Category Archives: Kajian

Republik Warung Kopi, Catatan Kecil dari Sudut Indonesia

Oleh Hanna Fransisca

 

***

Ambang Petang, beranjak dari

dermaga lengang selepas hujan

Langit mengirim kelabu pucat

Angin mengirim dingin

Sungai mengirim keruh

Dan kau mengirim mimpi

Sengaja saya mengutip penggalan puisi murung yang ditulis penyair Amrin Zuraidi Rawansyah sebagai pembuka dari catatan ini. Catatan dari sebuah perayaan antologi sajak delapan penyair dari sebuah sudut Indonesia yang sekian lama tersembunyi dari hiruk-pikuk kesusastraan Indonesia, yakni delapan penyair dari Kalimantan Barat.

Kalimantan Barat, sebuah kawasan luas yang dalam sejarahnya selalu dihubungkan dengan kekayaan hutan, kekayaan bumi, serta manusia-manusia Melayu, Dayak, Tionghoa, dan para pelintas batas Malaysia. Sejauh mata memandang, dari pantai landai Pontianak hingga Pemangkat, dari pancang tengah Singkawang hingga ketinggian Bengkayang, dataran luas ini menyimpan ribuan kisah tentang hamparan karet, lada, kopra, sawit, jeruk, hingga batubara dan ladang emas. Kalimantan Barat, seperti halnya daerah-daerah terluas lainnya di Indonesia, adalah penyangga penting bagi hadirnya Republik Indonesia, penyumbang devisa bagi megahnya Jakarta, hingga penjaga teguh sebagian perbatasan darat Malaysia.

Tentu, hamparan kisah yang tertanam pada bumi yang luas ini, menjadi catatan penting ketika seorang penyair kemudian lahir di sana, dan menuliskan puisi-puisinya. “Puisi tidak lahir dari sebuah kekosongan, sebab penyair selalu mencatat apa yang didengar dan dirasakan,” begitulah setidaknya pengertian yang saya yakini tentang puisi. Seperti kata Rendra dalam puisinya, yang mengatakan bahwa “puisi adalah sebuah kesaksian,” //… Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga//. Maka kehidupan di bumi Kalimantan Barat adalah juga kehidupan yang subur dengan inspirasi, kehidupan yang subur dengan kegelisahan, dan dengan kesaksian-kesaksian.

Delapan penyair dari kawasan ini, kini mencatatkan kesaksiannya, setelah lama terkubur dan lenyap dari perbincangan kesusastraan Indonesia selama bertahun-tahun. Setidaknya, ketika perbincangan kesusastraan Indonesia dari kawasan Pulau Kalimantan dibicarakan, maka yang muncul adalah dominasi Kalimantan Selatan, lalu disusul dengan Kalimantan Timur. Sedangkan Kalimantan Barat, selalu terdengar sayup-sayup, bahkan hampir tanpa kabar.

Maka dengan terbitnya buku ini, seolah-olah menegaskan kembali bahwa kehadiran sastra di bumi Kalimantan Barat masih ada. Delapan penyair yang rata-rata berusia muda, menuliskan kesaksiannya dengan beragam tema yang mengusik. Seperti halnya kutipan penggalan puisi murung “Menuju Kubu” pada awal tulisan, yang merupakan salah satu dari sepuluh puisi yang ditulis oleh penyair Amrin Zuraidi Rawansyah. // … Langit mengirim kelabu pucat/Angin mengirim dingin/Sungai mengirim keruh/Dan kau mengirim mimpi//. Suara lirih ini seakan mewakili doa dan sekaligus harapan bagi bumi kelahiran.

Di belahan lain, rintihan yang lebih gamblang dikumandangkan oleh Wisnu Pamungkas. Puisinya yang diberi judul “Mitos Ruang”, dengan tegas mempertanyakan tanggungjawab dari kesalahan segelintir manusia yang harus ditanggung akibatnya oleh segenap keturunan, menjadi kutukan yang tak lekang dimakan waktu. //Berjuta-juta tahun kemudian/Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah/Diberi patok, diukur ulang/Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk/Tak seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap//. Betapa mengerikan sebuah desain peradaban yang diputuskan berdasarkan keuntungan sesaat, sehingga seorang penyair mentasbihkannya sebagai sebuah kutukan yang abadi. Wisnu Pamungkas telah menggunakan perangkat metafor verbal, akan tetapi menyimpan kecerdasan dalam membangun logika puisi, menjadi sebuah tema yang keras dan satir. Kita lihat misalnya pada puisi Negara Kelamin. Ia dengan enaknya memperolok sejarah, dengan cara mempermainkan logika, sehingga sejarah pada akhirnya hanyalah sebuah permainan iseng yang penuh ironi.

NEGARA KELAMIN

Ibu memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru

Ayah tak berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan

Tiada yang salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika berhasil menyesah Ayah di ranjang perkawinan

Menciptakan khayalan terhadap persetubuhan

Menelan lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan

Ayah tiada mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi wilayah dengan wanita itu

Membuat sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas

Sebenarnya mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah

Sebelum pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan

Ibu memang pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru walau tanpa pertumpahan darah. Hom pilahom pimpah!

Sejak saat itu negara ini terpecah-pecah,

Negara sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan

Lagi pun sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah

Hom pilahom pimpah!

Sebuah puisi dengan gaya yang segar, dengan ironi yang keras, dengan spirit mempermainkan sebuah konsep yang serius tentang negara (tentang batas-batas kekuasaan), yang pada akhirnya hanyalah sekumpulan mitos untuk memperdaya kebodohan. Puisi Negara Kelamin Wisnu Pamungkas menunjukkan sebuah gaya yang khas, karakter yang unik yang memberi harapan sebuah penemuan baru dalam cara ungkap puisi. Tentu saja, saya menyambut gembira pada pencapaian semacam ini, yang sekaligus bukti bahwa penyair Kalimantan Barat memiliki potensi yang tidak boleh diabaikan.

Lain dengan Wisnu Pamungkas, spirit serupa juga dikumandangkan oleh dua penyair yang menggarap tema sama dalam salah satu puisinya, yakni tema tentang Indonesia yang dibidik dari sebuah warung kopi. Ada potret beragam manusia, dengan nasibnya yang berbeda-beda, bersama mimpi dan harapan yang juga berbeda-beda, mereka masing-masing dibedah dalam bangku panjang sebuah kedai kopi. Bayangkanlah sebuah warung kopi adalah representasi dari nasib sebuah negara. //kau akan mendengar suara lebah di sini/bahkan lebih pikuk dari suara lebah//, begitulah puisi Warung Kopi Winny, Jalan Gajahmada; yang ditulis oleh penyair Pay Jarot Sujarwo. Ada segerombolan remaja “harapan bangsa” yang riuh mendiskusikan ponsel terbaru, gaya hidup, dan pacaran, tak peduli pada keluhuran cita-cita; ada pengusaha rakus berceramah dengan dandanan wangi dan perlente; ada pegawai negeri malu-malu dengan baju safari, mereka mangkir dan melihat para pelayan dengan birahi; ada segerombolan penjudi meramal angka dan selalu yakin setiap hari bahwa hari ini akan ada keberuntungan dari nomor-nomor ajaib yang diramal; ada sekelompok wartawan yang saling pamer berita, dan berdiskusi tentang parlemen negara di gedung-gedung negara; ada aktivis LSM, ada yang jatuh cinta, ada yang patah hati, ada rencana-rencana, ada proyek, partai, ada trik-trik para penipu; dan ada para pelacur bergoyang memamerkan tubuhnya. Inilah negara. Inilah tanah air. Dan inilah penyair Pay Jarot Sujarwo yang mememberi kesaksian dalam puisi, bahwa negara hanyalah sebuah warung kopi.

Kemudian Ety Syaifurohyani (seakan-akan memiliki getaran yang serupa), menulis puisi Kopitiam dengan penggalan kalimat berikut: //… kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat/duduklah di kopitiam/para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat …//. Tentu, ”Indonesia” dalam catatan dua penyair yang menuliskannya dalam logika ”warung kopi”, adalah Indonesia yang direkam dalam bayangan besar, dari sebuah sudut kecil bernama: Kalimantan Barat.

Puisi lain adalah puisi yang penuh tenaga seperti kilatan pedang samurai: padat, berkelebat, dan menebas. Inilah gaya yang khas dari Ida Nursanti Basuni. Dua puisinya tentang kengerian dan kesedihan rintihan bumi Kalimantan direkam dengan getaran yang penuh perih, menimbulkan suasana yang asing, sepi, dan menggantung. Puisi dengan judul Pagagan, dan Maktangguk, menandai sebuah gaya yang dalam menghipnotis pembaca lewat tebasannya yang padat.

PEGAGAN

Keranji merah bergumam:

“kelat kebal

segala hama!”

Pegagan meriap

MAKTANGGUK

Sehabis maghrib

pukul setengah tujuh malam

batang limau mengejan

senyap

Angin menerbangkan putik kelapa

lengang gardu jaga

raung genset lesap

Kegesitan Ida Nursanti Basuni dalam merekam respon spontan dari sebuah tempat, melahirkan suasana magis yang menikam. Mengingatkan saya pada sebaris sajak yang ditulis oleh Sitor Situmorang (dan puisinya menjadi sangat terkenal karena memang hanya terdiri dari satu baris), yang berjudul “Malam Lebaran”.

MALAM LEBARAN

Bulan di atas kuburan

Puisi jenis ini, bagi beberapa penyair, adalah puncak sebuah pencapaian. Tidak mudah menulis sebuah puisi yang hanya berisi inti, dengan pilihan kata yang betul-betul diperhitungkan baik dari segi bunyi, keindahan irama, dan juga sekaligus mewakili makna. Meskipun ia puisi yang teramat pendek, tapi momen-momen puitiklah yang menentukan tingkat keberhasilannya. Momen-momen puitik, tentu tak akan banyak berguna jika tanpa didasari oleh pengalaman dan kepekaan yang lebih. Ida Nursanti Basuni memiliki kepekaan pada bahasa yang lebih, dibandingkan yang lain di dalam buku ini.

Tiga penyair berikutnya adalah Saifun Arif Kojeh, Syazsya Kayung, dan Nano L. Basuki. Nano L. Basuki lebih tertarik pada kesaksiannya terhadap dunia pendidikan, sedangkan Saifun Arif Kojeh dan Syazsya Kayung lebih tertarik pada nyanyian alam yang berisi keperihan lantaran kerusakan akibat ulah manusia. Gambaran-gambaran ketiga penyair ini, juga mewakili gambaran kegelisahan dari pertanyaan yang sama: ke manakah sesungguhnya negeri ini hendak dibawa?

Demikian kesaksian delapan penyair Indonesia yang lahir dan besar dari sudut yang jauh, Kalimantan Barat. Selamat datang di belantara khazanah kesusastraan Indonesia.

Singkawang, Juni 2011

Republik Warung Kopi

Republik Warung Kopi

Bagi yang berminat bisa menghubungi Ida Nursanti Basuni atau Pay Jarot Sujarwo atau Ety Syaifurohyani


[Kajian] Membaca Tarian Jiwa Julia Napitupulu

(Sebuah telaah sederhana tentang kehadiran seorang Julia Napitupulu dalam Buku : JEJAK-JEJAK CINTA TUJUH PEREMPUAN)

 

Oleh Kusnadi Arraihan *)

Tulisan, apapun bentuknya adalah sebuah cermin gerak dinamis dari jiwa penulisnya.  Tulisan adalah wahana yang paling jujur, tentang kedirian seseorang. Banyak hal yang tersimpan dalam gerak tulisan itu. Kehidupan ini bagi seorang penulis adalah bukan hanya ketika dia berbicara soal bakat, tetapi juga merupakan alat seperti katub pengaman untuk melepaskan sebahagian dari beban kehidupan. Itu sebab mengapa menulis tak sepenuhnya hanya mengandalkan panca indera, tetapi juga melewati proses perenungan, aktualisasi imajinasi dan ini tugas dari dinamika kejiwaan penulisnya.

Inilah cermin kesan yang paling terlihat, ketika saya pertama sekali mengenal seorang perempuan pemilik nama Julia Napitupulu, saya hanya mengenalnya dari ruang Facebook, yang notebene diperlukan sebuah kemampuan daya jelajah analisa kita terhadap apa yang ditulis oleh seseorang, karena bisa jadi, tak sepenuhnya kita yang berkerabat di halaman jejaring sosial tersebut pernah saling bertemu muka. Maka pengenalan kita tentang sahabat tersebut biasanya hanya tertumpu pada tulisan yang disajikannya. Dan hal inilah yang coba saya lakukan juga terhadap seorang Julia Napitupulu.

Dalam buku “Jejak-Jejak Cinta Tujuh Perempuan” yang diterbitkan Penerbit Langit Kata tahun 2011, tebal 168 halaman, memuat tulisan dari tujuh penulis dalam bentuk cerita pendek dan puisi.

Ketujuh penulis tersebut, yaitu : Tina K – Ami Wahyu – Ami Verita – Lely Aprilia – Ayudya Prameswari – Tita Tjindarbumi – Julia Napitupulu. Penyunting oleh Ami Wahyu, foto sampul Thony Tjokro, pewajah sampul dan pewajah isi disajikan oleh Donoem.

Dalam kaitan ini, saya mengkhususkan untuk sedikit menyajikan hasil “penglihatan” saya pada tulisan Julia Napitupulu. Penulis dengan latar belakang pendidikan ilmu psikologi ini memiliki multi talenta, karena di sela-sela menulis, Julia Napitupulu adalah seorang trainer bidang soft competence, seorang pembawa acara, bahkan juga piawai memainkan alat musik piano sekaligus menekuni bakatnya sebagai penyanyi. Benar-benar sebuah jiwa yang tak pernah berhenti menari.

Dalam buku ini, Julia Napitupulu ada menyajikan tiga tulisan, yang sekejap seusai membacanya, ada yang terus bergerak dalam benak, jejak kesan yang ditinggalkan tulisan dari hasil imajinasi penulis ini tak hanya mencari ruang, tetapi juga terus mengelana dalam pikiran. Mengapa demikian? Karena seorang Julia (demikian ia biasa disapa para sahabatnya – atau juga dengan nama Jula, sebuah sapaan penuh historis dari masa kecilnya) menulis dengan sepenuh jiwa yang bergerak, karena hati nurani penulis ini mampu menitipkan “ruh” pada setiap kalimat yang dituliskannya. Dapat kita rasakan nuansa yang demikian jernih ketika membaca salah satu sajiannya pada buku ini, yang ia beri judul “Melodi yang Tercipta Begitu Saja”. 

Dari judulnya saja, sungguh Julia telah berani keluar dari patron penulisan judul karya sastra yang pada umumnya menjauhi makna harfiah, lebih kental dengan penggunaan perumpamaan. Dalam tulisannya ini, Julia menggambarkan betapa sesuatu yang disebutnya dengan “melodi” itu bukan disiapkannya lebih dahulu baru kemudian melodi itu melahirkan banyak senandung. Tetapi justru, dengan kebersahajaan rasa dan jiwanya, Julia mencoba untuk menikmati jalinan kehidupan yang tersambung sebagai tali temali ini, dengan kadar kualitas dan cara-cara yang hebat, sehingga justru kisah kehidupan yang mungkin hal wajar bagi kehidupan orang lain, justru menjadi rahim yang melahirkan banyak melodi bagi kehidupan seorang Julia. Hidup telah dengan baik di-improvisasi olehnya.

Struktur tulisan yang lahir dari seorang Julia Napitupulu sebenarnya tak sepenuhnya kental dengan sastra, hal ini wajar, karena mungkin pengalaman dan latar belakang pendidikannya telah memasukkan unsur psikologi dalam setiap ia menuliskan sesuatu. Tetapi yang terasakan saat menikmati tulisan-tulisannya justru kita berada dalam ruang keindahan yang runut dan seperti memenuhi semua keelokan sastra. Mari kita perhatikan lirik dari tulisannya ini, saya petikkan :

di siang yang bagai hening malam

aku dan lekakiku terbaring dalam pesona

terlontar dari bintang-bintang yang meledakkan kami

dalam warna-warna pelangi

 

wajahnya,

raut lelaki yang tuntas

merekam sensasi

yang masih menjalari pori-pori

aku mengeja damai

diteratur hembus nafasnya

 

Diksi yang disajikannya sederhana, tapi proses pengendapan makna dalam benak setelah memahami dua bait lirik di atas, justru menjadi tidak sederhana. Larik “di siang yang bagai hening malam” adalah sebuah kontradiksi yang indah, Julia lihai sekali memilih bait ini. Pada bait kedua kita perhatikan: “wajahnya, raut lelaki yang tuntas”. O, duhai indahnya. Sebagai lelaki tulen, saya bahkan belum bisa mencerna dengan baik, makna hebat di balik larik itu.

Menikmati secara keseluruhan “Melodi yang Tercipta Begitu Saja” terasa kita memasuki sebuah ruang yang luas, dan di setiap sudut ruang itu ada keindahan yang bersahaja. Pada bagian tengah ruang itu, ada penataan bunga-bunga yang penuh warna. Ruang itu adalah kehidupan itu sendiri. Julia sangat suka menggunakan metafora alam untuk mempersonifikasikan tentang realitas hidup. Dan dalam tulisan ini Julia dengan sangat piawai menggambarkan sosok lelaki, sulit bagi pembaca untuk menyembunyikan kekaguman untuk cara-cara dia menuangkan ke dalam bentuk bahasa.

Kita lihat saja caranya menuangkan sketsa imajinasi tentang lelaki itu. Lelaki yang memiliki wajah sebagai raut yang tuntas, tulang rahang yang kukuh like a wave to the sea, tulang lehernya a bird to the sky, tulang belikatnya sekuat kayu, seliat tanah. Dan banyak hal lain yang digambarkan Julia dengan sangat anggun. Seluruh yang dimiliki lelaki itu pada akhirnya melahirkan sebuah melodi. Sungguh sebuah tulisan yang menjadikan nafas selalu harum, seperti sebuah telaga bening yang eksotis.

Pada tulisan kedua yang disumbangkan Julia dalam buku tersebut diberi judul “Sekarang Aku Tahu untuk Apa Aku Bernyanyi. Sebuah judul yang biasa saja. Tapi sungguh berbeda dengan isinya. Tulisan ini juga terkesan skema prolog, digambarkan seperti dialog, dan dengan menggunakan bahasa yang menghanyutkan rasa.

Kekuatan tulisan-tulisan Julia yang saya kenal memang bercorak seperti itu. Ini yang saya katakana di awal tadi sebagai pengaruh ilmu psikologi yang digelutinya. Artinya, semua puisi dan tulisan Julia selalu menghentak di kedalaman rasa yang terdalam. Sehingga sulit bagi pembaca untuk mengabaikan sebarispun dari larik-larik yang ditulisnya.

Pada tulisan ketiga yang disajikan dalam buku ini, Julia menggunakan bahasa Inggris yang indah, untuk menuliskan keindahan puisinya tersebut. Judulnya pun cukup menggugah “You’re My Every Phrase”. Ah!

Tulisan ini juga tetap menggambarkan tentang dua anak manusia, juga masih menggunakan alam sebagai bagian dari perumpamaan yang hendak diungkap. Dalam suatu pembicaraan, Julia pernah mengatakan kepada saya bahwa memang dia suka menggunakan unsur alam sebagai bagian dari tulisannya, karena hakikatnya alam itu adalah kehidupan itu sendiri. Dengan demikian, dalam perspektif Julia, alam itu adalah realitas hidup untuk mewakili banyak rasa, banyak keadaan, dan itu telah dilakukannya dengan menggunakan idiom-idiom yang memukau.

Secara keseluruhan, dengan tidak mengabaikan kehebatan tulisan dari enam penulis lainnya,  ketiga tulisan Julia yang dalam buku ini diletakkan pada bagian penutup, tetapi justru di sini kelihaian penyuntingnya untuk menjadikan ketiga tulisan Julia ini bukan sebagai “grendel”, tetapi justru menjadi “perekat” imaji pembaca terhadap buku ini. Karena ketika kita menyelesaikan keseluruhan isi buku ini, maka ketiga tulisan Julia ini menjadi bagian penting dari “penahan kesan menarik” terhadap keseluruhan isi buku.

Sebuah tulisan memiliki banyak tanggung jawab untuk mewakili suatu keadaan di tengah khalayak, tulisan tentang cinta, tentang anak-anak, tentang remaja, dan tentang orang tua, bahkan tentang keseluruhan hidup manusia, adalah warna yang membuat kita faham tatanan masyarakat berserta pola pikir yang bergerak membentuk peradaban. Dan seorang Julia Napitupulu tengah berusaha menggeluti semua kemampuan bakat yang dititipkan Tuhan kepadanya. Dalam setiap tulisannya, perempuan Batak ini benar-benar memproses sebuah tulisan seperti menjaga sebuah proses kelahiran seorang anak, sedemikian rupa dia menjaga seluruh kualitas, dan ini juga yang membuat dirinya, dalam segi kuantitas tulisan agak tertinggal dibandingkan dengan bakat menulisnya yang sebenarnya sangat baik itu. Ini masalah sikap dan komitmen, dan seorang Julia menjaganya menurut perspektif yang dimilikinya.

Ada rasa kagum yang terselip, di tengah gelombang aktivitasnya yang demikian padat, belum lagi urusan perannya sebagai seorang istri dan ibu dari dua orang anak, seorang Julia Napitupulu masih sempat menulis. Bisa jadi mungkin bukanlah tulisan yang fenomenal, tapi di ruang rasa jiwa saya, tulisan Julia selalu memberikan nuansa keanggunan yang memukau.  Karena membaca tulisannya seperti menyaksikan jiwanya menari-nari, mengisi semua ruang sambil terus bergerak dinamis, dengan ritme dan tempo yang indah. Julia Napitupulu adalah sebuah jiwa yang terus menari. ***

16 Mei 2011

*) Kusnadi Arraihan – Penikmat Sastra. Menetap di Medan.

The Dancing Soul (illustrasi oleh Ardi Nugroho, Surabaya)

Kusnadi Arraihan, bernama pena ‘Koez’ lahir pada 19 September kini tinggal di kota Medan, Sumut. Buah penanya dapat pula dilihat pada: http://hamparanbirutanpabatas.blogspot.com, http://kusnadiarraihan.wordpress.com


[Kajian] Gaya Deiktik yang Kuat dalam Tulisan Julia Napitupulu

Oleh: Ilham Q. Moehiddin

 

 

Suatu waktu, Julia Napitupulu, mentautkan enam tulisannya ke wall account Facebook milik saya. Jelas sekali maksudnya…agar saya membacanya. Tulisan-tulisan Julia saya salin, sehingga mudah bagi saya membacanya satu per satu. Keenam tulisan Julia itu adalah:

1) Dendam Kepada Penjual Coklat (kumpulan puisi pendek, 2010); 2) Hanya Sekali dan Tak Pernah; 3) Lahir Sebagai Pecinta; 4) Merekam Kedamaian; 5) Satu Hari Ku Hidup Untukmu; 6) Surat Panjang untuk Suami Tercinta, Demi Anak Perempuan Kita.

Gaya bahasa populer memenuhi pembacaanku. Tapi tidak selalu. Pada satu-dua tulisan Julia kental menggunakan metafor, tetapi di satu-dua tulisan lainnya metafor-nya sangat tipis. Dan, yang menarik dari tulisannya sehingga enak dan renyah di baca adalah gayanya berkisah.

Karena semua tulisan ini bagus-bagus, maka saya hanya akan sharing dari model penceritaan Julia saja.

Ada tiga tulisan yang mengandung mutual yang intens antara karakternya: Hanya Sekali dan Tak Pernah, Surat Panjang untuk Suami Tercinta, Demi Anak Perempuan Kita, dan Satu Hari Ku Hidup Untukmu. Judul terakhir ini sengaja saya pisahkan, sebab ‘unik’ dan akan saya bahas terakhir.

Di luar kisah berjudul ‘Satu Hari Ku Hidup Untukmu’, saya nyaris subjetif ketika membaca kedua tulisan lainnya. Entah. Barangkali saya terbawa melankoli sehingga nyaris mengubur sisi objektifitas saya. Tetapi…sungguh, kedua penceritaan ini menghanyutkan, renyah, mengalir, tak padat metafor, begitu mudah difahami.

Ada perbedaan ketika kita menceritakan pengalaman pribadi, dan fiksi. Pengalaman empirik seringkali memuluskan sebuah tulisan sehingga alurnya mengalir. Empirisme dalam bentuk tulisan memang membuat kita (pembaca) serasa menjadi bagian dari diri si penulis dalam pembacaan.

Pada dua tulisan ini saya pun menemukan direct core yang unik dan sukar dilakukan pada kebanyakan penulis:

“Suamiku, suatu saat kamu akan berterimakasih aku pernah tempelkan surat ini di kulkas kita (p.s.: ga usah pula kamu tanya kenapa aku nempelnya di kulkas, ya).”

[pembuka pada tulisan Surat Panjang untuk Suami Tercinta, Demi Anak Perempuan Kita]

Atau,

“Katakan…Berapa kali dalam sehari aku melintas di pikiranmu.”

“Hanya sekali…karena sesungguhnya kamu tak pernah keluar lagi…”

[paragraf kedua, Hanya Sekali dan Tak Pernah]

 

Direct core macam ini sebenarnya biasa saja, hanya jarang sekali ada penulis yang bisa meletakkannya begitu saja di permulaan tulisan. Kebanyakan mereka harus mengantarnya dulu, sebelum membuat kalimat macam itu. Tapi Julia lancar sekali melakukannya. Ini bagus dan layak dipertahankan sebagai penciri.

Sebenarnya saya sangat penasaran pada kisah Satu Hari Ku Hidup Untukmu. Pada kisah ini, Julia sedikit unik, dengan menempatkan objek penceritaannya dalam anti-laksem “bolak-balik”, aku bermaksud sebagai dia, dan dia bermaksud sebagai aku. Julia menghindar dari lexical definition.

Penghindaran unik ini biasa disebut deiktik, dan sudah dimulai Julia sejak dari judul kisahnya, Satu Hari Ku Hidup Untukmu. Dalam kisah ini, penulis, menceritakan kesan-kesannya pada sang kekasih yang terkena stroke akut, sehingga melemahkan beberapa fungsi motorik primer tubuhnya. Dan untuk bisa membahagiakan karaktek ‘Aku’ yang diwakili si penulis, karakter ‘Dia’ hendak memenuhi hari “terakhirnya” dengan segala keindahan suasana. Tetapi, dalam pembacaan, kita digiring oleh penulis untuk merasakan itu dari sisi ‘Aku’, dan bukan dari sisi ‘Dia’.

Membaca kisah Julia ini, saya teringat pada Yale Bloomfield, seorang linguistik Amerika. Bloomfield berhasil meneruskan pendapat Sapir yang semula hanya berkutat pada linguis tradisional penduduk Amerika. Metode pemutahiran Bloomfield inilah yang membuat saya teringat ketika membaca cara berkisah Julia.

Entahlah, apakah sebelumnya Julia sudah menyadarinya atau belum, agaknya Julia telah melakukannya. Pada re-struktur karakter yang terantar lewat definisi, ciri pembeda, dan dasar penentuan opisisi fonologi.

Tanpa disengaja (atau memang disengaja), Julia menyentuh antimentalis Bloomfield dalam gaya penceritaannya, sehingga mengantarkan konsepsi komunikasi Julia pada pembacanya sebagai stimulus pencerita yang hendak memunculkan reaksi berbeda pada pembaca.

Pada Bloomfield, yang penting dalam bahasa adalah fungsinya, sebagai penghubung stimulus penutur (atau pencerita) dengan reaksi mitra tutur (atau pembaca). Definisi ‘Aku’ tidak memperturutkan bunyi dan maksud sebagai ‘Aku’ dan demikian pula dengan definisi ‘Dia’. Julia memperlakukan penyebaran definisi dan sifat akustik menjadi sesuatu yang penting.

Mari kembali ke Julia lagi.

Kisah ini sendiri adalah kisah yang terangkat dalam penceritaan dari memori masa lampau penulis. Dalam notes penulis, tertera; bahwa kisah ini dituliskan kembali setelah delapan tahun ‘mengendap’. Artinya, memori yang melekat pada dinding benak penulis, sedemikian kuatnya, sehingga penulis begitu lancar mengkisahkannya kembali.

Maka, simaklah.

 

Satu Hari Ku Hidup Untukmu

Oleh Julia Napitupulu (30 Juni 2010)

 

Setelah 5 hari ‘mati suri’, belum pernah tekadku begitu kuat untuk hidup dengan sikap seolah-olah besok aku mati…jadi, hari ini sangat berharga.

Kupegang lengannya lembut: “Mau makan apa..?”

“Terserah…yang kau suka…” jawabmu termangu.

“Ya jangan dong…kan aku yang mau traktir…pengen apa?” desakku (duh, besok aku tak hidup lagi…katakan, mau makan apa?? Apa pun…aku siap..maksudku, perutku siap, dompet lumayan siap..)

“Yah..ga usah yang mahal-mahal lah, kasian duitmu abis nanti…”

Aduh, aku terharu banget…Rasanya ada magma yang siap meledak dari pusat jantungku. Melebur dengan mata air yang sudah menggantung sejak tadi di pelupuk mataku. Kok masih sempet-sempetnya kau mikirin aku…kan aku udah kerja, udah bisa lah kalau traktir-traktir makan aja.

Sebenarnya acara makan-makan ini juga sesuatu yang ‘ditularkan’ dari mu. Kuingat dirimu dulu…selalu menutup hari yang ‘berat’ dengan makanan terbaik, meski tidak harus dari restoran terbaik. Kau memperlakukan acara makan bersama layaknya seorang Ibu yang menjamu putranya yang kembali dari medan perang. Sehabis berselisih, makan bersama. Kelar kerja bakti seharian, makan bersama. Sehabis bertangis-tangisan, makan bersama. Untuk mu makan bersama, seperti berpelukan di momentum terpenting, di mana setiap orang akan mengenang masing-masing seperti saat mereka sedang berpelukan damai.

“Dulu kan suka gado-gado? Atau gudeg? Inget gudeg yang di Benhil…manis kan? Aku juga ga suka…kalau yang ini kayak yang di pramuka…gurih, asin, selera kita banget deh…” desakku penuh harap, sambil kucari gairah berpelisir makanan itu di matanya.

Tapi entah kapan sudah menguap rupanya excitement itu. Matanya bertemu dengan mataku…mengerti bahwa aku ingin membahagiakannya, seolah-olah besok aku beneran bakal mati. Tuturku dalam hati, ”aku menyesal, saat kau masih doyan banget makan di luar, aku jarang traktir makan…malah suka kelayapan.”

Kau mampu ‘membaca’ tutur hatiku, hanya lewat tatapan sesal mataku. Lalu senyummu hadir, dikembangkan semata-mata untuk membesarkan hatiku…“Saya pengen (pizza) aja…” Tuturmu dengan lafal yang udah agak kacau karena darah keparat itu membuat ‘sumbatan’ kecil lagi untuk yang kesekian kalinya di otakmu.

Aku tak mampu menangkap kata ‘pizza’ yang kau sebutkan, karena pengucapanmu yang sudah tak jelas. Setengah mati aku berpikir keras, agar tak perlu menyinggung harga dirimu. Mataku jelalatan memelototi deretan restoran yang kau maksud. Apa sih katanya…bihaaa??? Bisaa…??

“Ooooo PIZZAAAAA ya…?” kejarku nyaris teriak. Ujung matamu yang turun seperti ujung mataku yang turun mengedip gembira. Kegembiraan yang sedikit direkayasa, yang ku tahu hanya untuk membesarkan hatiku. Tapi aku ga peduli, karena aku sudah ambil sikap seolah-olah ini hari terakhirku. Jangankan Pizza, Menara Pisa sekali pun kalau perlu kuboyong ke hadapanmu sekarang.

Lalu kita menaiki tangga itu, dan betapa bangganya aku…tubuhmu yang memang tak terbilang tinggi namun selalu terasa menjulang itu, sudah agak membungkuk, bahkan kakimu mengkerut. Tapi otot-otot dilenganmu selalu berdenyut gagah. Tanganmu bersih tapi besar jari-jarinya, layaknya tangan lelaki. Selalu membuatku aman.

Interupsi datang dari empat orang pria yang dengan gaya melecehkan seolah-olah aku ini bukan manusia, terang-terangan melirik kakiku yang telanjang penuh gairah. Yang satu wajahnya ganteng banget, satu kayak kurang umur, dua lagi ancur jijay(ihh…masi inget lhoh gw!!☺). Menangkap basah ‘teman sejati’nya dilecehkan, rahangmu yang maskulin langsung mengeras…dan balas menatap mereka dengan garang. “APAA LIAT-LiAT?”

Whuih…power seorang marinir sejati. Sesaat, tiba-tiba dampak stroke-mu seperti tak punya kuasa. Adduhhhhhh, dalam hatiku, sudahlah, mubazir sekali kalau tekanan darahmu sampai bergolak lagi hanya karena empat mahkluk ga penting yang nepsong karena ngeliat betis perempuan. Tapi meskipun peristiwa heorik ini sudah ga ke-itung berkali-kali kualami, mau ga mau dadaku tetap tergetar juga…

Wouwww…moment of truth…I’m saved again by my Hero.

Tiba-tiba…tubuhmu seperti tegak dan menaungi tubuhku yang jauh lebih sehat. Pemuda-pemuda malang itu pun mengkerut, kayak cacing tanah disiram air mendidih. Tadinya aku mau berkata padamu, “sudahlah…ga perlu ribut karena hal-hal sepele…ga worth it”, tapi berhubung besok aku mati, aku memutuskan untuk mengakuimu sebagai pahlawanku, the only one hero.

“Makasi ya…keparat-keparat pengecut itu mengkeret semua cuman karena digituin aja…” Kau cuma menanggapi dengan mengangkat dagumu dengan anggun bak bangsawan…dadaku sesak, dan membatin—aduhh, siapa lagi yang bakal membelaku nanti..??

 

In my childhood, I cant think of any other need as strong as the need for your protection…

 

Lalu kita pun duduk, muka bertemu muka, masing-masing tahu, bukan acara makan bersama ini yang menjadi agenda utama. Aku memberanikan diri mengangkat wajahku dan menatap langsung ke matanya…sedetik, dua detik. Fenomena ‘flashback’ itu terjadi lagi. Kita memang seperti cermin ya…

Semua orang bilang begitu. Masing-masing kita pun meyakini begitu, dari dulu. Bedanya, dulu dua cermin ini kerap saling menyilaukan dan memantulkan sinar mematikan ke sesamanya. Sekarang tidak, kini dua cermin ini bekerja dengan seharusnya. Menjawab sebelum yang satunya bertanya, menangis sebelum yang satunya mengadu. Mengangguk paham sebelum yang satunya berujar.

Gemetar tanganmu mengambil kertas dan pulpen. Keringatmu menetes untuk memerintahkan jemari-jemarimu agar patuh kepada instruksi dari otak. (dasar stroke keparat!!! kalau kamu manusia, sudah habis kau kuinjak-injak!!)

Tulisanmu untukku sungguh-sungguh menjadi pondasi untuk ku melanjutkan perjalanan hidupku selanjutnya…dan entah mengapa, detik itu aku tahu, bahwa secarik kertas itu adalah pemberianmu yang terakhir. Mungkin ini yang namanya bisikan jiwa. “Sayangku…saya tidak tahu apa yang mau kita bicarakan…(isakku dalam hati saat membaca kalimat pertamamu…bahkan kau pun tahu ya, kita ke sini emang bukan mau makan).

Lalu mataku menelusuri tulisan indah yang kentara ditulis oleh tangan yang gemetar. Tangan maskulin tercinta yang sudah ga nyambung antara mata dan tangan, kubaca hampir tanpa bernapas; but I do love you…You sphere the air of our home…like a sun in my heart, shining all the time…be shining wherever U are…i love you so much, my Sunshine…”dan bait-bait berikutnya mengabur karena tetes di pelupukku.

Sempurna…

Bila benar ku mati besok, kematianku akan sempurna. Karena di hari terakhirku, aku mendengar pernyataan yang paling jujur dari jiwa…betapa indah maknaku bagimu.

Jadi aku mataharimu ya? Karena itukah kau betah berjam-jam bicara denganku, meski hari sudah gelap? Karena itukah kau betah berdansa bernyanyi lama-lama denganku, meski pesta sudah lama usai? Karena bersama ‘matahari’, hari selalu saja terasa seperti baru dimulai.

Tak tahan dengan keterharuan yang sangat, setengah melompat aku membenamkan kepalaku di dadamu yang aman, dan merasakan tanganmu membelai rambutku, tapi kali itu bukan Kau Pa, yang bicara seperti biasa. Mungkin bibirmu terlalu letih, aku tersedu meratap…“aku sayang Papa…cinta sekali…sayaaannngggg sekaliii. Trima kasih sudah memaknaiku sebagai Mataharimu. Aku tak kan mati suri lagi…doakan ku untuk menemukan Matahariku…dan juga memanggilnya SunShine ku ya Pa…”

Kurekam semua detil di hari itu, Pa. Setiap tarikan nafas, setiap tatapan mata, setiap sentuhan, setiap kata, yang terucap…dan yang tak sanggup terucap. Kurekam dan kuabadikan di jiwa…seperti Papa mengabadikan aku di jiwa mu…

Satu hari…dimana ku sungguh benar-benar hidup, hanya untukmu…

 

Jakarta, Sabtu, 25 juni 2010, 02.20 wib

Penuh bangga, haru & cinta, mengenang Dia, 8 tahun yang silam..

 

Saran professional yang dapat saya berikan pada penulis adalah; sebaiknya kisah ini diangkat ke bentuk novel romantic-love story, sehingga akan terasa benar gagasan dan ide dasarnya, yang memang kuat itu.

Julia berhasil menciptakan keseluruhan gagasannya dalam lansekap yang terbatas, sehingga memuat kemungkinan kisah bisa dilebarkan dengan menggali lebih dalam memori penulis. ***

 


Enam Cara Saya Membenamkan Diri di Konde Penyair Han

Oleh Syaiful Alim

 

 
Data Objek Telaah:
 
Judul : Konde Penyair Han
Penulis : Hanna Fransisca
Penerbit : KataKita, Depok
Cetakan : 1, April 2010
Tebal : 141 halaman

***

Prolog

Jujur, sebenarnya saya gentar menulis hasil pembacaan saya terhadap buku puisi Konde Penyair Han (KPH) karya Hanna Fransisca ini. Kenapa? Pertama, KPH diberi epilog oleh penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Kedua, KPH masuk dalam 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2010. Ketiga, KPH meraih penghargaan Buku Sastra Terbaik Pilihan TEMPO 2010.

Selain ketiga faktor di atas, kegentaran saya juga dipengaruhi oleh siapa saya sesungguhnya. Saya bukan sarjana sastra, bukan esais sastra, dan bukan penyair. Secara akademik, saya sarjana syariah yang jauh dari pembahasan sastra dan hal ikhwal yang berkaitan dengannnya. Nah, tetapi kenapa saya berani menuliskan ini?

“Saya punya rencana akan menelaah buku puisi Mbak”

Kalimat yang terucap itulah yang menggedor-gedor jantung saya untuk mencari dan mencuri waktu menulis hasil pembacaan KPH dengan segala kekurangan dan ketaksempurnaan. Saya haturkan mohon maaf kepada penyair Hanna Fransisca dan para pembaca.

Cara Kesatu: Ilalang dan Luka Pengarang

Saya katakan, 67 sajak KPH adalah penjabaran dari ungkapan sejarah hidup penyair yang menghabiskan 9 lembar (hal. 11-19) yang berjudul ‘Konde dan Rambut Saya yang Jelita’. Dari situ, kita memperoleh biografi diri penyair, proses kreatif, dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang berjasa dalam penerbitan buku puisinya.

Saya yakin bahwa yang ditulis penyair pada halaman-halaman awal buku puisi ini adalah semacam pintu atau bahkan keutuhan ‘rumah’ sajak-sajak dalam KPH ini. Untuk itu, saya akan menyingkap sajak-sajak melalui lorong yang ditunjukkan oleh penyairnya sendiri.

Menurut Aminuddin (2010), bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara kehidupan seorang penyair dengan gagasan yang dituangkan dalam puisi yang diciptakannya. Dia melanjutkan, dengan demikian, dapat juga disimpulkan bahwa manfaat mempelajari biografi pengarang adalah untuk mengembangkan kemampuan apresiasi, dan bukan untuk menghafalkan angka dan tahun.

Sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui. Pertama, kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melalui referensi kualitas latar, kehidupan, dan lingkungan pengarang. Kedua, kita perlu memahami si pengarang terlepas dari karyanya; caranya, kita amati biografi pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupannya dang menggunakan karyanya sebagai rekaman kehidupan dan perwatakan. Ketiga, kita perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang dalam karya tersebut (Abrams, 1997).

Berpijak dari dua pandapat ilmuwan sastra di atas, saya mendapati dua kata kunci untuk menguak sosok penyair dan karyanya, yaitu ilalang dan luka (pengarang). Sebelum diteruskan, ada pertanyaan yang urgen: kenapa Hanna Fransisca memilih ‘sajak/puisi’ sebagai media ungkap kehidupan pribadinya yang sangat personal? Kenapa bukan prosa seperti Anne Frank yang menuangkan kegetiran hidup pada masa rezim Hitler dalam The Diary of Young Girl? Kita tahu, selain itu adalah pilihan Hanna Fransisca, bahwa sajak atau puisi dibentuk oleh beberapa unsur, misalnya unsur diksi, citraan, kiasan, simbol, dan metafora. Nah, unsur-unsur yang saya sebutkan itulah yang menyembunyikan makna atau hakikat yang lain dari sajak. Di satu sisi, penyair Hanna Fransisca ingin berbagi kisah hidup, tetapi di sisi lain, sang penyair mencoba ‘menutupi’ rahasia atau misteri dengan memanfaatkan unsur-unsur puisi yang telah saya sebutkan. Apa yang terjadi? ‘Yang personal’ masih berstatus ‘Yang Sakral’. Mari, kita telusur.

“Sejak kecil saya menyukai kesendirian: memandang rumputan, memperhatikan capung meluruskan sayap seperti pesawat kecil yang meluncur ke angkasa, juga belalang-belalang yang memiliki kaki panjang untuk melompat. Saya juga menyukai warna kupu-kupu, dan sering kali membayangkan bisa terbang dengan sayap warna-warni.

Di belakang rumah saya ada hamparan semak, di depan rumah tak ada bunga-bunga yang bisa ditanam (halaman rumah yang bisa ditanami adalah kemewahan yang tak dimiliki keluarga kami), maka puluhan bunga-bunga liar, serta warna-warna ilalang (yang sering kali berubah setiap musim berganti), menjadi surga bagi kesendirian. Saya sering kali terpesona dengan kerisik angin yang memompa ratusan ilalang, bunyi unggas milik tetangga, burung-burung kecil yang liar, serta binatang-binatang halus yang senantiasa beterbangan ketika malam tiba. Saya selalu membayangkan mereka cukup berbahagia.”

(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 11-12 garis miring dari saya)

Sungguh pengantar yang menggetarkan! Bayangkan, penyair Hanna Fransisca langsung menumbuk jantung pembacanya dengan memaparkan kesendirian masa kecil dan menyebut ilalang sebagai surga bagi kesendiriannya. Bagi saya, inilah awal luka pengarang dan ilalang hanyalah sebagai teknik pengalihan lukanya itu. Ilalang di sini bisa menjadi ‘metafora’ dan bisa berdiri sendiri yang merupa dunia tumbuhan. Mungkin sang penyair ingin mengatakan bahwa hidup adalah setajam ilalang, tetapi memendam pesona.

Pada pengakuan berikutnya, sang penyair makin jatuh cinta pada ‘ilalang’ dan sebenarnya apa yang dimaksud ‘luka’ itu:

“Setiap pagi saya berangkat ke sekolah dengan sepasang sepatu paling buruk. Sungai dan gemericik air yang selalu saya lewati ketika pergi dan pulang adalah keajaiban lain yang tertinggal menjadi ingatan. Gema para perempuan yang mencuci pakaian, suara kain basah yang dibanting di atas papan, serta mulut anak-anak yang berteriak memanggil ibunya. Saya melihat para perempuan, anak-anak, dan sungai jernih yang mengalirkan kehidupan panjang sebagai sesuatu yang mengandung bahagia.

Ketika di rumah, saya selalu dihadapkan terlibat memikirkan persoalan hidup sehari-hari—yang semestinya adalah bagian dari persoalan orang-orang dewasa. Sering kali ketika menghadapi ancaman tidak bisa mengikuti ujian, dan mendengar bagaimana Ibu mengatakan, “Tidak ada perlunya membayar uang sekolah, uang sedikit lebih baik digunakan untuk membeli beras!”, maka saya berdiri sejenak di belakang rumah melihat bagaimana angin begitu kerasnya menghempaskan batang-batang ilalang. Ilalang-ilalang yang kuat, ilalang-ilalang yang selalu kembali tegak berdiri setelah dihempas ke kanan dan ke kiri. Saya akhirnya jatuh cinta pada ilalang. Hingga larut malam saya membantu Ibu mencuci pakaian-pakaian para langganan (Ibu adalah pahlawan sebenarnya, yang mencari pekerjaan tambahan dari upah buruh mencuci), saya selalu tetap kuat berdiri. Saya harus tetap kuat, meskipun saya selalu ingin menangis ketika mendengar derit pintu, dan Ayah pulang pada puncak malam yang lelah dengan suara batuknya yang bergema panjang hingga pagi hari. Saya selalu bermimpi menjadi ilalang.”

(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 12-13 garis miring dari saya)

Ternyata luka itu bermula dari getir takdir atau nasib yang salib. Dan yang mengejutkan adalah ilalang kini seolah hidup; ilalang telah jadi pembasuh luka pengarang. Inilah keistimewaan sajak-sajak Hanna Fransisca dalam KPH ini selain ia pandai memanfaatkan dunia kuliner untuk menghidangkan ‘bebek peking’ kalau meminjam bahasa Sapardi Djoko Damono. Benda-benda mati atau hidup diusung ke dalam sajak-sajaknya tanpa tergelincir pada kerumitan berbahasa. Coba kita tengok bait-bait sajak yang diniatkan sebagai ode kepada sang Ibu Chang Po Cin dan sang Ayah Cu Kim Chan.

Adik, sebutir nasi

yang menyelinap di lambungmu,

adalah bulir-bulir lepuh tangan ibu.

           (sebait sajak ‘Layang-layang’ hal. 38)

Ini kacang hijau

atau hatimukah,

yang kami makan hari ini,

bersama Tuhan yang selalu

kuajak

bicara.

           (sebait sajak ‘Puisi Kacang Hijau’ hal. 90)

Ayah yang lelah, membisikkan kata sayang begitu pasrah,

lalu menggiringnya pergi

menjadi tiada.

           (bait terakhir sajak ‘Kepada Kerbau’ hal. 60)

Sengaja bait-bait di atas saya biarkan begitu saja, saya telaah di waktu dan tempat pembahasan yang tepat. Nah, untuk mengakhiri tulisan bagian pertama ini, sila dinikmati kelanjutan pengantar buku puisi KPH.

“Saya kira pada waktu-waktu yang paling buruk itulah saya menulis puisi. Saya kira bukan puisi, tapi hanya semacam puisi. Saya menulis catatan keluh-kesah dengan diam-diam, menyembunyikannya dengan diam-diam dalam buku tulis, dan tak seorangpun boleh tahu. Saya adalah anak perempuan pemalu yang tak pernah memiliki keberanian untuk berbicara, tak pernah memiliki keberanian untuk memulai berteman, atau untuk bertanya soal apa saja kepada siapa saja. Maka saat menulis saya memiliki tempat paling nyaman untuk berbicara. Pada zaman buruk itu pula, saya kira, awal perkenalan saya dengan membaca. Saya menyukai buku cerita yang awalnya diperkenalkan ibu guru di perpustakaan sekolah. Saya suka membaca cerita, karena di dalamnya saya bisa mendengar sekaligus berbicara. Saya menyukai cerita, karena di sanalah saya bisa mengunjungi tempat-tempat bahagia. Saya bisa berteman dengan tokoh-tokoh di dalamnya, mengajak mereka berbuat apa saja di luar buku—di dalam imajinasi saya. Itulah saat-saat paling indah, di samping keindahan berteman dengan ilalang dan bunga-bunga liar, sungai dan burung-burung, juga kupu-kupu dan ratusan serangga yang senantiasa berlesatan memburu cahaya di malam hari.

Lalu datanglah saat paling memalukan dalam hidup saya, yakni ketika ibu guru yang mengetahui saya menyukai buku cerita. Beliau menyuruh saya membaca puisi di depan kelas. Demi Tuhan saya membenci hari itu. Seumur hidup saya tak pernah membayangkan harus berdiri di depan kelas dan berbicara. Saya lalu berdiri di depan kelas dengan gagap dan nyaris pingsan (disoraki teman-teman). Saya berdiri terpaku, gemetar, tak bisa berkata apa pun, dan kemudian menangis.

Saya terus menulis yang bukan puisi, di dalam buku yang selalu diam tapi sesungguhnya mengajak saya bicara. Saya selalu katakan bukan puisi, karena sejak hari memalukan itu, saya membenci puisi. Tentu saya tetap suka membaca cerita, karena buku-buku cerita sudah jelas bukan puisi. Hingga kemudian saya berhenti sekolah (saya hanya lulus sekolah formal setingkat SMP), dan kemudian menjadi pelayan toko.

Demikianlah hidup semakin rumit, karena saya sadar bahwa perjuangan hidup ternyata bukan cerita. Dengan melewati sejarah kejam bertubi-tubi, memintas usia remaja di lorong-lorong ruko, saya jadikan seluruh umur dan keremajaan saya adalah kerja. Barangkali karena takdir saya sebagai perempuan pemalu yang tak pernah jatuh cinta pada usia remaja (yang selalu berbicara pada saat-saat sendiri), maka di sela-sela tumpahan waktu untuk kerja, saya selalu membutuhkan buku-buku. Buku-buku itulah, yang kelak secara ajaib telah membuka kotak pandora tentang “kesadaran minoritas” dan rasa “ketidakberdayaan pada nasib”, yang membuat saya semakin serius dalam mempelajari hal-hal baru. Menjelang dewasa adalah usia yang belum cukup matang untuk pergi merantau ke Jakarta.Tapi saya memutuskan pergi ke Jakarta.

Maka sejarah kembali berulang dengan kegetiran yang berbeda. Dalam peradaban yang sama sekali berbeda, aroma kota yang kejam, persaingan yang memerlukan kecerdasan; daya tahan dan kekuatan diri diuji sehabis-habisnya. Sering kali malam-malam saat hening saya memandang langit di kejauhan: membayangkan kampung kelahiran yang bernama Singkawang. Pada zaman ketika nasib mulai membaik di tempat saya memandang kali ini, saya menitikkan air mata. Saya teringat ilalang-ilalang yang menyemak di belakang rumah, burung-burung liar, sungai-sungai yang mengalir, bukit-bukit, hamparan kuil-kuil dan aroma gaharu. Semua tempat, semua tokoh, dan seluruh peristiwa yang berjasa membuat saya kini dapat berdiri dengan tegar, tiba-tiba menjelma menjadi cerita yang penuh cinta. Hingga peristiwa Mei 1998 membakar Jakarta, meluluhlantakkan seluruh harapan, dan membalik sejarah kembali pada titik nol.

Kecemasan, perburuan, pembakaran, pemerkosaan. Saya melihat gelombang ribuan orang memadati bandara untuk menyelamatkan diri: menuju negeri-negeri yang jauh. Saya menjerit lantaran kecintaan pada negeri telah mulai tumbuh semenjak menyadari bahwa saya berbeda. Politik yang membuat saya berbeda, tapi bukankah politik bisa berubah? Buku-buku, sekali lagi telah membuka kotak pandora tentang pemahaman saya terhadap negara, terhadap tanah air, terhadap Singkawang, dan ibu kota tanah air saya, Jakarta. Maka keberanian untuk mati di tempat saya membangun takdir, sepenuh-penuhnya saya sadari. Saya memutuskan untuk tidak pergi mengungsi ke negeri-negeri yang jauh—negeri yang bukan tanah air saya.

Setelah badai politik mereda, saya semakin mencintai puisi. Entah kenapa rasa malu pada ibu guru yang telah membuat saya membenci puisi di bangku SMP, telah membalik kesadaran saya di kemudian hari untuk mencintai puisi. Secara pelan tapi pasti, catatan-catatan kecil saya yang merupakan catatan harian tempat saya menemukan teman bicara, telah berubah menjadi baris-baris puisi.”

 

Cara Kedua: Kredo Konde

Pada tahun 1970-an, dunia persajakan Indonesia digemparkan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri yang memproklamirkan ‘kredo puisi’. Kredo tersebut bisa dilacak di buku sajak O Amuk Kapak dan buku esai Isyarat.

Kredo, menurut saya, semacam kitab suci penyair. Layaknya sebuah kitab suci, kredo dijadikan anutan, acuan, pedoman, atau tuntunan dalam gerak mencipta sajak. Sajak-sajak yang hendak dilahirkan harus sesuai dengan kredo  yang telah diprokamirkan. Kredo inilah yang menimbulkan kontrovesi dari khalayak sastra Indonesia. Sutardji banyak melanggar kode etik bersajak atau bisa dikatakan telah melakukan banyak penyimpangan dalam sajak-sajaknya; penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, dan bahkan menabrak rambu-rambu sintaksis dan semantik.

Saya tidak menyebut Sutardji berlindung di bawah naungan ‘licentia poetica’. Tapi Beliau sungguh telah istiqomah dengan jalan yang dipilihnya. Nah, yang perlu disayangkan adalah generasi penyair masa kini; cuma mengekor Sutardji tanpa punya pijakan sendiri yang kukuh dan sekadar menulis sajak yang aneh atau berakrobat kata.

Jika kita cermati sajak-sajak Sutardji, memang Beliau patuh benar dengan kredonya, tapi saya mencium aroma pengkhianatan pada sajak dengan titi mangsa tahun 90-an. Apakah Sutarji sudah tidak percaya dengan kredo kepenyairannya? Apakah Sutardji sudah punya kredo baru yang justru mementahkan sajak-sajak awalnya?

Saya belum mendapatkan jawaban dari dua pertanyaan yang saya ajukan, namun menurut saya, penyair boleh saja mengkhianati kredo yang sudah dilahirkannya selama sang penyair terus berproses menuju kebaruan berbahasa.

Kita kembali ke penyair Hanna Fransisca. Penyair Hanna Fransisca memang tidak secara terang seperti Sutardji dalam memprokalimirkan sebuah kredo bersajak. Tetapi saya menduga bahwa penyair perempuan ini sedang menggelar kredonya. Dugaan saya ini atas dasar:

Pertama: judul buku puisi penyair Hanna Fransisca adalah Konde Penyair Han

Kedua: Hanna Fransisca menulis dalam kata pengantar yang berjudul Konde dan Rambut Saya yang Jelita, “Inilah Konde: metafora tentang benda sederhana yang selama ini mampu membuat rambut keindonesiaan kita yang indah permai ini tidak lepas tergerai dan tercerai-berai. Inilah bunga padma, bunga suci yang tetap indah meski tumbuh di rawa-rawa. Inilah Konde Penyair Han, yang menyanggul sajak dengan bunga padma seperti menyanggul rambut tanah air yang permai.”

Ketiga: Penyair Hanna Fransisca menulis sajak bertajuk ‘Konde’ pada halaman 21.

Saya menyebutnya sebagai ‘Kredo Konde’. Konde? Iya sebuah benda yang biasanya digunakan untuk menyanggul rambut perempuan. Coba kita baca sajak utuh ‘Konde’ dan penggalan sajak ‘Arisan’ di bawah ini:

a. Penyair Han

menyanggul sajak

dengan bunga Padma:

“Tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu,

menggunting urat hasrat dari nafasmu,

dan Tuhanku mengajari menyimak,

mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu.”

Amin.

           (Sajak ‘Konde’ hal. 21)

b. Rambutmu digelung, dengan konde merah

serupa kertas angpao bertuliskan mantra.

           (sepenggal sajak ‘Arisan’ hal. 51 tanda miring dari saya)

Ada dua keanehan (dibaca: keunikan atau keistimewaan) dari kedua sajak di atas jika dikaitkan dengan kredo KPH:

  1. Sajak a tidak memuat kata ‘konde’ padahal jelas berjudul ‘konde’. Justru sebaliknya dengan sajak b; tidak berjudul ‘konde’ tetapi memuat kata ‘konde’
  2. Sajak a bernada doa yang ditandai kata ‘amin’ sedangkan sajak-sajak yang berjudul doa tidak mengusung kata ‘amin’. Bisa ditemui di sajak ‘Doa Sajak Vihara’ hal. 121, sajak ‘Doa Sebelum Terbit Matahari’ hal. 122, sajak ‘Doa Sebelum Malam’ hal. 123, dan sajak ‘Doa Pagi Tepian Lubuk’ hal. 124.

Dua keanehan di atas tidak mempengaruhi bangunan sajak secara keseluruhan. Secara teks, memang bertolak belakang, tetapi secara kontekstual atau ruh justru mendarahdagingkan.

Penyair Hanna Fransisca menyatakan bahwa konde adalah sebuah metafora. Lalu apa sebenarnya metafora itu? Albertine Minderop mengutip pendapat Reaske (2010):

Metaphor: the figure of speech which compares one thing to another directly. Usually a metaphor is created through the use of some from of the verb “to be” For instance, if we say, “life is hungry animal,” hungry animal has become a metaphor for a life. If a poet writes, “my love is a bird, flying in all directions,” the bird has become a metaphor of the poet’s love (Reaske, 1966:37).

Teks inggris di atas sudah jelas meski tidak diterjemahkan. Reaske mendefinisikan metafora sebagai gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung yang dalam bahasa Inggris menggunakan to be. Misalnya kita mengatakan, “kehidupan ini binatang lapar” binatang lapar merupakan metafora kehidupan, yakni kehidupan yang serakah dan ganas. Atau seorang penyair yang berujar, “Cintaku burung terbang yang mengembara ke segala arah” burung terbang merupakan metafora dari cinta sang penyair yang bebas ke mana/siapa saja.

Metafora, kata Monroe, adalah “puisi dalam miniatur”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Dalam tradisi positivisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan implisit diperlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik.

Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi. Aristoteles, dalam Poetic’s-nya, menjelaskan bahwa metafora adalah “penerapan kepada suatu benda atau nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke jenis spesies, dari spesies ke jenis, dari spesies ke spesies, atau secara proporsional”. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kaya itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur, 1976: 45).

Supaya lebih jelas, kita nikmati sajak Charil Anwar berikut ini:

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

           (Sajak “Aku”, Chairil Anwar, “Aku Ini Binatang Jalang”, Gramedia Pustaka Utama:         

           Jakarta, cetakan kedua puluh satu, juli 2009 garis miring dari saya)

Aku ini binatang jalang, ujar Chairil Anwar. Binatang jalang adalah metafora dari kehidupan si aku lirik yang bebas dan ingin merdeka dari segalanya. Metafora binatang jalang dimanfaatkan penyair untuk menguatkan atau mempertegas tekad atau kehendak yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Lalu apa metafora dari konde dalam sajak penyair Hanna Fransisca? Kita tak perlu pusing, karena sang penyair menyatakan sendiri dalam Konde dan Rambut Saya yang Jelita, “Inilah Konde: metafora tentang benda sederhana yang selama ini mampu membuat rambut keindonesiaan kita yang indah permai ini tidak lepas tergerai dan tercerai-berai. Inilah bunga padma, bunga suci yang tetap indah meski tumbuh di rawa-rawa. Inilah Konde Penyair Han, yang menyanggul sajak dengan bunga padma seperti menyanggul rambut tanah air yang permai.”

Cara Ketiga: Menerawang Singkawang

Penyair Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Saya belum tahu banyak tentang biografi penyair kita ini selain informasi dari buku puisi KPH. Di situ, penyair tidak begitu jelas melakukan periodeisasi hidupnya, bisa dimaklumi karena ini bukan buku biografi.

Penyair kita ini menjalani masa kanak dan remaja di tempat kelahirannya, Singkawang. Dan menjelang dewasa, sang penyair merantau ke Jakarta. Di perantaun inilah sang penyair menuliskan sajak-sajak yang kemudian diterbitkan KataKita, Depok.

“…Hingga kemudian saya berhenti sekolah (saya hanya lulus sekolah formal setingkat SMP), dan kemudian menjadi pelayan toko.

           (Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 14)

“….Menjelang dewasa adalah usia yang belum cukup matang untuk pergi merantau ke Jakarta.Tapi saya memutuskan pergi ke Jakarta.”

(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 15)

Dari 67 sajak dalam KPH, hampir 99 % ditulis di Jakarta. Yang menarik adalah sang penyair juga menulis beberapa sajak yang beraroma kota kelahirannya, Singkawang. Memang, jurus seperti ini sudah biasa dilakukan banyak penyair. Tapi yang istimewa dari Hanna Fransisca adalah dia bisa mengambil jarak dengan objek sajak. Berbeda dengan penyair D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi W.M, misalnya.

Kita tahu, D. Zawawi Imron terkenal sebagai duta sajak Madura yang dijuluki ‘celurit emas’. Sepuluh (?) buku puisi tunggal  D. Zawawi Imron selalu basah dengan desah Madura. Dari sepuluh (?) itu, yang paling kental Madura-nya adalah Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), dan Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996).

Kita kembali ke penyair Hanna Fransisca. Saya mendapatkan 6 sajak yang secara tersurat maupun tersirat berbicara tentang Singkawang, yaitu:

1. Sajak ‘Amoi’ hal. 26

2. Sajak ‘Taiwan di Kolam Mataku’ hal. 35

3. Sajak ‘Kepada Adik’ hal. 40

4. Sajak ‘Singkawang, 1’ hal. 68

5. Sajak ‘Singkawang, 2’ hal. 69

6. Sajak ‘Kapuas’ hal. 79

Saya tampilkan sajak utuh ‘Singkawang, 2’ dan sajak ‘Madura, Akulah Darahmu’ karya D. Zawawi Imron sebagai pembanding:

a. Gemericik sungai, lumut menjulur, ikan-ikan yang subur!

Tepi kolam menepi, bebiji sawi mengalir mimpi.

Kau jala pesona, hijau memanjang,

memadat dalam ranum pepaya.

Harum keringat, sunyi matahari, hijau dingin.

Seekor sriti hinggap di tepi langit.

Rindu tanah, rindu air, rindu kesuburan.

           (Sajak ”Singkawang, 2′, Hanna Fransisca, hal. 69, ditulis di Jakarta, September

           2009)

b. Di atasmu, bongkahan batu yang bisu

Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa

Biar berguling di atas duri hati tak kan luka

Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu

Dan aku

Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu

Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah

Bahwa aku sapi kerapan

Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,

Sebasah madu hinggaplah

Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat

Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini

Perkenankan aku berseru:

– madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun

kubasuhi kau dengan denyutku

bila dadamu kerontang

kubajak kau dengan tanduk logamku

di atas bukit garam

kunyalakan otakku

lantaran aku adalah sapi kerapan

yang menetas dari senyum dan airmatamu

aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan

dan memetik bintang-gemintang

di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:

– madura, akulah darahmu.

           (Sajak “Madura, Akulah Darahmu” dalam ‘Madura, Akulah Lautmu’, D. Zawawi

           Imron, 1996: 98-99)

Dari kedua sajak penyair yang berbeda di atas, saya menghasilkan beberapa kesimpulan:

  1. Sajak ‘Singkawang, 2’ karya Hanna Fransisca lahir dari rindu dan kenangan. Sedangkan sajak ‘Madura, Akulah Darahmu’ karya D. Zawawi Imron lahir dari sebuah pengakuan dan kesaksian yang dalam bahasa agama (Islam) disebut sebagai ‘syahadat’.
  2. Sajak ‘Singkawang, 2’ karya Hanna Fransisca lebih dekat dengan puisi lama semacam pantun. Sedangkan sajak ‘Madura, Akulah Darahmu’ karya D. Zawawi Imron lebih akrab dengan puisi modern yang memberikan keluasan berekspresi.
  3. Sajak ‘Singkawang, 2’ karya Hanna Fransisca sederhana dalam pengungkapan dan tidak terlalu hiperbolis dalam memuja sesuatu. Sedangkan sajak ‘Madura, Akulah Darahmu’ karya D. Zawawi Imron terlalu hiperbolis – jika tidak boleh menggangap berlebihan- yang menyebabkan sajak tergelincir pada pengkultusan sesuatu.

Mari kita telaah lebih lanjut dengan konsentrasi nomor 3:

1. a. Gemericik sungai, lumut menjulur, ikan-ikan yang subur!

Tepi kolam menepi, bebiji sawi mengalir mimpi.

2. a. Dan aku

Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu

Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah

Bahwa aku sapi kerapan

Yang lahir dari senyum dan airmatamu

1. b. Kau jala pesona, hijau memanjang,

memadat dalam ranum pepaya.

Harum keringat, sunyi matahari, hijau dingin.

2. b. Di sini

Perkenankan aku berseru:

– madura, engkaulah tangisku

3. a. Seekor sriti hinggap di tepi langit.

Rindu tanah, rindu air, rindu kesuburan.

3. b. bila musim labuh hujan tak turun

kubasuhi kau dengan denyutku

bila dadamu kerontang

kubajak kau dengan tanduk logamku

di atas bukit garam

kunyalakan otakku

lantaran aku adalah sapi kerapan

yang menetas dari senyum dan airmatamu

Keterangan: 1, 2, 3 a adalah bait-bait milik sajak Hanna Fransisca dan 1, 2,3 b milik sajak D. Zawawi Imron

Kelebihan penyair D. Zawawi Imron dalam sajak ‘Madura, Akulah Darahmu’ adalah kepiawaiannya menyelundupkan ‘benda-benda’ yang kemudian dipekerjakan sebagai personifikasi dan dihiperbolakan. Teknik ini memang menarik, tetapi jika berlebihan, justru akan mengurangi nilai atau keagungan yang diapresiasi. Nah, inilah yang hendak dihindari oleh penyair Hanna Fransisca. Dia menyajakkan Singkawang tanpa pemujaan yang berlebihan, misalnya dia cuma menulis, “Kau jala pesona, hijau memanjang/ memadat dalam ranum papaya/ Harum keringat, sunyi matahari, hijau dingin.// dan dia bisa mengambil jarak dengan objek sajak; seolah-seolah Hanna Fransisca adalah orang ‘di luar’ Singkawang yang mengagumi Singkawang, sehingga apa adanya dalam memberi penilaian. Barangkali pengakuan Hanna Fransisisca ini yang menyebabkannya bisa mengambil jarak dengan objek sajak:

“Maka sejarah kembali berulang dengan kegetiran yang berbeda. Dalam peradaban yang sama sekali berbeda, aroma kota yang kejam, persaingan yang memerlukan kecerdasan; daya tahan dan kekuatan diri diuji sehabis-habisnya. Sering kali malam-malam saat hening saya memandang langit di kejauhan: membayangkan kampung kelahiran yang bernama Singkawang. Pada zaman ketika nasib mulai membaik di tempat saya memandang kali ini, saya menitikkan air mata. Saya teringat ilalang-ilalang yang menyemak di belakang rumah, burung-burung liar, sungai-sungai yang mengalir, bukit-bukit, hamparan kuil-kuil dan aroma gaharu. Semua tempat, semua tokoh, dan seluruh peristiwa yang berjasa membuat saya kini dapat berdiri dengan tegar, tiba-tiba menjelma menjadi cerita yang penuh cinta.”

(Konde dan Rambut Saya yang Jelita, hal. 15-16 garis miring dari saya)

Menurut pengakuan Hanna Fransisca, sajak ‘Singkawang, 2’ ditulis di Jakarta, September 2009, ini berarti Hanna sedang menghadirkan Singkawang ke dalam sajaknya dan bukan sajak yang menghadiri Singkawang. Gerak ‘menghadirkan’ dan gerak ‘menghadiri’ jelas menghasilkan sajak yang berbeda. Dalam gerak ‘menghadirkan’, imaji lebih bermain ketimbang menimbang-nimbang objek pada gerak ‘menghadiri’, misalnya pada sajak-sajak D. Zawawi Imron.

Sebenarnya ada yang lebih membuat saya tertarik dari sajak ‘Singkawang, 2’ adalah sebagai berikut:

  1. ikan-ikan yang subur!
  2. memadat dalam ranum pepaya.
  3. hijau dingin

Aduhai, alangkah rekah kata-kata itu! dari sisi sintaksis dan semantik, bait-bait di atas bisa dipertanggungjawabkan.

Cara Keempat: Negeri yang Ngeri

(1) Hingga peristiwa Mei 1998 membakar Jakarta, meluluhlantakkan seluruh harapan, dan membalik sejarah kembali pada titik nol.

(2) Kecemasan, perburuan, pembakaran, pemerkosaan. Saya melihat gelombang ribuan orang memadati bandara untuk menyelamatkan diri: menuju negeri-negeri yang jauh. Saya menjerit lantaran kecintaan pada negeri telah mulai tumbuh semenjak menyadari bahwa saya berbeda. Politik yang membuat saya berbeda, tapi bukankah politik bisa berubah? Buku-buku, sekali lagi telah membuka kotak pandora tentang pemahaman saya terhadap negara, terhadap tanah air, terhadap Singkawang, dan ibu kota tanah air saya, Jakarta. Maka keberanian untuk mati di tempat saya membangun takdir, sepenuh-penuhnya saya sadari. Saya memutuskan untuk tidak pergi mengungsi ke negeri-negeri yang jauh—negeri yang bukan tanah air saya.

Dua petikan di atas sengaja saya dahulukan. Betapa kondisi dan situasi yang melingkupi Hanna amat miris dan mengiris. Itulah sebab yang melahirkan sajak-sajak berikut ini:

  1. Sajak ‘Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi’ hal. 22
  2. Sajak ‘Air Mata Tanah Air’ hal. 27
  3. Sajak ‘Lilin Negeri, 1’ hal. 32
  4. Sajak ‘Lilin Negeri, 2’ hal. 33
  5. Sajak ‘Sang Naga’ hal. 34
  6. Sajak ‘Puisi Mei’ hal. 42
  7. Sajak ‘Nyanyi Tanah Negeri’ hal. 43
  8. Sajak ‘Rapat’ hal. 49
  9. Sajak ‘Kerbau’ hal. 57

Saya akan mengutip beberapa bait dari sajak ‘Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi’ dan sajak ‘Puisi Mei’:

Setelah tak lulus SMP Negeri, setelah guru

tulen pribumi dengan pasti mengatainya:

“Di sudut bibirmu ada sebutir nasi.

Bukan tempatmu di sini.”

……………………….

“Engkau hanyalah tamu

tanah dan air, menunggu di beranda

sampai mati.”

………………………..

“Kelahiranmu di bumi pertiwi,

membikin wajah negeri cantik sekali.”

………………………..

Di mulut ibu guru yang menyebut namamu noni,

di kepala anak-anak yang mengaku diri pribumi,

di benak mereka yang selalu menunggu waktu

untuk membakar bulu kemaluanmu.

           (Cuplikan-cuplikan dari sajak ‘Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi’ hal. 22-25)

Pernahkah kau saksikan tarian jujur

yang memaku matamu hingga ke ujung kubur?

Kulit mayat daging bebas kau lumat

Puing-puing tegak, di bawah tiang bendera Negara,

membawa kau, yang kini kusebut kalian,

pada gairah syahwat.

Debu gemuruh

nafsu gemuruh:

kausebut aku dungu

Inilah Negeri Mei, Amoi!

tarian naga meliuk merah sepanjang kota

Kau kibarkan tanda kutang tepat di bawah warna

bendera,

merah dan putih.

Seperti darah. Seperti kulit.

“Mari membakar sate, dari pekik anak dara yang

Belum lulus esde.”

Lalu kalian menyambutnya dengan sederhana,

dengan menjarah lorong-lorong kota

sambil menyanyikan bersama: Padamu Negeri.

           (Sajak utuh ‘Puisi Mei’ hal. 42)

Tanpa tafsir yang rumit, sebenarnya kedua sajak di atas sudah berbicara sendiri tentang apa yang hendak diketengahkan sang penyair. Dari kedua sajak di atas, saya peroleh beberapa ironi dan tragedi:

Pertama: kebencian pribumi terhadap etnis Tionghoa atau China

Kedua: tumbuh subur rasisme

Ketiga: pelecehan fisik maupun psikis yang lebih dikenal dengan ‘Tragedi Mei’ (13-14 Mei 1998)

Keempat: kegagalan pemerintah melindungi rakyat

Saya sendiri anti pengkotakan-pengkotakan dalam bentuk apapun, misalnya penyebutan ‘pribumi’ dan ‘peranakan atau keturunan’. Dan yang aneh dan ajaib, ternyata pemerintah adalah biang kerok terhadap kejadian-kejadian mengerikan itu. Pemerintah pada masa Soeharto (orde baru/orba) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) dan Intruksin Presiden (Inpres) yang isinya antara lain berupa pelarangan sekolah dan penerbitan buku, Koran, ataupun majalah berbahasa China:

  1. Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/krp/12/1968 mengenai penggantian nama,
  2. Inpres No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan China,
  3. Keppres No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok menyangkut WNI keturunan asing dan
  4. Inpres Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah China.

Sungguh saya meneteskan air mata ketika penyair Hanna Fransisca membisiki telinga saya, “Di sudut bibirmu ada sebutir nasi/ Bukan tempatmu di sini.// dan Engkau hanyalah tamu/ tanah dan air/ menunggu di beranda/ sampai mati.// sungguh bagaimana perasaan saya jika berada di posisi penyair Hanna Fransisca? Seorang anak yang tidak diakui ibu pertiwi. Seorang anak manusia yang hanya dianggap sebagai ‘tamu’ yang kemudian diusir ‘tuan rumah’ dan entah mengembara ke mana. Ah, cukup, saya tidak mau membahas lagi tentang kepedihan ini!

Seorang Hero atau Pahlawan akan hadir dalam masa vacum of power. Di mana sang Maha yang disimbolikkan dengan Dewa atau Tuhan tidak hadir di air mata yang mengalir. Ketika malapeteka menimpa, dirundung mendung ketakberdayaan, dikepung ombak badai dari segala arah penjuru, manusia membutuhkan sesuatu atau seseorang yang meneduhkan dan membawanya ke jalan penyelamatan. Dan sang Hero adalah juru selamat bukan juri pertandingan. Dia adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pada tanggal 18 Januari 2000, Presiden KH. DR. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2000 yang isinya mencabut Inpres No. 14/1967. Kebijakan Gusdur itu melahirkan kebebasan etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual keagamaan, adat istiadat, serta memperbolehkan pengekspresian terhadap kebudayaannya di Indonesia. Presiden Abdurrahman Wahid telah mengambil keputusan bersejarah dan monumental. Maka tak heran bila Gus Dur dianugerahi gelar Bapak Tionghoa.

Penyair Hanna Fransisca sebagai anak sah ibu pertiwi yang baik menciptakan tiga sajak yang khusus diberikan kepada Abdurrahman Wahid sebagai tanda jasa atau ungkapan rasa terima kasih, yaitu:

  1. Sajak ‘Air Mata Tanah Air’ hal. 27
  2. Sajak ‘Lilin Negeri, 2’ hal. 33
  3. Sajak ‘Sang Naga’ hal. 34

Saya petik bait terakhir sajak ‘Sang Naga’ pada halaman 34. Penyair Hanna amat cermat memanfaatkan tokoh ‘naga’ sebagai simbol dari si aku lirik.

“Engkau.

Engkau adalah putriku,

naga yang ditolak separuh badan,

untuk dimakan separuh yang lain.

tapi kini datanglah! Kau aman

di pelukan hatiku.”

Cara Kelima: Marginalisasi Perempuan dan Pemberontakan dalam Puisi

Entah sejak kapan sejarah marginalisasi perempuan bermula. Ada yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang merestui ini yang berpijak pada kitab suci. Akhirnya ramai-ramai para ahli agama mendekontruksi dan merekontruksi tafsir keagaaman. Misalnya penelusuran kembali siapa yang bersalah atas ditendangnya Adam dan Hawa ke alam dunia. Yang kemudian dikenal sebagai ‘dosa asal’.

Terlepas dari polemik dosa asal di atas, saya bisa mengerucutkan sebab marginalisasi perempuan:

Pertama: Budaya patriaki, di mana laki-lakilah yang paling hero dari perempuan dalam segala bidang dan perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap.

Kedua: Kondisi ekonomi, di mana perempuan harus terus berjuang melawan ketidakadilan-ketidakadilan yang lebih dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Dari beberapa referensi, saya peroleh bahwa ‘amoi’ adalah seseorang yang tidak punya nilai tawar dalam masyarakat kapitalistik. Dia selalu jadi tumbal nasib yang salib. Nasibnya akan berubah jika dinikahi lelaki-lelaki asal Taiwan atau Hongkong yang baik hati, jika tidak, nasibnya lebih mengerikan.

Saya dapati beberapa sajak yang berbicara tentang tema yang sedang saya bicarakan:

  1. Sajak ‘Amoi’ hal. 26
  2. Sajak ‘Perempuan Tanpa Bulu’ hal. 64
  3. Sajak ‘Bulu Kaki Mata Sipit’ hal. 66
  4. Sajak ‘Gerhana’ hal. 81
  5. Sajak ‘Puisi Kupu-Kupu’ hal. 86
  6. Sajak ‘Puisi Piring Kaleng’ hal. 88
  7. Sajak ‘Puisi Kacang Hijau’ hal. 90
  8. Sajak ‘Puisi Roda Pedati’ hal. 92

Mari kita resapi beberapa petikan sajak berikut ini:

a. bunga yang koyak tenggelam, beribu perawan,

dipaksa pergi menyongsong angin

(bait terakhir sajak ‘Amoi’ hal. 26)

b. Di Pecinan hanya amoi yang mesti telanjang,

sebab bulu bagi suami adalah hitungan rezeki

yang harus pasti.

…………….

“Dara manis, jangan menangis. Lelaki tak pernah sedih

saat menceraimu di pagi sedih.”

………………

Hanya di Pecinan, amoi malang mesti telanjang.

Menjadi pengantin sedih di pagi sedih,

atau mempelai penuh berkah, yang kelak berubah

menjadi tuah

           (Petikan-petikan sajak ‘Perempuan Tanpa Bulu’ hal. 64-65)

c. Kausesali ibu yang melahirkan perempuanmu,

kaucaci leluhur yang menjadikan kau pengantin mati

hingga pagi hari.

………………..

“Sungguh layak bagi kau, jika pengantinmu

menjual diri di jalan raya.”

           (Dua cuplikan sajak ‘Bulu Kaki Mata Sipit’ hal. 66-7)

d. Tapi sebilah tombak selalu telah membelah sayapku

Jalan yang kini bercabang kian menjulang

Aku melayang gentayangan menuntaskan angan yang makin memanjang

           (bait terakhir sajak ‘Puisi Roda Pedati’ hal. 93)

Tapi si aku lirik tidak begitu saja menerima pelecehan dan penindasan, ia berusaha melawan atau memberontak walau dengan suara parau dan tenaga yang ringkih:

e. Mari kuajak kau meneguk racun

dengan secangkir kopi pahit,

dan kuceritakan padamu tentang bulu kaki

yang bikin lelakimu mati.

           (bait pembuka sajak ‘Bulu Kaki Mata Sipit’ hal. 66)

 

f. Maka doa kalian, para petualang,

jangan kira jalan lempang selalu menuntunmu

pada asal dosa, dan menebusnya dengan nikmat

yang membawa terbang kupu-kupu

dari tebing yang berkilau cahaya, menuju lembah air

tempat engkau memandikan perempuanmu

dengan harum apel yang kaukira

jatuh dari surga.

           (sebait sajak ‘Puisi Kupu-Kupu’ hal. 86)

 

g. “Bertahanlah Moi,

jangan takut rumput menutup jalan

sebab harum bunga akan bicara.”

……………

“Aku ingin memintal cahaya

menjadi lingkaran kemilau tanpa bahaya.”

           (dua petikan sajak ‘Puisi Piring Kaleng’ hal. 88)

Cara Keenam: Apa Guna Sajak?

Apa yang berharga dari puisiku, tanya penyair Wiji Thukul atau tanya Subagio Sastrowardoyo, Apakah arti sajak ini. Bagaimana menurut Penyair Hanna Fransisca? Apakah dia juga punya pertanyaan sama dengan penyair Wiji Thukul dan Subagio Sastrowardoyo? Apa yang melatarbelakangi Hanna Fransisca menulis sajak-sajak yang terhimpun dalam Konde Penyair Han? Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan dijawab oleh sang penyair melalui kata pengantar yang berjudul ‘Konde dan Rambut Saya yang Jelita’ halaman 11-19. Saya kutipkan beberapa kalimat di bawah ini (tanda miring dari saya):

(1) Saya kira pada waktu-waktu yang paling buruk itulah saya menulis puisi. Saya kira bukan puisi, tapi hanya semacam puisi. Saya menulis catatan keluh-kesah dengan diam-diam, menyembunyikannya dengan diam-diam dalam buku tulis, dan tak seorangpun boleh tahu.

(2) Saya adalah anak perempuan pemalu yang tak pernah memiliki keberanian untuk berbicara, tak pernah memiliki keberanian untuk memulai berteman, atau untuk bertanya soal apa saja kepada siapa saja. Maka saat menulis saya memiliki tempat paling nyaman untuk berbicara.

(3) Saya terus menulis yang bukan puisi, di dalam buku yang selalu diam tapi sesungguhnya mengajak saya bicara. Saya selalu katakan bukan puisi, karena sejak hari memalukan itu, saya membenci puisi. Tentu saya tetap suka membaca cerita, karena buku-buku cerita sudah jelas bukan puisi.

(4) maka di sela-sela tumpahan waktu untuk kerja, saya selalu membutuhkan buku-buku. Buku-buku itulah, yang kelak secara ajaib telah membuka kotak pandora tentang “kesadaran minoritas” dan rasa “ketidakberdayaan pada nasib”, yang membuat saya semakin serius dalam mempelajari hal-hal baru.

(5) Sering kali malam-malam saat hening saya memandang langit di kejauhan: membayangkan kampung kelahiran yang bernama Singkawang.

(6) Setelah badai politik mereda, saya semakin mencintai puisi. Entah kenapa rasa malu pada ibu guru yang telah membuat saya membenci puisi di bangku SMP, telah membalik kesadaran saya di kemudian hari untuk mencintai puisi. Secara pelan tapi pasti, catatan-catatan kecil saya yang merupakan catatan harian tempat saya menemukan teman bicara, telah berubah menjadi baris-baris puisi.”

Pada tulisan bagian pertama sudah saya singgung soal luka sebagai bahan bakar sajak; baik luka diri pengarang maupun luka orang-orang yang berada di sekitar pengarang. Jika meminjam bahasa penyair Triyanto Triwikromo dalam kata pengantarnya pada buku puisi Kembang Setaman, ia mengatakan bahwa peradaban yang luka sebagai pusat penciptaan puisi.

Apa yang dilakukan Hanna Fransisca adalah sesuai dengan pesan penyair Inggris, Jhon Keats, puisi adalah satu-satunya yang mampu merangkul keasingan. Kita tahu bahwa masa kanak Hanna Fransisca diliputi kesendirian dan keterluntaan nasib. Bagi saya, itulah keasingan yang dimaksud Jhon Keats. Hanna Fransisca mencoba mengikis – atau justru ingin menikmati – keasingan itu dengan memandang ilalang-ilalang yang bergoyang di belakang rumahnya. Kemudian berlanjut dengan mencintai buku-buku bacaan dan bergerak untuk menuliskan gairah dan gerahnya pada kehidupan. Kau kemudian hanya mengenal satu bunyi: puisi, tulis Hanna Fransisca dalam sajak ‘Puisi Piring Kaleng’ halaman 89.

Penyair Subagio Sastrowardoyo pernah menulis puisi berjudul ‘Sajak’ yang berkenaan dengan peran atau guna sajak bagi kehidupan.

“Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri”

Penyair Subagio Sastrowardoyo sebelumnya bertanya dengan kalimat yang menggugat sebanyak tiga kali: Apakah arti sajak ini. Ini berarti setiap penyair punya alasan dan jawaban sendiri dan berbeda kenapa dirinya menulis sajak. Di sini, saya menolak anggapan bahwa menjadi penyair adalah sebuah kutukan. Kutukan siapa?

Lain lagi dengan penyair Acep Zamzam Noor, menulis sajak adalah melayani kerinduan yang menyerang. Seperti yang ditulis dalam sajak ‘Mengapa Selalu Kutulis Sajak’ pada buku puisi Tamparlah Mukaku.

Mengapa selalu kutulis sajak

Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku

Mengapa harus sajak, kekasihku, mengapa harus ia

Yang mampu kupersembahkan kepadamu.

 

Epilog

Karena segalanya harus ada akhir, maka perkenankan saya mohon maaf kepada penyair Hanna Fransisca dan Pembaca atas keterbasan saya dalam mengulas buku KPH. Terima kasih dan salam hormat dari saya.

“Setiap hendak kutangkap

Ia lolos dari dekap

Tak mampu menampung rasa

           (Sajak ‘Yang Tak Peduli’, Subagio Sastrowardoyo)

Malang, 22 April 2011

*) Syaiful Alim, Penulis novel Kidung Cinta Pohon Kurma


Kejutan Terduga ala Ilham Q. Moehiddin dan Boim Lebom

Oleh Ade Anita

Kejutan Terduga. Ya…kalian memang tidak salah baca, ini memang tertulis kejutan terduga. Artinya, sebuah kejutan yang sudah diduga bakalan terjadi tapi ternyata tetap mengejutkan. Ada banyak contohnya, seperti dugaan kita bahwa nilai di raport akan dapat segini-segini-segini sambil mengingat-ingat nilai-nilai yang sudah kita ketahui sebelumnya dari hasil evaluasi belajar kita. Tapi, ketika pembagian raport dan kita membuka buku raport tersebut, tetap saja ada kejutan tak terduga meski kita sudah menduga sebelumnya. Sensasi surprise yang kita peroleh terasa seperti sesuatu yang belum kita ketahui sebelumnya.

Atau ketika berlari setelah tiba-tiba seseorang berteriak, “Bu, bu, anaknya jatuh tuh…sekarang dia menangis.”

Kita sudah tahu rupa anak kita sendiri jika sedang menangis, pasti bibirnya manyun, air matanya dideras-derasin…sederas-derasnya guna menarik simpati banyak orang…sebanyak-banyaknya. Tapi tetap saja ketika di ujung pelarian kita untuk menghampiri anak kita tersebut, tetap muncul sensasi surprise yang mengejutkan. “Ya Allah, anakku menangis, air matanya deras banget, kenapa, nak?”Padahal sudah diberitahu sebelumnya bahwa dia terjatuh.

Semua kejutan yang sudah diduga itu memang kadang tidak masuk di akal sehat. Kenapa masih bisa tetap mengejutkan? Kenapa semua dugaan yang sudah diprediksikan sebelumnya itu masih bisa tetap mengejutkan?

Dan, inilah yang saya temui ketika membaca dua buah cerpen dari dua orang penulis handal yang saya baca kemarin dan beberapa hari yang lalu. Keduanya menyajikan dua buah cerpen yang cantik.

(terlepas dari kefrontalan tema, pemilihan bahasa, judul, penggambaran situasi yang mungkin tidak cocok untuk beberapa orang dan sebagainya. Hmmm, jujur, saya sebenarnya berusaha keras ingin tetap menulis dan membaca yang cerah-cerah dan mencerahkan saja. Tapi, kemarin seorang teman mengingatkan betapa pentingnya untuk menilik sejenak kenyataan yang terpapar sehari-hari, yang begitu dekat dengan kehidupan real masyarakat kebanyakan. Well, teman. Ini penjelasan saya. Bukan maksud saya menghindar menulis kisah itu, hanya saja, kadang saya ingin sesuatu yang menghibur diri sendiri karena lelah juga terus menerus menyaksikan kesusahan, kesulitan, kesengsaraan, dan problema hidup yang membelit. Kadang, saya merasa menulis dan membaca adalah seperti sejenak mengintip “surga” agar kembali semangat dalam perjalanan panjang di dunia menuju akherat yang kadang terasa menjenuhkan).

Ya sudah…tidak usah berpanjang-panjang, silahkan baca dua cerpen cantik ini. Keduanya sebenarnya memiliki karakter dan gaya yang amat berbeda tapi punya sebuah persamaan, yaitu sama-sama menampilkan kejutan. Dan lihat kepiawaian dua penulis handal ini menyajikan kejutannya. Saya sendiri, belajar banyak dari dua cerpen ini. Yaitu bahwa menulis itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Yaitu kesabaran untuk terus menyusun kata demi kata agar bisa tetap memikat pembaca tulisan kita hingga tetap setia membaca apa yang kita tulis. Juga kesabaran untuk menyimpan kejutan di akhir cerita (ada banyak penulis pemula yang tidak sabar ingin cepat-cepat membuka kode rahasia/cluenya, bahkan membuatnya tidak rahasia lagi) dan terus meminta pembaca agar sejenak melupakan kejutan di akhir itu dan terus menyaksikan suguhan kita dengan nyaman. Saya sendiri belum bisa melakukan itu. Itu sebabnya kedua cerpen ini saya simpan karena saya ingin belajar banyak.

[]

KUTANG

Oleh Ilham Q. Moehiddin

“JANGAN gantung disitu!” teriak Jajang, perempuan pelacur yang dibawa ayah seminggu lalu, sudah mulai bertingkah.

Mariam yang hendak menyampirkan kutang Jajang di pagar rumah, bersama cucian lainnya, terlonjak kaget. Masam mukanya. Mariam lalu berputar ke samping rumah, lantas melempar begitu saja kutang Jajang ke atas perdu rimbun dekat kandang ayam. Ini pun tanpa setahu Jajang. Sebab, jika Jajang sampai tahu, kutangnya dilempar begitu saja, jelas ia segera datang mengomeli Mariam. Tapi Mariam tidak acuh. Setelah membalik baskom, ia kembali memasak.

Jajang sedari bangun, sudah duduk kangkang di beranda. Daster yang dikenakannya membuat bentuk pinggul dan buah dadanya amat kentara. Akibatnya beberapa bapak dan mahasiswa yang kebetulan melintas depan rumah, melotot hingga hampir masuk got. Dan, Jajang tak peduli. Sudah dua batang lisong ayah dihabiskannya, ditemani segelas kopi buatan Mariam, tentu saja tanpa setahu ayah. Ayah sudah pernah marah perihal lisong itu.

“Lisong itu jangan kau habiskan Jang, untukku nanti tak sehari sudah habis. Kau kan sudah kuberi uang, belilah rokok menthol kegemaranmu. Katanya, biar kau tak mudah hamil,” kata ayah sambil menyesap kopi buatan Mariam. Wajah ayah tertekuk, bibir ayah tertarik ke dalam. Digelengnya kepala berulang-ulang. Pahit, pasti tanpa gula, mungkin begitu ayah membatin. “Kopimu lagi-lagi enak pagi ini, Iam.” Mariam tak menyahut.

“Sudah aku katakan, sisakan lisong itu buatku!” Ayah tiba-tiba muncul di pintu.

Kali ini Jajang tidak bisa berkelit. Ia ketahuan mengisap lisong ayah. Jajang cemberut. Dilemparnya tiga lisong ke atas tas kerja lusuh ayah. Ayah merapikan kerah bajunya…meraih kunci truknya lalu menuju pintu pagar.

Jajang tersenyum. Kuakui, Jajang memang cantik jika senyum tanpa lisong ayah dibibirnya. Ayah mengusap kepalanya, lalu menepuk paha Jajang, “jangan terbiasa duduk kangkang seperti itu, orang perempuan akan selalu cantik jika bisa sedikit sopan.” Ayah berkata datar, senyum sekilas, lalu pergi.

Jajang menatapi punggung ayah hingga lepas dari matanya, lalu masuk kamar. Entah apa yang dibuatnya di dalam. Aku rapikan sepatuku, lalu ke dapur. Mariam sedang menggoreng telur setengah matang untuk sarapanku.

“Pergi sendiri?” Mariam bertanya, sambil meletakkan piring didepanku.

“Tidak. Linggar akan kemari menjemputku.” Jawabku sambil meneguk teh.

“Mau kubuatkan telur satu lagi?”

“Tak usahlah. Linggar pasti sudah sarapan sebelum kemari.”

“Baiklah.”

Mariam adik ayah. Dia tinggal bersama kami sejak kematian ibu delapan tahun lalu. Dia benar-benar memegang amanah ibuku, untuk menjagaku. Mungkin karena amanah ibu Mariam belum mau menikah sampai sekarang. Beberapa lelaki dari kampung kami sudah pernah datang menemui ayah, meminta Mariam sebagai istri. Tapi Mariam menolak halus, menjadikan diriku sebagai alasan penolakannya. Aku kasihan padanya. Sekaligus senang karena dia masih bersama kami.

Aku tak tahu kalau Linggar sudah datang. Dia tidak ke dapur, tapi langsung ke kamarku. Aku tahu apa yang dibuatnya dikamarku. Hal itu mendadak jadi kebiasaan Linggar semenjak Jajang ada di rumah ini.

Aku sudah memperingati Linggar agar perbuatannya dihentikan. “Nanti lubang itu ayah lihat. Ayah sering kemari melihatku belajar. Ditanyakannya nanti lubang itu, lantas aku mau jawab apa?”.

Tapi Linggar tidak peduli.

Jadilah, dia setiap pagi datang, beralasan menjemputku, lalu menunggui lubang buatannya di dinding kamarku yang tepat bersebelahan dengan kamar ayah dimana Jajang lebih banyak menghabiskan waktunya.

Jika Jajang tidak segera dibawa ayah kembali ke tangsi truk, Linggar tidak akan berhenti. Linggar pernah bilang padaku, bahwa Jajang itu sangat cantik menggoda, muda, membuatnya tidak bisa tidur terus memikirkan kemolekan tubuh perempuan itu. Kalau saja Jajang bukan perempuan milik ayah, sudah pasti akan diajaknya lari. Linggar itu sudah gila, barangkali.

Tetapi, aku agak terganggu dengan komentar komentar Linggar tentang perempuan itu. Penasaranku timbul, apa sebenarnya yang dilihat Linggar melalui lubang di dinding kamarku itu? Apa mungkin yang dilihat Linggar adalah tubuh telanjang Jajang saat sedang berganti baju? Atau Linggar senang menatapi pantat montok Jajang yang kerap berdiri di ambang jendela kamar ayah?

Jujur saja aku turut menikmati keuntungan dari rutinitas Linggar itu. Karenanya, Linggar akan tiap pagi ke rumah ini, menjemputku. Paling tidak, aku bisa berhemat untuk biaya angkot ke kampus.

#

Hari ini Mariam kembali mengeluh pada ayah perihal harga gula dan minyak tanah. Tapi ayah tidak berkomentar. Ayah hanya memberi Mariam sepuluh ribu rupiah. Itupun kata ayah untuk tiga hari. Tatkala Mariam hendak protes, ayah buru-buru menimpali, “…ada baiknya dapurmu terus menyala Mariam, tapi bersabarlah. Terima dulu uang itu, nanti aku tambah. Saat ini aku tak punya lagi. Uang dua puluh ribu rupiah ini untuk Jajang. Katanya, rokok dia habis dan kutangnya sobek lagi.” Katanya pada Mariam sambil melipat uang dua puluh ribuan yang lalu diselipkan ayah dibawah gelas kopinya.

Sambil berjalan ke kamar mandi ayah menggerutu pada dirinya sendiri, “…kenapa perempuan itu mesti beli kutang saban hari. Perasaan…aku tak pernah mengoyak kutang perempuan.”

Kulihat Mariam merah pipinya, rupanya dia malu…tutur kata ayah terdengar olehnya.

Sambil bersabun, ayah masih juga bicara tentang minyak tanah, “…kalau minyak kau habis, dan aku tak ada, suruh saja si Anwar mengumpulkan kayu kering dari pohon-pohon di taman kota sana.”

Mendengar itu, aku spontan teriak, “Tidak! Nanti aku ditangkap orang Tantib dituduh mau mencuri kayu!”

“Ya..sudah.” Ayah menyahutiku pelan.

#

Usai mandi, ayah berkata hendak ke pangkalan truk. Ada barang yang hendak diantarpulaukan. Aku tak habis pikir, kenapa jika ayah hendak ‘nyetir’ ke luar kota, tidak pernah memberi tahu jauh jauh hari. Tidak pula hendak membawa serta Jajang. Kata ayah, biar Jajang di sini dulu, sebab ayah mungkin pulang agak lama. Ayah malah menyambung kalimatnya dengan sedikit menyinggung aku, bahwa aku tidak begitu suka Jajang ada di rumah ini.

Sebenarnya bukan aku tidak begitu suka akan kehadiran Jajang. Aku akui, Jajang sungguh membuat rumah ini sedikit ramai. Yang aku tidak suka adalah gunjingan tetangga, dan tentunya rutinitas Linggar dikamarku. Sibuk memelototi tubuh Jajang dari lubang di dinding kamarku. Sekarang lubang itu kian besar saja ukurannya. Dia tak puas dengan ukuran sebesar kelingking. Justru itu yang aku takutkan, semakin besar lubang buatan Linggar, semakin besar pula peluang ayah akan melihatnya.

Ayah lalu pergi, tentunya diantar Jajang ke pintu pagar. Sepeninggal ibu delapan tahun lalu ayah sangat kesepian. Jika bukan Jajang yang dibawanya ke rumah, pasti Marliah, perempuan yang tidak pernah berhenti mengunyah. Rahangnya selalu bergerak. Selain gembul, perempuan itu sangat boros menggunakan air. Jika mandi, nampak air di selokan belakang mengalir tak putus putus. Aku tak suka Marliah. Masih baik jika ayah menginapkan Jajang. Hanya saja, Marliah tak pernah meributkan kutang seperti Jajang.

Aku urusi saja kuliahku. Aku tidak mau otakku dipenuhi masalah rumah, soal kegemaran Linggar mengintip, perkara dapur Mariam, dan tentunya keributan kecil soal kutang Jajang.

#

Bahasan kuliah tak mau masuk ke otakku. Jamilah telah menulis sepenggal pesan yang disampaikan padaku lewat temannya. Mila tak menulis banyak pesan, kecuali bahwa ia tak masuk hari ini. Kusampaikan pula pesan lewat kawannya itu, bahwa aku akan menemuinya di kontrakannya selepas urusan dengan dosen pembimbingku sudah pungkas.

Di halaman kantor fakultas, Linggar telah menunggu aku, Senang sekali tampangnya.

“Nanti malam aku ke rumahmu ya?” Bujuk Linggar.

“Buat apa?” Tanyaku sambil membereskan diktat yang tertiup angin.

“Aku ingin ketemu Jajang.”

Aku terpana. “Tidak.”

“Kenapa? Ayahmu kan tidak ada.”

“Pokoknya tidak boleh,” kataku tegas, dan sebelum Linggar menyahutiku, aku menyambung, “…aku tak mau kau kena damprat ayah kalau ketahuan menggoda perempuannya.”

“Aku tak akan menggodanya. Aku hanya akan mengobrol sedikit padanya. Lagi pula di rumah kan ada Mariam.”

Aku menatap Linggar. Kuperhatikan gelagat anak ini. “Baiklah.” Kataku.

Linggar tersenyum menang, tapi segera ku tarik bahunya, “Eit..tunggu dulu. Kau harus ingat, jangan macam-macam!” Aku memperingatinya.

“Santailah sedikit. Aku tahu kau sedang khawatir dengan Jamilah. Temuilah dia.” Linggar meyakinkanku sambil menepuk pundakku.

Aku harus ke tempat Jamilah. Aku bergegas, sebab kurasakan pelataran ini makin panas.

#

Aku tiba di rumah sudah hampir sore. Begitu tiba aku tak langsung masuk kamar, tapi terus ke dapur. Mariam tidak ada, namun semua yang aku butuhkan saat ini sudah tersaji di atas meja makan. Benar, aku sangat lapar. Tapi niatku urung, laparku mendadak lenyap saat telingaku menangkap suara renyah tawa Jajang. Asalnya dari kamarku. Segera kuhampiri kamarku, tapi Linggar baru saja keluar. Dia melihatku, mengancungkan jempolnya, sembari memberi isyarat agar aku tenang saja sebab tak terjadi apa-apa. Kutengok kamarku, ada Jajang di dalam, dan sedang duduk di kursi meja belajarku.

“Keluar.” Aku berteriak pendek pada Jajang, dan perempuan itu segera keluar tanpa membantah, lalu masuk kamar ayah. Kutatap Linggar dengan sinar mata bertanya.

“Tenang saja. Aku sudah berjanji kami hanya akan ngobrol,” kata Linggar sambil meraih ranselnya.

“Tapi dia perempuan ayahku!” Kataku sambil menekan suara.

“Tapi bukan istri ayahmu kan?!”

Aku tertegun Linggar menjawab begitu. “Oke… Lalu kenapa?”

Linggar mengangkat keningnya. “Kau pasti paham jika siapapun boleh bercakap dengannya.” Datar saja Linggar berkata.

Aku tak membalas kalimat Linggar. Sahabatku itu mengacak-acak rambutku, lalu pergi begitu saja.

Baiklah. Sebatas mereka tak berbuat apa-apa, akan sedikit membuatku lega. Kutengok ke luar sebentar sebelum menutup pintu, kulihat enam kutang masih tersampir di pagar samping rumah. Pasti kutang Jajang.

Malamnya aku minta Mariam mengawasi Jajang selama aku tak di rumah. Dengan mengangguk Mariam menyanggupi tugas itu.

#

Seminggu kemudian, sepulang kuliah, kutemukan sebentuk paket di meja beranda. Paket tanpa pengirim, tapi jelas tertera nama Jajang sebagai penerima. Paket itu agak besar, tapi tak berat seperti terlihat.

Kuserahkan saja paket itu pada Jajang. Perempuan itu gembira menerimanya dan langsung masuk kamar. Masih kudengar suara ringannya dari balik dinding tipis bilik ayah. Pastilah dari ayah, batinku.

#

Tiga hari kemudian, sepulang dari pertemuan liga mahasiswa, lapar nyaris hendak membunuhku. Di pagar rumah kulihat lima kutang tersampir. Semuanya baru dicuci, dan tampak masih baru. Tadinya hendak kuminta Mariam memindahkan semua kutang itu ke samping rumah. Tapi lapar perutku tak bisa berkompromi lagi, sebelum menuju dapur, kupindahkan sendiri kutang-kutang itu.

Lalu aku ke dapur mencari Mariam. Kutemukan adik ayah itu sedang mengatur perabot dapur yang baru selesai dicucinya.

“Ada lauk apa?” Tanyaku sambil meraih tudung makan.

“Hanya nasi. Aku tak masak lagi, minyak habis,” kata Mariam tanpa menoleh. Dari apa yang kulihat, Mariam memang hanya meletakkan sepasu nasi di atas meja.

“Secepat itu?”

“Kalau ingin lauk, beli mie bungkus saja. Air panas ada kok.”

“Jajang kemana?”

“Di kamar ayahmu.”

Perih lapar diperutku makin menggila. Aku ke kamar hendak mencari beberapa recehan di meja belajarku untuk sebungkus mie instan di kios ujung gang.

Ketika sedang mencari, mataku terpaku pada lubang buatan Linggar. Penasaran membuatku melupakan sejenak niat menemukan recehan diantara tumpukan kertas kuliah.

Perlahan aku dekati lubang itu. Sebenarnya apa yang sering dilihat Linggar melalui lubang ini. Baru saja kutempatkan mataku di sana, secepatnya kutarik kepalaku ke belakang. Jika tidak menyaksikan sendiri, tentunya aku tak akan pernah percaya. Di kamar ayah, kulihat Jajang sedang bersama sahabatku Linggar. Di kamar ayah..di ranjang ayah..bersama perempuan simpanan ayah, sahabatku Linggar tanpa busana…sedang menggeluti tubuh telanjang Jajang. Daster, celana dalam dan kutang Jajang…tersampir dimana mana.

Linggar dengan penuh berahi menciumi tubuh telanjang Jajang…dan perempuan itu begitu menikmatinya sambil tersenyum senang.

Aku tiba-tiba muak dengan kedua manusia ini. Mataku masih saja lekat di depan lubang itu. Saat itu Mariam masuk, “Nwar, kamu boleh kok utang di warung sebelah.”

Aku kaget setengah mati. Aku Gugup. Seperti orang yang tertangkap basah, aku menyambut kalimat Mariam.

“Apa..kutang? Kutang siapa?

[]

Kendari, 2003

[ sumber : Kutang. Bab VI. Cerpen. Antologi Kitab & Tafsir Perawan ]



———–sekarang cerpen yang lainnya.

CERITA PAGI 2

by Boim Lebon on Tuesday, 23 November 2010 at 08:20

Pagi2 mau berangkat kerja. Kadang naik bis, naik motor atau bawa mobil. Hari itu mau ke kantor naik bis aja, karena lbh santai, praktis dan ekonomis. Tiba-tiba ada dua anak lewat depan rumah sambil tertawa-tawa.

“eh, liat Abit gak? dia e’e’ di mobil papanya …”

“iya, liat … hehe lucu ya, sambil meringis!”

“ksh tau yuk ke mamanya?”

“jangaaan … hehe, ntar Abit dimarahin looh!”

saya cuma mesem-mesem aja ngeliat anak-anak tetangga yang masih senyam-senyum itu. Tapi selanjutnya anak2 berumur 6-7 tahunan itu berlari.

Dan ketika saya mulai meninggalkan rumah, seorang tetangga nampak sedang memanasi Avanzanya, “mau bareng Mas Boim?”

“Oh, boleh, makasih,’ kata saya, ‘ngerepotin gak?”

“Ah, enggak…lagian saya keluar tol Kebun Jeruk juga kok.”

Oh, ya, udah, daripada naik bis, sekarang ke kantor nebeng Avanza tetangga, deh.

Saya dipersilahkan duduk di bangku depan samping sopir. Tapi begitu sy duduk, kok bangkunya agak basah…?

Saya liat kayaknya ada sesuatu yg … iiih, gak bisa digambarkan dng kata-kata, nih. Soalnya sy diam terus, sampai si tetangga itu bilang, “anak sy yang kecil buang-buang air melulu Mas, kenapa ya? Masuk angin atau kenapa y?”

Sy cuma bilang, “mungkin juga, sih …terus td dia masuk ke mobil ini ya?”

“Eh iya, emang kenapa, Mas?”

“Ah, enggaaaaak …..” dalam hati gak enak, udah numpang masak protes?

[]


Penulis Itu: Pengkhayal Dasyat!

Oleh Ade Anita

Penulis itu pengkhayal dasyat. Ini benar sekali. Dia punya kebebasan untuk menyampaikan sesuatu pada orang lain dan meski yang dia sampaikan itu merupakan sebuah sindiran atau hinaan, dengan khayalannya, ajaibnya, orang yang dihina atau disindir tetap bersedia membaca tulisannya (perkara orang itu marah atau tersinggung, tentu saja kembali pada sifat dan karakter yang berbeda-beda pada tiap-tiap orang). Salah satu media menuangkan khayalan dalam bentuk tulisan yang bisa digunakan adalah tulisan yang berbentuk satire.

Satire adalah gaya bahasa yang berbentuk sindiran terhadap keadaan atau seseorang. Bentuknya bisa berupa ironi, sarkasme dan parodi. Penjelasannya (saya kutip dari wikipedia): Ironi adalah salah satu majas yang berupa sindiran halus. Sedangkan sarkasme adalah majas yang digunakan untuk menyindir atau menyinggung seseorang atau sesuatu (biasanya berupa penghinaan karena rasa kesal atau marah). Sedangkan parodi adalah suatu hasil karya yang dipergunakan untuk memplesetkan, memberikan komentar atas karya asli, judulnya ataupun tentang pengarangnya dengan cara yang lucu atau dengan bahasa satire.

Jika membaca definisi di atas, mungkin bingung ya…? Jadi, berikut ini saya sajikan tiga buah tulisan dari tiga orang teman saya di facebook yang merupakan penulis-penulis hebat untuk urusan menulis satire. Silahkan memilah sendiri mana yang ironi, mana yang sarkasme dan mana yang parodi. Tapi, saya sendiri, daripada berpikir untuk memilah pengelompokan tersebut, saya lebih senang melihat cara para penulis ini dalam memilih kalimat, menulis khayalan mereka dan menuangkannya dalam tulisan. Ada efek yang langsung terasa ketika kita selesai membaca tulisan mereka. Mungkin teringat dengan kenyataan dalam masyarakat dan lalu merasa miris sendiri, tapi bisa juga justru langsung kesal, “Berani banget sih!”…

Apapun, cobalah untuk memperhatikan ketelitian mereka dalam mencari kata yang tepat untuk menuangkan ide tulisannya. Untuk saya pribadi, yang masih penulis pemula, belajar banyak bahwa variasi penempatan kata itu amat penting agar pembaca tetap merasa nyaman meski membaca sebuah satire. Jadi, meski ide yang disampaikan sama untuk beberapa kalimat, tapi penempatan kata yang berbeda membuat sebuah kalimat muncul sebagai kalimat baru. Artinya, jika mau membuat pembaca nyaman dengan tulisan kita, cobalah untuk terus memperkaya kosa kata yang kita miliki agar variasi kalimat kita bisa terasa indah dan renyah dibaca.

Ah…sudahlah. Silahkan baca sajian satire berikut ini (mohon maaf jika ada beberapa hal yang kurang berkenan ya. Yah, namanya juga satire, khayalan dari pemikiran seorang penulis).

Satire ala Denny Herdi :

Seekor Asu yang Jatuh Cinta Kepada Monyet

“Guk…Guk…Guk…”

“Gong…Gong…Gong…”

“Jing…Jing…Jing…”

Dasar Anjing…..!!!!

“Kesepiankah kau, Jing?”

“Ah, tidak, kenapa harus kesepian, Nyet? Asu punya majikan yang baik dan penyayang. Jadi, kenapa harus kesepian.”

“Ah, jangan boong, Jing. Tiap malam kau melolong tidak menggonggong. Melolong berarti sepi, dong.”

“Sotoy lw, Nyet. Tak cium bibirmu yang manyun itu”

“Ih, najis mugoladoh kalo aku dicium kau. Cium ajah majikanmu. Kan dia juga mirip monyet, bedanya, monyet suka mencuri pisang di kebun orang, kalo majikanmu mencuri uang di kebun para monyet.”

“Lah, wong majikanku itu orang ko, masa disama-samain sama primata, wong edan nih, Nyet.”

“Ye, oneng kau, Jing. Tuh monyet liat di koran pagi, terpampang jelas wajah majikanmu berada di headline. Katanya ia ketangkap basah membabat uang di kebun para monyet. Wajahnya pun tak ubah seperti monyet. Mungkin majikanmu di kutuk Sugriwa, mungkin juga dikutuk Hanoman.”

“Alah, wong majikanku bilang, dia lagi jalan-jalan liat pertandingan sepakbola di Amsterdam ko, katanya pengen liat Liga Champion, Madrid ngelawan Ajax.”

“Boong banget lw, Jing, lah, orang majikanmu itu di arak sama orang-orang berbaju coklat ko”

“Au, ahhh, tak gonggongi nihh, tak gagahi, mau? Yang penting aku tresno kamu, sekali cintah, tetep cintah”

“Ih, ora sudi aku…kata manusia bilang tar cintahnya, cintah monyet, cuman cintah-cintahan…seumur jagung”

“Ya sutralah, kalo ndak percaya, toh anjing itu kata manusia adalah mahluk yang paling setia, manusia ajah suka bandingin manusia laen sama anjing, kamu malah gak percaya. Mending aku cintah sama majikanku ajah dehh”

“Ya udah tungguin ajah di luar sampe mampus”

Aumm…

[]

Jati Bening, 24 November 2010

———————-

Sekarang Satire ala Syaiful Alim :

Sajak Nasib Babu

Babu itu membolak-balik tubuhnya

di dipan tanpa kasur.

Ia tak kuasa tidur

padahal seharian dihajar kerjaan dapur.

Tuannya masuk tanpa ketuk.

Sempoyongan mabuk alkohol dan berahi.

Menyingkap selimut pembalut tubuh berisi.

Memeluk dan mematuki tengkuk.

Sekujur tubuh babu gemetar. Juga gentar.

Seperti ada ular menjalari darahnya.

Mungkin kekuatan ghaib merasuk di kedua tangannya.

Ia menolak tubuh tuannya yang kekar.

“Salah kamar, tuan!”

Tak usah banyak petunjuk.

Ayo letakkan bra.

“Tuan Tuhan, bukan?”

Tak usah banyak pertanyaan.

Ayo buka celana.

“Tuan, saya datang bulan!”

Tak usah banyak alasan.

Ayo lebarkan paha.

Tubuh babu masuk di perut tuannya.

Sang babu menjerit takut

tapi tak ada yang menyahut.

Malaikat langit sibuk bergelut

dengan pulpen dan raport baik buruk.

Mencatat siapa detik ini yang sujud yang rukuk.

Bagai nabi Yunus yang ditelan ikan paus.

Babu itu lalu didamparkan di pinggir laut.

Dengan kerongkongan haus.

Babu itu mengadu kepada pemilik denyut.

“Tuhan, saya diperkosa!”

Jangan mengadu.

Itu sudah nasibmu.

Seperti tertindih.

Ia melangkah letih.

Darah di selangkangannya

meleleh pedih perih.

Menorehkan kata-kata di jejak tapak.

“Tuan dan Tuhan sama saja, ternyata!”

Pemerkosa!

[]

——————-

Terakhir, satire ala Ilham Q Moehiddin :

PENGADILAN ZAMBONI

ANGIN pagi di bulan November memecah cahaya mentari yang lembut. Sekumpulan besar orang telah bekerja sejak semalam, menyiapkan sesuatu di lapangan itu. Luas lapangan itu seperempat luas kota Vastivia.

Orang orang yang bekerja sejak semalam itu seperti tak kenal lelah. Ketika subuh beranjak menjemput pagi, diantara mereka ada yang masih setia melubangi tanah, ada yang mendirikan tiang, dan ada yang sabar menggosok alas pualam sebuah altar.

Apakah gerangan yang membuat semua orang ini begitu tergesa mempersiapkan ini semua? Tentu saja ada sesuatu yang mendesak mereka. Ada sebuah peristiwa yang terjadi persis sepekan lalu. Begitu menyita perhatian, sehingga membuhul gunjingan di setiap sudut kota, di sekolah sekolah, di kantor pemerintah, di pasar pasar, dan di setiap pertemuan para perempuan di kelompok rajut.

Bergunjing dilarang di Vastivia. Tapi peristiwa mengejutkan sepekan lalu itu seperti tak kuasa mengunci mulut setiap orang untuk bergunjing…walau mereka melakukannya secara diam diam. Aku mengumpulkan catatan yang terserak dari jalinan peristiwa itu, sehingga kini aku menuliskannya untuk kalian. Sekadar untuk kalian tahu saja, pada apa yang telah terjadi…tepat sepekan dari sekarang.

#

“Tangkap dia! Sekarang…!” Teriak Hakim Jalu. Kedua tangannya tertolak di pinggang. Mukanya berusaha meredam amarah sehingga tampak merah.

Dua petugas pengadilan yang diteriakinya berlompatan…tergesa gesa melewati koridor yang langsung menuju pintu masuk di ruang lobby kantor Hakim Negeri Vastivia. Mereka berdua segera menghubungi satu regu banyaknya untuk melaksanakan perintah sang Hakim.

Tidak ada yang berani menentang perintah seorang hakim di Vastivia ini. Ya, sistem hukum yang digunakan Vastivia berbeda dari kebanyakan kota lainnya. Ada pengaruh sistem hukum khas Aglo-Saxon, namun dicampuri pula dengan sistem timur jauh, dan sedikit sistem buatan warga Vastivia. Entah apa nama sistem hukum model ini…yang jelas semua orang sangat menyukainya dan belum pernah ada keinginan untuk mengamandemennya lewat jasa parlemen.

Di Vastivia, hakim menempati posisi kedua orang yang paling berkuasa sejajar dengan walikota dan ketua parlemen. Sedangkan kekuasaan tertinggi berada pada kekuasaan kolektif di tangan warga Vastivia. Itulah mengapa ada alun alun besar di tengah kota Vastivia ini.

Itulah mengapa ada tribun berjenjang lima melingkar panjang mengelilingi alun alun. Ada pula sebuah panggung besar berisi tiga meja di sisi timur lapangan. Juga ada sebuah panggung kecil, dua kali dua meter luasnya, dan tiga meter tingginya di sisi berlawanan dari panggung besar, di bagian barat lapangan itu. Tak ada atap melungkupi panggang kecil tiga meteran itu…dan, hanya itu yang tidak diatapi. Rerimbunan pokok pokok Ara besar di belakang tribun melingkari semua sudut lapangan, sehingga jika angin laut yang kering berhembus…rasanya masih sejuk di kulit.

Lapangan itu sendiri dikepung empat jalan yang memisahkannya dari kumpulan gedung. Terasing jika terlihat dari udara. Jalan Viesneva memisahkan lapangan itu dari kumpulan kantor pemerintah di sebelah barat. Jalan Liesnabon memotong lapangan itu dari sarana ekonomi warga di sisi utara. Jalan Ulasijan mengiris lapangan itu dari pusat pembelajaran dan kepustakaan di sisi selatan. Dan, jalan Ainnestock meregresi lapangan itu dari kawasan industri di sisi timur.

Tempatnya begitu strategis, bukan? Posisi keempat jalan itu memudahkan warga menuju lapangan ini. Jika akhir pekan datang, ratusan keluarga berleha leha di rerumputan hijau lapangan ini. Mereka menanak kesenangan di sini, memuja keakraban di antara mereka, dan saling bersapaan, sekaligus membiarkan kanak kanak bermain di antara mereka sendiri.

Tak ada status sosial yang layak engkau banggakan begitu memasuki lapangan ini. Walau engkau walikota, hakim, polisi, legislator, bahkan warga biasa, derajatnya akan sama saat kaki mereka menjejaki lapangan ini. Semua setara…semua adalah warga kota Vastivia, yang sama tinggi dan sama rendah.

Dan…mataku saat ini melihat dengan saksama kesibukan yang segera akan usai itu. Kini di selatan lapangan telah tersedia sebuah lubang bergaris tengah setengah meter dan dua meter dalamnya. Lalu ada persis disampingnya sebuah tiang setinggi lima meter berbentuk huruf “L” terbalik, bertali buhul lingkar menjuntai diujungnya. Dan, disamping tiang itu, tampak juga sebuah altar marmer berceruk busur pada bagian atasnya, sebesar lingkar leher orang dewasa. Altar itu berkilat tersentuh cahaya lembut mentari pagi.

#

Seorang bernama Zamboni telah diarak paksa ke depan Hakim Jalu, sepekan yang lalu. Sebuah grup beranggota enam orang telah menyatroni ruang kerjanya pada siang hari, lalu membawanya menghadap sang hakim di lantai dua Kantor Hakim Vastivia. Jendela ruangan yang terbuka menebarkan angin hingga menyambar toga Hakim Jalu. Ujung jubah toganya berkibaran liar, menampar udara kosong.

Zamboni gemetar didepannya. Mata Hakim Jalu seperti benar-benar menelanjanginya saat ini. Malu dan takut, memenuhi hati dan fikirannya serupa prasangka yang menusuk. Air muka Zamboni dipenuhi bingung. Dia begitu gugup saat ini.

“Mengapa kau berani mengurangi jumlah perbendaharaan kota dari jumlahnya sejak kwartal lalu?” Tajam sekali Hakim Jalu melemparkan tuduhan langsung ke muka Zamboni.

Itu jelas sebuah pertanyaan. Tapi tak satu katapun yang keluar dari mulut Zamboni. Dimatanya, Hakim Jalu begitu mengerikan saat ini. Tidak ada orang yang begitu yakin bisa mengeluarkan perintah penangkapan langsung pada pejabat kota. Bahkan, saat dirinya ditangkap pun…dia sedang berada di ruang kerjanya. Sebuah grup tiba tiba mendobrak masuk dan menggelandanganya tanpa bertanya, tanpa bicara.

“Siapa saja yang membantumu me-receck ulang laporan perbendaharaan kota, sehingga auditor menemukan sejumlah keganjilan dalam laporan keuangan itu?” Suara pertanyaaannya masih tajam, namun ujung kalimatnya terdengar mendesis. Zamboni masih saja gagap. Mulutnya bagai terkunci.

“Ayo jawab!” Teriak Hakim Jalu. Membuat Zamboni jatuh terduduk karena takut.

“Aku tidak melakukannya, pak Hakim. Sungguh, aku tidak akan berani melakukannya.” Jawab takut Zamboni. Tergugu, jantungnya berdegup kencang. Dia berdiri kembali, namun kakinya tak pernah tegap sempurna karena gemetar.

“Lalu siapa yang melakukannya!? Hantu!?” Hakim Jalu memajukan kepalanya. Ujung hidungnya kini melampaui ujung terluar meja hakim. “Bukankah seharusnya setiap orang di Vastivia ini mengetahui…bahwa perbendaharaan kota adalah harta warga Vastivia, yang dikumpulkan dari setiap Hast yang disisihkan dari keuntungan perniagaan?”

Suara Hakim Jalu menjalar seperti api, lalu tajam ditatapnya mata Zamboni, sambil mendesis… “Dan, kau…kau telah berlaku culas dengan mengurangi jumlahnya…”

Zamboni makin tercekat. Dia tak mengerti mengapa semua kemalangan ini menimpanya. Tiba tiba dia jadi calon pesakitan di hadapan Hakim Jalu. Padahal karirnya sedang menanjak saat ini. Zamboni dahulu adalah pegawai rendahan di balaikota Vastivia. Tugas pokoknya adalah mengumpulkan dan merestorasi dokumen dokumen kota Vastivia, mengkadaskan, lalu ditata rapi di jejeran almari buku di ruang kepustakaan balaikota. Dia harus membuat dua rangkap untuk setiap dokumen yang dia kadas. Lalu salah satunya dia kirimkan ke gedung kepustakaan Vastivia untuk dibaca orang kebanyakan.

Setelah lima belas tahun bertugas di balaikota, Zamboni mendapat promosi untuk jabatan kepala biro perbendaharaan kota Vastivia. Sebulan setelah naik jabatan, Zamboni menikahi putri imam kuil Rastyan. Kawan kawannya memujinya karena mendapatkan gadis tercantik di Kastien, distrik kecil di bagian tenggara kota Vastivia. Barangkali, Zamboni terlihat sebagai orang jujur sehingga kemudahan dan keberuntungan begitu saja menghampirinya. Zamboni bahkan masih menganggap dirinya orang termujur sekota Vastivia, setelah delapan tahun di posisinya sekarang ini, dan dengan dua putera yang selalu disayanginya. Dalam anggapannya, dia masih orang termujur, sampai di suatu siang satu grup datang menggebahnya, dan menghadapkannya ke depan Hakim Jalu.

Kini, di hadapan Hakim Jalu, Zamboni basah kuyup oleh keringatnya sendiri. Baju dinas yang dipenuhi tanda tanda kehormatan kini lepek karena keringat yang membanjir. Ketiaknya lembab, dahinya panas. Matanya basah.

“Panggil panitera ke mari!” Sekali lagi Hakim Jalu meneriaki seorang petugas. Lehernya diangkat tinggi tinggi pada petugas itu…yang segera saja menuju sebuah interkom. Memencet empat tombol sebagai nomor ekstention di ruangan panitera. Tidak semenit kemudian, seorang tua datang menghadap, tergopoh gopoh, sambil kikuk membetulkan letak kacamatanya.

“Ada apa…Yang Mulia?” Begitu panitera ini bertanya saat di depan Hakim Jalu.

“Eh, ya…segera siapkan proses peradilan untuk orang ini!” Perintah Hakim Jalu. Zamboni tercekat ludahnya sendiri mendengar itu. “Secepatnya…jika bisa waktunya sepekan dari sekarang!”

“Baik, Yang Mulia.” Panitera menyanggupi perintah itu, berbalik dengan segera…meninggalkan ruangan.

Wajah Hakim Jalu berbalik cepat pada Zamboni. Matanya dipicing, seolah hendak menetak tajam pada wajah Zamboni. “Kau…kau akan segera mendapatkan perhitungan atas perbuatanmu. Kau harus bisa membuktikan bahwa dirimu tidak bersalah. Di pengadilan nanti…tak ada pembela yang akan membelamu. Akulah jaksa penuntut sekaligus pemeriksamu. Zamboni…kau harus hati hati menjelaskan perkara ini, harus cermat memilih setiap katamu. Akulah pemeriksamu. Engkau sepenuhnya bergantung padaku dalam pengadilan itu. Jika kau tidak hati hati menyusun kalimatmu…lihatlah, hukuman apa yang akan menimpamu.”

Maka, makin ketakutan Zamboni mendengar ancaman yang dibungkus Hakim Jalu pada nasehatnya itu. Ini persoalan nasibnya, nasib istri dan kedua puteranya. Dia akan menjawab dengan teratur dan tertata. Jangan ada kesalahan. Hidup Zamboni kini…benar benar tergantung dari hasil pemeriksaan Hakim Jalu.

Para petugas di sudut ruangan, yang tadi menggebah Zamboni, mengangguk keras. Mereka tahu sikap keras Hakim Jalu. Selain keras sikapnya, selama ini Hakim Jalu adalah hakim yang baik di mata mereka. Tak ada tugasnya yang luput, sehingga kota Vastivia selalu terjamin keamanannya. Selama 10 tahun terakhir, tak ada perkara yang begitu besar ditangani sang hakim, sampai perkara Zamboni ini mencuat.

Zamboni langsung dibawa ke sel tahanan. Dia seketika mendekam di sana selama sepekan, menunggu nasibnya. Bahkan Zamboni dilarang pulang menemui istri dan kedia puteranya. Alat komunikasinya disita…dia tak bisa menelepon.

#

Walikota Palyska berdebar dan menggerutu. Kabar perihal tergebahnya Zamboni sudah sampai di mejanya pagi esok harinya. Kabar itu dibawa sendiri oleh Petrova, seorang perempuan yang menjabat sebagai Sekretaris Kota Vastivia.

Dengan gugup Petrova berkisah soal pendadakan di ruang kerja Zamboni. Muka Petrova pucat bagai kertas. Dia terhenyak seusai bercerita pada Palyska, pias di sofa depan meja kerja sang walikota.

“Adakah yang kau dengar…Zamboni telah bicara apa pada Hakim Jalu yang pula telah didengar orang banyak?” Tanya Palyska dalam bingung. Petrova menggeleng pelan. “Tak ada yang dikatakannya…Zamboni mirip kucing basah terus menerus digertak Hakim Jalu, sehingga tak banyak bicara. Memang banyak orang di kantor hakim sore itu.”

Palyska mengusap keringat dingin yang tiba tiba membanjiri wajahnya. Hari masih pagi. Ruangan itu berpendingin udara pula, tapi gerah menyergap tubuh Palyska. Kabar pendadakan dan penangkapan atas Zamboni seperti palu yang menghantam kepalanya. Ini sebenarnya ide Patrova, dan mereka kemudian terperangkap pembicaraan yang panjang di bar Uljibeer sepulang rapat malam lima hari lalu. Ada Zamboni juga malam itu. Mereka bicara serius sekali, dan seperti tidak terjadi apapun esok paginya.

Petrova tahu akan datang seorang auditor independen setiap kwartal untuk memeriksa laporan perbendaharaan kota. Lalu Petrova mengabarkan pada Walikota Palyska soal laporan perbendaharaan kota yang cacat…banyak pengeluaran yang sukar ditelusuri, sehingga membuat laporan itu tampak sangat aneh.

Maka lahirlah ide untuk mengajak Zamboni. Lelaki itu sudah bertahun tahun menyerap jutaan lembar dokumen dari kantor balaikota, maka tentu saja Zamboni tahu celah yang aman untuk menukar data dan menjadikan laporan itu terlihat tanpa cacat.

Untuk upayanya Petrova memberi Zamboni uang jasa dalam nilai besar. Sepuluh juta Hast adalah nilai yang sangat besar. Tangan Zamboni bahkan gemetar saat menerima uang itu dari Petrova. Namun…perempuan itu memang pandai menenangkannya dalam rayuan. Tak hanya uang, Petrova bahkan menyerahkan tubuhnya dicumbui Zamboni di hotel paling mewah di kota itu.

“Aku yakin…Zamboni tak akan buka mulut. Dia telah menerima apapun yang memang pantas dia terima. Anda tenang saja, pak Walikota.” Kata Petrova dalam keluh. Ia mencoba menenangkan sang walikota. Dia terus membayangkan saat Zamboni melumat tubuhnya, menekan segala hal disitu, lalu satu jam kemudian…langit seperti terbelah di atas kepalanya. Zamboni memang puas, tapi Petrova tak menikmatinya sama sekali. Satu jam Zamboni menidurinya, tapi dua jam Petrova mandi sambil menangisinya.

Ada yang menjanjikan padanya, Zamboni tak akan leluasa buka mulut.

#

Pagi ini, usai kesibukan semalam yang melelahkan…para warga pekerja bergiliran pulang. Kehadiran mereka segera digantikan ratusan warga yang langsung memenuhi tribun di lapangan itu. Aku langsung berbaur bersama mereka, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Angin hilir membelai semua wajah di lapangan itu. Pada penantian yang merasuk itu, semua orang…setiap warga yang kini hadir di lapangan itu, mulai membuat persepsi masing masing. Mereka sama butanya dengan aku perihal perkara ini. Asumsi mereka bergantian mampir ke telingaku. Pada dasarnya mereka…kami semua sedang menduga duga.

Tiba tiba hening. Tiga orang berjubah toga berjalan masuk. Mereka itu adalah Hakim Jalu, wakil hakim, dan seorang panitera. Hakim Jalu berjalan terburu buru, mengamit ujung jubahnya agar tak kena tanah. Wakil hakim berjalan menyusul di belakangnya. Sedang sang panitera…tampak terlalu kikuk untuk hadir di lapangan ini. Berkali kali tumpukan berkas ditangannya jatuh, atau dia salah tingkah saat angin menerbangkan selebar-dua dokumen perkara di tangannya itu. Hendak mengejar, tapi tak jadi…berpaling sedikit dengan gugup, lalu kembali berniat hendak mengejar barkas yang terbang, tapi diurungkan kembali niatnya itu. Orang orang hanya tersenyum melihat lagaknya yang gugup macam itu.

Hakim Jalu mengambil tempat pada meja di tengah panggung besar. Wakil hakim berposisi di kirinya, dan panitera duduk di kanannya. Bau asin garam terbawa angin dari sisi timur lapangan.

Hakim Jalu menganggukkan kepalanya pada seorang petugas pengadilan. Petugas yang menerima anggukan segera mengerti, lalu berteriak sekeras mungkin. “Perhatian…! Hakim yang Mulia telah memanggil ke hadapan kalian seorang lelaki bernama Zamboni sehubungan perkara atas dugaan penggelapan laporan perbendaharaan kota Vastivia…!” Begitu keras petugas itu berteriak, sampai sampai semua orang harus menoleh padanya.

Di ujung teriakannya itu…dua petugas berpakaian sipir menggandeng di tengah seorang lelaki yang terus tertunduk. Wajahnya basah air mata, bibirnya gemetar keras…sekeras gigil serupa pada lututnya. Dia tak sanggup berjalan sendiri, sehingga harus dipapah macam itu.

Zamboni lalu dinaikkan pada panggung kecil diseberang panggung besar para hakim. Karena ketakutan yang besar, petugas nyaris hampir memukul punggungnya karena dia tak bisa berdiri tegak. “Berdirilah tegak di hadapan hakim!” Teriak petugas di kanan Zamboni. Pemukul sudah terangkat ke udara…buru burulah Zamboni memaksa lututnya tegak.

Kedua petugas lalu turun, dan menunggu di bawah panggung kecil. Zamboni terisak isak, saat melihat istri dan dua puteranya berdiri dalam sedih di sudut tribun paling utara.

“Baiklah…saudara Zamboni.” Hakim Jalu membuka pengadilan rakyat ini. Wajahnya terlihat berkilat dari tempatku duduk. “Anda harus membuktikan sendiri bahwa Anda tidak bersalah dalam dugaan ini. Saya harap pembelaan terhadap diri Anda akan membawa kami semua ini pada terbukanya kebenaran perkara ini.” Hakim Jalu mengeluarkan sapu tangan, menyeka mukanya yang berminyak.

Udara panas dan kering tiba tiba menyergap lapangan ini. Bukan hanya Hakim Jalu saja, hampir semua orang yang duduk di tribun saat ini sudah mengeluhkan hawa panas ini.

“Jabatanku adalah hakim kota, tapi kedudukanku dalam persidangan hanyalah pemeriksa belaka. Hakim tertinggi di pengadilan Vastivia adalah warga. Engkau harus membuktikan pada warga, bahwa bukan engkau pelaku penggelapan uang uang mereka. Jika engkau tak bisa membuktikan pada mereka…maka mereka pulalah yang akan menentukan hukuman padamu.” Terang dan jelas Hakim Jalu memberi taklimat awal.

Seketika warga bersuara riuh di penghujung kalimat Hakim Jalu. Para hakim pemeriksa menunggu dengan sabar sampai semua orang berhenti bersuara.

“Nah, Zamboni apa pembelaanmu atas tuduhan ini…?” Suara Hakim Jalu tajam menusuk.

Zamboni tergugu sesaat. Sebelum dia menjawab pertanyaan Hakim Jalu, matanya dilempar ke ujung paling utara tribun. Wajah istrinya basah, dan kedua puteranya menyembunyikan wajah mereka ke perut ibunya.

“Sungguh…bukan saya pelaku penggelapan itu.” Kata Zamboni dengan wajah memelas. Pandangannya diedar kesemua warga di tribun. Sebaliknya, semua orang mendelik padanya dengan benci kesumat.

“Aku tidak tahu bahwa laporan yang aku buat itu adalah laporan kwartal perbendaharaan kota. Aku hanya melihat angka angka yang telah ditandai, dan…” Zamboni berhenti sejenak, menyeka hidungnya, lalu melanjutkan, “…aku hanya diberi angka pengganti yang harus aku…”

“Zamboni…keraskan suaramu!” Teriak Hakim Jalu dari panggung besar. Wajahnya memerah, terbakar amarah.

Zamboni memandangnya dengan takut. Lalu dagunya diangkat, perutnya menghentak, mendesak udara pada kerongkongannya untuk mendorong suara yang akan dilontarkannya… “Aku hanya diberi angka pengganti yang harus aku tera dengan segera pada dokumen pengganti!” Suara Zamboni membahana ke seluruh penjuru lapangan.

Orang orang tercekat, lalu berbisik bisik kasar.

“Jika benar engkau diperintah melakukan itu…lalu siapa yang memerintahmu?!” Teriak seorang lelaki paruh-baya bertopi pet dari tribun bagian selatan.

Zamboni merutuk dirinya sendiri. Mukanya diangkat pelan pelan, memandang lelaki yang bertanya…lalu pandangannya dialihkan pada Hakim Jalu. Hakim mendelik padanya…dan seperti orang kaget Zamboni berdiri tegak. Mulutnya membuka, “Petrova. Sekretaris kota Vastivia.” Akhirnya nama perempuan itu meluncur dari mulut Zamboni.

Warga terdengar melenguh bersamaan. Seorang ibu muda memaki Zamboni dan melemparinya dengan gayung kayu…yang mendarat telak ke kening Zamboni dan memuncratkan darah.

“Bawa ke panggung Vastivia…seorang yang bernama Petrova!” Perintah Hakim Jalu.

Kembali, dua petugas segera menjemput nama yang disebutkan. Tak lama kemudian, kedua petugas sudah menggelandang seorang perempuan, dan segera dinaikkan ke panggung kecil itu…bersama, bersisian dengan Zamboni.

Pias sekali wajah Petrova. Dia begitu yakin Zamboni tak akan buka mulut…setelah semua diberikannya pada lelaki itu. Keringat membulir…mengaliri pelipisnya yang putih. Tapi wajah Hakim Jalu membuatnya tenang kembali

“Petrova…” Sapa Hakim Jalu, “apa pembelaanmu pada warga Vastivia, perihal tudingan Zamboni yang menyebutmu ikut terlibat?”

“Aku tidak melakukannya…”

Plak! Tangan Zamboni mendarat telak di pipi putih Petrova. Perempuan itu kaget setengah mati. “Kau berbohong, Petrova…kau berbohong!” Tangan Zamboni tepat menunjuk matanya.

“Bukankah kau menyogokku dengan uang sepuluh juta Hast…dan, agar aku tetap tak  buka mulut pada siapapun, engkau bahkan mau aku tiduri…!” Begitu keras lompatan pengakuan Zamboni. Semua orang terkejut.

Semuanya…termasuk seorang perempuan di sudut paling utara tribun. Istri Zamboni nyaris menjerit, lalu buru buru membekap mulutnya sendiri. Dia tak percaya pada ujung ucapan suaminya barusan.

Huuuuuuuuu…!!!

Warga Vastivia memberikan koor panjang ejekan mereka. Bersamaan dengan ejekan yang membuhul amarah, beberapa benda keras beterbangan ke arah panggung kecil tempat Zamboni dan Petrova berdiri. Beberapa benda keras itu luput, tapi beberapa lainnya tak pelak mampir dengan keras ke tubuh dan kepala keduanya. Giliran kini Petrova mengganjal hidungnya. Darah mengalir deras dari kedua lubangnya.

Tak ada peluang bagi kebohongannya, begitu Petrova membatin. Dengan suara sengau, diangkatnya terlunjuk ke udara dan langsung saja, “…Walikota Palyska juga terlibat dalam perkara ini!” Begitu Petrova menyahuti warga dengan keras.

Semua orang kembali tercekat. Tangan tangan terancung yang hendak melayangkan benda keras lainnya ke arah panggung kecil…tiba tiba berhenti. Mata mereka semua kini tertuju pada Hakim Jalu. Seolah olah mata mereka hendak berkata…ayo panggil Walikota Palyska.

“Jemput segera, dan bawa ke hadapan warga Vastivia…lelaki bernama Palyska!” Akhirnya perintah pun keluar. Dua petugas kembali bergegas pergi, lalu muncul tak lama bersama seorang lelaki. Digiring pula ke atas panggung kecil…bersisian bersama Zamboni dan Petrova.

“Palyska…Anda pun harus membela diri atas tudingan Petrova terhadapmu bahwa engkau terlibat pula dalam perkara ini!” Hakim Jalu memberi kesempatan pada Palyska.

Walikota Palyska memutar pandangannya pada ratusan warga Vastivia yang hadir. Ada anak perempuannya duduk diantara warga. Palyska menunduk sebelum memulai bicara.

“Aku tak akan membantah lagi. Rupanya perkara ini akhirnya terbuka juga. Tadinya aku tidak mengira akan secepat ini perkara ini terungkap.” Palyska mendelik pada Petrova di sisi kiri tubuhnya. Wanita itu masih sibuk mendekap hidungnya.

“Aku bertemu Petrova pada malam seusai jadwal perkantoran Balaikota Vastivia. Kami bertemu di Uljibeer dan bercakap biasa saja. Tapi tiba tiba kami masuk pada topik yang membuatku langsung panik. Petrova menyinggung persoalan laporan kwartal perbendaharaan kota…yang menurutnya ganjil. Ini harus diperbaiki, katanya. Dan aku setuju saja, sebab auditor akan datang memeriksa dua hari berselang.”

“Padaku…Petrova menyodor beberapa nama yang sedianya akan diminta mengubah laporan itu. Pada nama nama itu hanya Zamboni yang dianggap cocok, sebab selama 15 tahun bekerja di bagian restorasi dokumen. Maka, Petrova bersedia menemui Zamboni untuk membicarakan hal itu.”

Seorang pemuda berdiri…sehingga membuat Palyska berhenti barang sebentar. “Mengapa kalian tidak biarkan saja auditor memeriksa dan menemukan keanehan itu? Bukankah akan mudah merunut siapa dan dimana letaknya kesalahan itu?”

Palyska mendehem pelan. “Benar. Akan mudah dan lebih sederhana menempuh langkah itu. Tapi ini soal kredibilitas Balaikota. Saya tak mau dianggap tak becus akibat kehilangan perbendaharaan kota…maka itulah usul Petrova saya anggap tepat ketika itu.”

“Zamboni mengerjakan laporan itu dengan cepat. Aku kagum atas hasil kerjanya. Tapi…rupanya pekerjaannya tak cukup teliti dimata auditor. Aku mendapat laporan, bahwa auditor telah menemukan keganjilan pada laporan buatan Zamboni. Ada beberapa rujukan pengeluaran yang disusun tergesa gesa sehingga sejumlah angka mencuat secara aneh. Jika angka angka ini dijumlahkan, maka hasilnya cukup besar. Ada sejumlah jutaan Hast yang tak ada di laporan.”

Lelaki yang bertanya terakhir berteriak gusar. Telunjukkan menuding pada ketiga orang di panggung kecil itu. “Hukum mati mereka!”

Teriakan pemuda itu memicu teriakan serupa dari semua warga Vastivia yang hadir. Mereka seolah olah hendak bergerak menuju panggung kecil…menjemput ketiganya untuk dihukum mati.

Hakim Jalu bersiap hendak mengetuk palu vonis pada ketiganya.

Petrova seketika panik. Kondisi yang tak disangkanya sama sekali. Benar benar diluar dugaannya. Entah mengapa dia terbujuk melakukan itu, padahal dia sendiri tak menerima bagian yang utuh dari yang dijanjikan. Hanya 200 juta Hast yang jatuh ke tangannya, dan masih ada 200 juta Hast lagi yang belum diterimanya.

Petrova melompat turun dari panggung tiga meter itu. Dia tersungkur keras. Wajahnya mencium tanah. Kini cemong darah bercampur tanah memenuhi hidung, dan mulutnya. Petrova seperti kesetanan…langsung bangun dan lari menuju panggung besar. Tangannya mengancung batu yang siap dilemparkan ke Hakim Jalu…mencoba mencegah sang hakim mengetuk palu vonis mati pada mereka.

Jarak Petrova yang makin dekat, membuat Hakim Jalu panik. “Tembak dia…tembak!” Teriaknya panik.

Saat jarak petrova tinggal 20 meter, sesosok tubuh melayang dan menimpa Petrova. Rupanya…si panitera segera melompat dan menerkam Petrova sehingga keduanya jatuh bergulingan. Si panitera kini menduduki tubuh Petrova dan menekan kedua tangan perempuan itu ke tanah…batu besar di tangan Petrova pun lepas.

Dalam isakan tangis yang menjadi jadi…Petrova berujar memelas. “Hukum dia juga…” Telunjuknya menuding Hakim Jalu. “Dia yang menyuruhku… Dia yang menggunakan uang dari perbendaharaan kota untuk dipakainya sendiri. Dia menyuapku untuk membujuk walikota dan melibatkan Zamboni…”

Si panitera seketika gugup. Warga Vastivia diam tak bergerak. Perkataan Petrova bagai pecut yang menghantam anak telinga mereka. Tiba tiba saja…enam petugas sudah mengepung Hakim Jalu.

#

Asin dan kering angin laut berhembus dari sisi timur Vastivia. Kota itu baru saja mengakhiri hidup empat pelaku korupsi.

Angin yang asin dan kering meniup tubuh Zamboni yang mengayun pelan dari tiang gantungan. Manyapukan debu ke wajah Petrova yang dibenam sebatas kepala di liang galian dua meter. Mengirim bau anyir darah dari potongan kepala Palyska yang menggelinding dekat altar marmer.

Mengeringkan tubuh Hakim Jalu yang teronggok mati di sudut panggung besar. Di jubah toganya tercetak sebentuk liang menganga bekas belati salah seorang dari enam petugas yang mengepungnya.

[]

November 2010



Catatan:

Nama karakter dan nama tempat dalam kisah ini adalah fiktif belaka. Kota Vastivia adalah kota imajiner.


Kaji Puisi : Salju di Jemari Penyair Yeni Ratna; Sunyi yang Memberi Ruang

Oleh Syaiful Alim

 

 

Teks Sajak: Solitude

 

Biarkan aku menjadi seonggok salju

diujung puncak Jaya Wijaya

Sunyi, hening memberiku ruang

menerawang langit dan bumi

 

Jangan ayunkan aku ke langit

Ku takut mengasap hilang dibalik awan

Jangan lempar aku ke bumi

Ku takut meleleh menjadi air secawan

 

Ku tak ingin digerus deru angin

Ku tak mau diserap hawa bumi

Aku hanya ingin disini,

Menggenggam jiwaku sendiri;

 

Seperti sebongkah salju itu

Yang dinginnya tak rontokkan tulang

Yang serpihannya tak mambuatmu bergegas pulang

Yang cipratannya tak kotori baju dan sepatumu

 

Ku tak ingin menjadi salju

Yang surutkan langkah tuk beranjak hidup

Yang membawa riang sesaat bocah

Berjingkrak girang menatap boneka salju bermuka lucu

 

Ku hanya ingin menjadi seonggok salju

Di puncak Jaya Wijaya

Hening, sunyi memberiku ruang

menerawang langit dan bumi

 

Aku pergi esok hari

Menjadi seonggok salju dipuncak itu

Maafkan jika aku tinggalkan bercak di bajumu

Jejak sepatumu

Noda dirambutmu

Kutebus dengan ziarahku

ke puncak gunung itu

 

 

[]

 

 

Kaji Puisi: Salju di Jemari Penyair Yeni Ratna: Sunyi yang Memberi Ruang

 

 

I

 

Sajak terlahir dari kehendak sang penyair. Kehendak menjadi sesuatu atau seseorang. Sebuah kehendak adalah proses. Dikatakan proses karena bisa menjumpai dua kemungkinan; kemungkinan gagal dan kemungkinan berhasil dengan kehendaknya itu.

 

Takdir benda adalah diam. Nasib benda-benda akan berubah jika ada unsur atau tangan yang menggerakkannya. Seolah tangan itu meniupkan ruh ke tubuh benda-benda itu. Ketika benda diambil dari habitat muasalnya, maka ia mengalami perubahan, baik aktif maupun pasif. Pun ketika benda-benda itu diusung di alam imaji.

 

Takdir penyair adalah gerak, pemikir. Eksistensi atau kehadiran penyair diakui ketika ia berusaha mengasah hati atau mindanya, sebagai jembatan memaknai atau mengakrabi kehidupan. Daun yang luruh dari reranting bisa disunting penyair menjadi cermin. Cermin yang akan menampakkan hakikat kepemilikan atau benda-benda alam semesta. Seolah daun luruh itu menyampaikan pesan kepada kita bahwa tak ada yang abadi. yang berasal dari debu, kembali menyatu dengan debu, yang berasal dari tanah, kembali merebah di tanah, yang berasal dari api, kembali pergi ke api, yang berasal dari air, kembali mencair, yang berasal dari cahaya, kembali fana ke inti cahaya. Pohon yang awalmula tampak kuat nan kokoh, akhirnya juga roboh. Reranting yang liat bagai taring, akhirnya pun mengering. Dedauanan yang hijau, waktu demi waktu akan layu. Kulit yang putih mengkilat, lamat-lamat akan lumat oleh ulat waktu. Begitulah setiap ciptaan akan menemui takdir akhirnya.

 

Lalu apa medium penyair menyampaikan pesan daun luruh itu?

 

Saya coba menggarisbawahi bahwa antara penyair, puisi, bahasa, dan benda itu memiliki kaitan atau ikatan yang berporos pada saling ketergantungan. Bahasa dan benda akan mati jika tidak dimanfaatkan oleh jemari penyair. Begitu sebaliknya, penyair akan berakhir eksistensinya jika bahasa dan benda tidak ada dan mengada di alam semesta. Maka di sinilah letak peran puisi itu. Puisi adalah kembaran perasaan penyair. Dimana benda-benda yang dibalut bahasa tadi mengekpresikan gelap-remang-terang wajah-wajah yang dipotret penyair.

 

 

II

 

Kini benda itu diwujudkan oleh Penyair Yeni Ratna dengan ‘salju’. Salju itu telah diciduk sang Penyair untuk diletakkan di bangunan sajaknya. Pertanyaannya adalah apakah salju itu cuma sekadar tempelan belaka atau ada maksud tertentu yang hendak digelar oleh Penyair yang Pemikir ini?

 

Penyair Besar Chairil Anwar adalah salah satu contoh penyair terbaik dalam mengakrabi dunia benda-benda. Penyair ini begitu lihainya meletakkan benda-benda ke dalam bangunan sajaknya. Benda yang aktif. Dalam artian benda-benda itu seolah bergerak mengukuhkan ruh penyair yang menjadi kembaran jiwa atau perasaan penyair. Benda itu menjadi lambang atau dunia metapor. Mari kita renungi puisi malam di pegunungan:

 

“Aku berpikir: bulan inikah yang membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!”

 

Dari sajak di atas, kita bisa mengambil langkah cerdas seorang Penyair memainkan benda-benda alam itu untuk maksud atau kehendak tertentu-yang menjadi kembaran maya jiwa. Seolah imaji benda-benda itu dibelokkan ke arah lain. Sebuah arah yang bertabrakan dengan arah yang sewajarnya. Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!.

 

Betapa bahagia saya mendapati puisi Penyair Yeni Ratna, solitude. Saya menduga adalah sajak yang berhasil menyajikan kohesi dan koherensi yang dipayungi oleh sistem bahasa. Kohesi menunjuk pada keserasian dan kepaduan unsur-unsur bahasa secara sintaksis, sedangkan kohererensi menunjuk pada keserasian dan kepaduan ide, gagasan, ungkapan perasaan, citraan atau asosiasi secara semantik. Dengan demikian, maka kohesi dan koherensi bertujuan untuk memproduksi isi, pesan atau makna yang konstruktif. Atau untuk menghindari ambiguitas, ambivalensi dan polisemi. Tetapi bisa saja justru menyuburkan ambiguitas, ambivalensi dan polisemi, yang sembunyi ke dalam daging lambang dan metafora yang dibentang oleh sang Penyair.

 

Solitude judul puisi Penyair kandidat Doktor ini, Yeni Ratna. Bahasa indonesiakah judul itu? bukan. Lalu kenapa memakai bahasa inggris? Kenapa tidak pakai bahasa Indonesia? Hanya penyair yang mengerti kegaiban dengan pemilihan bahasa itu. Sebenarnya terobosan ini hal biasa, sudah dilakukan oleh penyair pendahulu. Tetapi yang menjadi keluarbiasaan atau kehebatan dengan pemakaian judul dengan bahasa asing adalah bagaimana sang penyair mendedahkan perasaan yang sejalan dengan judul itu. dan saya duga Penyair Yeni Ratna berhasil menerjemahkan judul puisinya yang berbahasa asing itu ke dalam bait dan larik-larik sajaknya.

 

Kalau tidak salah, solitude itu bermakna kesunyian, kesenyapan, kesepian dan makna-makna yang menjadi deviaratifnya.

 

seorang penyair atau entah apalah namanya membutuhkan suasana yang steril dan higienis dari kuman-kuman, polusi-polusi, tumpukan sampah busuk dan hiruk pikuk kebisingan kota. Kesemua itu dapat mencemari, meracuni bayi-bayi karya yang akan ditetaskan-dilahirkan. Bahkan dapat mudahnya terjangkiti penyakit hingga menjemput kematian. Kenapa para penyair mencintai keheningan dan menyetubuhi alam? Karena dalam hening alam itu urat, indra dan syaraf dapat mencecap, menyerap dan menyergap dengan cepat sabda alam; desau angin, luruh daun jatuh, ranting patah, kicau burung, gemericik air, kecipak ikan, cahaya yang berenang di pori-pori daun, dentuman ombak, geliat ulat tersengat matahari. Mungkin tersebab itu para Nabi dan rasul berkholwah (menjauh) dari manusia dalam proses semedi dan penyucian diri serta menerima ilham atau wahyu ilahi. Misalnya saja Nabi Muhammad saw. Beliau diasuh dan dibesarkan di daerah jauh dari hiruk pikuk kota, kampung Baduy.

 

“Biarkan aku menjadi seonggok salju

diujung puncak Jaya Wijaya

Sunyi, hening memberiku ruang

menerawang langit dan bumi”

 

Saya mohon maaf kepada Penyairku, Yeni Ratna, bagaimana jika bait pembuka ini sedikit saya rubah dengan penghilangan sebagian kalimat di situ:

 

“Biarkan aku menjadi seonggok salju

di puncak Jaya Wijaya

Sunyi, hening memberiku ruang

menerawang langit dan bumi”

 

Membaca bait pembuka puisi ini, imajiku langsung diseret ke puncak gunung bersalju itu. seolah saya adalah si aku lirik yang melakukan ziarah atau perjalanan ( ke puncak gunung itu ) untuk menebus segala yang pernah dilakukan terhadap orang-orang yang mengelilinginya.

 

Salah satu fenomena menarik saat musim dingin adalah salju. Menjadi unik karena kristal-kristal es yang lembut dan putih seperti kapas ini hanya hadir secara alami di negeri empat musim atau di tempat-tempat yang sangat tinggi seperti puncak gunung Jaya Wijaya di Papua.

 

Kristal salju memiliki struktur unik, tidak ada kristal salju yang memiliki bentuk yang sama di dunia ini. ini seperti sidik jari kita. Keunikan salju yang lainnya adalah warnanya yang putih. Kalau turun salju lebat, hamparan bumi menjadi putih, bersih, dan seakan-akan bercahaya. Ini disebabkan struktur kristal salju memungkinkan salju untuk memantulkan semua warna ke semua arah dalam jumlah yang sama, maka muncullah warna putih.

 

Selain itu, turunnya salju memberikan kehangatan. Ini bisa dipahami dari konsep temperatur efektif. Temperatur efektif adalah temperatur yang dirasakan oleh kulit kita, dipengaruhi oleh tiga besaran fisis: temperatur terukur (oleh termometer), kecepatan pergerakan udara, dan kelembaban udara. Pada saat salju turun lebat, kelembaban udara naik dan ini mempengaruhi temperatur efektif sehingga pada satu kondisi kita merasa hangat.

 

Kenapa si aku lirik terobsesi menjadi seonggok salju? Apa yang hendak digelar Penyair ini dengan benda alam itu, salju?

 

“Biarkan aku menjadi seonggok salju

di puncak Jaya Wijaya

Sunyi, hening memberiku ruang

menerawang langit dan bumi”

 

Dunia modern dan postmodern ini diliputi oleh berbagai warna-warni kesibukan yang menyesakkan dada. Manusia diburu waktu untuk bersaing atau berkompetisi dalam memperebutkan kursi-kursi penghidupan. Seolah tak ada waktu untuk berasyik masyuk dengan makhluk yang bernama sunyi. Seolah tak ada waktu lagi untuk khusuk memeluk kesunyian-kesunyian duri pada diri.

 

Seolah hipotesa Hobbes ‘homo homini lupus’ mendapat pembenarannya. Manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Hidup adalah saling menerkam antara satu dengan yang lainnya. Hidup adalah saling menumbangkan. Ego yang dibungkus dengan kecemburuan, kedengkian telah melahirkan berbagai keretakan hubungan kemanusiaan. Kehangatan dan kedamaian teramat mahal harganya-tak terbeli.

 

Berpijak dari gejala dan gejolak di atas, maka kita dihentakkan oleh Penyair ini dengan baris-baris sajaknya yang manis dan mengiris:

 

“Biarkan aku menjadi seonggok salju

di puncak Jaya Wijaya

Sunyi, hening memberiku ruang

menerawang langit dan bumi”

 

Kita menangkap isyarat bahwa si aku lirik dalam sajak ini mencoba berlari atau melawan kebisingan hidup itu dengan kehendak menjadi seonggok salju di puncak gunung Jaya Wijaya itu. seonggok salju beku bening yang hening. Keheningan yang memberi atau menyediakan ruang untuk memahami kehadiran alam dan tentu sang Pencipta alam itu.

 

Dari bait ini juga saya mendapatkan jejak-jejak tapak sejarah masa silam. Muhammad saw menjauh dari kaumnya menuju gua hira-menyepi dan mengheningkan hati. Melarikan segala kegundahan dan keresahan kepada pencipta alam. Sehingga mendapatkan wayhu pertama. Begitu juga dengan Sidharta yang meninggalkan kemewahan dunia menuju keheningan alam. Dia bertapa di bawah pohon budhi. Sehingga mendapati buah pencerahan.

 

“Aku hanya ingin disini,

Menggenggam jiwaku sendiri;”

 

Saya diam dan termenung memandangi larik cantik ini. Betapa bercahaya kata-kata ini. Bagai salju itu di puncak gunung Jaya Wijaya itu. ternyata untuk menggenggam jiwa sendiri saja harus dengan bersusah payah berlelah letih naik ke puncak gunung dengan kehendak menjadi seonggok salju. Bagaiamana dengan menggenggam jiwa orang lain? Aduh betapa berpeluh.

 

Saya tergoda untuk menariknya ke dalam dunia kepemimpinan. Seorang atau calon pemimpin seharusnya mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebelum ia memimpin kelompok, kaum atau Negara yang menjadi ruang geraknya.

 

Aduh saya semakin ngelantur saja. Maklum sedang dikejar sakaratul maut kata-kata. Saya sudahi saja esai amatir ini. Daripada nanti kepanjangan. Jadi lama bacanya he he.

 

“Kutebus dengan ziarahku

ke puncak gunung itu”

 

[]

 

Syaiful alim

gembel bahasa

2010.

 


Begini Cara Saya Menikmati Tulisan (1) : Sarapan Dua Cerpen Dari Dua Penulis Kreatif

Oleh Ade Anita

PAGI ini, Senin 3 May 2010 saya disuguhi dua sarapan notes yang berisi cerpen. Subhanallah.. indahnya.

Dua cerpen ini ditulis oleh Cepi Sabre dan Melvi Yendra. Yang satu berjudul “Tokoh-Tokoh Cerita Dari Sebuah Kotak Kayu” (Cepi Sabre) dan yang satunya lagi berjudul “Tobat” (Melvi Yendra).

Keduanya saya persandingkan bukan karena keduanya memiliki kerenyahan dalam penuturan kalimat-kalimat yang terjalin di dalamnya. Juga bukan karena gaya menulis cerdas yang mereka suguhkan. Keduanya saya persandingkan karena keduanya menulis cerpen dari sesuatu yang sudah amat akrab di dunia imajinasi pembaca.

Dalam tulisan “Tobat” (pernah dimuat di Republika, 25 april 2010); Melvi menceritakan ulang kisah tentang seorang pendosa yang telah membunuh 23 orang lalu ingin bertobat. Di versi asli kisah ini, pembaca tentu sudah pernah membaca atau mendengar tentang seorang yang telah membunuh 99 orang lalu ingin bertobat tapi ternyata mati di tengah jalan. Malaikat lalu menghitung lebih dekat mana jarak dia ke arah tobat dan ke arah perbuatan dosanya. Tentu saja lebih dekat ke arah tobatnya dan si pendosa pun diangkat ke surga.

Melvi mengangkat kembali kisah ini. Tapi tentu saja dengan modifikasi kekinian. Tidak sebrutal 99 orang, karena secara logika, orang yang telah membunuh 99 orang secara langsung pasti akan terlacak kejahatannya oleh kepolisian. Jadi, cukup 23 orang saja (sedikit lebih banyak dari korban babe yang membunuh anak-anak jalanan setelah mereka disodomi terlebih dahulu). Tapi tetap merupakan kejahatan brutal. Kisah pembunuh 99 orang ini disampirkan Melvi di tengah ceritanya untuk mencerahkan hati tokoh central di cerpen Tobatnya ini.

Sama seperti kisah pembunuh 99 orang, si pembunuh 23 orang inipun akhirnya juga ingin bertobat. Dia ingin bertobat setelah membaca pesan dari putrinya yang rindu ingin bertemu. Kian tergerak hatinya setelah mendengar alunan suara orang yang mengaji di masjid (dan ternyata suara seorang ustad) hingga dia memutuskan untuk mendatangi ustadz tersebut di Masjid dalam usahanya melarikan diri dari kejaran kepolisian.

Sedangkan dalam kisah “Tokoh-Tokoh Cerita Dari Sebuah Kotak Kayu” (Cepi Sabre), Cepi menceritakan tentang seorang lelaki yang bernama Frick Fritzgerald yang berprofesi sebagai seorang penulis cerita. Dia selalu meletakkan tokoh-tokoh cerita khayalannya di dalam sebuah kotak kayu. Sayangnya, karena diletakkan dalam sebuah kotak kayu yang kecil, si tokoh-tokoh cerita yang mini-mini tubuhnya tapi memiliki kecerdasan tersendiri ini, cepat belajar untuk menghadapi situasi yang tidak enak. Diletakkan dalam sebuah kotak kayu yang tertutup dan sempit, tentu saja merupakan sebuah situasi yang tidak enak. Karena letaknya yang tertutup menjadikan cakrawala berpikir mereka menjadi kerdil dengan sendirinya karena tidak banyak mengalami perkembangan akibat tidak pernah melihat dunia luar secara bebas lagi. Kerdilnya cara berpikir lamban laun akan mematikan kreatifitas. Cupek; sumpek; pengap dan akhirnya kerdil untuk kemudian lenyap tanpa bekas. Tokoh-tokoh cerita yang mini yang cerdas dan bisa diajak bertukar pikiran untuk membentuk sebuah cerita oleh Frick Fritzgerarld ini akhirnya berontak. Mereka mencoba untuk melarikan diri. Walhasil, Frick Fritzgeraldpun menjadi sibuk mengejar semua tokoh ceritanya yang melarikan diri dan memasukkannya lagi satu persatu ke dalam kotak.

Cerdas sekali idenya Cepi Sabre menulis cerpennya ini kan?

Saya amat menikmati gaya Cepi Sabre yang selalu ringan dan renyah dalam bertutur. Sekilas saya merasa bahwa dia sedang membicarakan tentang kondisi terkini para penulis dengan gaya sarkasmenya yang halus dan sopan. Betapa banyak penulis yang selalu merasa bahwa mereka punya keunikan tersendiri dalam menulis dan mengklaim kekhasannya tersebut sebagai miliknya pribadi. Lalu.. bagaimana jika tokoh-tokohnya tersebut ternyata merasa bosan diceritakan dengan gaya yang itu-itu saja? Apa jadinya jika para tokoh khayalan itu ingin merasakan proses kreatifitasnya sendiri-sendiri? Bisa jadi mereka bisa lebih kreatif… bisa jadi juga mereka bisa malah mati dan terlupakan. Tapi, sebagai pemilik ide, setiap penulis akan berusaha keras untuk menyimpan karakter-karakter ciptaannya itu dalam sebuah kotak ide rapat-rapat.

Lalu… apa hubungannya cerpen Cepi Sabre dan Melvi Yendra?

Jika Cepi Sabre masih melukiskan kondisi terkini para penulis maka Melvi Yendra memberikan contoh nyata yang dilakukan oleh penulis. Ketimbang harus terpaku dengan cerita baku yang sudah turun-temurun diceritakan dengan gaya yang sama (kisah tentang pembunuh 99 orang yang bertobat) maka Melvi mencoba untuk “mengadopsi” tokoh cerita yang berhasil kabur dari kotak ide ini menjadi tokoh cerita yang baru.. pembunuh 23 orang. Artinya.. jika kita semua menulis lalu tiba-tiba kehabisan ide mau nulis apa… jangan pernah ragu untuk membuka kotak ide dan ambil satu tokoh. Bisa jadi tokoh itu sudah banyak diceritakan banyak orang; bisa jadi itu adalah tokoh yang amat sangat umum dan tidak punya keistimewaan; tapi kita bisa memodifikasinya agar kembali menjadi tokoh yang fresh lagi.

Subhanallah… keduanya memang cerdas dan benar-benar sudah memberikan sarapan bergizi untuk saya belajar menulis.

[]

Tokoh-Tokoh Cerita Dari Sebuah Kotak Kayu

(Cerpennya Cepi Sabre)

“Di sana! Di sebelah sana, Gabriel!”

“Kakimu, Tuan Frick! Di bawah kakimu!”

Frick Fritzgerald adalah seorang penulis cerita. Frick Fritzgerald suka menyimpan tokoh-tokoh ceritanya ke dalam sebuah kotak kayu. Setiap kali ingin mengarang cerita, Frick Fritzgerald akan membuka kotak kayu tersebut, mengambil beberapa tokoh, lalu mulai menulis cerita. Ceritanya menjadi begitu hidup karena tokoh-tokoh yang ada di dalamnya memang hidup. Di dalam sebuah kotak kayu.

Beberapa minggu belakangan ini, Frick Fritzgerald tidak menulis cerita apa pun. Bukan berarti Frick Fritzgerald kehabisan ide atau tokoh untuk dijadikan cerita. Beberapa minggu belakangan ini, tokoh-tokoh cerita Frick Fritzgerald suka melarikan diri dari kotak kayu itu. Begitulah, Frick Fritzgerald sibuk mengejar-ngejar tokoh-tokoh ceritanya sendiri. Tanpa tokoh-tokoh cerita itu, Frick Fritzgerald akan kesulitan menulis cerita.

Bisa saja Frick Fritzgerald membuat tokoh-tokoh lain, tapi tokoh-tokoh cerita yang sudah dibuatnya dan melarikan diri itu bisa menulis cerita sendiri. Akan sangat lucu sebuah cerita yang ditulis sendiri oleh tokoh ceritanya. Belum pernah ada. Belum pernah ada, tapi lucu. Dan kali ini Frick Fritzgerald dibantu oleh seorang makhluk dengan sepasang sayap kecil di punggungnya, Gabriel.

Gabriel. Tidak salah lagi, Gabriel adalah salah satu malaikat Tuhan. Gabriel sedang menjalankan tugasnya berkeliling dunia ketika di sebuah kota Gabriel melihat satu rumah dengan lampu yang masih menyala. Gabriel melihat Frick Fritzgerald berbicara dengan beberapa makhluk aneh. Makhluk-makhluk aneh itulah tokoh-tokoh cerita buatan Frick Fritzgerald yang selama ini disimpannya di dalam kotak kayu.

Gabriel begitu terpesona dengan pemandangan yang dilihatnya. Gabriel berpikir bahwa Frick Fritzgerald adalah Tuhan yang lain. Tidak bisa tidak, hanya Tuhan yang bisa menciptakan tokoh-tokoh cerita. Gabriel tidak berpikir lama untuk mengetuk di pintu rumah Frick Fritzgerald lalu minta dimasukkan juga ke dalam kotak kayu.

Satu-satunya alasan saya tidak memasukkan Gabriel ke dalam kotak kayu itu adalah ukuran tubuhnya yang besar. Gabriel hampir setinggi Frick Fritzgerald. Sepasang sayap kecil di punggungnya menambah besar ukuran badan Gabriel. Sementara tokoh-tokoh cerita buatan Frick Fritzgerald tidak pernah lebih tinggi daripada sebuah gelas. Itulah sebabnya sangat sulit menangkap tokoh-tokoh cerita itu setiap kali mereka melarikan diri dari kotak kayu Frick Fritzgerald.

Seekor anjing dengan topi pet setinggi gelas berlari dengan kencang. Anjing itu masih sempat menoleh ke belakang satu kali sebelum sebuah tangan yang sangat besar menggenggamnya. Anjing itu ikut berguling bersama si pemilik tangan yang ternyata adalah Frick Fritzgerald.

“Bwahahaha … Akhirnya tertangkap, Gabriel! Anjing nakal ini sudah kutangkap!”

Frick Fritzgerald memasukkan kembali anjing dengan topi pet itu ke dalam kotak kayu. Anjing itu masih hendak melompat keluar lagi, tapi Frick Fritzgerald cepat menutup kotak kayunya. Topi petnya terjatuh. Frick Fritzgerald memungutnya lalu memasukkannya juga ke dalam kotak kayu.

“Bagus, Tuan Frick. Saya sudah sangat lelah. Anjing itu benar-benar lincah.”

Gabriel segera menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tidak lama kemudian, Frick Fritzgerald pun melakukan hal yang sama.

“Aku juga, Gabriel. Mereka semakin lama semakin cepat. Mungkin karena mereka juga sudah hafal letak perabotan-perabotanku. Kupikir, sebaiknya kita kosongkan saja rumahku ini, Gabriel.”

Tapi mereka berdua, Frick Fritzgerald dan Gabriel, berhenti hanya sampai di sana. Keduanya terlalu lelah untuk mengosongkan rumah Frick Fritzgerald hari itu juga. Terlebih mereka sekarang merasa begitu nyaman di dalam pelukan sebuah sofa. Nafas Frick Fritzgerald dan Gabriel mulai lebih teratur.

“Bagaimana bisa, tokoh-tokohmu melarikan diri dari kotak kayu itu, Tuan Frick?”

“Entahlah, Gabriel. Kupikir, mereka sudah merencanakannya sejak lama lalu bersama-sama mengangkat tutup kotak kayu itu.”

“Maksudku, bagaimana bisa, kau tidak punya kendali atas mereka, Tuan Frick? Bukankah mereka semua itu kau yang ciptakan?”

“Aku bukan Tuhan, Gabriel.”

Gabriel tersentak. Selama ini Gabriel merasa yakin bahwa Frick Fritzgerald adalah Tuhan yang lain. Itulah sebabnya Gabriel memilih mengikuti Frick Fritzgerald daripada meneruskan tugasnya yang menjemukan, berkeliling dunia. Di rumah ini Gabriel bisa melihat Frick Fritzgerald menciptakan tokoh-tokohnya, menulis cerita tentang tokoh-tokoh itu, lalu menyimpan mereka ke dalam sebuah kotak kayu.

Kadang-kadang Frick Fritzgerald menulis cerita baru dengan tokoh-tokoh yang sudah lama disimpannya di dalam kotak kayu itu. Beberapa tokoh baru akan ditambahkan Frick Fritzgerald untuk melengkapi tulisannya. Gabriel sangat menikmati ketika Frick Fritzgerald mengeluarkan tokoh-tokoh ceritanya dari kotak kayu itu dan mulai bercerita dengan mereka. Ketika semua selesai, Frick Fritzgerald akan menuliskan semua itu menjadi sebuah cerita baru. Jadi pengakuan Frick Fritzgerald bahwa dirinya bukan Tuhan, sangat mengejutkan Gabriel.

“Kalau kau bukan Tuhan, Tuan Frick, lalu bagaimana caramu menciptakan tokoh-tokoh ceritamu?”

“Entahlah, mereka hanya keluar begitu saja dari dalam kepalaku, Gabriel. Awalnya hanya satu, lalu dua, lalu semakin banyak sehingga aku butuh sebuah kotak kayu untuk menyimpan mereka semua.”

“Lalu ceritamu, mereka atau dirimu yang menulisnya, Tuan Frick?”

“Tentu saja aku yang menulisnya, Gabriel. Tokoh-tokoh ceritaku tidak kubiarkan menuliskan ceritanya sendiri. Kami memang suka berbicara untuk membuat sebuah cerita. Mereka menceritakan keinginannya dan aku menceritakan keinginanku. Lalu aku akan menulis keinginan kami itu sebagai sebuah cerita. Mereka sangat menentukan cerita yang kutulis, Gabriel. Tapi tetap tidak kubiarkan mereka menulis ceritanya sendiri.”

“Lalu kau, Tuan Frick, apakah kau percaya pada Tuhan?”

“Tentu saja, Gabriel! Tuhan adalah seseorang yang menuliskan cerita tentang aku. Juga tentang dirimu, Gabriel.”

“Tapi Tuhan tidak pernah mengajakmu bercerita. Kau tidak bisa menceritakan keinginanmu, dan dia tidak pernah menceritakan keinginannya. Padaku tentu lain, Tuan Frick. Tuhan memberi tugas langsung padaku. Begitupun, kami tidak pernah saling menceritakan keinginan kami masing-masing.”

“Aku tahu, Gabriel. Tapi aku tetap yakin bahwa Tuhan ada dan sedang bekerja semalam-malaman untuk menuliskan cerita tentang aku dan kau, ‘Frick Fritzgerald Si Penulis Cerita Dan Gabriel Si Malaikat Tuhan.’”

“Aku tidak pernah melihat Tuhan menulis, Tuan Frick. Percayalah.”

“Yah, Tuhan tentu punya cara lain untuk itu kan, Gabriel.”

“Tidakkah kau berpikir bahwa Tuhan adalah sebuah ‘saya’, Tuan Frick?”

“Saya?”

“Ya. ‘Saya’ yang memutuskan untuk tidak memasukkanku, Gabriel ini, ke dalam kotak kayu hanya karena ukuran tubuhku yang besar. Aku hampir setinggi dirimu, Tuan Frick, dan sepasang sayap kecil di punggungku ini menambah besar ukuran badanku.”

“Ah, kau hanya berhalusinasi, Gabriel. Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau belum pernah melihat Tuhan menulis?”

Gabriel diam. Pikirannya mulai menyusun kepingan-kepingan pengetahuan yang baru didapatnya. Frick Fritzgerald yang bukan Tuhan, Tuhan yang menulis tentang Frick Fritzgerald dan dirinya sendiri, juga ‘saya’ yang memutuskan untuk tidak memasukkan dirinya ke dalam kotak kayu bersama tokoh-tokoh cerita Frick Fritzgerald yang lain.

Frick Fritzgerald juga sedang termenung. Kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan Gabriel ada benarnya. Tuhan bisa saja tidak pernah menulis tentang dirinya atau tentang apapun. Dan yang membuatnya semakin tertarik adalah kemungkinan bahwa dirinya, Frick Fritzgerald, adalah Tuhan. Tapi Frick Fritzgerald cepat menolak pikirannya ini, meski dia sudah menciptakan banyak tokoh cerita, Gabriel tidak pernah diciptakannya. Gabriel tidak pernah keluar begitu saja dari dalam kepalanya.

“Tuan Frick, Sang Kapten! Sang Kapten!”

Seseorang yang tingginya tidak lebih dari sebuah gelas dengan seragam merah dan celana biru terlihat berlari di atas meja tulis Frick Fritzgerald. Dengan ketangkasan seperti seorang tentara, orang itu turun dari meja dengan melompat dari satu laci ke laci yang lain, lalu lari dengan kencang.

Frick Fritzgerald segera bangun dari sofa. Dengan cekatan Frick Fritzgerald mencegat orang yang disebut Gabriel sebagai Sang Kapten itu. Gabriel meloncat ke sisi yang lain, tapi Sang Kapten bergerak sangat cepat. Sang kapten segera berbelok ke arah lemari dan mengubah arah larinya.

“Di sana! Di sebelah sana, Gabriel!”

“Kakimu, Tuan Frick! Di bawah kakimu!”

Saya harus menghentikan cerita ini di sini. Kalau saya teruskan, maka kita bisa berminggu-minggu terjebak bersama Frick Fritzgerald dan Gabriel mengejar-ngejar tokoh-tokoh cerita yang melarikan diri dari sebuah kotak kayu. Kita tentu punya pekerjaan lain yang lebih penting daripada sekedar mengejar-ngejar mereka. Begitu juga saya. Saya masih harus menyelesaikan cerita yang lain.

Frick Fritzgerald dan Gabriel terdiam. Mereka berdua tidak bergerak sama sekali. Mereka berdua tidak bersuara. Bahkan mereka berdua bernafas dengan sangat hati-hati.

“Tuan Frick, ‘saya’,” kata Gabriel setengah berbisik.

“Aku tahu, Gabriel,” Frick Fritzgerald juga setengah berbisik sekarang.

“Ini menakutkan, Tuan Frick.”

“Ya, ini benar-benar menakutkan, Gabriel.”
[end of note – penulis Cepi Sabre]
[]

Tobat

Cerpen Melvi Yendra

[Republika, 25 April 2010]

TEMBAKAN itu datang dari berbagai arah. Dada dan kepalanya pecah. Rusuk dan kedua kakinya rengkah. Ketika malaikat maut menghampirinya, ia melihat lambaian tangan putrinya dan terukir senyum di bibirnya.

Lelaki itu roboh dengan puluhan peluru bersarang di tubuhnya.

[]

Beberapa saat sebelum penembakan

Lelaki itu keluar dari masjid, berdiri sejenak memandang ke arah kegelapan. Angin pagi menerpa wajah kerasnya. Dicobanya memejamkan mata. Sedikit saja, sebentar saja, ia merasa sangat bahagia. Entahlah, ia kini merasa benar-benar terbebas. Ia ingin pulang. Sudah lama ia ingin pulang. Ia lelah menghabiskan umurnya di jalanan. Ia bosan dengan kegelapan. Wajah anak perempuannya kini memenuhi ruang pandangnya. Ia rasanya ingin terbang saja agar cepat sampai di rumah. Ia memakai jaket kulit hitamnya dan mengenakan sepatunya. Ditariknya napas panjang sekali lagi sebelum melangkah menuruni tangga masjid.

[]

Setengah jam sebelum penembakan

Sosok-sosok bersenjata itu tiarap di semak-semak, di dalam kegelapan. Sudah lebih dari satu jam. Masjid itu telah dikepung. Lelaki yang mereka tunggu ada di dalam, di saf terdepan, sedang shalat Subuh bersama empat orang jamaah lainnya. Dalam perhitungan, mustahil ia bisa lolos sekarang. Meskipun, sesungguhnya, legenda yang tersiar tentang lelaki itu masih membuat mereka gemetaran. Sejak sepuluh tahun terakhir, ia selalu lolos dari kepungan. Kabarnya, ia menyimpan ilmu kanuragan. Dan, kabarnya punya indra keenam.

“Kenapa tidak kita serbu sekarang saja, ndan?” bisik seorang anggota pasukan kepada komandannya.

“Kau ingin menyerbu orang yang sedang sembahyang? Markas tidak akan suka. Wartawan akan senang menulis berita kita telah menodai rumah Tuhan,” sahut sang komandan.

“Ia bisa saja lolos lagi,” kata anggota pasukan pesimis.

“Tidak lagi. Masjid ini telah dikepung. Ia tidak akan bisa mengelabui kita kali ini,” sahut sang komandan, yakin.

“Bagaimana kalau lelaki itu keluar duluan? Pasti terjadi kericuhan,” tanya anggota pasukan sekali lagi.

“Tidak akan ada bedanya buat kita. Itu sudah risiko tugas. Biarkan markas yang akan menjawab semua caci maki masyarakat,” sahut sang komandan dan menyuruh anak buahnya diam.

Mereka menunggu. Menit demi menit berlalu. Shalat Subuh pun usai. Setelah zikir dan doa yang singkat, satu per satu jamaah keluar dari masjid dan pulang. Tak satu pun di antara mereka yang sadar, ada pasukan polisi sedang ber sembunyi di kegelapan. Masjid itu berada jauh dari rumah-rumah penduduk, di pinggir jalan yang sepi, di tengah persawahan.

Lelaki yang mereka incar belum juga keluar. Ia masih duduk di saf terdepan. Menundukkan kepala, sedang berdoa.

[]

Satu jam sebelum penembakan

Ustaz Ramli menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia gemetaran begitu lelaki asing itu selesai berkisah. Tak mudah baginya menerima kenyataan bahwa ia kini sedang berhadapan dengan seseorang yang mengaku telah membunuh 23 orang manusia. Degup jantungnya berkejaran dengan putaran biji tasbihnya. Saat ini, Ustaz Ramli benar-benar ingin Tuhan memberinya petunjuk jawaban apa yang harus diberikannya kepada lelaki itu.

“Jadi, Ustaz, apakah Tuhan akan menerima tobat saya?”

Ustaz Ramli sudah sering mendapat pertanyaan seperti itu, tetapi belum pernah yang seperti ini. Untuk menjawab pertanyaan itu, ia menceritakan kisah yang diambil dari salah satu hadis Nabi Muhammad SAW. Dahulu kala, pada zaman umat-umat terdahulu, ada seorang pembunuh kejam yang telah membunuh 99 orang. Namun, setelah beberapa waktu, pembunuh itu sadar dan ingin bertobat. Maka, mulailah ia mencari seorang alim untuk menyatakan tobatnya. Namun, ketika berhasil menjumpainya, sang alim malah membentak pembunuh yang ingin bertobat tersebut dan mengatakan bahwa tidak ada ampunan bagi seorang pembunuh. Karena marah, si pembunuh pun membunuh sang alim. Sehingga, genap 100 orang yang telah ia bunuh.

Setelah itu, sang pembunuh merasa menyesal dan kembali meneruskan perjalanannya untuk mencari orang alim lain untuk menyatakan tobatnya. Maka, saat menemui orang alim kedua, ia berkata, “Apakah ada jalan untuk bertobat setelah saya membunuh 100 orang?” Si orang alim menjawab, “Ada. Pergilah ke dusun di sana karena banyak orang yang taat kepada Allah. Berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka. Dan, janganlah engkau kembali ke negerimu karena negerimu adalah tempat para penjahat.” Dan, pergilah pembunuh itu. Di perjalanan, mendadak maut menjemputnya.

Maka, bertengkarlah Malaikat Rahmat dan Malaikat Siksa, memperebutkan roh si pembunuh. Berkata Malaikat Rahmat, “Orang ini telah berjalan untuk bertobat kepada Allah dengan sepenuh hatinya.” Lalu, berkatalah Malaikat Siksa, “Orang ini belum pernah berbuat baik sama sekali.”

Maka, diutuslah seorang malaikat lain untuk menjadi hakim di antara dua malaikat itu. Malaikat yang ketiga berkata, “Ukur saja jarak antara dua dusun yang ditinggalkan dan yang dituju. Maka, ke mana orang ini lebih dekat, masukkanlah ia kepada golongan orang sana.” Setelah diukur, didapatkan lebih dekat jaraknya ke dusun baik yang ditujunya kira-kira sejengkal. Maka, dipeganglah roh orang ini oleh Malaikat Rahmat.

“Jadi, aku masih bisa bertobat?” tanya lelaki itu setelah mendengar cerita Ustaz Ramli.

“Tentu saja, pintu rahmat Allah selalu terbuka luas untuk orang-orang yang ingin bertobat,” jawab Ustaz Ramli.

“Tapi, saya tidak tahu caranya, Ustaz. Jadi, mohon ajari saya,” kata si lelaki.

Belum sempat menjawab, beberapa jamaah datang. Waktu Subuh telah masuk dan azan segera dikumandangkan.

“Setelah Subuh, mampirlah ke rumah. Rumah saya di ujung jalan sana, rumah ketiga dari sebelah kanan. Saya akan tuntun Saudara untuk bertobat,” sahut Ustaz Ramli. Si lelaki mengangguk, kemudian pergi mengambil wudhu.

Sehabis shalat dan berzikir, Ustaz Ramli menghampiri si lelaki.

“Saya pulang duluan. Saya tunggu di rumah,” kata sang Ustaz. Si lelaki yang ingin bertobat mengangguk dan melanjutkan doanya sendirian.

[]

Dua jam sebelum penembakan

Ustaz Ramli terpaksa berhenti mengaji. Lelaki berjaket kulit hitam berbadan kekar itu masuk ke dalam masjid terhuyung-huyung. Mulanya, ia berpikir lelaki itu salah satu preman kampung yang mabuk dan terdampar di tempat itu. Namun, melihat lelaki itu sadar dan segar bugar, Ustaz Ramli mengoreksi dugaannya.

“Assalamu ‘alaikum,” sapa Ustaz Ramli.

Lelaki itu tak menjawab. Ia mendekat dan menyalami sang Ustaz.

“Tolong saya, Pak Ustaz,” katanya lirih.

Ustaz Ramli kini benar-benar kaget. Lelaki di depannya bersimbah air mata. Ia menangis sesenggukan.

“Apa yang bisa saya lakukan untuk Saudara?” tanya Ustaz Ramli waswas campur bingung.

“Saya ingin bertobat.”

Ustaz Ramli terdiam.

[]

Dua setengah jam sebelum penembakan

Tiba-tiba saja, lelaki itu merasa letih. Kakinya perih. Di sebuah persimpangan, ia berhenti berlari. Ia pikir, para pengejarnya sekarang sudah kehilangan dirinya.

Matanya melihat puncak sebuah masjid, kecil di kejauhan. Sayup-sayup terdengar suara bacaan Alquran dari pengeras suara.

Tiba-tiba, ia merasa sangat rapuh.

[]

Tiga setengah jam sebelum penembakan

Ia keluar dari rumah besar itu tanpa kesulitan. Suara anjing menggonggong, tapi di sana, di kejauhan. Di salah satu belokan, ia berhenti karena telepon genggamnya bergetar. Sebuah pesan singkat datang dari nomor yang sangat ia kenal:

Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga panjang umur dan selalu bahagia. Ayah lagi di mana? Ayah sudah janji, di hari ulang tahun Ayah yang ke-45 ini, Ayah akan pulang dan tak akan pergi lagi. Fitri ada kado untuk Ayah. Ayah pasti suka. Salam sayang selalu, Fitri dan Ibu.

Ia memejamkan mata. Membayangkan wajah Fitri, anaknya yang masih kecil dan istrinya di rumah. Sudah berapa lama ia tidak pulang? Ia sudah tidak ingat. Entah mengapa, ia teringat akan putrinya. Ia pernah berjanji untuk menemani putrinya itu.

Ia ingin menangis, tapi terlambat. Air matanya sudah menetes membasahi pipinya. Tiba-tiba ia tersenyum. “Preman ternyata masih punya nurani,” batinnya.

Lelaki itu membuka mata ketika mendengar suara mencurigakan di suatu tempat tak jauh dari tempatnya berdiri. Naluri memerintahnya untuk segera berlari.

Ia pun berlari, tak berhenti.

[]

Empat jam sebelum penembakan

Ia berdiri di pinggir tempat tidur besar itu. Lelaki yang harus ia bunuh sedang mendengkur sendirian di atas ranjang. Tampak tenang. Terlihat tanpa dosa.

Ia sebenarnya tidak terlalu menyukai pekerjaannya. Pembunuh bayaran bukanlah pekerjaan yang baik, ia tahu. Namun, pekerjaan ini kadang-kadang memberi lebih dari sekadar uang. Ia sering merasa puas setelah mengeksekusi para maling ini. Kadang-kadang ia merasa sedang menunaikan tugas suci. Ia seakan-akan adalah algojo yang ditunjuk untuk menghukum mati para pelaku korupsi.

Tiap kali sebelum membunuh, ia tak lupa berdoa agar dosa-dosanya diampuni.

[]

Dua jam setelah penembakan

Ustaz Ramli kembali ke masjid karena lelaki yang ingin bertobat itu tak kunjung mengetuk pintu rumahnya. Di halaman masjid, ia menemukan banyak bercak darah yang telah coba ditutupi dengan tanah.

Ustaz Ramli merinding.

Lebih-lebih ketika ia mencium aroma wangi. Aroma wangi yang asing, yang belum pernah ia cium sebelumnya. (*)

Jakarta, 4 April 2010

Melvi Yendra, pegiat sastra, tinggal di Depok.


Membacah ‘Duh’ : Kerinduan yang Berpeluh

( sambutan buku Puisi ‘Serangkaian Tunggu’ Penyair Helena Adriany )

Oleh Syaiful Alim

Saya belum punya buku puisi ‘Serangkaian Tunggu’ Penyair Helena Adriany. Tapi biarlah ini jadi awal mula apresiasi utuh ketika saya memiliki buku itu nanti.

Teks Sajak:

“duh”

I.

setiap pagi aku duduk di gerbang memandang matahari

padahal aku tahu gerbang membuka menjelang petang

II.

ada sebuah kertas di sampingku

tetapi mengapa aku menulis di saputangan

III.

sebaiknya kuikat rindu di luar pintu kamar

sebelum kau pikir aku lupa mematikan lampu

Balikpapan, 03 January 2010

Kaji Puisi: Membaca “duh” Penyair Helena Adriany: Kerinduan yang Berpeluh

SAJAK selalu lahir dari kegelisahan. Entah itu kegelisahan yang bersumber dari dalam diri atau luar diri sang Penyair.

SAJAK kuat dan abadi dipicu oleh kegelisahan. Kegelisahan menjadi pemantik tenaga puitik untuk menembakkan kata-kata.

PEMIKIR dan PENYAIR Robert Frost menyatakan bahwa sajak itu lahir dalam kondisi resah gelisah, ketidaknyamanan, dan ketidakmestian hidup. Lalu dia menyebutkan beberapa misal, yaitu marah pada keadaan yang salah, rasa cemburu, sakit rindu, juga patah hati.

“a poem, begins as a lump in the throat, a sense of wrong, a homesickness, a lovesickness,…it finds the thought and the thought finds the words.”

KETIKA itulah sajak bisa jadi alat perjuangan atau sebagai jalan meringankan beban yang tak tertanggungkan itu.

Memang, puisi tidak seperti sepiring nasi yang mengenyangkan perut pengungsi, puisi tidak seperti selimut yang menghangatkan orang kedinginan, puisi tidak seperti setetes obat merah yang menutup luka, puisi tidak seperti seoles minyak angin yang menyembuhkan perut kembung, puisi tidak seperti perban untuk melindungi luka dari kuman, puisi tidak seperti pakaian yang melindungi tubuh dari sengatan matahari, puisi tidak seperti pasir, koral, semen, batubata dan seng yang menegakkan cagak rumah. Tetapi puisi bisa menjadi cahaya kala gelap, pengingat kala lupa, penggedor kala teledor, pengobat kala sakit, penguat kala sekarat, jamu kala jemu, pemicu kala buntu, pemacu kala galau, penghibur kala hancur, istri kala sepi.

Penyair Subagio Sastrowardoyo pernah menulis puisi berjudul ‘sajak’ yang berkenaan dengan peran atau fungsi sajak bagi kehidupan.

“Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri”

***

Sebelum saya memasuki tubuh sajak, maka izinkan saya menyentuh dulu judul yang menjadi pintu.

Sungguh menarik apa yang diajukan oleh Penyair Helena Adriany dengan judul ‘duh’ ini. Apakah ‘duh’ sama dengan ‘aduh’? dimana letak gores perasaan keduanya?

ADUH. Kata ‘aduh’ bisa meloncat dari bibir jika tubuh atau bagian (seluruh) tubuh kita meradang kesakitan, misalnya ditusuk atau tertusuk peniti atau duri. Kata ‘aduh’ bisa hadir dari bibir ketika terpesona dengan sesuatu atau seseorang yang menakjubkan. Seperti ucapan, “aduh, tampannya penyair ini”. Kata ‘aduh’ juga bisa melesat dari bibir jika tersentak oleh sebuah kesalahan, kesalahan yang melahirkan penyesalan. Seperti ucapan orang yang terlambat datang di sebuah acara, “aduh, kenapa saya tidak dari tadi ke sini, pembicaraannya menarik sekali” atau ucapan kekasih, “aduh, kenapa dulu aku tidak menerima lamaranmu, maafkan aku”.

DUH. Huruf ‘A’ telah hilang dari tubuh ‘aduh. A yang menjadi pemantik telah lenyap ke dimensi yang senyap, sepi, sunyi. Apakah ‘A’ yang hilang ini mempengaruhi arti? Pasti dan tentu. ‘A’ di kata ‘ADUH’ adalah timbul dari sebuah kesengajaan si aku lirik untuk memaknai apa yang dirasakan. Sedangkan A yang hilang dari kata ‘DUH’ menyiratkan sebuah sikap yang ditetaskan dari luar kesadaran. Kesadaran formalistik telah sirnah ke dalam dimensi yang tak berbatas. Apa yang terjadi? Adalah perasaan yang utuh dan terombang-ambing dengan sesuatu atau seseorang yang membayangi diri si aku lirik. Ia adalah perkawinan antara kesakitan dan penyesalam. Namun perkawinan itu dibalut dengan selubung jiwa yang melambung, ngelaut, ada kehendak untuk terus meneguk kesakitan itu, tapi di sisi yang lain juga ada kehendak untuk menyesali apa yang sedang dan telah terjadi. Tapi penyesalan itu ditolaknya dengan halus. Sebab jika dia menyesal, berarti dia telah terbunuh oleh perasaannya sendiri. Lebih baik membiarkannya dan terus terjadi. Ada harapan yang kelak dipeluknya dalam pertemuan. Harapan yang dicicil dari kerikil-kerikil kesakitan membayangkan dan menghadirkan kekasih. Itulah yang disebut dengan rindu atau kerinduan. Rindu memang pedih. Tapi perjumpaan mengobati. Rindu memang ngilu. Namun pertemuan yang menyembuhkan.

SUNGGUH. Saya lebih bisa menikmati ‘duh’ penyair Helena Adriany ini dengan ‘kerinduan berpeluh’. Sebuah kerinduan yang meletihkan, melelahkah. Seolah si aku lirik menempuh perjalanan jauh untuk merangkai pucuk-pucuk rindu yang kelak mekar dan jadi mawar. Mawar pun berduri.

SUNGGUH. Saya lebih bisa menikmati ‘duh’ penyair Helena Adriany dengan ‘kerinduan berpeluh’. Penantian yang begitu lama akan kedatangan kekasih itu telah meluruhkan keringat kehangatan yang berlelehan di sekujur tubuh. Layaknya seorang pendaki gunung, peluh yang berlelehan itu dinikmati sampai mencapai puncak yang dikehendaki. Ia tak kan beranjak dan turun lagi ke bawah. Ia terus melangkah dan melangkah.

“duh”

I.

“setiap pagi aku duduk di gerbang memandang matahari

padahal aku tahu gerbang membuka menjelang petang”

Ini saya sebut ‘laku rindu pertama’.

Imaji kita langsung diseret oleh penyair berlesung pipit ini: seolah kita melihat dari dekat atau jauh seorang yang duduk di bangku atau di segunduk tanah memandang cerah sinar matahari. Apa yang hendak disuarakan oleh si aku lirik yang dipeluk rindu dalam larik sajak ini?

Saya kira kata ‘gerbang’ adalah kunci dari pembacaan larik cantik ini. Saya lebih condong memaknai ‘gerbang’ sebagai ‘pintu waktu’. Pintu waktu yang sudah menjadi kesepakatan antara kedua kekasih. Pintu waktu itu sebagai jalan masuk untuk saling berpelukan, meredam dendam rindu.

Memang seorang perindu itu berperilaku aneh dan unik. Keanehaan itu digerakkan oleh rasa gelisah yang menujah dada. Seperti yang kita rasakan dari keanehan yang dilakukan si aku lirik pada larik ini: sudah tahu gerbang itu membuka menjelang petang, tapi tetap saja menunggui sang kekasih semenjak matahari terbit. Betapa peluh penantian itu.

“setiap pagi aku duduk di gerbang memandang matahari”

Dan ‘matahari’ itu berperan sebagai latar saja. Bukan menjadi matahari yang bermakna konotatif. Matahari di situ seolah jadi saksi, juga jadi pelampiasan kegelisahan sang perindu (si aku lirik). Pagi dan matahari diajak ikut oleh si aku lirik untuk menanggung kegelisahan yang menggunung di dada itu.

Saya terkenang Penyair Besar Chairil Anwar yang begitu jeli dan lihainya memasang benda-benda alam ke dalam tubuh sajak-sajaknya. Seperti terlihat pada puisi di bawah ini.

AKU BERADA KEMBALI

Aku berada kembali. Banyak yang asing:

air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang

Serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah

juga disinari matari

lain.

Hanya

Kelengangan tinggal tetap saja.

Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;

lebih lengang pula ketika berada antara

yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling

ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang

guruh.

Dari sajak di atas nampak betapa air, kapal, elang, mega dimasukkan Penyair untuk memperkukuh tubuh sajaknya. Kesemua benda alam itu memang sengaja diletakkan, dan pasti dengan maksud tertentu. Misalnya sebagai penggambaran bahwa si aku lirik sedang tercabik dan lengang memandang laut yang dibalut air biru, kapal-kapal yang berlabuh-berlayar, elang-elang terbang menghiasi angkasa.

“padahal aku tahu gerbang membuka menjelang petang”

“padahal aku aku tahu…”

Ada tiga isyarat yang mengeram dalam larik ini. Pertama, sudah adanya nota kesepakatan yang dibuat oleh kedua kekasih. Kedua, adanya perasaan getir yang menyesakkan dada si aku lirik yang menunggu itu. ketiga, pengorbanan cinta.

Duduk sejak pagi memandang matahari sementara gerbang terbuka menjelang petang hanya bisa dilakukan orang kangen yang sejak pagi dilanda gelisah berharap suatu pertemuan. Sebuah pertemuan yang ditentukan waktu yang disepakati itu, yaitu ketika matahari terbenam dipukul malam.

II.

“ada sebuah kertas di sampingku

tetapi mengapa aku menulis di saputangan”

Ini saya sebut ‘laku rindu kedua’.

BETAPA GEMILANG larik sajak ini. Saya mencium aroma pengalihan fungsi sebuah benda. Sang penyair telah melakukan perubahan fungsi atas benda ‘saputangan’ itu.

Adalah menarik menelisik perubahan fungsi atas ‘saputangan’ itu – dari seulas saputangan menjadi benda lain yang bisa difungsikan untuk menulis. Saputangan yang biasanya untuk menghilangkan peluh atau kotoran debu yang lengket di tubuh, kini jadi benda yang dipakai nulis.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan si aku lirik dalam larik sajak ini? Kenapa ia menulis di saputangan? Apakah yang dimaksud kerja ‘menulis’ di sini?

“ada sebuah kertas di sampingku

tetapi mengapa aku menulis di saputangan”

Sudah jamaknya seorang perindu itu gelisah. Ketika kegelisahan makin menujah, maka airmata yang menggantikannya. Airmatalah yang berbicara. Apakah yang dibutuhkan perindu yang airmatanya bercucuran berceceran di lantai? Kertas atau saputangan? Bisa kertas bisa saputangan. Kertas untuk menulis sajak, misalnya. Saputangan untuk membasuh basah airmata.

Tapi kenapa si aku lirik lebih memilih saputangan?

HIDUP adalah pilihan. Saya menduga saputangan terpilih karena “efek kegunaan” yang mengeram di diri saputangan. Saputangan lebih berdaya guna meniriskan tangis ketimbang kertas.

Tapi kenapa sang penyair menggunakan kata kerja ‘menulis di saputangan’…?

Pada hakikatnya seorang perindu yang membasuh basah airmatanya itu adalah menulis. Setiap usapan adalah pembentukan kata. Kata-kata yang meneterjemahan rindu itu. bebutir airmata yang mengalir itu menulis rindu.

(kasihan sekali ya si kertas itu, tak terpakai, sini kupakai nulis puisi )

III.

“sebaiknya kuikat rindu di luar pintu kamar

sebelum kau pikir aku lupa mematikan lampu”

Ini saya sebut ‘laku rindu ketiga’.

ALANGKAH memikat larik terakhir puisi Penyair Helena Adriany ini. Di sini sang penyair dengan jelas memunculkan kata ‘rindu’ dan menyebut yang dirindu itu dengan ‘kau’. Ini semacam gerak ledakan kerinduan yang dipendam dan diperam di dada.

“sebaiknya kuikat rindu di luar pintu kamar”

Saya terpikat dengan bahasa kata kerja penyair ini: kuikat. Begitu pintar dan cantiknya sang penyair memainkan atau memutar logika pembaca: mengikat rindu? rindu seolah hidup dan berleher. Agar rindu itu tidak lari, maka diikat pada sesuatu. Juga supaya seusai bangun tidur, si aku lirik bisa melepas ikatan rindu itu, dan melampiaskan kegelisahannya kembali.

LALU kenapa rindu diikat? Berbahayakah pada diri si aku lirik?

Saya tertarik dengan apa yang dikatakan para sufi bahwa rindu itu bercahaya, bersinar begitu terangnya, sehingga mereka silau, lalu menuju gua-gua memadamkan cahaya itu dengan dzikir kepadaNya. Begitu juga dengan rindu dalam puisi ini: rindu itu bersinar alangkah terangnya. Sehingga lekas-lekas si aku lirik mengikatnya (memadamkannya) di luar pintu kamar.

Berbahayakah rindu yang bersinar terang itu pada diri si aku lirik?

TENTU dan PASTI berbahaya. Rindu saya asosiasikan sebagai lampu di ruang kamar tidur. Lampu harus dipadamkan dahulu jika ingin tidur pulas. Begitu juga dengan rindu yang memancar sinar itu. si aku lirik ‘mengikatnya’ karena mencoba menenangkan kegelisahan yang menderanya sejak pagi.

“sebaiknya kuikat rindu di luar pintu kamar

sebelum kau pikir aku lupa mematikan lampu”

***

DEMIKIAN tafsir sajak ‘duh’ Penyair Helena Adriany ini. Sebuah tafsir sederhana dari seorang perenang buta, syaiful alim, di lautan yang penuh gelombang dan ombak. Semoga tafsir saya ini salah atau lepas dari niat mula Penyair ini menuliskannya. Tapi yang perlu dipegang adalah bahwa tidak ada tafsir mutlak di dunia ini. Seperti apa yang terkata dalam sajak di bawah ini.

“Setiap hendak kutangkap

Ia lolos dari dekap

Tak mampu menampung rasa

(sajak yang tak peduli, subagio sastrowardoyo)

Helen, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap airmata yang mengalir dari mataku seusai menelaah sajakmu? Pinjamkan aku saputanganmu.

[]

Khartoum, Sudan, 2010.

Syaiful Alim

Penulis Novel ‘Kidung Cinta Pohon Kurma’


Mencari Puisi yang Hilang dari “Buton, Ibu dan Sekantong Luka” Karya Irianto Ibrahim

Catatan Sederhana Kawan Baik

Oleh Adhy Rical

1

Apa yang akan kuceritakan lebih dulu padamu, penyair? Tentang angka lahir yang nyaris sama barangkali? Atau kisah colo-colo di sebuah pulau kecil yang berulang kali memanggil petani ubi dalam celah karang: Lakudo.

Kisah masih terbayang, seperti ikan seperahu yang kita bakar sore itu.Lalu sebuah buku datang dari tanganmu di Kedai Arus. Malam itu, sepuluh tahun terasa lebih dekat. Aku yakin, buku itulah yang pertama kau berikan pada seseorang di Kendari: padaku.

Sangat membahagiakan bukan? Apalagi kau memintaku membicarakan buku itu.Nah, melalui catatan sederhana ini, aku akan menulis dari hati saja. Menulis sebelum puisi-puisi dalam bukumu lahir. Ketika kita masih satu meja di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unhalu. Bukankah yang lain telah banyak menulis tentangmu sewaktu bedah buku di tiga kota: Yogakarta, Tasikmalaya, dan Jakarta?

Aku akan memelukmu sambil membisikkan sebuah tabloid Podium Pers Mahasiswa Unhalu tentang “Darah Itu Merah Jenderal”. Di sinilah puisi dalam bukumu bermula meskipun aku lebih memilih, bukumu lebih dominan tentang ibu. Bukankah puisi pembuka “Bunda, Kirimkan Nanda Doa-doa” adalah puisi pertama meskipun tak tercantum sebagai halaman pembuka puisi? Lalu lihatlah tahun-tahun setelahnya, ibu begitu bertenaga di sana. “Kelak Kau akan Mengerti” meskipun rumah dan kenangan sama-sama telah usang, tapi aku masih ingat “Sajak Botol” tahun 1996. Kukira, ini puisi yang luput setelah Nanga-Nanga malam itu, kita bermain api di bawah terpal.

2

Ada 53 puisi dalam antologi “Buton, Ibu dan Sekantong Luka”. Ditulis dalam rentang tahun 2000-2010 (meralat pernyataan Sarabunis Mubarok sebelumnya,2007-2010). Kurun sebelas tahun itu, terdapat satu puisi yang terbit pada tahun 2000 (Bunda, Kirimkan Nanda Doa-doa) dan 2001 (Pantai Katembe). Puisi terbanyak ditulis tahun 2007 (22 puisi) lalu menyusul tiga tahun berikutnya.

Bicara tentang Anto, sebenarnya kita tidak saja diajak membaca sejarah Butuni 1969 tetapi bagaimana mencintai ibu dan seseorang yang kelak menjadi ibu untuk anak-anakmu (Suatu Ketika di Kamar Kontrakan). Tentu saja pembacaan lain dari konteks puisi yang telah ia paparkan sebelumnya akan lebih terang (Sebuah Cerita dari Dua Gelas Kopi, Peminang Sepi, Pada Sebuah Pesta, Sungai Sajak, Hawa Semedi, Perahu Kanak-kanak). Keenam puisi tersebut disuguhkan kepada kawan-kawan yang mencintainya. Anto begitu paham, pada siapa puisi itu ditujukan sebelum ia benar-benar menulisnya. Kelak kau akan mengerti, begitulah.

Ada satu hal yang tak bisa lepas dari kepenyairan Anto selain potret sosial yang dekat dari dirinya dan sangat kuat dalam buku antologi puisi ini, yakni romantisme kebebasan. Anto tetap satu arah memotret keseharian: ada doa ibu yang tak pernah lepas. Ibulah yang membuat sosok penyair ini begitu kuat dalam metafor maupun proses penulisan lainnya.

3

Irianto Ibrahim telah berhasil membukukan karya puisinya. Kita patut bangga sebab ini yang pertama sebuah buku antologi puisi terbit di Kendari. Realitas sosial begitu bertenaga. Kita bisa membaca sejarah berdarah tahun 1969 itu melalui buku kecil ini. Dan, Anto memang tak main-main, sejarah itu memang kelam tapi laras memang tak perlu datang untuk sekadar mencatat buku kecil Saleh Hanan, “Buton, Basis PKI” dengan buku puisi. Maka, buku ini memang wajib dibaca.

Mungkin buku berikut akan kita temukan puisi Anto yang hilang itu. Bukankah tahun 2002-2006 tak satu pun puisinya hadir di sini?

[]

Kendari, 2010 

Buku: “Buton, Ibu dan Sekantong Luka”, Irianto Ibrahim, Frame Publishing, Yogyakarta, 2010.