Tag Archives: Hitam

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Awan Hitam (Saat dan Peristiwa) Kumpulan Puisi Fuad

Buku "Awan Hitam" dan Fuad, penulisnya (Gambar Kanan)

Judul: Awan Hitam (Saat dan Peristiwa) Kumpulan Puisi
Penulis: Fuad
Pengantar: Hudan Hidayat
Desain/Ilustrasi: Yoga/Doni
Proofread: Gieb
ISBN: 978-602-96901-2-5
Penerbit: Mijil Publisher
Harga: Rp 52.000,- (111 +xii ) –

Suatu permainan membuka dan menutup. Suatu gerak ada dan tiada. Suatu kehendak dari dorongan motif yang merenungkan dunia tanpa, atau mungkin – ia pendamkan dalam, amanat puisi yang harus kita tarik dari simpulan isi – ia sadari. Kesadaran yang belah saat melihat dunia yang dilihatnya secara terbuka. Dunia itu pun adalah misteri juga. Di kedalaman benda-benda yang ditatapi oleh aku-lirik, dekat-nya fuad, benda-benda itu menampakkan emosinya. Atau sang aku yang emosional? Yang artinya benda-benda itu terhampar saja secara objektif – netral tanpa emosi. Bisa jadi. Tapi puisi tak mengatakan penampakan seperti itu – benda-benda itu ikut sedih dan sombre, seperti aku dalam dekat itu, sedih dan sombre. Atau seperti kita dalam dunia dan disambar oleh dekat-nya fuad, ikut terdiam dan patah hati melihat dunia yang tak berkesudahan ini. (Hudan Hidayat)

Buku ini dapat dipesan melalui akun Fuad (Awan Hitam) dan Team Mijil Publisher (Helena Adriany dan Harri Gieb)
Harga buku belum termasuk ongkos kirim

Pembayaran melalui transfer ke rekening:
Fuad
Bank Mandiri Cikarang
No.Rek 156-00-0321218-2


Cafetar(i)a

Oleh Afrilia Utami

 

: penyair Husni Hamisi

 

Dari berkas cahaya

Yang mungkin ada

Hingga menjadi-jadi antara

Maya dan nirwana

Akankah kilau itu padamu?

Tak padam tak legam

Digulung gulita yang bermalam

 

Di cafe saat dzikir mengucap degup

Rambutmu hitam terlepas

dan sisir biru di sakumu itu

kaupasangkan untuk kacamataku.

Lalu, kubaca huruf itu

“Bacalah hari ini, mungkin nyata?”

 

Sore itu mulai gerimis

Lalu hujan meritmis ditengok jendela

Kakilangit segaris

Menculik cubitan manis

“Lupa jemuran belum kuangkat pulang.”

Katamu saat itu, gerah palingkan pandang

Ya, gelisah…

 

Di cafe, empat kursi masih menunggu geser

Yang mencinta harap bersembunyi

Kau malah asik di podium itu bernyanyi

Dansa ke sana dan kembali duduk di sini

“Mari ikutlah…hari ini, kita bernyanyi

Sebelum usai kita dinyanyikan sebuah nyanyian…”

Ah, kau membujuk. Bicara matamu sungguh kutemu

 

Kita telah lama menunggu, bukan?

Sebuah desain hari ini…

 

[]

07 Oktober 2010

 

(Maaf ya Bang Husni, hanya ini yang Af bisa tulis sederharna tukmu. sudah biasa, terlambat pula. tetapi teriring doa terbaik untukmu selalu. Saudaraku..)


Balada Laki-Laki Jantan

Oleh Dwi Klik Santosa

Nafasku laki-laki jantan. Perkasa karena serba liat urat dan ototku. Gahar dan keras suaraku, takkah niscaya ini kharisma manusia agung. Hohoho… Inikah takdirku ksatria. Megah disebabkan terlahir dari darah seorang raja. Pedang dan perang inilah serba mainanku. Siapa meragukan aku. Sedangkan kata-kataku… hohoho… Serasa-rasa gagah dan garda depan. Jangan heran. Jangan kaget… itulah nuansa serba indah karena terjalin dari caraku menaklukkan. Siapa itu lawan. Apa itu aral bagi mau dan hasratku. Hai, hai, hai.. Siapa kamu? Siapa kalian?

Akulah jejaka brilian. Kupahamkan dengan baik; adaku karena mutuku. Siapa tak kenal aku. Siapa tak gandrung padaku… Hohoho… Dan begitulah, seribu satu perempuan kukenali dengan baik. Dari keringat, geliat dan nafasnya. Dari cara jalan, macak dan nggombalnya. Senampak-nampak mahal, sebau-bau wangi, tapi… ah, palsu… palsu belaka. Putih, merah dan hitamnya adalah sapuan cakrawala yang luntur dari aslinya. Aduuuhhhh biyuuungg, Yundaku… Yunda Sembadra… Akulah laki-laki angin. Melayang-layang, mengawang-awang asaku terbang kini tanpa tali ikatan. Kemana terbangku, kemana rebahku. Aku mabuk, yundaku… Terjatuh kini dan kapan lagi bangunku.

[]

Pondokaren

22 Agustus 2010

: 05.2o

[]

Burisrawa namaku. Dilahirkan sebagai pangeran tampan, benih kemasyuran dari Prabu Salya ayahku dan permaisuri Setyawati ibuku. Ketiga kakakku adalah perempuan cantik-cantik. Dan kesemuanya diperisteri oleh tiga laki-laki bergelar raja besar. Takkah kalian percaya. Takkah kalian maklum apa arti bengalku… hohoho…



Firdaus Itu Tidak Ada

Oleh Dwi Klik Santosa

Kau kibarkan bendera hitam

Sebagai panji-panjimu

Merdu nadamu di depan-depan mimbar

Wangi aromamu di lembar-lembar koran

Takkah benar kau ingat

Hakiki itu

ada pada kerendahan yang sungguh tak bisa diukur

Tak ada nada, tak ada aroma

[]

pondokaren, 12 agustus 2010 : 05.4o



Hilangmu, Membakar Rindu…

Oleh Afrilia Utami

KEMBALI ada rasa Hilang, terbungkus sedikit duka, ketika sebelumnya bersapa dengan Suka. Jujur, ada rasa kehilangan jelasnya mungkin rindu yang kini saya genggam tuknya. Meski hanya lewat dunia maya kami saling mengenal. Namun seperti sudah ada ikatan Persaudaraan diantara kami dan lainnya. Ia sudah seperti kaka sendiri. Ya, lewat akun ini aku mengenalnya. Meski tak sempurna kami saling mengetahui satu antar lainnya, mencium aroma badannya pun tak pernah, apa lagi jelas menatap wajah lembutnya. Tetap saja ia selalu ajarkan saya pelajaran yang sangat bermanfaat, memberikan support, dan senyumnya meski hanya bersimbolik :). Dan senyumnya selalu menjemput senyumku 🙂 Begitupun dengan Mas Fuad, yang selalu bijak ia berkata dalam tulis jabar aksaranya. Bahkan ahli menafsirkan makna, kadang apa yang ditulisnya baru kita sadari bahwa ya itulah, makna dari yang tertulis.

Setelah Mas Fuad, kini Ka Yazid…

Tengoklah, kepergianmu yang tak menentu membuat para Sahabat dekatmu merasakan sangat kehilangan. Tanda Mereka sahabat yang baik. Ya, paling baik diantara yang baik. Mereka menutur kata rindu tuk mu, bersua pilu karena hilangmu. Kau memang sudah menjadi Sahabat yang sangat berarti, bahkan di hati adikmu ini. Sudah seperti kaulah kaka kandung sendiri. “ka Yazid” panggil saya tuk mu, “dik” lontarmu tuk saya. Terimakasih ka Yazid, selalu saja ada hadirmu sempatkan berkunjung dalam karyaku yang masih “celengan”, selalu saja sempat berikan pujian serta motivasi dan dorongan semangat baru.

“Menulislah untuk dirimu sendiri, bukan orang lain,” lirihmu yang ku rawat.

Pun sama dengan Mas Fuad, hampir setiap malam ada saja tautan lagu. Ikut saja saya mendengarnya, menganyam rindu-rindu heningnya temaram, menjadi hangat tersulam. Terimakasih Mas Fuad 🙂 dan santunmu saya suka. Selalu saja sempat berikan pujian serta motivasi dan dorongan semangat baru.

….

Aku yang selalu terhanyut terseret arusmu. Dalam setiap kaidah kata yang kau jabarkan, merangkainya dengan penuh makna mendalam, juga perenungan tentang Kehidupan, lewat dalihmu yang terukir indah sangat. Tetap saja kau tak sombong, itu yang ku suka.

+++

: Hilangmu, Membakar Rindu ..

Lilin-lilin bertasbih di terpih angin
Saat lambai dingin membakar panas kerinduan
Kehilangan tanda (seperti) telah memiliki
Tetap alur waktu bermain lincah saat kau disini
Dan melemah saat kau sudahi perbincangan ini

Biru waktu yang terpatri di kehidupan nadi
Kau lukiskan pena berarsir kaidah makna berarti
Pemahaman tentang semua tanya yang belum terjawab
Pandai hatimu menjabari ke bo-do-han dengan Pintarmu
Dan Kejora bersenandung rindu tuk mu

Tulisanmu pun tak hanya bertulis
Tapi memberikan kejelasan arti yang terlukis
Syarat dengan Perenungan dasar mendalam
Penyair Sufi, yang tak bergumam pada kesombongan alam

(Maaf, aku tak pandai merangkai kaidah ‘tentang’ indah sepertimu)
Berharap kaupun merasakan hal yang sama saat ini.

Terimakasih Penyair Sufikku : Ka Yazid Musyaba dan Mas Fuad (Awan Hitam)

12 Juli 2010

[]


Maaf, Orang Bule Dilarang Masuk Baduy Dalam

Catatan Perjalanan Ke Baduy, Bagian terakhir.

Oleh Mappajarungi Manan

Mentari mulai kembali ke peraduannya, pertanda senja. Setelah berjalan sekitar kurang lebih tiga jam, dari Kampung Nangerang dan sempat mampir lebih dari dua jam di Cisagu untuk makan siang, akhirnya tepat pukul 05.45 WIB, kaki-kaki yang keletihan itu kini menginjak bumi Baduy Dalam.

Ada yang berbeda. Canda pun harus dikurangi. Demikian pula volume suara juga diturunkan. Rombongan Ekspedisi Baduy13 itu berjalan beriringan menyusuri jalan yang membelah ladang suku Baduy Dalam yang tengah dibersihkan empunya. Aroma kayu terbakar dengan angin sepoi-sepoi mengiringi langkah yang tertatih-tatih. Letih dan lelah. Namun semangat tetap 45.

Untung saja, kami tidak melewati kampung Kadu Keter, tapi kita mengambil jalan kompas dari Nangerang. Kalau dari arah Kadu Keter bisa semaput kita berjalan karena jaraknya dua kali lipat, sekitar 15 km menyeberangi lebih dari 10 bukit terjal yang melewati kampung Cikakal, Cipaler, Gazebo, Babakan Marenggo dan Babakan Malimbong, eh Malimbong…hampir sama Gembong. Jangan-jangan Gembong emang dari Malimbong? Bener gak Mbong…?

Gembong sang matalalang, mengingatkan agar yang memakai sepatu agar dilepas, karena rombongan akan menyebeberangi sungai sedalam  25 sampai 30 cm. Wuih…gerecik air pegunungan dan dinginnya terasa menusuk tulang. Setelah tiga kali melewati sungai Parahyangan, yang berkelok-kelok itu, sampailah kita di dusun Cikertawana. Namun tak seorang pun yang kami jumpai di dusun itu. “Mereka lagi ke ladang, mungkin magrib atau malam baru balik, ada juga yang bermalam di ladang karena mendekati musim tanam padi,” ujar Gembong.

Kedatangan kami, ternyata sudah diketahui masyarakat Kampung Cibeo. Saat lewat magrib, kami memasuki perkampungan itu. Saat itu juga penduduk Kampung Cibeo yang berjumlah 108 keluarga, 88 rumah dan 408 jiwa (wah…! angka yang hoki hehehe…) juga berdatangan dari ladang.

Warna pakaian penduduk Baduy Dalam seragam. Penutup kepala berwarna putih kusam. Baju juga demikian, putih kusam. Penutup bawah warna hitam bermotif garis abu-abu, mirip “penutup” pasukan Romawi, yaitu seperti rok sebatas lutut. Mereka hanya mengenal dua warna, hitam putih. Mulai dari anak kecil hingga yang telah uzur.

Kami nginap di rumah Bengkong (juru sunat = itu tuh tukang potong anu hehehe…) bernama Ardi, 45 tahun. Di rumah Ardi tinggal pula orang tuanya yang telah kakek, dan  tiga anaknya. Seorang anaknya bernama Juli (22 tahun) sudah berkeluarga. Jadi dalam rumah itu ada tiga kepala keluarga. Namun dapat menampung jumlah kami yang 13 orang.

Wah…kecil-kecil bawa golok ukuran 30 cm yang terselip di pinggang, begitu penampilan Armani, bocah 8 tahun (namanya mirip nama merk produk Eropa, Goergio Armani hehehe…). Bagi yang sayang anak-anak pasti dia ini menggemaskan. Ia berjalan  lincah tanpa alas kaki, dan tersenyum bila disapa. Armani ini adalah anak bungsu Ardi. Kulitnya bersih.

“Anak kecil umur 5 tahun sudah diajarkan bekerja di ladang oleh orang tuanya. Selama umur 0-10 tahun diajar mengenal lingkungannya oleh orang tuanya. Setelah itu barulah Pu’un (ketua adat) membimbing lebih dalam soal kehidupan sosial kemasyarakat Baduy,” jelas Jayadi (37 tahun) yang baru kembali dari ladang.

Di kampung Cibeo dan umumnya Baduy dalam, diberlakukan aturan-aturan adat yang cukup ketat. Larangan bagi orang luar, seperti orang bule masuk perkampungan mereka. Dilarang membawa alat elektronik seperti radio, tape, telepon genggam, dan kamera. Begitu pula larangan membawa benda-benda seperti pasta gigi, shampoo, sabun yang dapat mencemarkan lingkungan. Nah tuh… Kita?…wah, jangan tanya, soal pencemaran bagi orang luar dianggap kecil, tapi sebenarnya tingkatannya sudah pengrusakan yang parah. Parah!!!!

Rumah penduduk Baduy Dalam terbilang unik, antara satu dengan yang lainnya berjarak antara tiga sampai lima meter. Rumah itu dibangun secara bergotong royong tidak menggunakan paku, semua bahannya terbuat dari bambu dan kayu. Lantainya dari bambu yang dibelah. Mereka membangun rumah panggung setinggi antara 50 cm hingga 100 cm. Bentuknya sama beratap dari ijuk dan daun siren, dan semua rumah suku Baduy Dalam hanya berpintu satu. Kalau dalam rumah tangga itu terdapat dua kepala keluarga, maka tungkunya ada dua. Karena itulah, iri, dengki tidak ada dalam kehidupan mereka. Gotong royong merupakan budaya yang mereka lakukan sejak turun temurun. Akur kan…?

Jaro (wakil Pu’un) Mursid Tantu (40 tahun) menjelaskan secara gamblang. Kendati pun tidak mengenyam pendidikan luar (SD, SMP, dan lain sebagainya) tetapi ia lancar berbahasa Indonesia. Menurutnya, “sistem pemerintahan” Baduy Dalam itu berdasarkan musyawarah mufakat. Tiga Pu’un yang ada, yakni Pu’un Cikeusik, Pu’un Cibeo, dan Pu’un Cikertawana, selalu mengadakan musyawarah. Ketiga Pu’un ini memiliki fungsi masing-masing, seperti Pu’un Cibeo yang menangani pertanian; Pu’un Cikesik menangani keagamaan, dan Pu’un Cikertawana menangani kesehatan yaitu obat mengobat orang yang sakit. Ketiga Pu’un inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan dalam pemerintahan. Kayak DPR kali ya?…

Dalam urusan pertahanan dan keamanan diserahkan kepada Jaro, demikian pula pemerintahan atas petunjuk dari Pu’un. Pu’un diganti bila telah meninggal dengan jalan musyawarah. Yang diutamakan adalah meminta petunjuk dengan mata batin, untuk memilih beberapa turunan Pu’un yang layak. Karena keprcayaan mereka berdasarkan agama Sunda Wiwitan, yakni agama yang percaya pada Gusti Allah, nabi mereka adalah Nabi Adam dan Hawa.

Kehidupan aman dan damai begitu terasa di kampung itu. Pertengkaran atau perselisihan sangat jarang terjadi. Kalau ada yang melanggar akan diberi hukuman, seperti kerja paksa tanpa upah. Kalau pelanggarannya berat, maka akan dikeluarkan dari suku Baduy Dalam lalu menetap di Baduy Luar. Akibat penerapan hukum itu sangat jarang sekali ada yang melanggar. Keamanan dijaga 24 jam. Kalau siang, ditugaskan 10 orang lelaki atau lebih untuk menjaga kampung dengan berkeliling (ronda).

Acara pernikahan mirip dalam novel Siti Nurbaya; orang tua akan menikahkan anak-anak mereka bila pria telah berumur 20 tahun dan perempuan antara 15-17 tahun. Tidak pernah terdengar ada yang menolak untuk dinikahkan, karena berjalan secara teratur dan tiga tahap, seperti pengenalan, penentuan dan pernikahan.

Mereka tidak mengenal poligami. Kalau anak-anak akan disunat, dilakukan secara massal, sekali dalam lima tahun. Bila terjadi sunatan kampung itu akan ramai dengan pesta. Acara potong ayam pun dilaksanakan dan makan ramai-ramai. Mereka diharamkan memakan daging kambing. Kalau sapi atau kerbau sangat jarang. Mereka terbilang “vegetarian”.

Berbeda dengan dunia luar, sistem penanggalan mereka agak lain. Mereka tidak mengenal bulan Januari, Februari, dan seterusnya… Bulan mereka tergantung panen padi. Bulan pertama pada saat merayakan panen padi di huma (ladang). Jumlah hari dalam setiap bulan adalah 30 hari juga, dan bulan mereka sebut seperti bulan Kalima, Kaanam, Kawalu, Sapar dan seterusnya…repot khan bagi kita?…

Hebatnya, perekonomian mereka tidak mengenal krisis. Krisis apapun yang melanda Indonesia, seperti krisis BBM, moneter, krisis moral, pejabat korupsi, pejabat kudeta, atau DPR di Senayan bertengkar, kehidupannya mereka norma-normal saja. Tidak kenal “politik”…yang ada adalah saling pengertian. Tapi mereka mengenal status ekonomi seseorang dengan kepemilikan padi di leuit (lumbung padi), ayam, kucing dan kain yang tersimpat di langit-langit rumah. Semakin banyak kepemilikan atas benda-benda itu, maka mereka disebut orang kaya.

Orang Baduy Dalam tidak dilarang bepergian, kendati pun sampai ke Jakarta, mereka masih memakai pakaian adat mereka; penutup kepala putih, baju putih, dan rok hitam serta membawa golok, dan tidak memakai alas kaki. Bila mereka ke Jakarta, berjalan kaki hingga 2-3 hari. Di perjalanan mereka menginap pada kenalannya. Pantang naik kendaran, sepeda apalagi motor atau mobil. Bayangkan.

“Saya sudah naik di gedung tinggi,” kata Juli (22 tahun) sambil menunjukkan gambar gedung BNI. Yang diambilnya dari sobekan salah satu majalah yang disimpan rapi di antara lipatan bajunya. “Saya naik di lantai 24 naik tangga, karena saya tidak boleh naik itu pake mesin (maksudnya lift, Penulis.),” kenang Juli dengan bangga.

Tidak hanya Juli, telah banyak penduduk Baduy Dalam berjalan kaki menuju Jakarta hanya untuk jalan-jalan. Ah…sampai kapan Baduy Dalam itu bisa bertahan dengan adat-istiadatnya, kalau mereka rajin ke Jakarta yang penuh dengan kepalsuan?… Lambat laun budaya mereka yang asri, damai akan terkikis oleh erosi zaman, juga akan tergoda dengan gadis-gadis “kelihatan pusar” yang mereka tidak pernah lihat di lingkungan Baduy Dalam, dunia KFC, McDonal’s, dan Coca-cola telah masuk dalam darah mereka.

Ah…begitu  se-abrek yang bisa diceritakan dari komunitas Baduy Dalam. Sayang perjalanan begitu singkat. Malam pun larut, rombongan Ekspedisi o Baduy terlelap, bagi yang terbiasa dengan dinginnya udara malam, cukup nyaman. Tapi, yang tak terbiasa akan membuat tubuh mengigil. Malam bertaburan bintang, suara jangkrik, rombongan mimpi berselimut halimun.

Kendati pun tawa canda dan saling lempar kata, manis, asem, pahit, namun suasana kekeluargaan begitu menyentuh. Gembong, Ari, Wib, Widji, Iman, Arfan, Rahmat, Tejo, Emma, Brilli, Ami dan Denny, kalian menorehkan kenangan manis (khusus perempuan, laki, gak layauh huahahaha). Ingat Baduy ingat kalian. Kalian adalah generasi “Baduy” Luar…Semangat…!!!

Ya, ditamatin aja deh. Capek! []

29 Agustus 2005,

11:59 PM


Diproteksi: Sebunyi Sunyi Sembunyi Sepi [12]

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:


Cespen : Rambut Mio

Oleh Adhy Rical

Ini tentang Mio. Perempuan yang memiliki dua rambut berbeda. Hitam dan putih. Tidak biasa sebab yang hitam itu rambut lelakinya. Lima puluh dua tahun lalu ketika beringin depan rumah masih setinggi cucu perempuannya.

“Kenapa kau berikan rambut padaku, sayang? Kenapa bukan cincin. Tak harus emas. Besi dari badik pun kuterima.”

“Pernikahan itu indah. Kitab-kitab bilang begitu. Tapi cinta akan tertutup karenanya.”

“Apakah pernikahan harus memberimu cincin? Bukankah rambut lebih abadi? Kelak, ketika kita renta, rambutku tetap menghitam di rambutmu. Kita pun akan melalui rambut. Tentu.”

Lalu kau bercerita tentang pelukan pertama. “Jika kau memeluk pasanganmu, katakanlah ‘hangat sekali’. Jika tidak, kau harus memasak air sampai pagi.”

***

Pagi itu, Mio mengajakku ke kebun peluru. Belakangan aku tahu kalau kebun peluru adalah kuburan. Mungkin karena di sekitar kuburan terdapat jagung, kacang, dan beberapa tanaman umbi. Tapi yang lebih penting selain tujuh nisan di kebun peluru adalah Mio memiliki ribuan selongsong peluru.

“Kau jangan banyak bicara, Nak”, pesan Mio padaku.
“Hanya ambil gambar, Bunda,” bisikku.
“Tiga orang dari tujuh nisan di sini karena mereka banyak bicara. Peluru lebih peka mendengar suara tukang kebun daripada suara tukang bicara.”

“Siapa tukang bicara?”
“Sstt… tak baik bertanya di kebun peluru.”
“Tapi siapa?”
“Kami tak punya tipi tapi kami tahu, tukang bicara banyak di tipi.”

***

Kini, aku masih menyimpan rambut Mio. Tapi entah untuk siapa. Sebab rambut Mio tak lagi hitam atau putih tapi merah. Darah itu merah, Mio. Semerah darahku membesi pada kepalamu yang pecah siang tadi. Rasanya tak percaya, peluru lebih memilih kepalamu daripada tukang bicara sepertiku. []

Kendari, 2010


Bercakap dengan Djibril

Catatan Adhy Rical dari posting Facebook Bunda Sjibril

Ini hanya catatan sederhana yang ditulis Bunda Djibril pada hari Senin, 7 Juni 2010. Sesiangan itu mengalir saja seperti sungai di kepala yang diam-diam menuju muara kata. Yang paling berbahagia adalah percakapan itu membuatku beruntung bisa mendapat tiga ember ikan segar dan dua sahabat yang diam-diam mencintaiku.

Bunda Djibril sudah mem-posting catatan ini. Tak ada yang berbeda. Saya hanya menambahkan sedikit warna pada letaknya. Terima kasih pada Keranda Hitam dan Kyai Setan Kober. Jabat erat hati.

***
Status : Bunda Djibril
“kerumunan hujan menjelma pasar, menjual gigil dan menawar perigi pada tepi hatiku yang nyaring tanpa bunyi, seketika malam membelah bulan, tak bisa kuhitung suara, kantuk tak sesal karena tak tidur semalaman, sekrang.. burung mengikis sayapnya, dari embun yang beku tadi malam, sekrang.. pagi merangkak ke jalan raya, di… sana dia mengutip mimpi yang terbirit di incar matahari pagi.”

Adhy Rical
sejak tadi udah di atas rakit. hehe.
akulah pasar, ikan-ikan di sini.
hanya butuh dua langkah menyelam bersama mereka. 🙂

Bunda Djibril
dan seberapa besar arus, membawamu ke entah, dan berpendar pada hitam laut petang, dan sepasang ikan berenang di dadamu yang maha laut itu

Adhy Rical
arus hanya sebesar keringat tapi daki di dadaku seluas lumpur sungai. jika ada doa dan restu, itulah air yang mahalaut.

Bunda Djibril
cukuplah, tak bisa berbatas katamu, karena itu pun perigi, kusebut kali, itupun sumur ke sebut mata air, dan itu pun lumpur, kusebut gelombang petang berkeruh, adapun kau laut, aku yang tau, karena di beringas ombakmu, aku mengabut, aku melaut…

Adhy Rical
aduh
aku mau tenggelam nih
jadi ikan saja
berenang di matamu
biar tak ada debu

Bunda Djibril
haha, silahkan, tapi awas, bui akan menjelma kail, kelak kau akan terpancing, umpan senja sangkut di matanya, ada beberapa ikan terjerat, haha, sekarang sudah sekarung..

mau kukail rindu di matamu
biar cecah bulan pasangkan laut ku

Adhy Rical
tahu ikan pemakan lumut?
ia tak butuh kail tapi selalu datang untukmu
melumat semua lumut yang bergaris
agar kekasihmu memeluk sampai pagi…
dan mengumpulkan daki-daki
untuk sarapan petang hari

Keranda Hitam
hehe..
seruu neh..minum kopi enak..lanjuuut..!!

Bunda Djibril
terlalu dalam kau mengarung aku,..
adalah aku sebagai diriku,
santun betul kau menjadikan aku hidangan mu
silahkan, telah letak piring dan sisiku, pada perjamuanmu
maka, santaplah, tanpa sendok dan garpu…
tanganmu adalah lahap yang rakus pada aku

Adhy Rical
ikan itu tak lebih besar dari lentik matamu
sendok dan garpu seluas rumahku
maka daki hanyalah bagian di luar tubuh yang tak kau hirau.

percaya deh, tubuhmu tetap bersih lebih dari yang kau duga. tak perlu bawa keranda besi tapi tawaran kopi keranda hitam, maaf. tak bisa kutolak. 🙂

Bunda Djibril
haha…

tubuh itu cuma gaun yang lingkap pada daging, dan darahku, masalah daki hanyalah garis pelik hidup yang nyasar di puasaran pundak, ketiak, dan jelaga leherku, ada pun kau menemukan nya, itu lah duniaku, penuh lukuk, meski sempat kuluruskan sekali waktu..

keranda membawa kan kopi, biar keuteguk sekali, lalu kurendam pusara nadi bersama kang adhy, haha, samsu sebatang dong,, hahaha

Adhy Rical
baiklah.
sebab air meninggi
ikan-ikan lain menyimpan tawa dalam jaring
kusimpan satu sirip

: napasku setengah tiang
percayalah
aku hanya datang jika matamu basah
itulah sungai lumutan yang tak pernah habis

bye 😉

kopinya titip dulu, samsu juga untuk malam nanti. siang gini, mild lebih asyik

Keranda Hitam
haha..gw punya esse mint..lainnya buatku muaaal

Bunda Djibril
lekangkan satu sisik, untuk kusimpan kala bersisir, biar pun kau tak datang, belaimu pada rambutku yang gemerentang cukup mendiamkan tangisku yang terendam bulan..
kutunggu datangmu, pada kala berikut, saat senja menikuk ke muara, dan laut legam tak berombak…

c-u

aduh, kalo mild, bisa batuk hehehee.. kebelakang dulu akh, nyeduh dan ngaso. asekkkk

Bunda Djibril
keranda, kemon, ke belakang, wah abang adek tuh, esse, samsu.. hahhahha

Keranda Hitam
abang dipanggil produser keseleg plot..hehe

Bunda Djibril
haha,. maho ajah..

Kendari, 2010

dokumentasi AR