giliran ke tanda tangan Soh, dengan enteng dia berujar, ”Saya tanda tangan ini. Tetapi di bawahnya saya kasih catatan lagi bahwa ketika saya menerima laptop ini juga tanpa warranty seal?”
Dagelan!
Seketika Hartono dan William sontak berdiri.
Saya lalu mengatakan kepada Soh, apakah kamu hendak menulis fiksi?
Hartono marah dalam bahasa Mandarin. Saya duga ia memaki dan mengancam sang pejabat polisi itu.
Saya perhatikan Soh, polisi yang berbaju sipil berambut belah samping, itu tampak kecut. Satu asistennya sosok anak muda, dengan rambut berjeli, badan tinggi agak kurus, macam anak muda di kawasan Kota, Jakarta, kebanyakan, terdiam. Satu koleganya berbadan pendek, sosok Melayu Singapura. Sosok Melayu ini dari awal kehadiran kami, plus menyimak teriakan Hartono, saya perhatikan mukanya selalu masam. Bahkan sosok itu selalu buang muka jika kami berhadapan di meja (dapat Anda simak gayanya di foto ini).
Akhirnya dalam keadaan tak nyaman ketiga polisi itu pamit. Polisi yang melayu tidak menyalami kami. Hanya Soh berjabatan tangan plus anak buahnya yang muda. Saya perhatikan Hartono menunjuk-nunjuk Soh, bagaikan seseorang mengancam.
Sepulang ketiga polisi itu saya tanya kepada Hartono, Bapak bilang apa?
”Saya maki-maki, sekalian saya ancam, bahwa keadilan mesti tegak dan kamu terancam lahir batin jika tak menegakkan keadilan!”
Kami dipersilakan oleh Yayan dan Djatmiko menggunakan ruangan itu, termasuk jika butuh makan siang ke kantin KBRI dengan memasukkan bill makanan ke nama mereka. Tinggalah kami berlima di ruang KBRI itu.
Langkah mengkloning flashdisk 2 giga dilakukan Ruby hanya dalam tempo 15 menit. Belum apa-apa, sudah ketemu satu kebohongan lagi. Di persidangan polisi mengaku menemukan ada program kuliah David tentang Open Computer Vission, plus film Prison Break. Saat dibuka, hanya berisi program Open CV saja. Tak ada film. Tak ada data lain, termasuk tugas akhirnya.
Ruby akan mengkloning hard disk laptop. Begitu dibuka memang ada tanda dari kepolisian Singapura bahwa hal itu telah mereka forensik. Dan tiga jam kemudian proses kloning baru selesai.
“Saya membutuhkan waktu khusus di Jakarta membaca data ini,” ujar Ruby, sambil mengemasi peralatan khusus yang ia bawa dari Jakarta.
Khusus laptop ini, jika logika nalar Anda coba bergerak, di saat david menemui profesornya, Chan Kap Luk, ia hanya membawa ransel dan flashdisk. Laptop ditinggalkan di ruang kamarnya. Apa hubungan sebuah laptop dengan rencana tudingan polisi Singapura, David ingin membunuh profesor lalu bunuh diri.
Saya jadi teringat kalimat OC Kaligis, “Apa laptop alat untuk membunuh?”
Hingga di sini bertambah-tambahlah absurdnya perkara ini.
Hari menjelang petang. Rona senja mulai menampakkan diri. Di airport Changi sambil menunggu pesawat take off pulang ke Jakarta, Nara menyampaikan kepada saya, “Sulit mencari lawyer Singapura yang mau mengajukan kasus ini kembali.”
Loh tadi Anda bilang kita akan maju ke high court?
”Coba kita cari lawyer muda yang punya idealisme,” jawab Nara.
Sesuai dengan ketentuan hukum di Singapura, maju berperkara di negaranya harus menggunakan lawyer dalam negerinya.
Seandainya dapat pun sosok pengacara muda, saya menduga awalnya sang lawyer berani maju ke pangadilan. Akan tetapi kemudian ia dan keluarganya diancam oleh polisi Singapura, untuk mundur memajukan kasus ini?
”Wahh iya ya?” Nara sontak berpikir keras.
Kami lalu sama-sama terdiam.
Sejenak saya membayangkan sosok Truman Garcia Capote. Ia penulis non fiksi Amerika yang tekun memverifikasi sebuah kasus pembunuhan di tulisan yang pernah dimuat di majalah The New Yorker, 1965. Karya itu sudah dibukukan berjudul In Cold Blood. Saya kagum akan kesabaran Capote memverifikasi, laku yang kini kian sulit dicari dalam langgam jurnalisme Indonesia yang cenderung, seperti mengutip kalimat wartawan almarhum Budiman S Hartoyo, “Jurnalisme Indonesia kini terlanjur Jurnalisme Ludah.” Maksudnya, malas verifikasi, mengurangi laku reportase, entah karena pertimbangan biaya, atau mabuk laku instan, sehingga media mainstream tidak begitu peduli ke kasus David ini hingga kini.
Sosok Capote, salah satu penulis yang saya kagumi, berpulang 25 Agustus 1984. Sungguh tak sebandinglah hal remah yang saya lakukan dibanding penulis hebat itu.
Namun dengan kerendahan hati, saya berusaha belajar menghidangkan verifikasi yang belum selesai ini ke hadapan Anda, dengan segala kekurangan yang ada, juga dengan segala pengorbanan kami sekeluarga, termasuk mengratiskan deretan panjang tulisan ini ke publik Indonesia.
Di dalam pesawat kami pun kembali diam, mengisi waktu perjalanan dengan terkantuk-kantuk bak beruk. Ya bak beruk! *** (bersambung)
Iwan Piliang, literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com
Investigator Soh memperlihatkan formulir serah terima laptop, didampingi satu asisten, dan seorang asisten lainnya membuang muka
Bukti bahwa hard disk mereka buka