Category Archives: Ragam

C – IP – 0 – K4 – N

Oleh Ade Anita

 

Pagi-pagi jika menulis sesuatu yang rada-rada “dewasa” nggak apa-apa ya… hitung-hitung buat menghangatkan pagi.

Dulu, waktu saya masih kuliah (baru tahun kedua kalau nggak salah), saya punya teman orang bule. Dengan bermodalkan wajah saya yang kata orang innocent (tanpa dosa dan polos), saya bertanya pada teman bule saya itu, yang kebetulan seorang pria yang usianya lebih tua dari saya beberapa tahun. Ketika itu, kami sedang menunggu kereta api yang datang terlambat seperti biasa di sebuah stasiun kereta api menuju Depok.

“Kamu… sudah pernah melakukan hubungan seks belum?”

(kalau dipikir sekarang, gila banget ya saya bertanya hal seperti ini padanya, Kurang kerjaan banget).  Teman bule saya itu kaget, dan dengan alis mata yang saling bertautan dia menatap saya bingung. Saya hanya cengar-cengir dan mengatakan:

“Just want to know.”

“Kamu sendiri? Sudah pernah belum?”

Saya menggeleng, masih dengan cengar-cengir yang culun abis.

“Di Indonesia, hal-hal seperti itu tidak boleh dilakukan sebelum terjadinya sebuah pernikahan.”

Teman bule saya mengangguk-angguk.

“Tapi, itu kan pilihan. Saya bertemu dengan beberapa orang dan mereka ternyata tidak seperti yang kamu katakan tadi, mereka sudah melakukannya meski mereka belum menikah.”

“Well, kebetulan saya termasuk orang yang memilih untuk tidak melakukannya sebelum terjadinya sebuah pernikahan.”

“And Are you happy with that?”

Saya mengangguk. Lalu kami berbincang panjang tentang perkara seks ini seperti halnya sedang membicarakan masalah politik saja, atau seperti membicarakan tentang gosip para selebritis. Saya memang senang ngobrol dari dulu, tapi selalu berusaha untuk membuat obrolan senetral mungkin. Tidak senang menggiring obrolan ke arah lain yang berpotensi yang bukan-bukan.

“Jadi, usia berapa kamu melakukan hubungan seks pertama kali? What is your virgin story?”

Teman bule saya mengangkat telunjuknya ke depan hidung saya.

“Ya, maksud saya kamu. Usia berapa?”

Saya kembali bertanya. Teman bule saya tersenyum.

“Iya, saya bukan sedang mengangkat telunjuk. Tapi saya ingin memberitahumu, saya melakukannya ketika saya berusia sebelas tahun.”

WHAT!!!!

Gila dasar bule ini. Tapi, ternyata pengetahuan baru ini berguna bagi saya untuk memahami sebuah pernikahan dini yang gonjang-ganjingnya sempat ramai beberapa tahun yang lalu di Indonesia.

Kebetulan, saya mengasuk rubrik Uneg-uneg di kafemuslimah.com. Sebuah surat curhat datang ke email saya bertanya tentang pernikahan dini tersebut. Sebut saja Mr X yang ingin menikahkan anaknya yang baru berusia 13 tahun dengan seorang yang menurutnya cocok untuk jadi pendamping hidup anaknya. Tapi, dia mendapat kesulitan secara administrasi karena terbentur dengan undang-undang perkawinan yang mengharuskan calon pengantin wanita berusia 16 tahun minimal. Dia merasa terzolimi dengan keberadaan undang-undang perkawinan tersebut.

Akhirnya, saya memaparkan kepada Mr X itu, bahwa memang dalam Islam, hasil kesepakatan ulama mengatakan bahwa seorang perempuan yang siap menikah itu adalah ketika si perempuan sudah siap untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Dan itu artinya, usianya bisa amat dini, lebih dini dari usia yang digaris-bawahin oleh UNdang-undang perkawinan kita yang 16 tahun itu (masih ingat kan, cerita tentang teman bule saya yang melakukan hubungan seksual dengan teman sekolahnya di usia 11 tahun di atas?).

Tapi, perkawinan itu tidak melulu berisi tentang hubungan seksual saja. Ada rentetan kejadian berikutnya, seperti mengandung, melahirkan, mengasuh anak (dan ketiga kejadian ini tidak boleh terlepas dari bentuk fisik seseorang. Jika tubuh si anak masih terlalu kecil, tentu dia harus kepayahan dalam melakukan ketiga kejadian ini). Kecuali…. jika disepakati untuk merencanakan kesiapan suami istri terlebih dahulu dengan cara menunda memiliki momongan. Dengan demikian, si anak bisa terus melanjutkan sekolahnya, karena tidak bisa dipungkirin bahwa pendidikan itu amat berguna bagi pembekalan seseorang dalam menapak kehidupan rumah tangganya. Bukankah tidak selamanya keberuntungan ada di pihak kita? Kita harus siap jika terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki dan ilmu adalah bekal yang tidak akan kadaluarsa. Ada banyak keluarga yang terselamatkan oleh kepandaian yang dimiliki oleh sang istri ketika sang suami tersungkur karena cobaan hidup yang beragam.  Jadi, pendidikan danketerampilan untuk seorang anak perempuan itu adalah sesuatu yang tidak merugi. Akhirnya, si bapak bisa mengerti.

Fiuh.Case Closed.

Kembali ke teman bule saya itu.

Ternyata, gejolak kebutuhan seks pada beberapa orang itu sudah terasa sejak usia remaja. Adalah sistem nilai sosial budaya kita dan juga tata aturan agama-lah yang paling berjasa membentengi agar para remaja kita tidak sampai melakukan hubungan seks bebas. Untuk itu, tentu peran orang tua amat besar adanya.

Eh… mana dia cerita tentang teman bule saya itu? Kok malah nulis pernyataan resmi? hehehe… kita lupakan si teman bule saya itu. Ceritanya menarik memang, apalagi ketika saya mendengar penuturannya, saya masih benar-benar “hijau dan culun”… Saya ingat dulu, beberapa kali teman bule saya itu harus kesulitan memilih kata-kata untuk bercerita karena tahu saya tidak mengerti apa-apa dan dia berusaha keras untuk menjaga agar saya tidak berubah karena ceritanya. Ketika itu, saya benar-benar berada dalam posisi “saya tahu tapi saya tidak tahu apa-apa”.

Usaha teman bule saya ini amat saya hargai. Kesulitan untuk menjelaskan sesuatu yang “biasa” bagi dirinya pada orang yang “belum biasa” seperti saya bukan sebuah perkara mudah. Saya mengalaminya kemarin. Ketika bersama anak bungsu saya, Hawna (5 tahun 10 bulan), berdua menyaksikan tayangan film remaja bule yang berjudul “10 think I hate about You” di HBO Family.

Saya suka jalinan ceritanya, tapi, amat kepayahan menyensor adegan berciuman yang bertaburan di film tersebut. Mau pindah remote suka kelamaan pindah jadi begitu pindah ke film itu lagi ternyata ketinggalan beberapa scenenya. Nggak pindah ada Hawna di samping saya. Jadi terpaksa deh, tangan saya mampir ke depan matanya, menutup matanya rapat-rapat.

“Eh… Hawna, tutup matanya.”

Hawna cengar-cengir ketawa.

“Sudah ibu, aku sudah nutup mataku. Nanti kalau sudah selesai bilang ya, aku cape nutup mata terus.”

Lalu saya menonton terus sambil makan nasi bungkus padang.

“Oke… sekarang sudah boleh dibuka.”

Lalu adegan demi adegan dalam film itu terus berlangsung hingga tiba-tiba, ada adegan dewasa lagi yang hadir tiba-tiba. Spontan saya berteriak panik karena tangan saya penuh belepotan nasi padang yang padat berkuah.

“Eh… Hawna, tutup hidungnya!.. Eh.. mulutnya… eh.. matanya…!!!”

Hawna sebenarnya sudah langsung memalingkan wajahnya ketika dua kepala dalam film itu sudah mulai berdekatan. Tapi, dia spontan tertawa melihat saya yang panik hingga salah bicara beberapa kali dan dia sudah menutup matanya l jauh sebelum saya berteriak sebenarnya.

Saya ikut tertawa melihat ketololan dan kepanikan saya. Huh! Setelah adegan itu lewat, akhirnya, saya bisa terus makan sambil cukup memerintahkan satu kata saja, “Hawna” dan dia langsung menutup matanya. Hingga akhirnya, dia yang masih menutup matanya tiba-tiba bertanya pada saya,

“Kenapa sih bu, aku nggak boleh lihat orang ciuman?”

Eh… loh? Hmm….

“Darimana kamu tahu kalau itu orang lagi ciuman?”

“Ya tahulah. ya… tahu ajah.”

Huff… tarik napas panjang.

“Karena, adegan itu memang belum waktunya dilihat sama kamu.”

“Kalau sama mbak Arna boleh?”

“Belum boleh juga.”

“Kalau sama mas Ibam?”

Huff lagi….

“Nggak semua hal boleh kamu lihat sayang. Apalagi kalau kamu masih kecil. Kadang, ada hal-hal yang kalau kita lihat malah bikin kita bahaya. Seperti kalau orang lihat rahasia negara misalnya, orang itu bisa dibunuh sama polisi. DOR… DOR….”

Loh, kenapa jadi membicarakan tentang masalah terorisme  segala??

“Jadi, kalau aku lihat orang ciuman aku bisa kenapa?”

Oke, Ade, saatnya untuk ngobrak-ngabrik perpustakaan memori di otakmu… pikir…pikir…pikir… ayo, ade pikir…

“Nggak tahu. Tapi, yang pasti kamu akan lebih beruntung kalau kamu melihat itu ketika kamu sudah besar nanti saja. Jangan sekecil ini.”

“Kalau aku sudah sebesar Mbak Arna?”

“Lebih besar lagi.”

“Kayak Mas Ibam?”

Aku melihat ke arah anakku yang berbicara sedari tadi dengan mata tertutup. Aku cium kedua kelopak matanya yang tertutup itu.

“Nanti, saatnya akan datang. Ibu nggak tahu kapan, tapi nggak sekarang yang pasti dan sekarang kamu bisa buka matamu.”

Dia membuka matanya dan melirik film.

“Filmnya sudah habis ya bu?”

“Iya, sudah habis.”

“Ngomong-ngomong, kamu suka nggak nonton film horor?”

“Ihhh… nggak. Aku nggak suka. Serem. Suka ada setannya.”

Saya tertawa melihat reaksi ngeri yang ditampilkan Hawna.

“Tahu nggak, sebenarnya, vampir itu kan kelelawar, tapi sebenarnya, kelelawar itu nggak bahaya sih. Tapi karena kita lihat kelelawar di film horor seram, kita jadi takut sama kelelawar.”

“Iya… aku takut sama kelelawar vampir.”

“Sebenarnya, kelelawar vampr itu nggak ada sayang.”

“Terus.. kenapa di film ada?”

“Ya itulah. Namanya juga film. Dia suka bikin sesuatu yang nggak ada, jadi ada. Atau bikin sesuatu yang nggak boleh dilakuin, jadi boleh dilakuin. Kayak membunuh orang, ngisep darahnya…. brrr…”

Hawna menatapku dengan kedua alis bertaut. Pasti dia bingung.

“Nah, begitu juga dengan orang ciuman. Sebenarnya, buat kita, orang islam dan orang Indonesia, ciuman, pelukan itu cuma boleh dilakukan nanti, kalau sudah nikah. Kayak ibu sama ayah tuh. Tapi, kalau belum nikah nggak boleh. Cuma, karena di film suka lebay, makanya ditampilin orang yang suka ngelakuin itu. Itu sebabnya ibu ngelarang kamu melihatnya.”

“Ooo…. ngerti aku … ngerti.”

(jujur, saya masih bertanya-tanya sebenarnya, dia ngerti beneran nggak sih?)

“Tapi kalau kita lagi liburan ke luar negeri, aku suka lihat orang ciuman?”

“Iya itu tadi… dia orang luar negeri. Mungkin bukan orang Islam kali. Jadi, mending nggak usah dilihat juga.”

Saya meneruskan makan nasi bungkus padang yang tinggal sedikit lagi. Tapi jujur, dalam hati ternyata bertambah lagi pekerjaan rumah saya sebagai seorang ibu.

Lalu, apa hubungannya dengan cerita tentang teman bule saya itu? hehehehe….. ya nggak tahu, namanya juga dia cuma pemanis saja kok di tulisan ini. Saya kebetulan saja inget si bule itu, inget dengan posisi sulitnya ketika saya mengajaknya membicarakan sesuatu dengan posisi saya sebagai seorang yang “tahu tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa”. Sulit jeeeh buat njelasinnya.

Begh… sepertinya kena hukum karma. ***


Behind the Story #1: Setangkai Anggrek Bulan

Oleh Ade Anita

 

Di buku kedua saya yang terbit tahun 2005, “Selamat Malam Kabutku Sayang” (penerbit: Gema Insani Press), ada sebuah cerita yang amat sangat saya suka. JUdulnya Setangkai Anggrek Bulan.  Mungkin waktu itu gaya menulis saya tidak begitu bagus (sampai sekarang sih sebenarnya..hehehe, maaf deh…) tapi saya amat suka ceritanya. Hampir seluruh isi cerita pendek dalam buku-buku saya diambil dari kisah nyata. Baik yang saya alami sendiri maupun yang saya dengar sendiri dari penuturan pelakunya sendiri. Kebetulan, saya termasuk orang yang suka usil mau tahu masalah orang lain.

Cerita ini diangkat dari cerita ibu saya almarhumah dahulu. Suatu hari dia menelepon saya meminta agar saya datang ke rumah beliau.

“De, datang ke rumah ya. Ibu lagi sedih banget nih.”

Suara ibu bergetar menahan tangis. Ibu tidak ingin menjawab pertanyaan saya ada apa gerangan. Akhirnya saya segera meluncur ke rumahnya (hehehe… kesannya euy). Di rumah, ibu belum salin baju. Beliau masih mengenakan pakaian pergi lengkap dengan sisa make up yang masih tersisa di wajahnya yang lelah. Sisa? Ya… saya tahu semula di wajah ibu pasti ada taburan bedak dan lipstick tapi semuanya terlihat tinggal borehan tak teratur di wajahnya. Terhapus begitu saja karena ibu baru saja menangis.

Ternyata, ibu saya baru saja pulang dari menjenguk sahabatnya. Sahabat ketika masih sekolah dahulu sedang  sakit keras. Harapan hidupnya kata dokter tinggal lima puluh persen. Kanker stadium empat. Di sisa harapan kesembuhan sahabatnya  itulah ibu saya bercerita tentang kisah persahabatan dia dengan sahabatnya itu ketika masih sekolah dahulu.

Akhirnya saya pun duduk mendengar ibu bercerita. Sebenarnya lucu juga sih.  Pada semua manusia, rasanya ada sebuah ritme yang hampir serupa pada tiap-tiap diri mereka. Yaitu, bahwa  kita baru menyadari sesuatu itu amat sangat berharga ketika sudah diberitahu bahwa ada batas waktu memilikinya dan batas waktunya itu akan segera berakhir. Alias deadline.

Saya sering bermain-main dengan deadline sebuah event tulisan. Rasanya semua andrenalin imajinasi langsung pop up keluar dari kepala ketika deadline sudah di depan mata. Tapi ini kan deadline sebuah proyek pekerjaan. Berbeda kondisinya dengan deadline sebuah kehidupan…. Hmm.. semula saya pikir yang namanya deadline itu aromanya disini akan berbeda. Tapi ternyata sama saja.

Seseorang yang diberitahu bahwa deadline kehidupannya sudah dekat, akan langsung tersadar bahwa ternyata  ada banyak sekali ide di kepalanya yang belum dia laksanakan. Ada 1001 rencana yang akan diwujudkan.

Sedangkah pada orang-orang yang mengetahui bahwa orang yang dikenalnya akan bertemu dengan batas akhir tidak lama lagi, baru menyadari betapa berharganya kebersamaan mereka yang selama ini bahkan mungkin tidak terpikirkan berharga. Ingatan kita memutar kembali kejadian-kejadian lama ketika bersama dengannya. Biasanya, kenangan yang muncul adalah kenangan indah. Hingga bertambahlah rasa sayang kita dan kian sedihlah mengingat perpisahan yang sebentar lagi akan berakhir. Dan itulah yang terjadi pada ingatan ibu akan sahabatnya yang sedang sakit keras tersebut.

Akhirnya, selang setahun kemudian setelah ibu bercerita tentanga nostalgia indah bersama sahabatnya tersebut, sahabat ibu tersebut meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Hanya saja, ada sebuah kisah yang menurut saya amat sangat mengharukan. Ini terkait dengan kesetiaan suami sahabat ibu tersebut ketika sedang menunggui istrinya yang sedang sakit.

Dengan sabar dan amat sangat telaten, suami sahabat ibu saya itu merawat istrinya yang sedang sakit. Pagi-pagi, dia sudah berangkat ke rumah sakit karena ingin segera membersihkan tubuh istrinya yang terbaring sakit. Ingin menyuapinya lalu mengajak istrinya berbincang-bincang dengan tema apa saja agar istrinya tersebut bersemangat untuk sembuh. Bahkan ketika akhirnya istrinya mengalami kebutaan karena penyakit yang kian ganas; suaminya dengan sabar menuntun istrinya untuk merabai semua hal yang biasa mereka temui setiap waktu.

“Lihat sayang; temanmu membawakanmu apel. Coba pegang ini, ini apelnya.”

Dengan sabar tangan tua bapak itu menuntun tangan tua istrinya untuk menjamah sebutir buah apel. Lalu pelan-pelan meraba buah apel itu dan mengajak istrinya membayangkan buah itu dengan mata hatinya.

“Apel ini ranum sekali. Lihat, kulitnya halus, dagingnya juga empuk. Kamu bisa merasakan tidak kesegarannya sayang? Kita coba ya? Buka mulutmu sayang.. biar aku suapi kamu.”

Ah. Hati siapa yang tidak dapat menahan haru melihat adegan kemesraan dan kesabaran serta kesetiaan seperti ini?

Setiap hari, setiap pagi,  suami teman ibu itu berangkat ke rumah sakit dengan kendaraan umum tanpa kenal lelah. Ketika sore hari, dia selalu meninggalkan istrinya di rumah sakit dengan langkah berat. Seakan tidak ingin berpisah walau sekejap. Tapi anak-anaknya mengharuskan dia untuk pulang ke rumah agar dia juga bisa istirahat. Di rumah, si bapak ini juga tidak tenang istirahatnya. Separuh jiwanya sedang terbaring di rumah sakit, lalu bagaimana mungkin jiwa yang tertinggal bisa tidur nyenyak? Hingga suatu hari…. Si bapak ini terpeleset di kamar mandi. Usia tuanya segera menghantarkannya pada kematian.

Ah. Hidup memang sering tidak adil ya.  Saya berkali-kali bertanya dalam hati ketika mendengar kematian suami teman ibu saya ini. Mengapa Tuhan tidak mencabut saja nyawa para lelaki yang sedang berselingkuh di ranjang-ranjang temaram wanita nakal? Mengapa Tuhan harus mencabut nyawa laki-laki yang penuh kesetiaan dan kesabaran lelaki yang mulia tersebut? Mengapa Tuhan harus mengambil lelaki paling berharga bagi seorang perempuan buta yang sedang sekarat?

Dalam kondisi perasaan yang tercabik-cabik dengan emosi dan pertanyaan akan keadilan Tuhan inilah saya lalu menulis cerita Setangkai Anggrek Bulan. Ibu dulu bercerita, ketika masih gadis dahulu, dia dan sahabatnya itu sering menyanyikan lagu ini dengan diiringi gitar di asramanya di Bandung sana. Itu sebabnya saya menangis ketika mendengar lagu Setangkai Anggrek Bulan; dan lahirlah cerita tersebut. ***

Catatan penulis: tulisan ini dibuat awal tahun 2011, ketika saya sedang berniatt untuk menawarkan kembali buku lama saya yang terbit di awal ketika saya ingin menjadi penulis. Penerbit memberi tahu bahwa masih tersisa sekitar 1500 eksemplar lagi dari 6000 eksemplar semula. Ini bukan promosi loh… tapi cuma pingin nulis aja. Sudah terlalu lama saya tidak menulis; anggap ini usaha saya untuk olah jemari. Dan saya ingin memulainya dengan menulis kisah di balik pembuatan tulisan-tulisan saya. Karena kebanyakan tulisan saya memang dibuat berdasarkan kisah nyata semua. Tapi kalau ada yang mau beli.. waah…. boleh banget.

 

Buku SELAMAT MALAM KABUTKU SAYANG

Penulis: I.R. Adi dan Ade Anita Penyunting: Arif Anggoro Perwajahan Isi: Imam Sobar Penata Letak: Abu Rifqi Desain Sampul: Malia Hartati Penerbit: Gema Insani Jakarta: Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391, 7984392, 7988593. Fax. (021) 7984388. Depok: Jl. Ir H. Juanda, Depok 16418 Telp. (021) 7708891, 7708892, 7708893. Fax. (021) 7708894 http://www.gemainsani.co.id/ e-mail: gipnet@indosat.net.id


Batas Kesabaran

Oleh Ade Anita

 

Catatan: notes ini terinspirasi dari status temanku Saptari semalam. Aku copas status ini ke statusku di menit berikutnya.

Saptari Kurniawati

Lita Dimpudus wrote: At 3 years ”Mommy I love you.”At 10 years ”Mom whatever.”At 16 years “My mom is so annoying.”At 18 years “I’m leaving this house.”At 25 years ”Mom, you were right”……….At 30 years ”I want to go to Mom’s house.”At 50 years ”I don’t want to lose my mom.”At 70 years “I would give up everything to have my mom here with me.”WE only have one MOM. Post this on your wall if you appreciate …

14 hours ago via BlackBerry · Like ·

“Ini deja vu. Pasti deja vu.”

Beberapa kali keningku berkerut melihat pasien di sebelah tempat tidurku. Subhanallah, aku sudah bermimpi bertemu dengannya satu bulan yang lalu. Bahwa dia menderita tumor otak, bahwa dia sakit parah, aku sudah diberitahu dalam mimpiku. Tapi tetap saja hatiku berdetak ketika pertama kali melihatnya berbaring untuk pertama kalinya. Wajah itu amat sangat kuingat. Kucoba untuk mengantarkan sebuah senyuman padanya, meski tidak dibalasnya, tapi aku begitu terharu dengan pertemuan dengan dirinya.

Pasien di sebelah tempat tidurku adalah seorang perempuan berusia 49 tahun yang menderita tumor otak. Sekilas kondisinya seperti tidak menderita sakit. Tubuhnya masih subur, kulitnya tidak pucat, dan dia masih bisa terpingkal-pingkal tertawa menonton acara televisi yang lucu di kamar kami di rumah sakit. Dan sementara aku terheran-heran dengan peristiwa deja vu yang aku alami, aku terus berpikir, apa sebenarnya yang ingin diperlihatkan oleh Allah dari peristiwa deja vu ini? Apa sebenarnya yang Allah ingin aku petik hikmahnya dari jatuh sakitnya diriku kali ini?

Sesungguhnya, memang tidak pernah ada yang sia-sia dalam penciptaan Allah atas segala sesuatu di langit dan bumi. Semuanya senantiasa diiringi oleh hikmah. Itu sebabnya aku senantiasa merenung atas segala sesuatu yang aku temui dalam keseharian. Dan kali ini aku terus merenung dalam kesendirian di kamar perawatanku. Segelintir suara percakapan dari tempat tidur di sebelahku terdengar.

“Ibu, aku tidak suka acara ini. Ganti dong!”

Sebuah suara bentakan terdengar dari pasien di sebelah tempat tidurku. Lalu muncullah sosok perempuan tua yang renta ke depan televisi yang digantung di atas langit-langit kamar. Jemari renta yang sedikit gemetaran itu terlihat memencet tombol televisi untuk mengganti acara.

“Aku tidak mau ini. Ganti!”

Kembali terdengar bentakan. Lalu diulang dengan permintaan lain, lagi dan lagi. Hingga akhirnya perempuan renta dengan jemari gemetar itu menunduk dalam sambil tangannya masih terus memencet tombol untuk mengganti channel televisi.

“Duh, ibu cape nak. Masa belum ketemu juga apa yang kamu suka?”

Aku gemas sendiri. Ingin rasanya menolong perempuan tua itu mencari channel yang disukai anaknya tapi kakiku belum bisa digerakkan. Masih amat lemah dan pusing di kepala juga mulai mengganggu. Akhirnya hanya bisa menatap penuh iba pada perempuan renta itu.

Pada sebuah percakapan berikutnya dengan perempuan renta itu, barulah aku ketahui. Anaknya yang sakit sudah berusia 49 tahun. Seorang perempuan tanpa anak yang memiliki karir cerah karena menduduki posisi amat strategis di sebuah perusahaan. Sedangkan si ibu, adalah perempuan berusia 79 tahun yang sudah ditinggal mati oleh suaminya beberapa tahun yang lalu.

“Anak saya menderita tumor otak. Sudah satu bulan penuh dia di rumah sakit ini.”

“Oh, dan ibu menjaganya berganti-gantiankah dengan anak ibu yang lain?”

“Tidak. Sama seperti dia, ibu pun sudah satu bulan penuh tidak pernah pulang ke rumah. Ibu sendirilah yang menjaga dia di rumah sakit.”

“Oh… suaminya?”

“Suaminya sibuk bekerja. Dia juga tidak punya anak. Anak-anak ibu yang lain juga bekerja semua. Ibu sudah tidak punya suami, anak-anak sudah besar jadi biarlah ibu yang menjaganya.”

“Subhanallah.. ibu luar biasa sekali.”

“Ah, anak ini suka berlebihan. Semua ibu mungkin akan melakukan hal yang sama pada anak mereka.”

Perempuan renta itu tersenyum penuh kelembutan padaku. Kakiku yang ngilu dipijitnya ringan. Pembicaraan kami terputus karena anaknya berteriak.

“Ibuuuu… aku mau minum!”

“Iya, sabar ya, ibu jalan dulu.”

Lalu dengan langkah tertatih perempuan renta itu berjalan menuju botol minuman yang ada di samping lemari.

Mungkin keberadaan tumor di otak pasien di sebelahkulah yang menyebabkan pasien di sebelahku terlihat amat egois dan manja layaknya anak kecil. Sementara dia terpingkal-pingkal melihat  komedi di televisi, ibunya mencuci pakaian dalamnya di kamar mandi, memanaskan makanan dan minumannya di dapur rumah sakit, membelikannya pampers, bahkan juga menyediakan diri sebagai tempat untuk si anak menumpahkan kekesalannya karena dimarahi oleh dokter spesialis yang menegur si pasien karena membandel dari saran dokter.

“Enak saja dokter itu menyuruhku aku jalan. Dia sih enak tidak sakit, tapi aku kan sakit. Ibu sih diem saja, coba kalau ibu merasakan sakitku, bagaimana?”

“Aku bosan makan daging terus-menerus. Ibu dengar sendiri kan, kata dokter gula darahku bisa naik jika aku begini terus. Ibu usaha dong, carikan aku buah kek! Sayur kek! Jadi aku sehat, apa ibu senang lihat aku sakit?”

“Sabar nak. Kata dokter, guladarahmu bisa naik jika kamu tidak berlatih untuk berjalan dan bangun dari tempat tidurmu. Ayo sayang, kita bangun dari tempat tidur ya? Ibu takut ancamana dokter bahwa tulangmu bisa keropos jika kamu tidak berusaha bangun dari tempat tidur akan terjadi sayang.”

“Sakit bu! Aku sakit! Ibu lihat sendiri kan, aku kan bukan enak-enakan disini.”

Akhirnya aku mencoba untuk menutup telinga dan mataku. Tidak tega mendengar percakapan kedua anak beranak ini. Hingga akhirnya ketika aku telah sehat dan diperbolehkan untuk pulang, aku mencoba untuk mampir ke tempat tidur pasien di sebelahku.

Ibunya yang berwajah teduh dan sabar, langsung meyalamiku dan mengirimiku doa-doa agar penyakitku tidak lagi kambuh. Aku terharu, begitu terharu melihat kesabarannya. Maka setelah bersalaman dengan sang ibu, aku mengalihkan pandanganku kepada si anak.

“Mbak… kamu amat sangat beruntung memiliki ibu yang amat sabar seperti ibumu ini. Dia sudah tua, tapi rasa sayang dan sabarnya tidak berkurang sedikitpun untuk merawatmu. Subhanallah… baru dua hari aku sekamar denganmu, tapi aku terus menerus mengucapkan kalimat subhanallah karena takjub dengan kesabaran ibumu. Kamu amat beruntung. Beruntung sekali. Ibumu selalu benar untuk satu hal, bahwa untuk sembuh memang kita harus berusaha untuk melawan rasa malas dan rasa sakit. Semangat ya mbak.. semoga mbak cepat sembuh.”

Lalu aku memandang si ibu yang berdiri dengan tangan mengatup takzim ke arahku. Rasanya aku ingin memeluk perempuan renta yang luar biasa ini.

Ya.. aku baru menyadari satu  hikmah apa yang bisa dipetik dari sakitnya aku kali ini. Bahwa kesabaran itu sifatnya tidak terbatas, tidak mengenal batas usia dan tidak lekang oleh waktu. ***

Catatan penulis: ketika sakitnya ade anita, 10 agustus 2011. RS Premier Jatinegara. Kenangan selesai kateterisasi jantung di tanggal 9 agustus 2011.


Episode Garing #1: Main Tebak-tebakan, Yuk

Oleh Ade Anita

 

Putri bungsuku belum  berusia 6 tahun memang meski dia sudah duduk di kelas 1 SD. Tapi, dia sudah merasakan duduk di bangku TK cukup lama, 2 tahun, bosan juga jika harus TK lagi. Itu persangkaan awalku ketika akhirnya memutuskan memasukkan dia ke Sekolah Dasar. Untuk sekolah dasar negeri, jelas saja tidak diterima karena sekarang SD menghendaki anak didik harus sudah berusia 6 tahun di tanggal juli. Hanya sekolah dasar negeri Standard Nasional yang sedikit longgar, jadi kurang dari 6 tahun boleh masuk SD. Batasnya di bulan desember akhir tahun dia masuk itu, usianya sudah 5 tahun 8 bulan. Sayangnya kelonggaran inipun putriku tidak lolos karena dia lahir di bulan Januari. Akhirnya masuklah dia ke SD swasta.

Belakangan, baru aku menyadari satu hal. Ternyata, untuk usia seperti putriku ini, untuk duduk serius sebagai anak SD memang sulit. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang masih dilingkupi dengan kegiatan main-main saja. Segala sesuatu dalam kacamata Putriku adalah tempat bermain yang luas. Jadilah aku harus mengimbangi pemikirannya. Seperti mengajarinya untuk memahami pelajaran dengan cara membuat seolah-olah pelajaran tersebut adalah salah satu bentuk permainan misalnya.

“Nak, kita main tebak-tebakan yuk.”

“Ayo.”

“Ibu yang mulai dulu ya. Coba tebak, bagian dari tubuh kita nih, bentuknya bulat, warnanya ada dua, bisa digunakan untuk melihat. Tebak apa?”

Walhasil, putriku ini jadi seorang penggemar tebak-tebakan. Hanya saja mungkin bagi orang lain tebak-tebakannya rada-rada garing kali ya. Karena sebenarnya tanpa dia sadari versi tebak-tebakannya adalah baju lain dari cara memahami materi pelajaran di sekolah. Tapi sudah. Sstt…, nggak usah dikasi tahu ke dia ya fakta yang satu ini.

Saking gemarnya main tebak-tebakan, jika ada waktu luang dimana saja, maka hal yang satu ini akan dikejarnya. Jika sedang antri di kasir,

“Bu, main tebak-tebakan yuk. Ibu yang kasi pertanyaan, aku yang jawab.”

Atau ketika sedang berada di dalam kendaraan dan  terjebak macet di jalanan,

“Bu, main tebak-tebakan yuk, aku jawab ibu yang kasi pertanyaan.”

Jika formasi dia sedang komplit dengan kakak-kakaknya, tak jarang kakak-kakaknya ikut permainan kami. Hanya saja pertanyaannya mungkin  agak sedikit advance.

“Tebak, bentuknya pasti – ada bijinya – ada rambutnya -basah? Ayo apa?”

Putri bungsuku melongo. Apa?

“Rambutan kesiram air.”

“Ban apa yang bisa dipakai di kepala?”

Putri bungsuku protes.

“Mana ada ban yang yang bisa dipakai di kepala. Pusing dong nanti orangnya.”

“Ada yee. Ban-do.”

Akhirnya, main tebak-tebakan sekarang jadi benar-benari garing kriuk..kriuk 100% asli. Hingga tanpa sadar, putriku mulai terbiasa dengan pertanyaan konyol dan… HUPLA… Dia pun mulai bisa ikut memberi pertanyaan. Dia jadi pandai main plesetan kata, suka bercanda, kadang suka rada-rada sok tua (tebak: mana yang lebih dulu, jadi tua karena banyak gaul sama orang tua; atau jadi orang tua karena emang sudah tua?… hehe, nggak ada hubungannya dengan notes ini, jadi nggak usah dipikirin jawabannya).

Hingga dengan bangga kami sekeluarga layak memberinya ucapan selamat : “Welcome to Garing’s Family.”

Adapun kisah main tebak-tebakan di keluarga kecilku, masih story continue. Apalagi jika sedang terjebak  di tengah kemacetan Jakarta yang luar biasa, di pertengahan bulan Ramadhan. Mana panas,  haus….

“Ayoo… Bentuknya besar, ada belalainya.”

“Gajah.”

“Gajah apa yang suka bawa gada?”

“Gajah mada.”

“Kalo Gajah yang nyebelin?”

……

“Gajah yang dimasukin ke dalam mobil kita pas lagi macet gini. Ih, nyebelin banget kan. Menuh-menuhin aja.”

“Iya, itu emang nyebelin. Nah sekarang, gajah apa yang super duper nyebelin.”

…..

“Gajah yang begitu sampai rumah, dia turun duluan dari mobil ini terus langsung masuk ke kamar, nyalain AC dan tidur di sana. Sampe kita nggak kebagian tempat. Waaaa…. Nyebelin banget.”

“Iya… Asli nyebelin. Enaknya langsung ditembak saja tuh gajah.”

“Makanya, jangan mau ditebengin gajah. Ngomong-ngomong, emang ada joki gajah di jalur 3 in 1?” ***

Catatan penulis: Ade Anita, intermezzo dikit ah… gerah nih, haus lagi.


Episode Garing #2: Logika Matematika

Oleh Ade Anita

 

Jujur, saya tidak tahu apakah logika matematika itu sama dengan cara berpikir orang-orang “biasa” yang berpikiran “biasa-biasa saja” juga? Atau mungkin pertanyaannya harus diubah. Apakah berpikir secara logika matematika  itu sudah pasti menghasilkan sesuatu yang amat masuk akal?

Ih, bingung kan. Kenapa harus maksa ada kata logika matematikanya.  Hehehe. Tenang, baca lagi notes ini sampai selesai.

Masih bercerita tentang anak saya yang bungsu yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Akhir-akhir ini memang ada banyak cerita tentang si bungsu saya ini. Mungkin karena jarak antara dia dan kakaknya terbilang cukup jauh sehingga sering saya merasa seperti mendapat “mainan baru” yang amat sangat membuat saya jadi refresh kembali. Semuanya terasa berbeda dengan jaman kakak-kakaknya dahulu (beda usianya dengan kakaknya yang sulung adalah 11 tahun, sedangkan dengan kakak yang tepat di atasnya adalah 6 tahun). Dan perbedaan  ini ternyata masuk juga ke ranah pelajaran sekolah yang dia terima. Termasuk perlakuan terhadap cara saya membuat dia memahami pelajaran yang dia terima di sekolah (Tips dari saya: mungkin ini bisa jadi pelajaran untuk para orang tua, jika memang tidak siap untuk mendampingi dan membimbing anak secara maksimal di rumah ketika anak mulai masuk  sekolah dasar, sebaiknya ikuti saran pemerintah untuk tertib memasukkan anak sesuai dengan usianya saja, jangan terlalu cepat seperti yang saya lakukan).

Salah satu pelajaran sekolah yang menjadi kegemaran dia by accident adalah pelajaran matematika.

Yup, anda tidak salah baca. Memang disana tertulis kegemaran dia by accident, sama sekali tak terduga dan tak direncanakan  kenapa bisa gemar. Anak saya menggemari pelajaran matematika semata karena matematikalah yang paling mudah dibuat permainan dibanding pelajaran yang lain. Kita bisa memasukkan unsur-unsur matematika dalam dongeng, menyisipkan hitungan kecil dalam tebak-tebakan, atau sekedar menyampirkannya dalam obrolan ringan di tengah kesibukan beraktifitas.

“Aduh, sudah berapa lama nih kita kejebak macet gini? Tadi saja dari rumah berangkat jam delapan sekarang sudah jam setengah sepuluh tapi masih juga di sini. Sudah berapa jam tuh?” –> ada matematika disana.

“Sstt, coba deh lihat, kira-kira ada berapa mobil yang harus kita lewati kalau kita mau mencapai lampu merah di depan sana?” –>  ada matematika lagi.

“Hayoo.. sudah berapa gelas air putih yang kamu minum hari ini? Sudah dua liter belum?” –> ketemu lagi kan dengan matematika.

Walhasil anak-anak saya terbiasa berhitung cepat. Ditambah dengan saya sebagai ibunya yang amat sangat malas menggunakan kalkulator, maka semuanya dipaksa untuk bisa berhitung (asyiknya jadi seorang ibu yang sudah mengkondisikan anaknya bisa berhitung cepat adalah, kita tidak perlu lagi menenteng kalkulator. Jadi, ketika selesai berbelanja, saya tinggal menyodorkan kertas hitungan harga pada anak untuk dia periksa apakah hitungan si abang penjual tepat atau tidak. Atau bisa dengan segera mengetahui berapa banyak sisa uang di dalam dompet yang bisa dialokasikan untuk kesenangan pribadi…hehehehehe. Ini bagian yang paling nikmat).

 

Adapun dari semua pembelajaran matematika yang paling menyenangkan untuk diterapkan adalah melalui permainan. Dan di antara semua permainan, maka main tebak-tebakan adalah yang paling efisien, tidak perlu merangkai cerita panjang-panjang, yang penting jeblak, duer, jadi deh.

 

Kita kilas balik dahulu sejenak.

Dahulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah, saya mengukur diri sendiri apakah sudah mengerti sebuah pelajaran dengan cara membuat soal sendiri setiap hari sebelum saya tidur. Saya buat 10 buah soal di atas kertas, lalu kertas tersebut saya letakkan di samping tempat tidur saya. Ketika alarm saya berbunyi keesokannya harinya, saya memaksakan mata yang mengantuk untuk membaca soal-soal itu dan memberikan jawaban yang benar (konon kabarnya, kecantikan asli seorang wanita itu terlihat ketika dia bangun tidur di pagi hari. Eh…. kenapa nulis ini? Nggak ada hubungannya deh…. Maaf,…  salah lihat contekan kutipan. Yang benar adalah: konon kabarnya, keaslian cara berpikir kita adalah ketika bangun tidur di pagi hari. Disinilah puncak kejujuran terpancar. Si bodoh akan planga-plongo ketika bangun dari tidurnya, dan si pandai bangun dengan wajah penuh semangat, sedangkan si licik bangun dengan wajah penuh rencana untuk berbuat culas. Saya tidak mau jadi si bodoh dan selalu bermimpi jadi si pandai, itu sebabnya saya berusaha keras untuk bisa mengerjakan soal-soal yang saya buat sendiri malam sebelumnya. Sekedar ingin mengukur diri sendiri, apakah benar saya sudah memahami apa yang saya pelajari semalam). Setelah saya memiliki anak, saya tidak mengajarkan cara belajar ini pada anak saya. Ah, cara belajar aneh ini kan amat subjektif, belum tentu cocok diterapkan pada orang lain. Tapi saya mengadopsi  substansi cara belajar tersebut. Yaitu bahwa kita baru bisa dikatakan menguasai jika kita mampu  mengantarkan materi tersebut kepada orang lain, mengajarkan mereka  lalu menguji mereka sebagai evaluasinya. Itu sebabnya semua anak saya harus bisa membuat sendiri pertanyaan atau tebak-tebakan mereka, jangan hanya bisa menjawab saja. Tidak terkecuali bungsu saya. Msski usianya masih kecil, dia harus bisa membuat sendiri pertanyaan tebak-tebakan untuk orang lain. Jangan hanya pasif saja. Seperti halnya ketika pelajaran matematika a la keluarga saya berlangsung di atas sebuah kendaraan yang meluncur dan (lagi-lagi) terjebak kemacetan kota Jakarta.

“Nah, di hutan belantara nih, ada seekor harimau. Dia lapar sekali. Lalu dia berjalan mencari makan sampai akhirnya dia bertemu dengan enam ekor kambing. Harimau itu berkata,…” asyik nih, bisa makan domba afrika juga akhirnya gue. Mantap men. Sayang nggak ada mayonnaise atau bumbu kecap”. … Lalu, harimau itu mengendap-endap …  dan hup. Ditangkap seekor. Dimakan… waah… enak banget ternyata, karena dagingnya empuk, soalnya masih kambing muda. Harimaunya mau nambah, lalu dia tangkap lagi satu kambing. Hup. Dapat. Kambing-kambing lain pada ketakutan lalu lari tunggang langgang… pada panik. Ngos…. Ngos…. Ngos….  Lari.. lari.. run for your  life…. Lari..lari….. nah… sekarang, berapa ekor kambing yang masih selamat?”

Bungsuku langsung serius menghitung dan tidak lama kemudian menjawab dengan lantang.

“Empat.”

“Pinter.. sekarang, giliran kamu yang bikin soal.”

Bungsuku senyum-senyum, bola matanya berputar kesana kemari tanda dia sedang berpikir dengan satu telunjuk mengetuk-ngetuk kening.

“Nih. Ada empat ekor harimau nih di hutan. Semua harimaunya pada laper. Lalu, ketemu sama empat ekor ayam.  Wahh.. asyik nih, ada ayam. Akhirnya, ayamnya dimakan satu ekor. Sekarang, ayam yang masih hidup tinggal berapa ekor lagi? Ayooo tebak.”

Keningku langsung berkerut.

“Ayam yang masih hidup terus…  ngapain tuh?”

“Ya nggak ngapa-ngapain. Diem saja disitu. Ayoo.. berapa?…  Nyerah ya ibu?”

(Menyerah? Duh, never! Tapi saudara-saudara… masuk akal nggak sih 4 ekor harimau yang sedang kelaparan hanya makan 1 ekor ayam saja? Lah, kita saja, manusia yang bisa memakan segalanya alias Omnivora, tidak seperti Harimau yang carnivora itu, kalau makan di restoran rasanya tidak cukup hanya makan satu potong ayam. Padahal sudah dikombinasikan dengan satu piring nasi, ada tempenya, ada tahunya, ada lalapnya, lalu segelas jus. Lah ini, harimau yang kelaparan hanya makan seekor ayam lalu dengan adil membaginya menjadi empat potong alias satu ekor harimau hanya mendapat  ¼ ayam saja?)

 

“Ayoo ibu, jangan kelamaan ngitungnya. Sudah bilang saja kalau nyerah.”

Akhirnya, dengan suara yang terbata dan sebuah rasa ikhlas yang tertelan amat berat di tenggorokan terpaksa aku menjawab,

“Tinggal 3.”

“Benerrrrrrrrrr… ibu pinterrrrrrrrrr….”

Glek. Baru kali ini sebuah pujian tidak membuat saya merasa bangga. Kenapa pujian ini terasa pahit ya? Kasihan tuh harimau, harus sharing satu ekor ayam buat berempat. Hiks. ***

Catatan penulis: Ade Anita. Masih catatan untuk mengisi Ramadhan. 


Jika Sudah Cinta, Mau Dikata Apa?

Oleh Ade Anita

 

“Dia manja.”

Aku berkata ragu dan menyentuh kelopak bunga yang berwarna pink di hadapanku.  Tapi tidak ada reaksi apapun yang aku terima dari ucapanku ini. Perlahan, aku mengalihkan pandanganku pada lelaki yang berdiri di sebelahku. Mata itu, itu tatapan mata yang sedang jatuh cinta. Berbinar-binar dan tiada berkedip dengan raut wajah sumringah penuh kebahagiaan.

“Iya benar bu, dia manja. Ah, mungkin lebih tepatnya, selalu minta diperhatikan.”

“Nah.. tuh.. gimana?”

Si pemilik bola mata jatuh cinta menampik keberatan pertama.

“Tidak mengapa. Karena itu artinya kita akan belajar untuk bersabar.”

Huff. Begini ini jika bertemu dengan orang yang sedang jatuh cinta. Apapun yang kita bicarakan, akan selalu ditangkap olehnya sebagai sebuah penerimaan. Bahkan meski itu sebenaarnya adalah sinyal-sinyal penolakan sekalipun, maka entah bagaimana caranya penolakan itu akan terbaca sebagai penerimaan yang tertunda.

“Lalu bagaimana jika dia tidak bisa beradaptasi? Lalu mulai menyusahkan dirimu? Atau aku?”

Si pemilik bola mata jatuh cinta menatapku dengan pandanga berkerjap.

“Itu sebabnya aku meminta keikhlasanmu. Mau kan kita berbagi waktu menjaganya?”

Huff lagi. Semula, aku selalu menyangka bahwa yang paling sulit itu adalah menghadapi orang yang sedang jatuh cinta. Serasa sedang berbicara dengan tembok saja. Karena yang ada di pikiran dan benaknya hanyalah sosok yang membuatnya jatuh cinta. TIada yang lain. Tapi, seiring dengan waktu, ternyata ada yang lebih sulit lagi. Yaitu, berhadapan dengan diri sendiri yang mabuk kebayang pada orang yang sdang jatuh cinta pada selain diri kita.

Jika cinta disambut dengan hangat, maka yang terjadi adalah kebahagiaan. Jika cinta bertepuk sebelah tangan, maka diharuskan untuk segera melupakan. Tapi bagaimana jika mabuk kepayang dan ternyata bertepuk sebelah tangan? Dan inilah yang aku alami saat ini. Aku benar-benar mabuk kepayang pada lelaki pemilik bola mata yang sedang jatuh cinta di sebelahku. Dan kini, dia sedang jatuh cinta pada yang lain.

Sudah hampir satu jam kami bicara dan selalu yang aku bicarakan sesungguhnya adalah keberatan-keberatanku unutk menerima sosok yang membuatnya jatuh cinta. Tapi, tampaknya tak satu pun ucapanku dia dengar. HIngga sekarang, aku harus segera mengubah diriku agar bisa belajar cepat mencintai apa yang dia cintai juga saat ini.

Bukankah ini hakekat cinta sejati yang selama ini aku pelajari?  Menerima dia apa adanya, lalu belajar untuk mencintai apa yang dia cintai. Intinya adalah ikhlas. Dan ikhlas biasanya disisipi dengan kata berbagi.

Duhai pemilik hati, kenapa berat ya untuk berkorban?

“Kalau aku lalai bagaimana?”

“Nanti aku akan ingatkan.”

Lelaki yang aku cintai setengah mati itu menjentik hidungku. Membuatku tersipu-sipu malu dan ingin segera mendaratkan kecupanku di pipinya.

‘Eh.. sst…. banyak orang. Jadi, setuju kan kalau aku beli bunga ini? Jangan bertingkah yang tidak-tidak, ditungguin tuh jawabannya sama penjual tanaman hias.”

“Ohh…”

Aku kepincut malu. Salah tingkah dan kembali menatap bunga dengan kelopak warna pink ini.

“Ya sudah deh, beli saja. Tapi bener ya, yang merawatnya kita berdua, bukan cuma aku saja.”

“Iya…”

Dia terkekeh dan merogoh dompet. Lalu, tanaman bunga berwarna pink ini pun menghuni rumah kami. Kami membelinya di Lembang sana. Salah satu daerah di Jawa Barat yang berhawa sejuk. Penjual tanaman hias sudah memberi peringatan bahwa bunga ini senang dengan udara yang sejuk, yang mungkin amat sukar didapat di Jakarta yang selalu terik.

“Tapi nggak papah sih, rajin saja disiram dan diperhatikan. Jangan sampai kena matahari langsung.”

Benar-benar bunga yang manja. Baru beberapa hari di bawa ke Jakarta, bunganya rontok dan daunnya layu. Benar juga, dia sulit beradaptasi, apalagi Jakarta sedang mengalami musim kemarau seperti sekarang. Terik matahari bukan main terasa hingga memantul dari permukaan tanah rasanya. Kami benar-benar sudah hampir pasrah, tapi… ternyata setelah dua bulan, bunga ini mulai mekar. SUbhanallha, dia hidup dan bertahan. Lalu memancarkan kecantikannya yang luar biasa. Hingga ketika pagi ini aku memotret bunga ini dalam hati aku berdoa, “semoga cinta yang aku miliki bersama suamiku, bisa sekuat keinginan bunga ini untuk terus bertahan, meski ujian yang datang amat berat sekalipun. Ammiin.”

Nih.. bagus kan bunganya. ***

Catatan penulis: 26 September 2011. Dia yang mekar di hari ulang tahunku. Terima kasih Allah untuk pelajaran tentang cinta yang Engkau berikan lewat perantara bunga ini.


Tardji dan Tatonya

Oleh Fahmi Faqih

 

– joke

Ada cerita menarik tentang Sutardji Calzoum Bachri. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan pemahaman sufisme atau tidak, meski, jika merujuk kepada sajak-sajaknya, kecenderungan ke arah itu memang banyak ditemukan. Cerita yang cukup masyhur di kalangan seniman tua di Surabaya ini, kurang lebih demikian.

Ketika kesadaran bahwa salat merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap orang yang mengaku dirinya Muslim kembali dimiliki Tardji, maka penyair yang dulu pernah mendamik dada memproklamirkan diri sebagai Presiden Penyair Indonesia ini pun mulai rajin salat. Bahkan konon kabarnya, seiring berjalannya waktu, salat itu telah menjadi semacam hobi yang tak terpisahkan dalam keseharian Tardji.

Namun, sebagaimana lazimnya upaya menjalani jalan kebajikan, namanya godaan adalah keniscayaan yang sudah barang tentu tidak dapat ditampik, sekalipun oleh seorang Tardji yang sanggup “membebaskan kata dan mengembalikannya kepada mantra”—seperti yang ia maklumatkan dalam kredo puisinya di tahun 1973.

Dengan bekal kepenyairan yang “sampai ke puncak memetik bulan,” terbukti segala macam godaan itu memang bisa ia lalui. Akan tetapi anehnya, berhadapan dengan godaan yang satu ini, mantra Tardji seakan tumpul kehilangan tuah. Dan kata-kata yang ia klaim telah bebas dari kungkungan sempit penjara makna itu, ternyata masih dibelenggu kedangkalan bahasa. Padahal, menurut hemat saya, godaan ini tak lebih dari canda kawan-kawannya yang jauh dari pretensi olok-olok, apalagi mengolok-olok kesadaran Tardji untuk konsisten menjalankan kewajiban agama.

“Ji, ngapain kau salat segala. Kau kan punya tato. Orang yang punya tato wuhunya gak sah. Kalau wuhunya gak sah mana mungkin salatnya diterima Tuhan.”

Tardji yang telah terusik dan menjadi gelisah lalu mengadu kepada penyair-pelukis Amang Rahman di Surabaya, lewat telepon. Tapi Amang, meski cukup mumpuni dalam pengetahuan agama, ternyata tidak berkenan memberi jawab, dan hanya menyarankan agar Tardji bertanya kepada penyair Mustofa Bisri (Gus Mus), di Rembang.

“Kau kan punya kawan, kiai, Ji, Gus Mus. Tanya aja ke dia. Pasti kau akan dapat jawaban yang lebih memuaskan dari Gus Mus.” Begitu kira-kira saran Amang kepada Tardji.

Tanpa menunggu waktu lama, Tardji pun menelpon Gus Mus dan menceritakan persoalannya. Mau tahu bagaimana jawaban Gus Mus? Begini katanya.

“Kau pikir Tuhan kekurangan pekerjaan, ya Ji, hingga mau-maunya ngurusi tatomu. Urusan tatomu sangatlah kecil di mata Tuhan. Gak bakalan Tuhan mau buang-buang waktunya hanya untuk urusan begituan. Gak penting! Teruskan saja salatmu, dan jangan kau hiraukan omongan kawan-kawanmu itu.”

Mendengar jawaban Gus Mus, Tardji akhirnya sadar, bahwa selama ini ia belumlah “sampai ke puncak” apalagi “memetik bulan.”

*) Fahmi Faqih, Penyair, Tinggal di Bandung


Gus Dur di Kuba

Oleh Fahmi Faqih

– joke

Tak pelak lagi, selama masa kepemimpinannya yang tak lebih dari dua tahun, Gus Dur lah satu-satunya presiden yang pernah memimpin negeri kaya tapi rakyatnya miskin ini, yang paling banyak melakukan kunjungan ke luar negeri. Dan Kuba, sebagai salah satu negara komunis penting kala itu – juga saat ini – tak luput dari kunjungan Gus Dur.

Arti penting Kuba bagi Indonesia – setidaknya buat Gus Dur – bukan sekedar karena Kuba dianggap sebagai penyeimbang secara ideologis atas paham liberalisme-kapitalis AS. Lebih dari itu, sikap Kuba yang tegas terhadap setiap kebijakan AS yang merugikan dunia internasional, khususnya negara-negara dunia ketiga, menjadi faktor penting dalam menentukan langkah politik luar negeri Indonesia.

Seperti halnya kunjungan ke negara-negara lain, di Kuba pun Gus Dur mendapat sambutan yang luar biasa. Pemimpin revolusi tertinggi Kuba, Fidel Castro, bahkan meminta Gus Dur untuk berbicara di hadapan parlemen mereka. Selepas acara resmi kenegaraan, Gus Dur lalu diajak ke ruangan pribadi Fidel. Gus Dur mengira, akan ada persoalan penting seputar perkembangan politik dunia yang hendak disampaikan Fidel padanya. Namun, sesampainya di dalam ruangan, Fidel malah membicarakan hal lain yang jauh dari perkiraan Gus Dur.

“Abdurrahman, selain seorang presiden, Anda juga dikenal sebagai tokoh agama. Saya kebetulan pernah membaca cerita tentang Yunus (Nabi Yunus) yang dimakan ikan, tapi selamat karena mendapat pertolongan (mukjizat) dari Allah. Bisakah Anda jelaskan kepada saya kronologi selamatnya Yunus dari perut ikan itu.”

Mendapat pertanyaan seperti ini, Gus Dur mulanya kaget. Namun bukan Gus Dur namanya kalau kalau tidak dapat menguasai keadaan. Dengan santai Gus Dur menjawab.

“Fidel, pertanyaan Anda sebenarnya tidak relevan dengan kondisi penglihatan saya. Saya tidak mungkin lagi membuka segala kitab suci itu untuk mencari tahu jawabannya. Tapi begini saja, kalau saya sudah mati, di sorga kelak, saya akan tanyakan ke Yunus bagaimana kronologi selamatnya ia dari perut ikan itu,” jawab Gus Dur sembari senyum.

Fidel yang rupanya tidak puas dengan jawaban Gus Dur, lantas menyela. “Ya, kalau Yunus ada di Sorga. Kalau di neraka bagaimana?”

“Kalau di neraka, itu bukan urusan saya lagi, Fidel. Itu urusan Anda!” Pungkas Gus Dur terkekeh.

*) Fahmi Faqih, Penyair, Tinggal di Bandung


Opini: Larasita Hingga Musrenbangnas

Oleh Iwan Piliang (Calon Gubernur DKI Independen 2012, pendiri Jayakarta Woodball Club, Mereposisi Jakarta Menuju Jayakarta)

 

Sebuah  rejim merusak bahasa, apatah pula logika

***

PADA Rabu, 6 Juli 2011, saya melewati perempatan Jl. Sabang, Jakarta Pusat, menuju ke arah bilangan Menteng. Di pojok kanan ada pemandangan yang mengusik mata. Sebuah papan reklame besar dengan tulisan Larasita, lalu visual pejabat di Badan Pertanahan, berjalan melangkah bersama Presiden SBY.

Larasita

Acap saya terganggu dengan singkatan dibuat kalangan pemerintahan kini.

Saya bukan ahli bahasa. Pelajaran Bahasa Indonesia saya rata-rata. Ketika kuliah di Jurusan Komunikasi, satu semester kami belajar buku tipis tentang Ejaan Yang Baik dan Disempurnakan. Pembelajaran itu juga tak membuat nilai saya bagus. Ponten saya do-re-mi  saja. Maksudnya di bawah lima. Entah karena anggap enteng karena bukunya tipis?

Sejak lama kuat dugaan saya, pelajaran bahasa dimulai di tingkat Sekolah Dasar, walaupun dianggap penting, tetapi lupa menekankan sejatinya bahasa bak matematika, pondamen logika.

Jika saya mengomentari soal penulisan singkatan ini, dalam konteks bukanlah pakar, bukan ahli bahasa, tidak pula sosok jagoan bernilai tinggi bahasanya. Telaah saya adalah di ranah logika, dengan latar aktif menulis sejak 1983.

Lema lara menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bermakna sedih, susah hati, sakit. Sedangkan sita; tuntutan pengadilan, perihal mengambil dan menahan barang-barang menurut keputusan pengadilan oleh negara ; pembeslahan. Ada juga makna sita: putih.

Setelah saya memajang foto billboard yang saya maksud di Facebook, barulah saya paham ketika ada seorang kawan memberi tahu kepanjangannya. Di papan reklame Larasita tidak ada kepanjangannya. Agaknya, semua publik sudah paham akan kata itu?! Konon kepanjangan Larasita versi Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu: Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah.

Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah

Secara diksi, ada makna kata di dua suku kata yang mereka singkat. Secara logika, hingga era reformasi ini, Badan Pertanahan tidak mengubah diri dari langgam amtenar ke bertutur sebagai pelayan publik. Mereka masih memakai layanan rakyat.

Lantas mereka siapa?

Tuan tanah?

Mereka digaji melayani rakyat. Untuk melayani rakyat itu fasilitas mereka disiapkan segalanya oleh negara dari uang rakyat.

Dan billboard yang mereka buat, juga dipasang dengan biaya uang rakyat. Alangkah naifnya segala fasilitas mereka gunakan merusak logika bahasa.

Maka tidak berlebihan saya katakan bahwa rejim saat ini memang perusak logika. Dan jika Anda telaah di sana, saya yakin berjibun yang bergelar doktor dan kalau dikritik akan marah, lalu datang dengan argumen ini dan itu yang membuat Anda sebagai rakyat digobloki.

Begitulah, bisa saya pastikan.

Kira-kira dua bulan lalu, mata saya juga tertumbuk pada spanduk besar di depan Gedung Bappenas di Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Ada spanduk cukup besar bertuliskan Pra Musrenbangnas. Musrenbangnas versi pemerintah adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional. Mungkin banyak di antara Anda sudah paham karena acap disosialisasikan. Namun terkadang sedang berjalan hanya membaca Pra Musrenbangnas dengan tambahan visual pejabat, benak bertanya, apa ya kiranya Pra Musrenbangnas?

Jika logikanya spanduk tadi ingin memberitahu sedang persiapan musyawarah, apakah pesan menjadi sampai? Celakanya publik, tepatnya rakyat, yang ingin diberitahu adalah pemilik itu gedung, pemilik itu uang pembuat spanduk. Kerendah-hatian untuk melayani rakyat seakan lenyap. Bertanya saya logika apa yang dipakai, toh nyatanya bahasa menjadi rusak.

Jika ketaatan kaedah bahasa yang dirujuk, maka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional seharusnya disingkat Mupepenas dan atau MP2N, Namun mungkin kegenitan selera mendengar lebih enak, tentu menurut mereka pejabat yang dibayai rakyat tadi, seakan tak peduli dengan kuping rakyat itu yang tak nyaman dengan Musrenbangnas. Dan toh kembali ke logika: yang pejabat kan saya, kami, kalian semua rakyat tahu apa.

Sekali lagi karena bahasa adalah logika, maka kesemrawutan berbahasa, khususnya membuat singkatan kata, tak kalah dahsyatnya dari masalah korupsi menimpa bangsa.

Bak jalanan Jakarta yang hari-hari kusut, tidak dibenahi oleh pejabat yang hatinya bersih dan jernih, maka kita sebagai rakyat; diperkosa menikmati kelakuan pemangku kuasa, mengaku berpendidikan pula. Kita semua ini dicap bodoh diperkosa ‘nrimo! ***

(ditulis pada 07 Juli 2011)


Sketsa: Putu Rudana Perjalanan Memuliakan Ketulusan

Oleh Iwan Piliang (Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com)

 

Pulang menonton pertandingan sepak bola Timnas dengan TKI bersama Bung Anas Urbaningrum, di Bukit Jalil, Kualalumpur, Malaysia, 27 Desember 2010, kami transit di Batam. Di bis saya duduk di sebelah sosok muda asal Bali. Saya pernah membaca dirinya tampil di banyak majalah seperti Tatler. Di Autocar ia pernah “memparadekan” aneka Mercedes Benz miliknya, di halaman museum seni yang didirikan ayahnya. Di antara deretan mobil mahal itu, sosok 37 tahun ini sengaja meletakkan sebuah lukisan Srihadi Soedarsono, di pelataran Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery. Dialah Putu Supadma Rudana, putera pertama Nyoman Rudana, pendiri usaha seni adi karya ber-intangible asset, nyata adanya.

***

Putu Supadma Rudana (foto: Narliswandi Piliang)

SIANG di Batam, Kepulauan Riau, Putu  melihat ke luar jendela bis. Tampak banyak bangunan, terutama ruko baru. Arsitektur bangunan seakan tanpa sentuhan khas daerah, apalagi berlandaskan seni budaya lokal. Termasuk dominan alpa disesuaikan bagi daerah tropis.

“Lihat atap bangunan itu, biru?” tanya Putu.

Bangunannya masif beton bertingkat rapat.

Putu  geleng-geleng.

Saya mencoba menjabarkan pikiran membuncah di benak Putu. Dari sudut subjektif saya, bangunan-bangunan yang dikomentari Putu, berdiri hanya sesuai selera pemilik. Urusan taste, ya, tergantung pemilik uang. Di tengah kepeng petenteng, pemahaman akan pentingnya sentuhan seni, perlu tidaknya menonjolkan budaya lokal, bisa jadi tidak trendy.

Sebab sudut pandang kehebatan, dapat dilihat dari suatu fisik tampak kokoh, besar, material asal mahal.

Saya katakan kepada Putu: Sulitlah mengharapkan daerah lain seperti Bali.

Kami lalu tertawa, lalu terlibat dalam dialog singkat. Untuk Batam berakar budaya Melayu, sejatinya memiliki arsitektur rumah panggung.

“Sepantasnya akar seni budaya mewarnai setiap daerah. Bukankah akar seni budaya kita adiluhung sejak berabad lalu, jauh dari sebelum Indonesia merdeka,” tutur Putu.

Saya amini kalimatnya.

Pembicaraan tadi bisa jadi belum tentu diterima banyak pihak, toh relatif ihwal selera. Bisa benar menurut pihak tertentu, dapat salah bagi pihak lain. Sebelum berpisah dengannya, Putu berkata, “Obrolan kita belum tuntas, ayuk kapan ada waktu kita ke Bali bersama, kita ngobrol lagi?”

BANDARA Soekarno-Hatta terminal 3, 7 Januari 2011. Pagi.

Sepuluh menit lagi menjelang pukul 7.

Mengenakan celana jeans, kemeja bergaris-garis biru, Putu Supadma Rudana menyapa saya, menjabat tangan erat. Senyumnya lebar. Ia tampak hanya membawa badan dengan tas tangan disampirkan ke bahu. “Ayuk kita ke dalam terminal, Ini  bandara baru, pengunjung umum boleh masuk, biar tak punya tiket penerbangan,” ujarnya.

Sebagai orang tinggal di Jakarta, kuper sekali saya. Baru tahu bahwa terminal bandara berarsitektur post-modern, berkontruksi baja, berbahan metal dominan, beratap melengkung, berpilar bulat-bulat, itu dapat dikunjungi publik, tanpa harus mara ke mana-mana.

Dengan kata lain, jika Anda sekadar ingin mengajak anak-anak berwisata bandara, terminal 3 bisa menjadi pilihan. Lantai satu dan dua sudah seperti mall. Makanan, cafe di kiri kanan melimpah. Anda tinggal sebut, mulai dari Starbucks, hingga Bakmie GM ada.

Sembari menunggu take off, kami kembali berbincang. Obrolan kembali ke urusan intangible asset; nilai-nilai tinggi seharusnya menjadi patron pembangunan.

CAFE dan Restoran Kopi Bali di bilangan By Pass, Bali. Di luar dugaan saya, Putu mengundang koleganya sosok Warih Wisatsana, sastrawan dan sosok muda Ni Made Purnamasari. Keduanya adalah editor buku Putu  berjudul Menuju Visi Sempurna, sub judul; Seni Budaya Sebagai Jiwa Bangsa.

Berempat siang itu kami makan siang dan berbincang hangat ihwal beragam hal bermuara ke penulisan, seni dan budaya. Suasana kian hangat dengan kehadiran Alvin Palar, desainer grafis.

Siang itu barulah lengkap pemahaman saya akan bisnis Putu. Sebagai putera tertua Nyoman Rudana, sosok lulusan MBA dari Webster University, AS ini dipercaya mengelola kelompok usaha keluarga melanjutkan segala bisnis dirintis ayahnya. Ada museum, ada galeri seni adikarya, lima jaringan pom bensin di Bali, jaringan resort hotel kelompok Waka, dan ada ritel.

“Namun kini, manajemen sudah saya serahkan sehari-harinya kepada tim profesional, umumnya mereka muda-muda, “ ujar Putu. Ia mengaku saat ini ringan melangkahkan kaki karena telah memberikan kepercayaan penuh ke tim manajemen.

“Sehingga saya dapat berkonsentrasi berupaya mewujudkan tag line: Bali the Heart of Asia and the Heart of the World.” Artinya Bali dicintai. Menurut Putu, kalau sudah bilang cinta, Bali mau di bom kek, diapain kek, orang akan tetap akan datang.

“Indonesia sudah memiliki kekuatan untuk dicintai di seluruh dunia, karena akar budaya  kuat.”

“Akar budaya kuat itu sudah ada berabad-abad, jauh sebelum Indonesia merdeka.”

“Tugas kita sesungguhnya, kembali mengangkat dan mensosialisasikan kehebatan kekuatan mendasar yang telah lama eksis itu.”

Tidak lama kemudian, Putu segera mengajak menuju markas bisnis seni tingginya di Ubud. Semula saya membayangkan akan menaiki mobil Mercedes Benz paling gress, yang fotonya  pernah dipajang di majalah. Ternyata dugaan saya keliru. Ia menyetir sendiri SUV Ford Escape.

“Mobil-mobil mahal itu sudah saya jual. Makanya di majalah, terakhir saya pajang, tetapi sengaja saya sisipkan lukisan Pak Srihadi Soedarsono.”

“Saya ingin menunjukkan bahwa mobil-mobil mahal itu bisa dibeli, tetapi sesebuah lukisan belum tentu dapat kita miliki.”

Tak terasa jalan menuju Ubud menjadi singkat. Sebuah Candi Bentar telah menyambut kami. Masuk ke halaman, di sebuah pendopo dua kali lapangan basket tampak lelaki tua. Putu menyapanya Pak Muka. Ia menjelaskan hal ihwal bangunan Museum, mulai dari fisik bangunan, yang arahnya dibuat keseluruhan  mengagungkan karya, mengagungkan menuju ke kebesaran Sang Pencipta.

“Seni untuk kemulian, seni agung bagi Sang Pencipta,” tutur Pak Muka.

Di bangunan-bangunan kecil  di luar bangunan utama Museum, di dalam komplek itu juga dipajang beragam lukisan. Anda tinggal sebut nama pelukis tersohor Indonesia, hampir semua karya masterpiece-nya ada.

Di salah satu bangunan, sebagian ruangan dijadikan tempat kerja. Kala itu saya melihat tim yang dikelola Putu sedang menyiapkan dummy buku Bali Inspires, berisi lukisan pelukis Bali tersohor, termasuk karya Lempad, seniman lukis Bali yang terkenal dengan skets yang rinci dengan guratan anatomi kuat khas Bali.

Tak lama kemudian muncul Nyoman Rudana. Sosok mantan anggota Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) 2005-2009 itu datang bersahaja. Ia mengenakan baju putih dan mengajak naik ke bangunan utama museum. Di pintu masuk Museum Rudana mengalungkan sal putih yang dibordir logo museum. Saya merasa mendapatkan kehormatan besar.

Sebelum bertemu Nyoman Rudana, ketika dalam perjalanan ke Ubud, Linda Djalil, mantan wartawan Tempo menitipkan pesan di Facebook saya. “Salam untuk Pak Rudana. Saya kagum akan sosok mantan supir taksi gigih sukses luar biasa itu.”

Rupanya saya telah diterima oleh keluarga hebat. Di dalam museum, seakan saling silang;  Putu, Pak Muka, juga Rudana menjelaskan segala macam koleksinya. Saya sempat tertegun akan sebuah jendela kaca yang didesain bak pigura besar. Begitu mata melihat ke luar tampak hamparan sawah luas, pemandangan alam nyata tersaji bak lukisan.

Ada dua pintu kaca seperti itu.

Satu lagi di bagian kanan menghadap ke hamparan rumput di mana terlihat deretan patung gajah yang dibuat dengan lekukan kulit seakan bak gajah asli.

Dari semua koleksi yang hebat-hebat, Putu memperlihatkan lukisan bertajuk joged Karya seniman muda Bali, Ida Bagus Indra. Nyoman Rudana, menimpali, “Ida Bagus Indra berpeluang karyanya menjadi ‘Picasso’ Indonesia ke depan.”

Waktu seakan kurang menyimak mancaragam lukisan. Menjelang gelap malam datang, keluarga ini masih sempat mengajak keliling di bagian belakang Museum. Hari seakan belum juga berhenti. Dan jamuan untuk saya belum juga berakhir. Makan malam bersama menjadi agenda berikutnya.

Nyoman Rudana bersama isteri memilihkan sebuah restoran bertajuk Leka-Leke, berarti berliku. Artinya dicapai melalui jalan berliku. Dan di gelap malam di jalan berliku itu, saya menangkap kesan mendalam bagaimana Ubud kini memang telah menjadi desa wisata; pemukiman penduduk sebelah-menyebelah dengan restoran dengan arsitektur Bali, sebelah menyebelah dengan hotel-hotel kecil, satu dua pasang bule berjalan di kegelapan, tanpa setetes kuatir berjalan-jalan.

Pak Muka yang dituakan keluarga ini mengatakan, beginilah Bali. Saya ulang kalimatnya bahwa akar budaya memberikan keabadian akan keberadaan suku bangsa. Tampaknya paduan pengalaman, supervisi kebajikan melalui sosok yang dituakan seperti Pak Muka, telah mengasuh dan mengasah budi Putu Rudana, yang kini menjadi sosok muda yang boleh dibilang cemerlang.

Maka ketika saya tahu bahwa Putu menjabat Ketua Departemen Kebudayan dan Pariwisata di DPP Partai Demokrat kini, saya katakan saya mendukungnya. Saya yakinkan Putu bahwa anak-anak muda yang “wangi-wangi” kini harus masuk partai politik. Bila tidak politik hanya akan diisi oleh idiom busuk yang selama ini tersosialisasikan dan berwujud nyata.

“Iya kita coba mengisi politik dengan akar seni dan budaya, siapa tahu memang dapat mengubah keadaan menjadi Indonesia hebat, toh sejarah sudah membuktikan akar seni budaya kita memang tinggi,” ujar Putu.

Ketika sarapan pagi pada 8 Januari 2011 di Hotel Waka Namya, milik kelompok usaha Putu dan keluarga besarnya, saya mengkonfirmasi kepada Alvin Palar.

Apakah benar Pak Nyoman Rudana dulu supir taksi?

“Ayah saya dulu ikut mengerjakan interior hotel Hyyatt. Kala itu kalau ayah hendak ke luar, sudah menunggu di pagar hotel Pak Rudana dengan taksinya,” ujar Alvin. Uniknya, Alvin putera Runi Palar, desainer perhiasan, kini bekerja pula untuk Putu, sebuah hubungan sejarah panjang tampaknya.

“Kami menganggap semuanya keluarga. Termasuk supir dan pembantu adalah keluarga,” ujar Putu.

Cerita seakan belum akan habis menulis ihwal keluarga besarnya.

Keesokan hari setelah saya di Jakarta, saya meng-add Facebook sang ayah, Nyoman Rudana. Di luar dugaan. Kesan pesan yang saya tuliskan terhadap Musuem Rudana telah dijadikan status olehnya. Hingga saya mengakhiri tulisan ini kalimat saya masih menjadi statusnya di Facebook: Di Museum Rudana intangible asset, diberi wadah mulia dan dimuliakan. Sesuatu yang intangible memiliki nilai tak terhingga dan manca-ragam makna, menunjukkan kebesaran manusia, kebesaran Sang Pencipta.

Beruntung Putu Supadma Rudana memiliki akar budaya, memiliki tauladan orang tua menempatkan nilai, value, di atas segala yang  tertakar dan terukur di awal. Jika kini banyak anak-anak muda seperti Putu tampil ke gelanggang ranah sosial kemasyarakatan, bisa jadi Indonesia Unggul yang kita cita-citakan bukan lagi utopi basi. ***

(ditulis pada 14 Januari 2011)