Category Archives: Perjalanan

[Feature] Gempa Kolono, Kedamaian Langgapulu, dan Keindahan Labuan Bajo

Catatan Perjalanan : Syaifuddin Gani

***

Kolono: Antara Gempa dan Janji

Meninggalkan Kota Kendari, pukul 08.00 pagi. Kami harus segera sampai di Langgapulu, Konawe Selatan (Konsel) sebelum azan Zuhur tiba. Jika tidak, kami bisa ketinggalan katinting yang akan menyeberang ke Labuan Bajo, Wakorumba Utara, Kab. Buton Utara. Saya bersama Uniawati, teman sekantor, akan mengadakan penelitian antropologis di Labuan Bajo, daerah yang diyakini tempat hidup suku Bajo yang mendiami wilayah pesisir.

Ini perjalanan pertama saya menyusuri daratan Konsel yang ramping, perawan, dan matang. Pantai Nambo yang damai dan Moramo yang hijau kami tembus dengan kendaraan AVP yang cepat melaju. Jalan terkadang menanjak dan mendaki pinggul perbukitan yang ranum. Juga sesekali kami menuruni lembah Konawe yang membuat ban mobil sesekali cekikikan. Kata pak sopir, di sini, jalan yang mulus dan yang berlubang, sama panjangnya. Sudah sekian tahun jalan ini tak tersentuh aspal. Akibatnya, jika hujan mengguyur bukit-bukit ini, mobil kepayahan mendaki. Yah, batin saya, mendaki jalan di musim hujan, sama musykilnya dengan mendaki janji di musim kampanye.

Ah, Kolono. Nama ini begitu puitis. Jika huruf akhir diganti dengan “i”, maka akan memberi efek makna yang berbeda. Tapi, Kolono, sekali lagi memberi kesan yang khas bagi siapa saja yang baru pertama mengecap nama ini. Ada dua huruf konsonan dan tiga huruf vokal. Ketiga huruf vokal ”o”  itulah yang membuat nama kampung ini terdengar indah.

Apa boleh buat, keindahan nama Kolono, berbeda dengan nasib yang dialami puluhan rumah di sana yang ambruk dirongrong gempa 6,2 SR. Pak sopir yang bersahabat, dengan sikap ramah memperlihatkan kepada kami rumah-rumah yang “mencium” keharuman tanah Kolono, tanah Konawe yang berduka. Bahkan ia rela berhenti ketika saya meminta untuk mengabadikan sebuah kantor desa yang bertekuk lutut di sebuah lapangan hijau. Bangunan itu pemain seperti seorang pemain sepak bola yang kakinya tersapu kaki lawan, lalu tubuhnya ambruk ke bumi.

Ada pemandangan yang melahirkan simpati, yakni tenda-tenda yang terpasang secara  darurat di halaman rumah penduduk. Jika malam, kata pak sopir, mereka nginap di sini karena masih trauma pada gempa. Sepanjang jalan, paling tidak, saya melihat ada tenda hijau besar yang tertulis di atapnya, Dinas Sosial Sulawesi Tenggara. Bahkan, ada kelambu yang dipasang di halaman rumah di atas sebuah ranjang darurat.

Menariknya, di dalam mobil yang kami tumpangi, terdapat seorang ibu tua berkerudung tua, ditemani seorang cucunya yang jelita. Katanya, hari pertama ia mendapat bantuan 1 liter beras dan 1 bungkus mie. Hari berikutnya, ia menerima (kalau tidak salah) satu liter beras dan satu buah ikan kaleng. Padahal, katanya, di rumahnya ada tujuh orang. Kami ini, orang-orang yang kurang mendapat perhatian. Mana cukup bantuan sekecil itu dengan jumlah orang di dalam rumah. Kami ini, lanjutnya, paling tidak, hanya mendapat simpati dan perhatian sekali dalam lima tahun, yakni pada saat kampanye. Setelah itu, kami dilupakan. Tapi kami bersyukur, gempa ini, mendatangkan perhatian yang lebih, lanjutnya.

Kami harus berpisah dengannya di sebuah kampung. Ia menunjukkan kepada saya rumahnya yang purba. Foto dulu kita hae, sebelum komorang lanjut, mintanya. Saya turun dari mobil lalu mengabadikan wajah dan nasibnya yang berlatar rumahnya. Sayang, cucunya yang marun dan ranum, begitu cepat bergegas ke dalam rumah, jadi hanya rambut hitam, lengan, dan tasnya yang terabadikan di foto itu.

 

Di Langgapulu, Dua Pulau Dipeluk Satu Teluk, Dua Rindu Dilebur Satu Laut

Sekitar jam 12 siang. Mobil kami belok kanan di ujung daratan Konawe di sebuah kampung yang bernama Langgapulu. Yah, ini adalah sebuah kampung mungil yang denyut nadinya berjalan secara lambat, bagai alunan ombak pagi hari. Rumah-rumah warga seperti bertaut di kaki bukit dan di tepi laut. Jalan menuju dermaga sunyi diapit rumah-rumah warga yang sederhana. Setiap Kamis, Langgapulu merayakan hari pasar. Maka di situ, denyut kehidupan sedikit lebih cepat. Ada tawar-menawar antara pedagang-pembeli, antara penumpang dan pemilik kantinting dari Palangga (Konawe Selatan) ke Labuan Bajo (Buton Utara).

Entah mengapa, saya selalu tercenung dengan kosmologi kehidupan seperti di Langgapulu ini. Rayuan pohon-pohon kelapa, hembusan angin laut, rumah-rumah yang tenang dan sederhana, dan orang-orangnya yang mencintai alam sekitar seperti mencintai diri mereka sendiri. Ada sungai kecil keluar dari ketiak bukit menuju kebeningan laut. Tak ada pencemaran. Meski yang mungkin sesekali ada adalah kecemasan pada nasib hidup yang serba kekurangan. Saya jadi ingat kata-kata ibu tua di dalam mobil beberapa saat lalu, kami adalah orang-orang yang dilupakan. Yah, dilupakan oleh pemerintah sendiri! Sementara, penguasa selalu tampil mahal dan mewah, jauh dari sifat peka atas nasib papa warga yang dulu selalu jadi objek janji-janji!

Pak, pak, pak, ada penumpang. Cepat hae! Sebuah suara menyambut kami. Suara dari sebuah rumah tua bercat tua pula. Seorang Lelaki Tua muncul sambil memasang kancing bajunya. Lelaki berkacamata ini adalah pemilik sebuah katinting yang akan menyeberangkan kami dari Langgapulu ke Labuan Bajo. Tubuhnya kecil, hitam, dan selalu menebar senyum. Kami cepat akrab dengannya.

Jarak antara Langgapulu dan Labuan Bajo, mungkin tak sampai dua puluh mil. Dua pulau itu saling menonojolkan punggungnya yang hijau. Lautlah yang mempertemukannya. Bagaimana jika Anda memiliki saudara dan kekasih yang tinggal di Labuan Bajo, sedangkan engkau bermukim di Langgapulu? Yah, dua pulau dipeluk satu teluk, dua rindu dilebur satu laut!

Labuan Bajo yang Permai

Setelah tawar-menawar ongkos dari 150.000 menjadi 90.000 rupiah, kami menumpangi kantinting milik Lelaki Tua. Ia banyak memaparkan segala macam yang berkenaan dengan Bajo, Langgapulu, sampai gempa yang menggoyang itu. Katanya, ia adalah keturunan asli suku Bajo. Nenek moyang saya asli Bajo dan hidup lama di sini. Ia lalu menunjukkan kepada kami tiang-tiang kayu di permukaan laut yang masih menuding langit. Tiang-tiang kayu yang sudah rapuh dipukul ombak yang terpendam. Kami juga ditunjukkan karamba yang berdiam di atas laut untuk menjerat ikan.

Sebagaimana pada umumnya laut di Sulawesi Tenggara, laut yang memisahkan Langgapulu-Labuan Bajo sangat bening. Hutan bakau masih digdaya di pinggir laut. Kearifan lokal penduduk menjadikan laut dan bakau terhindar dari pencemaran dan pengrusakan. Saya langsung teringat Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Priok Jakarta yang air lautnya sangat kotor berwarna lumpur.

Di utara, Pulau Wawonii yang jauh diberkati kabut. Konon ia mengandung emas yang melimpah. Di selatan, Buton yang samar-samar, didoakan laut. Saya seperti berada di negeri yang lain. Sebuah wilayah daratan dan kepualaun yang masih terjaga kelestarian alamnya.

Tidak sampai satu jam, kami mendarat di Dernaga Labuan Bajo yang sunyi. Rumah-rumah sunyi, pohon kelapa yang melambai, dan burung-burung bernyanyi menyambut kami. Kami lalu menuju rumah rumah Pak Desa Labuan Bajo yang ternyata tidak ada karena harus ke Kendari melaporkan penggunaan Dana Blok Grant kepada pemerintah provinsi.

Atas saran ibu desa, kami menginap di rumah keluarga Pak Mansyur yang sangat ramah dan dikaruniai kebaikan hati. Suami-istri ini memperlakukan kami layaknya anggota keluarga sendiri. Sang suami adalah bersuku Wawonii dan sang istri adalah Buton asli. Anak-anaknya santun lagi rupawan. Mereka dibesarkan dalam tradisi Buton dan Wawonii.

Saya sempat terkagum-kagum dengan kebesaran Sang Pencipta. Betapa tidak, Buton Utara dan daratan Konawe Selatan hanya dipisahkan laut yang berjarak dekat. Hanya 35 menit menggunakan katinting dan mungkin hanya 15 menit jika berkendara super jet. Kekaguman dan ketakziman saya karena dengan jarak yang dekat itu, dapat membedakan secara tegas kultur dan fisiologis dua suku itu, Tolaki dan Buton. Tolaki yang berkulit putih, berambut hitam lurus, dan Buton yang berkulit coklat dan berambut ikal. Selain itu tentunya, membentangkan dua kebudayaan yang berbeda pula.

Saya memasuki rumah kepala desa yang sangat sederhana. Atap rumah dari daun rumbia, sebagian sudah bocor karena lapuk dimakan waktu. Menurut warga, kepala desa adalah orang biasa saja, tetapi karena kejujurannya sehingga ia didaulat oleh warga untuk menjadi pemimpin mereka. Beda dengan kepala desa di banyak tempat, baik di Sultra maupun di Indonesia umumnya, yang berasal dari golongan terpandang dan jadi tuan tanah. Kepala desa, setelah sehari kami di Labuan Bajo, ia datang membawa sekulum senyum khas. Ia baru saja melaporkan penggunaan Dana Blok Grant kepada Pemprov Sultra. Dana yang banyak mengundang perdebatan itu.

Saya dan juga Uni, teman sekantor, bergaul akrab dengan warga yang dihidupi laut, pohon, dan langit itu. Kami ngobrol di tengah gurauan mereka dalam bahasa Muna. Ada yang mencari ‘sesuatu’ di kepala, di pinggir jalan sambil menikmati bunyi angin yang menembus daun nyiur di pantai.

Kearifan Masyakarat Labuan Bajo, Kearifan Masyarakat Laut, dan Bintang Terang

Maka mulai sore itu, kami mulai berkerja mengumpulkan data dari beberapa informan yang direkomendasi oleh Pak Desa yang datang kemudian. Ihwal yang ingin kami raih sebanyak mungkin adalah kebiasaan yang dilakukan di sana dalam hubungannya dengan aktivitas melaut dalam arti yang luas. Kami segera menuju seorang tua yang berwibawa, berkumis, dan wajahnya menyiratkan pergumulan laut dalamwaktu panjang (namanya saya tidak sebutkan).

Jika engkau melihat segerombolan bintang di langit, maka laut di bawahnya, menyimpan ikan yang siap engkau panen. Itulah salah satu tanda yang dipercaya dan diwarisi masyarakat masyarakat Labuan Bajo yang ternyata mayoritas didiami suku Buton dan Muna. Akan tetapi, jika hanya ada satu bintang terang yang jatuh yang mengarah ke sebuah kampung, alamat musibah yang akan menimpa kampung itu. Jika itu yang terjadi, maka selayaknyalah warga kampung, baik yang jadi sasaran jatuhnya sang bintang, maupun lain yang menyaksikan, untuk memanjatkan doa-doa dalam suatu acara syukuran.

Keasikan meneliti di kampung seperti Labuan Bajo adalah karena bukan saja sang informan yang duduk menemani kami, tetapi juga anak, istri, bahkan cucu.

Teka-teki Angin, Teka-teki Nasib

Angin. Yah, angin. Angin adalah sahabat paling setia yang menyertai senantiasa warga Labuan Bajo. Angin adalah prajurit yang kadang lembut kadang pula garang. Itulah sebabnya, bagi pelaut Labuan Bajo, harus bisa bernegosiasi dengan angin. Salah seorang informan kami mengatakan bahwa seseorang harus bisa mengerti bahasa angin. Angin pun akan mengerti bahasa kita. Jika seorang sementara berlayar di atas laut dan tiba-tiba dari arah depan terdapat gerombolan angin yang siap memecahkan perahu, sebutlah satu nama, atau kata lain, namanya. Maka angin itu akan hancur seketika. Tapi sayang, walau kami membujuknya, sang informan tidak bersedia memberi tahu kepada kami, nama angin itu. Datanglah bulan Ramadan, semua ilmuku akan kubukakan buat kalian, katanya. Ilmu seperti ini tidak sembarang dibuka setiap saat. Saya dan Uni hanya bisa saling memandang sambil tersenyum.

Masyarakat Labuan Bajo sangat memahami keadaan alamnya yang menjadi salah satu sumber penghidupannya. Laut dan ladang adalah dua berkah alam yang sangat menentukan bagi pendapatannya. Memahami dan melestarikan alam menjadi suatu keniscayaan.Karena jika tidak, laut dan ladang dapat rusak yang berarti kerusakan sumber kehidupan warga Labuan Bajo.

Saya meninggalkan Labuan Bajo. Meninggalkan Langgapulu. Meninggalkan masyarakat yang tenang, tidak memiliki harapan yang muluk-muluk, dan masyarakat yang sering dilupakan. Yah, dua pulau dipeluk satu teluk, dua rindu dilebur satu laut! ***

______________________

Syaifuddin Gani lahir di Kampung Salubulung, Mambi, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, September 1978. Bergiat di Teater Sendiri Kendari. Sajak-sajaknya dimuat diberbagai majalah sastra, Koran, dan antologi bersama. Bulan Agustus 2009, mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) bidang Esai. Memiliki istri dan satu anak yang dicintai. Kumpulan sajak tunggalnya Surat dari Matahari.


Hati-Hati Dugem Di Bali Guys..!

Oleh Very Barus

 

KALO kamu doyan pelesiran tempat clubbing di Bali. Ada baiknya lebih hati-hati dengan tawaran-tawaran dari orang yang tidak dikenal. Ya, misalkan elo sedang berada di tempat clubbing dikawasan Legian. Seperti di MBARGO, Sky Garden,Vi Ai Pi (VIP), atau Seminyak, seperti De Javu, Bacio, Double six, dll…

Pokoknya yang namanya tempat clubbing deh.

Di luar arena clubbing alias dipinggir2 jalan, elo akan bertemu dengan pemuda2 tanggung yang SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) sama elo. Mengur dengan ramah dan kemudian, elo pun mencoba membalas sikap ramah mereka. Hingga akhirnya, ujung2nya terjadi interaksi…Ngobrol…. (karena mereka berusaha untuk mengajak ngobrol sama target)

MEREKA ITU ADALAH…

Orang-orang yang akan menyodorkan barang2 haram seperti Inex, cimeng atau barang2 terlarang lainnya. Kalo elo terbujuk rayu oleh mereka, maka elo akan tergiur dengan iming2 harga murah inex atau cimeng atau apalah itu. Berhati-hatilah…

mereka adalah BANDAR…!!!

Kejadiannya, beberapa kali gue dan teman2 dideketin..ditawarin, dibujuk rayu Inex dan cimeng yang ada di genggaman tangan mereka. tapi apadaya, ketertarikan untuk menyentuh barang2 haram itu tidak ada. (masanya sudah lewat bo!!). gue and friends lebih senang menikmati dunia ajep-ajep hanya dengan minum2 seadanya. (maksudnya sebaskom jack daniels dan se ember vodka dan segayung tequilla). jadi… untuk drugs kayaknya nggak deh,…!!

Kalo emang niat mau dugem  Ya dugem aja tanpa harus menyentuh drugs…kalo elo emang pengen ajep-ajep sambil minum2 yang beralkohol ya minum lah. Sampe mabok pun elo nggak akan berurusan dengan polisi. (kecuali elo bikin rusuh di tempat clubbing) Asal jangan sampai terbujuk rayu untuk mencicipin inex and the gank…

Karena kalo sampe elo terbujuk rayu, besok-besok mereka akan terus mengincer elo untuk dijadikan buyer dan ujung2nya sosok elo bisa ditandai…trus, oneday, elo bisa menjadi target operandi polisi…

Elo ditangkap….dengan adanya barang bukti ditangan…

Kemudian…

Elo diperas…agar tidak sampai mendekam di bui…

Dan akhirnya… niat mau liburan..bersenang2..malah berurusan sama pihak berwajib…

So…becareful guys…

Enjoy ur life…and stay away from drugs….!!!

[]


Bangkok Trip #3 : Belanja – Makan – Belanja

[ kisah sebelumnya : Bangkok Trip #2 : Khaosan Road ]

Oleh Very Barus

 

SEBENARNYA tujuan utama gue dan teman ke Bangkok adalah, ingin beli benda-benda elektronik. Mulai dari laptop, kamera, lensa dan elektronik lainnya. Tapi ketika nyampe di Bangkok lalu ngecek bebi cek harga, eh, ternyata harga-harga elektronik nggak jauh beda dengan harga di Indonesia (Jakarta). Ya, beda-beda 500 ribu gitu sih…

Padahal, tahun lalu, waktu gue beli kamera LUMIX  LX 3, harganya sekitaran 3.6 juta. Sementara di Indonesia kamera tersebut masih 6 jutaan. Bahkan setelah setahun berlalu, Lumix gue masih bertahan dengan harga 5.4 juta.  Jadi waktu itu dengan riang gembira gue beli LUMIX yang menjadi teman gue berpergian. Trus, taon lalu teman gue juga beli Lapton VAIO 10 inch dengan harga yang lumayan murah. Pokoknya beda 2 jutaan dengan di Indonesia gitu deh.

Berhubung karena rupiah menguat, sehingga harga-harga elektronik nggak beda jauh dengan harga di Indonesia. Terpaksa deh niat belanja elektronik diabaikan. Dan sasaran berikutnya cuci mata ke pusat perbelanjaan pakaian dan juga keperluan untuk gaya gitu deh.

Sebagai catatan, harga-harga baju disini sangat-sangat murah. Nggak heran kalo shooping mall disono banyak dibanjiri pedagang dari Indonesia yang memborong item-item yang sedang hits! Gue dan teman juga nggak mau kalah untuk mengubek-ubek pusat perbelanjaan itu. Jangan sok gengsi deh… kalo sudah di Bangkok jangan sok “gengsi” beli baju-baju dengan sistem “TAWAR MENAWAR”. Modal utama tawar menawarnya adalah bawalah KALKULATOR!

Berikut ini tips dari gue deh:

Kalo sudah berada di pusat perbelanjaan Platinum, MBK atau Pantip Plaza(rata2 mirip Mangga dua dan Roxy). Tapi meski pusat grosir, kawasannya bersih dan bebeas polusi. Nggak boleh merokok di dalam mall bener2 berlaku. Bukan kayak disini, meski tertulis DILARANG MEROKOK tapi tetep aja pura2 nggak bisa baca dan merokok seenak MUNCUNG-nya. Pokoke kalo sudah nyampe di pusat perbelanjaan itu, siapin stamina deh. Karena dari lantai satu sampe lantai 5, mata elo dimanjakan dengan baju2 serta perlengkapan untuk gaya-gayaan tersedia disono. Kalo stamina nggak kuat ya GEMPOR!

Bawa kalkulator. Meski otak elo encer urusan matematika. Tapi nggak ada salahnya elo bawa kalkulator deh. Karena alat berkomunikasi dengan pedagang tetap pake bahasa TARZAN. Sambil ngotak ngatik angka di kalkulator. Lalu tawar menawar dengan memencet kalkulator juga. Jadi alat hitung ini WAJIB DI BAWA.

Tawar menawar SADIS! Jangan gengsi nawar deh. Ntar rugi seumur2. Meski harga baju2 dan perlengkapan untuk gaya disini jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia. (apalagi kalo sudah masuk butik harganya bisa 100 x lipat mahalnya). Jadi, kalo elo suka pada satu item baju, celana ato blazer ato apalah itu) elo harus menawar sesadis mungkin. Kalo dia buat harga misalkan 500 bath elo tawar aja 200 bath. Jangan nawarnya Cuma 50 bath…itu namanya elo BEGO! Pokoknya, tawar semurah2nya deh. Kalo toh nggak dikasih, minimal dia bisa menurunkan harga dari harga normal. Juga mereka menjual baju dkk system grosiran. Kalo elo beli baju Cuma satu item doang harganyabeda dengan kalo elo beli 3 item. Pasti dikasih harga grosir deh….pokoknya tawar menawar tak gentar judulnya.

Jangan Kalap! Berhubung barang-barang yang dijual semua bagus di mata. Seolah-olah kita pengen borong tuh barang-barang. Eiiitttsss…!!!! Ingat isi kantong elo. Kalo duit elo nggak berseri sih nggak masalah elo beli semua. Tapi kalo duit elo terbatas, nggak ada salahnya mikir-mikir dan cek bebi cek dari lantai 1 sampe lantai 5. Kalo ada yang klop baru beli dengan hati, jiwa, raga, pikiran, nurani dengan matang. Jangan nyesal setelah beli. Karena nggak bakalan bisa dibalikin! Kenal juga kagak!

Selain Pratunam, Platinum, MBK, Pantip Plaza, ada satu tempat belanja terkenal lagi… Kalo momen keberuntungan elo  datang pada hari Sabtu, ada baiknya elo menjelajahi  Chatuchak.  Chatuchak hanya buka sabtu dan minggu doang. Meski barang-barang yang dijual hampir sama dengan barang2 yang ada di MBK dan Platinum. Hanya saja, sensasinya beda. Elo berpanas-panasan untuk menjelajahi pusat perbelanjaan tersebut.

Selesai urusan belanja….

Saatnya perut elo dimanjakan. Pokoknya urusan perut jangan khawatir deh!!! Nggak bakalan perut elo kriuk-kriuk kelaparan. Karena hampir sepanjang jalan raya (dipinggir jalan maksudnya) elo akan dimanjakan dengan jajanan yang SUMPAH enakkkkkkkkk banget. Mulai dari gorengan, asinan, manisan, buah2an, serta makanan apa saja tersedia di depan mata. Trus, elo jangan takut soal harga! Jangan REASONABLE banget harga dengan rasa.

Trus jangan takut HARAM. Karena tersedia makanan yang bebas dari kata HARAM. Banyak seafood yang ikan2nya seger2 banget. Tomyam yang menggoda iman. Bayangin aja, 4 hari di Bangkok, setiap hari gue makan TOMYAM yang bikin gue menangis darah kalo mengingat lezatnya tuh makanan. Sumpah enak bangetttt..!!!!

Beda banget kalo elo makan tomyam di negeri kita yang tercinta ini. Satu mangkok kecil 9seukuran kobokan) tapi harganya SELANGIT!. Beda dengan di Bangkok. Tomyam yang rasanya bikin mata elo merem melek merem melek dengan porsi se ukuran BASKOM (sangkin gedenya) hanya 15 ribu saja. Atau di restonya sehara 30 ribu. Kalo disini elo bisa nangis darah mengeluarkan isi dompet elo untuk mencicipin THAI FOOD. MAHAL..!!!

Selain Tomyam, seafood, mie goreng, mie kuah, soup sirip ikan hiu, kue-kue, jus dan apa aja deh… semua MURAH MERIA MANTAP! Dijamin perut elo membengkak deh kalo sudah hinggap di Bangkok. Elo bisa menjelajahi beberapa kawasan yang empuk untuk mencicipin makanan. Mulai dari Khaosan Road, China Town, Patpong night market, suanlum Night Bazar dan banyakkkk lagi deh tempat2 makan yang nggak makalan bikin elo kelaparan. Mau mencicipin durian BANGKOK??? Silahkan..!!! jelas jauh lebih murah dan lebih nendang sampe ke tembolokan elo. Top Markotop deh!

Satu hal yang perlu dicatat, di tempat2 makan elo bakalan susah menemukan seekor LALAT. Jadi, sangat bersih dan jarang ada Lalat. Cara penyajian makanannya pun sangat2 higenis dan bersih. Nggak percaya..??? buktikan aja deh..!!!

Jadi destinasi untuk memanjakan diri dan perut menurut gue ya Di BANGKOK.

[] selesai


Bangkok Trip #2 : Khaosan Road

[ kisah sebelumnya : Bangkok Trip #1 : About Transportation ]

Oleh Very Barus

Salah satu kawasan yang membuang gue kangen sama Bangkok adalah kawasan KHAO SAN ROAD ato kalo mau singkat ya sebut aja Khaosan. Ut saja nama itu, sepasti semua umat di Bangkok sudah tau deh. Kalo diambil perumpamaan, kawasan ini mirip jalan JAKSA di JAKARTA. Ato POPPIES di BALI. Lokasinya nggak luas-luas banget sih. Tapi, kalo elo ke Bangkok nggak mampir ke kawasan ini rasanya nggak afdol! RUGI..!!!!

Apalagi kalo jiwa petualangan malam elo sangat bergelora. Sudah deh mampir aja kesono sebentar. Nikmati keriaan kawasan tersebut. Icip2 dikit beer ala Thailand, juga jenis2 minuman beralkohol lainnya. Pokoknya semua tersedia. Hinggar binger music dari satu kafe dengan kafe  lainnya saling saut menyahut. Pokoknya kalo mau dengan perang musik ajep-ajep ya di Khaosan road. Tapi elo nggak bakalan mendengar lagu KEONG RACUN disitu!

Tidak hanya itu saja…

Disepanjang jalan itu, elo akan dimanjakan dengan jajanan makanan yang beraneka ragam. Buah2an (seger) ada. Mau makan mie, tomyam, sosis bakar, durian, ketan, ayam bakar, ayam goreng dan aneka jenis-jenis makanan yang akan menggoda imanmu dan menggagalkan program diet ketat elo. Gue aja yang bersumpah2 nggak bakalan tergoda makanan lezat karena lagi program nurunin berat badan PUPUS SUDAH..!!!!

Rasanya berdosa besar kalo gue melewatkan makana2 lezat itu hanya gara2 alasan DIET..!!! fhuiihh…!!! Jangan sok ngartis deh!

Selain dimanjakan dengan makanan, kawasan tersebut juga akan memanjakan mata elo tapi menguras habis isi kantong ato dompet elo. Dengan banyaknya pedagang2 pakaian disepanjang jalan itu gue yakin iman dompet elo juga runtuh! Bayangin aja, Kaos2 yang di Indonesia menjamur dengan harga 100 ribuan. Dikawasan ini elo bisa membeli dengan harga hanya 25 ribu saja. Ato sekitar 80 sampe 100 bath saja! (1 bath= rp.300).

Juga tersedia deretan apotik, hotel kelas bintang  kecil sampe kelas melati atau juga motel yang bisa disewa berbulan-bulan.  Gue dan teman sempat memilih nginap di salah satu hotel berbintang 3 M (Murah Meriah Mantap). Sangkin nggak pengennya meninggalkan kawasan tersebut, kami nginap di motel dengan harga 100 ribu saja permalam. Maka dari kamar hotel terdengar lah dengan jelas hinggar binger music ajep-ajep dan live musik di kafe2 yang ada disekitar motel kami.

Sangkin suka dan cintanya gue sama KHAOSAN ROAD, kemaren gue menodai tubuhku dengan membuat TATTOO dilengan kananku. Ya, biar terpatri seumur hidup kalo gue cinta sama kawasan itu.

Sebagai catatan, kalau pagi sampe sore, Khaosan Road akan berubah wujud menjadi kawasan kantoran dan juga kawasan ruko-ruko. Tidak aja hinggar binger hentakan music memekakkan telinga. Yang ada orang-orang hilir mudik dari satu kantor ke kantor lainnya. Tapi, after hour,  Khaosan road langsung berubah wujud menjadi kawasan paling HAPPENING di Bangkok..dan tepat pukul 2 ato 3 dini hari…semua hinggar bingar harus kembali menyepi alias bubar….!!!! karena jam operasi hanya sampe jam 3 dini hari doang.

Kalo elo masih KENTANG…ya silahkan cari tempat dugem yang buka 24 jam…

Biar nggak penasaran, silahkan mampir ke kawasan tersebut. Gue yakin elo bakal suka. Tapi kalo nggak suka ya disuka-sukain aja. Biar KLOP!

Oke..!!!

Bersambung lagi nih……

[]

[ kisah selanjutnya : Bangkok Trip #3 : Belanja – Makan – Belanja ]


Bangkok Trip #1 : About Transportation

Oleh Very Barus

BANGKOK IN MY MIND

Gue pengen bagi-bagi cerita dikit nih…(dikit tapi bersambung lho ceritanya…hehehheheh)

Ya, pengalaman gue selama di kota Bangkok! bukan pamer sih tapi seru aja kalo gue cerita2 dikit. kali aja kalian juga tertarik untuk menikmati sensasi Thailand yang jujur aja gue suka bangettttt…..

Sejujurnya gue bingung mau memulai dari mana nih cerita. Karena setiap langkah kaki gue pasti mengandung makna cerita yang dalam (duh, peres res res….!!)

Okelah kalo begitu! as u know, Gue suka kota Bangkok. Sama cintanya gue dengan pulau Bali. Anehnya kedua tempat ini sebenarnya banyak  memiliki kesamaan.

  1. Orangnya ramah2..(sopan dan sangat mencintai Tuhan-nya. Dikit2 sembahyang…)
  2. Makanannya enak2 (seafood-nya seger2..kayak habis mandi.)
  3. makanan menggoda iman.murah2 dan bersih..
  4. buah2an seger2..semok-semok.(mampus gak lo..??)
  5. Hiruk pikuknya dapet! (alias tempat ajep2nya)
  6. Barang2 dagangannya murah2 (saran gue kalo ke Bangkok bawa baju satu biji aja deh… pulang dari Bangkok bisa beranak-pinak lho jadi satu ato dua koper tuh!!! )

Perbedaannya Cuma satu; Orang Thailand banyak yang TIDAK BISA berbahasa Ingggris. Sedangkan orang Bali mahir2 berbahasa Inggris dan bahasa asing lainnya… (disini nih kelemahan org Thailand, ogah belajar bahasa Asing). Banyak kejadian2 KONYOL  dengan supir taksi, supit TUKTUK gara2 tidak bisa bahasa Inggris. Ujung2nya Nyasar dan nanya sana sini..shit!!! bego benerrrr…!!! (Bahkan untuk menyebutkan HOTEL saja sangat sulit bagi mereka. Apalagi nama jalan)

di Bangkok Trip pertama ini, gue mau curcol Pengalaman naik  Taksi dan Tuktuk. baca aja deh..jangan komen dulu..oke…nih dia.:

Dari Bandara nyetop taksi mau ke hotel… sepanjang perjalanan kami harus bebahasa TARZAN untuk menjelaskan hotel AMARI yg hendak kami tuju. Saying seribu saying, si supir bego tetap tidak mengerti.meski alamat sudah lengkap kap kap… eh, dia malah minta nomer telepon itu HOTEL..busyet dah..terpaksa browsing pake BB untuk mendapatkan nomer telpon hotel itu… Bego nggak sih..??? alamat hotel sudah jelas2 lengkap di print-out tapi tetap dia tidak mengerti saudara-saudara…!!!! < — sempat stress dan emosi jiwa nih gue.

Naik Tuktuk nih..dari hotel mau ke pusat perbelanjaan PLATINUM.. bayangin aja untuk nyebutin PLATINUM aja mereka susah. Plat..plat..plat apaaaa gitu.. yang jelas sampe debat kusir pake bahasa TARZAN lagi. Karena nggak bisa bahasa Inggris. Akhirnya, dengan menuliskan huruf demi huruf baru deh si supir Tuktuk ngerti.(padahal Platinum sangat terkenal dan menjadi pusat belanja murah)

Kalo naik taksi malem2, elo harus hati2. Karena supir2 akan menawarkan elo ke lokalisasi untuk menyalurkan hasrat seksual elo. Mereka nawarin tempat perempuan penari telanjang dan live show sex…….hanya saja, mereka akan minta tips berlipat2….

Satu hal yang menarik dari supir-supir taksi di Bangkok adalah: supir taksinya jujur. Tidak pernah minta tips. Berapa bath pun uang kembalian pasti dibalikin. Beda dgn supir taksi kita… kembalian 10 ribuan juga mau diembat…sialan…!!! Mentalnya bener2 mental Malak!

Kalo elo naik taksi, perhatiin deh sekitar isi taksi. Di depan cermin di depan, pasti ada bergelantungan bunga2 dan sesajen. Katanya sebelum berangkat mengemudi, mereka menyembahyangin taksinya. Dan digantung deh bunga2 sesajen di dalam. (mirip taksi2 di Bali juga sih…). Jadi kalo naek taksi pasti idung elo nyium bau-bau dupa gitu deh… kadang bikin kepala puyeng! Trus  juga di atap taksi juga sering ditempelin doa-doa pake bahasa sono…

bersambung…

[]

[ selanjutnya : Bangkok Trip #2 : Khaosan Road ]


Kisah Pengemis Anak-Anak di Shenchen

Oleh Very Barus

KALO elo memperhatikan wajah gadis ini tentu gemes dan kayak anak kecil yang ortunya tajir gitu deh…

Tapi harus waspada…  Karena anak ini adalah pengemis dengan kedok menjual bunga tangkai. (kisah ini  gue lihat saat gue sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan di SHENCHEN)

Cara ngemisnya sangat memaksa dan nakal…dan targetnya adalah para wanita (ibu-ibu atao wanita kantoran gitu deh..).

Pertama-tama si anak kecil ini ngider-ngider di sekitar pusat perbelanjaan sambil memegang bunga tangkai (lihat beberapa tangkai bunga ditangannya). Setelah menemukan TARGET-nya…kemudian di gadis cilik ini mengikuti dari belakang…

Kemudian menghampiri si target …

Kemudian… dengan spontan diinjaknya sepatu si perempuan (yang jadi targetnya) secara otomatis si perempuan kaget dan berhenti dong.

Kemudian si gadis cilik ini menjatuhkan diri persis di depan si perempuan. Siperempuan semakin panik. Dan berusaha mendirikan si gadis cilik…Tapi si gadis cilik terus menjatuhkan diri.. sambil menjerit-jerit mirip anak kecil yang menangis-nangis minta dibeliin sesuatu pada ibunya.

Si perempuan semakin  panik…..(tentu nanya dong…)

“Kamu kenapa…? pake bahasa sono tentunya.

Si gadis kecil terus menangis…menangis….dan menangis…

Si perempuan makin panik… terus aja berusaha menghindar dari si gadis cilik…

Tapi si gadis cilik terus memegang-megang rok si perempuan sambil bilang begini…

“Beli bungaku… beli bungaku…”

Karena hanya gara-gara beli bunga, si perempuan  pun langsung mengeluarkan dompetnya dan mengambil duit yang layak untuk setangkai bunga, kira-kira dikasih 5 ribu gitu kali ya…

Tapi si gadis kecil ini tidak mau… dia minta lebih….

Dikasih 10 ribu — eh si gadis kecil malah menolak lagi. Dia minta lebih..

Hingga akhirnya si perempuan terpaksa ngasih 20 ribu.

Setelah mendapatkan uang itu, si gadis kecil melepaskan injakkan kakinya pada kaki si  perempuan. Kemudian dia berlari sambil mengambil kembali bunga yg tadi disuruh beli si perempuan….

Aduh….

Ini anak nakal banget…..!!

Ternyata menurut org setempat kejadi seperti itu sudah sering terjadi. Memanfaatkan anak-anak untuk mengemis secara paksa…

Buat elo yang ada rencana jalan-jalan ke Shenchen bisa lebih hati-hati…

Kalo ada nemu gelagat anak kecil sepertt itu ngacir aja… ato langsung teriak sebelum dia keburu duluan teriak..—hahhahahahhaha

[]


Makan Duren Di Malam Hari…Ingat Jupe…

Oleh Very Barus

MARI MAKAN DURIAN…

Sejak hijrah ke ibukota, gue tuh jarang banget makan Durian. Bukan karena nggak suka atau karena harga durian mahal di ibukota. Melainkan karena tiba-tiba saja nafsu makan untuk melahap durian hilang seketika. Jadi kalo dipikir-pikir, bisa dihitung dengan jari tangan deh, berapa kali gue makan durian selama lebih dari 10 tahun tinggal di ibukota…Kalo pun makan durian, tapi tidak seheboh saat di Medan…

Anehnya, setiap gue mudik ke Medan, menu makanan yang masuk ke dalam LIST WAJIB MAKAN yang KUDU-HARUS-MUSTI makan salah satunya adalah DURIAN! Ya, setiap gue mudik ke kampung halaman pasti gue makan durian seperti orang KALAP yang nggak makan. Durian satu buah nggak bakalan cukup deh untuk gue! Jadi kira-kira berapa buah dong…??

Hmm…kira-kira berapa buah ya..? Dua ? Tiga ? NO

Paling banter gue bisa menghabiskan 4 atau 5 buah durian berukuran sedang atau besar! (Mampus dah! Ketahuan deh gimana rakusnya gue kalo sudah ketemu durian Medan). Jadi agenda utama untuk makan durian pada kunjungan ini sudah tersalurkan…

Tadi malam…

Gue dan teman gue menyambangin kawasan GLUGUR BY PASS, kawasan yang terkenal dengan tempat menjajakan durian yang rasanya bisa dijamin top markotop! Soalnya garansinya adalah…kalo rasanya ANYEP atau hambar, si pedagang durian rela mengganti durian anyep tersebut dengan durian yang baru dengan jaminan ENAK GILA! Dan yang makan juga GILA kali ya???? (Gila Durian maksudnya!)

Tadi malam, sambil makan durian…diiringin guyuran hujan yang lumayan deras (jadi teringat lagu JUPE –BELAH DUREN…). Wah, mantab dah!!!! Apalagi kalo sampe si JUPE nari-nari di depan gue sambil melahap durian…Maknyussss…!!!

Jadi, tadi malam gue melaham 4 buah durian berukuran sedang… Rasanya juara deh…!! Harganya juga juara! Satu buah durian yang kalo di jakarta harganya bisa mencapai 35 sampe 50 ribu…tapi di sini hanya 15 ribu saja…!!!

Tadi malam sudah puas makan durian…apakah keinginan gue sudah tersalurkan…????
Jawabnya BELUM…!!!

Karena masih ada beberapa hari lagi di Sumatra Utara…dan masih ada beberapa malam lagi untuk HUNTING durian-durian segar lainnya…

MAU…??????

[]


Rembulan Di Atas Suramadu

Oleh Dwi Klik Santosa

(Photo: galunggung99.files.wordpress.com)

SORE di atas kemungkinan, begitulah ceritaku ini kali. Yah, sebelum diri masuk kembali ke rutinitas ibukota, kunikmati sesuka-suka, sisa-sisa waktu di Surabaya.

Jembatan itu panjang. Megah, karena terbuat dari beton yang ditanam di dasar laut. Ini bukan sekedar fantasi. Ya, inilah mega proyek. 15 tahun dikerjakan dan dikabar-kabarkan hebat. Dan nyatanya begitu usai dan resmi dibuka, berbondong-bondong orang pingin jalan di atas lajurnya. Bahkan belum tiga bulan jalan, berita-berita pun lantas santar menghembuskan; jalur motornya ditutup, karena sekrup dan besi-besi hilang dari tempatnya. Sangat membahayakan si pemakai jalan…Hwaradakah!

Di atas punggung jembatan Suramadu, kukabarkan lewat sms kepada seseorang. Kuceritakan kepadanya: “Heiii…aku sekarang di atas Suramadu!” Dan tapi jawabnya kemudian; “jangan bunuh diri disitu, ya!”… Haooouuww…teganya, teganya. Pikiran ini entah kemana lagi. Sepertinya terus berlari dan memasuki ingatan adegan-adegan romantis film Hollywood. Bercengkrama dan bercinta di atas jembatan Manhattan. WaaooouAutumn in New York… Angin di atas Suramadu wuiih galaknya. Dan si pak sopir taksi ini betapa cerewetnya. Bercerita kepada seluruh penumpang taksinya, tentang riwayat orang-orang. Orang Surabaya, orang Madura, orang Jember… Dan lalu, welcome Madura!…gersang. Garing. Tandus. Hahahayah, di tanah yang keras, sifat manusia jadi keras. Bagaikan gelombang watak bangsa Viking pada dongengan legenda Skandinavia mencari tanah pengharapan. Mengembara mereka dengan gagah berani dan lalu buas mencari lahan untuk beranak pinak.

Di atas jembatan Suramadu. Terdengar suara dengkur tiba-tiba. Dua sohib perjalananku tumbang bersender di bangku belakang. Dan si Pak Tua cerewet itu pun menikmati setirnya sambil berjula-juli dengan asyiknya. Ah, jembatan ini membelah laut, menghubungkan daratan. 15 tahun mengerjakannya betapa lama. Lha itu Sri Rama dalam dongengan Ramayana, hanya dengan sepekan saja mampu mewujudkan maha karya; Jembatan Situbanda. Bendungan megah itu dibangun dengan gotong royong dan segenap juang para prajurit kera, si putra-putra kahyangan dan ikan-ikan perkasa keturunan Dewa Baruna. Mereka bekerja tak kenal korupsi. Apalagi manipulasi. Puih! Mainan apa itu. Gunung digempur jadi batu. Batu ditendangi para kera perkasa melayang-layang di angkasa, ditangkapi kera lainnya, dan lalu diletak, diatur ikan-ikan pesut dan lumba yang cerdas. Ribuan, jutaan batu-batu melayang dan amblas menumpuki memanjang. Kokoh kuat ditambal dengan tanah liat ajaib ramuan sang Anoman yang jago membangun cagar monumen. Gunung pun tebas dipindah ratakan untuk membelah laut Mangliawan. Dan begitulah, nyanyi-nyanyi para kera yang tiada lelah bekerja, mewujudkan asa, menjembatani juang Sri Rama merebut kembali Sinta dari culik si laki-laki maha jahat Rahwana.

Ah, Sintaku. Jangan engkau mati sebelum aku menemukanmu.” …Jembatan itu pun kokoh terbentang. Menghubung dua daratan yang mustahil sepertinya disatukan. Gilang gemilang segenap pasukan kera menyanyikan orkestra perang. “Jangan sedih Paduka Rama, aku anakmu siap menabur darah, demi keadilan, demi kembalinya ibuku ke pangkuanmu,” teriak Anoman.  …Waooow… Berduyun-duyun bagai semut berbaris. Para kera sigap menembus perisai maut pertahanan para dajal bengis. Alengka si kerajaan besi yang dihuni selaksa raksasa dan raksasi ditaklukkan bahayanya dengan langkah mantap. “Hei, Rahwana akan kutampar sepuluh mukamu. Kuhilangkan sifat jahatmu untuk selama-lamanya. Supaya kau tahu dan kiranya semuanya saja tahu, bahwa jembatan itu dibangun dengan susah payah. Dengan keperihan. Dengan perjuangan. Hanya demi sebuah cinta. Sebuah tanggungjawab kepada isteri terkasih yang hendak kau rebut dengan licik dan pengecut.”

Di ujung jembatan Suramadu. Taksi ini kembali memasuki rahim Surabaya. Sungguh kota yang bagus. Lebih bagus menurutku ketimbang ibukota jalur hidupku sehari-hari. “Yang tadi itu, jalan yang menuju Kamal.”…

”Kamal? Jadi Kamal itu masuk wilayah Madura, ya Pak.” …

”Inggih, ngaten, mas!”…

Woouuuw… Bukankah di kamal, dulu Anggraini kekasih tercinta Panji Inu Kertapati sang Kameswara perkasa itu lenyap bagai terbang ke langit. Di tempat itu dulu, sang dewi harus mati di atas keris jagal Jenggala. Hanya demi cinta. Demi menghormati perasaan sang mertua, yang telah dulu, bahkan sejak dalam kandungan telah menahbiskan sang suami berjodoh dengan si jelita Sekartaji, putri Kediri…

”Anggrainiku … tidak akan ada lagi perempuan lain di hatiku, kecuali dikau.”…dan ksatria perkasa itu pun gila. Edan, karena dipisahkan dengan yayangnya…

Thet! Thet! Thet! Brungg … Bruuung … bruuung! …

“Wong edan!” sumpah pak Tua. Memang gila laki-laki itu, jalanan seperti milik simbahnya saja. Sak udele dewe! …”jangan kencang-kencang, Pak,” seru sohib di jok belakang, “pesawat berangkat masih jam Sembilan.” Dan taksi pun alon-alon waton kelakon. Dan terdengarlah lagi dengkur itu.

Di atas rahim Surabaya, tak pernah aku ditinggali kenangan. Sama sekali tak ada memori yang menghubungkan sebagai jejak-jejak menuju sejarahku. Baru kali ini kiranya, kaki ini benar-benar mendarat dan menapaknya. 4 hari yang melelahkan. Demi sebuah tuntutan profesionalisme pekerjaan. Dan, serba asyik saja, menjalaninya selama ini. 4 hari di kota arek-arek bonek ini, semua orang yang kujumpai penuh sapa, penuh senyum. Hingga Pak Wagub Surabaya si Gus yang mantan menteri itu dan pula Pak Wali dan tokoh lainnya dapat tertawa-tawa, berbagi-bagi kegembiraan dengan semua orang di ruangan itu. “Tak dongakno kabeh maju. Suroboyo maju, Indonesia maju. Sarwo nyenengke kabeh, ora ono sing nggrantes,” inilah kelakar sang Wagub yang merakyat itu.

Di koridor-koridor ini, dalam bingkai fragmen kali ini begitu lengang. Wira-wiri orang entahlah, siapa mereka. Kemana tujuan mereka. Disini, duduk di kursi ini, kuabaikan saja, kuacuhkan saja lenggak lenggok pramugari yang hmm … hmmm … jari-jari tangan ini asyik saja ngutak-utik laptop mungil ini. Tapi sungguh mati. Demi Tutatis dan sejuta topan badai … hahaha … kubayangkan rembulan muncul malam ini. Sehingga kuharapkan laju terbangku nanti ke ibukota tenang teduh, tanpa was-was dan kalis dari bencana.

Dan di atas jembatan Suramadu, pernah tertinggal sepercik asaku disana. Seketil lamunan, soal rembulan. Ah, kenapa tak ada waktu untuk sejenak menikmati rembulan bundar di atas Suramadu? Aku tak mabuk keindahan Manhattan. Tak juga ingin berakting sebagai Sri Rama yang kesepian ditinggal Sinta. Atau sang kelana, Panji Inu Kertapati yang gila ditinggal Anggraini. Tapi dengarlah sepiku, wahai, malam dan juga kau, rembulan di atas Suramadu. Setidaknya ini harapku. Aku ingin mencari jejakku sendiri, tanpa bayangan dan romantisme masa lalu. Hanya sedikit asa. Jikasaja kelak itu mungkin. Aku ingin sekali mengenali apa itu bahagia. Tanpa merasa kesepian. Tanpa gila. Tanpa merasa kehilangan suatu apa. Tidakkah boleh berharap pada mungkin?

Bandara Juanda Sidoarjo

12 November 2009

20:34

[]


Saputangan Merah

Oleh Dwi Klik Santosa

Baru kali ini aku diberikan kenang-kenangan aneh. Sehelai saputangan berwarna merah. Terbuat dari kain berbulu halus dan lembut. Betapa sesuatu yang indah dan sangat mengenangkan. Sesuatu yang lucu, mungkin. Dan entahlah, saat mengingat lagi masa-masa dulu itu.

Dulu sekali, ibuku pernah bercerita padaku. “Pemberian sebagai tanda kasih dari seseorang berupa saputangan, biasanya memberi isyarat tidak bagus bagi hubungan itu di kemudian hari.”

Ibuku orang kuno. Orang Jawa dan terlahir dari kampung. Tentu saja, kata-katanya ini kuanggap usang saja. Kebanyakan orang Jawa kan begitu, sedikit-sedikit gejala dan sebagainya selalu dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang sifatnya gaib dan mistik. Dan, bagi pencernaan pemikiranku yang sedang tumbuh girang-girangnya ngilmiah, kadang-kadang kuartikan seperti hanya untuk menakut-nakuti saja. Ah, ibu.

Bagaimana pun saputangan merah itu, bagiku adalah hal yang istimewa. Apalagi, benda itu diberikan oleh seorang bule cantik bernama Michelle. Ya, Michelle Young, begitu pada awal bertemu dulu ia mengenalkan namanya. Dari sepintas lewat pengetahuanku tentang sosok dan pribadi seorang bule, terlalu banyak kuasumsikan konotatif. Entahlah, aku ini barangkali orang Indonesia yang berjenis tradisional dan konservatif.

Tapi, ketika berkenalan secara dekat dan intens dengan Michelle. Semua hal yang konotasi itu seperti hilang seketika. Bahkan, sungguh aneh bagiku. Jika dari suku asalku, penampilan seorang perempuan agung itu disebutkan serba halus, menunjukkan karakter ibaratnya seorang putri kedaton. Namun, si bule berambut pirang ini seperti tak kalah memanifestasi sebutan estetika ningrat itu.

Entahlah, serba kebetulan dan beruntung saja sepertinya pada waktu tempo dulu itu, dimana pada saat yang tak terduga, dapat berkenalan dan bahkan berhubungan dekat dengan seorang mojang asing yang brilian tapi santun.

“Kamu lucu,” selalu begitu komentarnya. Seusai aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

“Aku bukan badut,” kilahku.

Dan, senyum yang pipit di kedua pipinya itu, sungguh memberi panorama istimewa; si bule pirang yang kejawa-jawaan.

“Engkau tidak boleh bersendawa seperti itu,” katanya lagi, “itu tidak sopan.”

Waduh. “Iya, habis, saya tidak terbiasa minum minuman bersoda,” kilahku lagi.

Dan, selalu saja setiap aku berkilah, disikapinya dengan senyum, bahkan derai tawa yang lepas.

Perjalanan bus antar kota, Jakarta – Denpasar waktu itu memang melelahkan. Tapi, tidaklah demikian seolah-olah. Justru, biar saja, semakin lama semakin bagus. Haha.

Tatkala bus Lorena executive itu melaju tenang meninggalkan ibukota, AC bus yang adem serasa sihir saja yang cepat menilapkan semua penumpangnya. Begitupun aku. Novel yang baru saja beberapa lembar kusantap, tanggal pula dari tatapku. Tidak penuh memang kursi bus itu diisi penumpang. Kursi berinterior super deluxe yang berjajar dua-dua itu, di sisiku kosong. Tanpa diduga dan mendadak saja, bus ini tergoncang. Berderit keras dan panjang. Seisi bus pun pada goyah.

Rupanya Pak Sopir yang cekatan, berusaha menghindari penyeberang jalan yang sembrono, dengan membantingkan badan bus keluar ruas jalan. Untungnya ada tanah lapang yang siap menampung badan bus. Selamatlah seisi bus, tiada sesuatu pun yang celaka atau terluka. Begitupun, dari posisi tidurku yang seenaknya tadi itu, lantas mudah saja melempar tubuh ini, hingga terjongkrok ke bawah.

Setelah mulai tersadar. Kucari-cari novel yang tadi kubaca, terlempar entah kemana. Nah, pada saat novel handy itu mulai terlihat mataku berada di bawah jok kursi sebelah itu, akan kujangkau segera. Pada saat yang sama, selentik tangan meraih novel itu. Bertatapan mata kami sambil jongkok. Busyet! Bule cewek yang lucu. Baby face. Melalui sebulat coklat matanya itu, seolah ia berkata, “ini novelmu?”

Kuanggukkan kepalaku. Lalu kuterima novel itu dari sodoran tangannya. Ragu-ragu, aku kembali ke jok kursiku. Bus yang sudah berjalan lagi dengan tenang, mengenakkan duduk kami. Novel itu kubaca lagi. Dan, tapi .. mataku sudah mulai mencari-cari lagi.

Melongok ke samping. Kursi si bule baby face di sampingnya juga kosong. Wuiii … entahlah kejadiannya, singkat cerita, sosokku sudah terduduk di sampingnya. Dan ngobrollah kami berdua. Sekenanya. Sedapatnya. Mengalir saja. Asyik-asyik saja. Dari soal Indonesia moii. Gajah Mada. Mataram. Tanah air. Soekarno. Soeharto. NU. Muhammadiyah. Multipartai. Pemilu. Otonomi daerah.

“Novel yang bagus,” katanya, “apa itu royan?”

“Royan itu penyakit yang mewabah,” jawabku.

Royan Revolusi, begitulah judul novel itu. Novel bermuatan human satiris masa-masa selepas kemerdekaan Indonesia, karya Ramadhan KH.

“Indonesia negeri yang indah,” kata Michelle, “3 tahun ini saya jalan-jalan keliling AsiaTenggara.”

Lalu si bule santun ini menceritakan pengalaman hidupnya. Kekecewaannya terhadap keluarga, dan terspesial adalah kepada kaum laki-laki, dari pacar pertamanya, ayahnya, kakak lakinya dan kemudian dosennya yang pernah mengencaninya, menjadi alasan baginya meninggalkan sejenak Ausie untuk sekedar berusaha mencari hiburan batin. Dari Philipina, Singapura, hingga pada akhirnya tinggal di Bangkok, dan lalu menganut Budha. Semasa kuliah di salah satu universitas di Ausie, ia mengambil NU – Muhammadiyah sebagai obyek penelitiannya. Maka, tak heran bahasa Indonesianya bagus sekali. Dan, banyak nyambung saat pembicaraan menyangkut peta politik dan budaya nusantara. Menyenangkan sekali berdiskusi dengan si bule pinter ini. Apa saja kata-kataku bisa saja menjadi bahan tawanya. Entahlah, dataku yang kurang atau aku yang terlalu lugu, sehingga mudah ia tertawakan.

Tatkala bus Lorena ini berhenti di restoran Pasir Putih di bilangan Jawa Timur itu, menjadi hal yang sangat kuingat dan kukenang tentang sosok si Michelle ini. Setelah pintu bus dibuka, berebutan para penumpang ingin saling dulu turun dari bus. Belumlah kami sampai masuk ke restoran, seorang perempuan tua dalam keadaan memelas, memegang-megangi perutnya. Rintihnya iba. Entahlah, kenapa aku hanya diam melihat dan mendengar saja, tak juga berbuat apa-apa. Darimana datangnya, mendadak Michelle menghampirinya. Ia berkata kepada perempuan tua itu. Dan kemudian berteriak kepadaku, “bantu aku.”

Kami bertiga pun makan bersama. Disapa si perempuan tua itu oleh Michelle dengan banyak pertanyaan. Sesekali kutimpali, setiap si ibu tua itu menjawab. Dan berkelakarlah kami akhirnya bersama-sama. Dari cara Michelle bertanya dan tak sungkan menyentuh sosok si tua memelas ini, tak dapat kupungkiri, dia gadis menarik dan eksentrik. Punya empati yang bagus terhadap sosialisme.

Makanya, ketika bus mulai berjalan lagi melanjutkan rute ke Ketapang, diskusi kami pun lanjut ke topik sosialisme. Seru sekali. Saat kusinggung soal anarkisme sebagai sebuah sempalan cabang spesifik dari sosialisme, Michelle kelihatan seperti tidak senang.

“Tidak ada dimana pun manusia hidup tanpa aturan, kamu tahu itu,” sanggahnya sengit.

Ya, memang. Tapi catatan-catatan pendapat dari kecenderungan pemikiran Bakunin dan Matalesta, bahwa jika manusia mampu mandiri, berdiri sendiri, hidup tanpa ketergantungan yang lain, bersikap anarkisme, kenapa tidak?

Begitulah, ketika bus kami memasuki badan kapal penyeberangan menuju bandar Gilimanuk. Asyik saja, kami berdua, terlibat aksi-aksi menyenangkan. Rambut si bule ini pirang berkibar-kibar disisir angin. Serba sopan cara berpakaiannya, tak nampak seperti turis asing kebanyakan. Dan, ketika anak-anak pantai itu mulai beratraksi mengapung di lautan samping kapal yang berlabuh menunggu keberangkatan, mulailah mereka mendapatkan atensi dari para penumpang kapal. Aku dan Michelle tak ketinggalan. Koin ke koin telah habis dilempar dijadikan rebutan anak-anak itu. Sejenak hanyut bersama fragmen ini cukup menyenangkan kiranya.

Yah, sayangnya, sore cepat melaju, dan sampailah bus ini menyeberangi Selat Jawa. Menyusuri jalan meliuk-liuk Pulau Bali. Petang pun tiba, sampailah bus tumpangan kami di Terminal Ubung. Waktunya turun dan menuju tujuan. Begitupun, saat yang tidak enak, sebab harus berpisah dengan Michelle.

“Nanti aku cari kamu. Kita ketemu di Legian, ya,” begitu kata Michelle.

Cukup melegakan. Bahwa, kami tidak benar-benar akan berpisah. Nomor telepon rumah temanku itu kutulis di secarik kertas dan kuberikan kepadanya. Begitulah, tiga hari kemudian, kamipun ketemu lagi di Pantai Legian. Jarak yang tidak jauh dari tempatku tinggal yaitu di Double Six, Legian Kaja. Cukup niat dilakukan oleh Michelle. Karena jarak Bedugul dan Legian cukup jauh kiranya. Begitulah, seperti turis layaknya, kami pun menikmati hidup merdeka menyusuri sepanjang Legian yang berpasir halus. Hingga matahari terbenam, yaitu saat-saat yang paling ditunggu banyak turis karena daya magisnya, masih saja kami asyik terlibat diskusi ngalor ngidul.

Dari siang sampai petang. Bukan waktu yang lama barangkali. Betapa singkat.

“Saya ingin sekali melanjutkan lagi S2 saya di Jogja,” katanya, “kamu senang?”

Yeah, kata-kata Michelle ini. Begitulah, lalu kusahuti, “menarik!”

Sebelum taksi itu membawa pergi sosok si bule mungil. “Aku ingin kau simpan ini.”

Sebungkus paket kecil itu diserahkan kepadaku.

“Semua alamatmu kucatat. Pasti akan berguna nanti. Tunggu kabarku, ya,” begitu katanya lagi.

Itulah saat-saat terakhir yang bisa kuceritakan tentang Michelle, si bule Ausie yang menyenangkan. Sebulan. Satu semester. Setahun. Dua tahun. Tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Sebab aktifitas di ibukota yang seru dengan demo mahasiswa menggempur tirani, dengan sendirinya telah mampu mengubur kenangan itu.

Dan, saputangan merah itu. Kenangan itu. Hanya kenangan saja. Entahlah nasib si pemilik asalnya dulu. Setidaknya aku telah berusaha melakukan pesan kata-kata terakhirnya. Saputangan, hmmm … Betul belaka, kata ibuku. Sejak itu, aku seperti mendapatkan pelajaran dan didikan untuk tidak menghiraukan arti kebenaran kata-kata firasat naluri Jawa yang dianggap kuno.

Dwi Klik Santosa

Pondokaren

25 Juli 2009 :21.4o

[]

Mikhail Bakunin 1814-1876 (Photo: Wikipedia)


Menikmati Keunikan Tuktuk – Pulau Samosir

Baca juga kisah sebelumnya : Wisata Ke Air Terjun Sipiso Piso

Oleh Very Barus

USAI berwisata ke Air Terjun Sipiso-Piso, perjalanan kami lanjutkan ke Danau Toba lewat Tongging. Kaki ini rasanya sudah gatal pengen cepat2 nyampe di danau Toba dan pengen nyeburrrrr ke air danau. Apalagi dari ketinggian si Piso-Piso, kami sudah melihat indahnya pemandangan Danau yang dulunya adalah Gunung Toba. Mobil kami laju dengan kecepatan ‘nyantai’. Maklum, kami tidak mau melewatkan momen demi momen pemandangan indah. Tangan gue tidak pernah berhenti mengabadikan pemandangan itu lewat kamera digital Lumix DMC LX3.

Nggak nyampe 30 menit mobil sudah nyampe aja di Desa Tongging. Adem banget! Danau-nya tenang, penduduknya juga tenang. Di pinggir danau gue melihat beberapa warga sedang sibuk mengambil ikan Pora-Pora (pake jala). Konon katanya ikan Pora-Pora hanya berada di Danau Toba. Di Danau atau sungai lain tidak ada. Maka dengan penasaran yang membuncah, gue pun turun ke danau untuk melihat dan menangkap ikan Pora2 yang sangat lincah banget gerakannya.

Ikan Pora2 ukurannya kecil. Ya, mirip kayak anak ikan mujair gitu deh. Kalo menurut candaan warga setempat, ikan Pora2 adalah ikan KUTUKAN! Karena ukurannya nggak bisa besar. Hanya segitu2 saja sampai tua-nya. Ikan Pora2 juga sering dijadikan menu makanan. Ikannya bisa digoreng, di sambal, di arsik juga mantap. (sangkin penasaran, waktu makan di rumah makan, gue langsung pesan ikan Pora2 untuk mencicipin kelezatannya. Ternyata rasanya mirip kayak ikan teri Sibolga)

Puas bermain2 dengan ikan Pora2, perjalanan kami lanjutkan ke Tuktuk-Pulau Samosir. Gue pikir, tadi kami sudah nyampe di Danau Toba, berarti perjalanan berhenti sampai disitu saja. Eh, ternyata perjalanan masih sangat panjang dan melalui jalanan yang terjal dan berliku2. Desa Tongging yang kami singgahi hanyalah ujung dari bagian Danau Toba. Sementara Tuktuk atau Pulau Samosir masih jauh lagi. Letaknya juga di tengah Danau Toba..

Alamaaaakkkkk….!!!!

Mobil dilaju dengan kecepatan ‘nyantai lagi’. Kali ini bukan karena pengen mengabadikan pemandangan. Melainkan karena di kanan kiri jalan sangat membahayakan. Sebelah kiri jurang yang di bawahnya Danau Toba. Sedangkan di sebelah sisi kanan adalah tebing-tebing bebatuan yang rawan longsor. Kebayang saja kalau perjalanan yang kami tempuh disaat musim hujan. Selain jalanan licin, juga khawatir kalau bebatuan longsor dari atas tebing lalu menimpa mobil kami…oh, noooo..!!! (and thanks God semua berjalan lancarrrrr..!!)

Kami melintasi beberapa desa yang sejujurnya sulit gue hafal satu persatu. Yang pasti perjalanan kami tempuh dengan penuh kebingungan. Maklum, disepanjang mata memadang kami banyak menemukan kuburan-kuburan dengan bangunan yang menjulang tinggi. Konon kata si supir(org Batak), monumen kuburan  yang dibangun dengan megahnya melambangkan sebuah ‘kredibilitas’ pemilik kuburan. Bahkan banyak warga yang rela membangun kuburan dengan megahnya demi menghormati leluhur (orangtua) mereka yang meninggal. Meski kehidupan dan juga rumah mereka terlihat begitu memprihatinkan. Tapi mereka rela membangun kuburan megah untuk sebuah penghormatan pada orangtua yang meninggal…. Begitulah tradisi!

Setelah menempuh perjalanan sekitar 5 jam, akhirnya kami pun nyampe di Tuktuk, Pulau Samosir. Hari sudah gelap, karena jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Kami langsung mencari penginapan (cottage) disekitar Tuktuk. Berhubung karena malam hari, kami tidak bisa melihat keindahan pemandangan lagi. Semua terlihat gelap dan menyeramkan….dibenak kami masih terbayang deretan kuburan-kuburan yang kami lewati sebelumnya. Ditambah lagi gue bisa melihat mahluk-mahluk di dunia lain….Argghh!!!!!

Perut lapar, kami cari makanan di kafe-kafe yang ada didekat hotel. Ya, kalo di Bali, kafe-kafe kecil tersebut banyak ditemukan dikawasan Poppies di Bali. Kami langsung pesan makanan yang panas dan pedas. Tapi sayang yang tersedia hanya INDOMIE REBUS dan SOTO AYAM saja! Minumnya teh manis panas dan beberapa minuman jus abal-abal (rasanya nggak nendang!)

Kalo dilihat dari jenis makanan yang kami makan, tentu harganya tidak akan melambung tinggi mahalnya. Tapi dasar orang daerah yg suka memanfaatin tamu yang datang, mereka langsung memasang tarif makanan yang cukup mahal. (sekitar 70 ribu saja!) meski, ngedumel, kami langsung bayar dan kembali ke Hotel langsung tidur!

Tuktuk atau Danau Toba dulu terkenal dengan udara yang cukup dingin. Tapi kemaren,  udara dingin itu sudah tidak terasa lagi. Malah gue kegerahan. Wajar kalau akhirnya gue membuka baju saat tidur….maaf kurang adem sih..!!!

Wes ewes ewes..Bamblas angine kemane….!!!!!

KEESOKAN PAGI HARINYA…

Kami langsung menuju resto untuk breakfast. Mohon maaf nih, breakfast-nya nggak layak direkomendasikan. Cuma nasi goreng, nasi putih dan soto. Standart bangetttttt…!!! rasanya juga nggak jelas! Hambar! Kayaknya lebih nendang masakan gue deh!. Nggak apa-apa deh, yang penting mengganjal perut dulu…. trus, kami lanjutkan jalan2 disekitar cottage yang bujubuneeee…indah banget! Kami terkagum-kagum dengan keindahannya. Suasana sangat tenang dan tidak ada gangguan kalo mau bersemedi, mau relax dan mau menenangkan diri. pemandangan disekitar cottage begitu memukau (foto2 sudah saya posting di facebook).

Tapi, bagi gue yang memiliki jiwa petualangan, tempat adem dan tenang seperti ini hanya bisa gue tempati nggak lebih dari 2 hari. Kalo lebih dua hari mungkin gue sudah mati gaya dan bisa Amnesia . maklum, berada di kawasan sepi seperti ini,nggak ada kafe dan tempat2 yang layak dikunjungi lagi membuat otak gue bisa mandeg untuk berkarya.

Puas memoto keindahan Tuktuk, kami lanjut ke kawasan lain. Ke kawasan menjual souvenir dan ada beberapa makam LELUHUR yang katanya sangat bersejarah dan kramat (bukan kramat Jati ato Kramat raya  ya…) ada juga aktraksi patung menari yang disebut SI GALE-GALE… ya, kayak patung orang jawa yang kepalanya goyang-goyang gitu. Tapi kalo patung si Gale-Gale patung yang tangannya menari2 (manortor-istilah Bataknya). Trus kalo kita mau menari bareng si patung juga boleh. Asal, usai nari kita ngasih uang sekedarnya sebagai wujud partisipasi… hmm… seru juga.

Hanya saja, sebelum masuk ke kawasan tersebut, gue sempat kesal sama seorang bapak yang ngaku2 sebagai GUIDE. Dengan senyum SOK RAMAH menyamperin kami, minta menjadi guide ke kawasan jual souvenir dan patung si Gale-gale. Dengan logat Batak sekental susuk cap ENAK! Si bapak bilang begini…

“mau di pandu nggak? Biayanya 50 ribu saja…”

Karena dulu (duluuuuuuu banget..waktu masih SMA ato SMP gue juga lupa), gue pernah ke Tuktuk dan ternyata daya ingat gue masih tajam setajam SILET!. Gue pikir, ngapain pake pemandu wong jaraknya Cuma satu pengkolan doang… buang2 uang saja 5o ribu ngasih ke si bapak itu..

Eh, bener saja.. nggak nyampe pada langkah ke 100, kami sudah nyampe ke kawasan jual SOUVENIR. Anehnya kawasan ini dari taon sebelum masehi sampe taon 2010 yang dijual itu dan itu saja. Nggak perubahan, perkebangan dan nggak ada inovasi baru. MONOTON!!!! Kreatif dong ITO..LAE….!!!!!

Karena yang dilihat nggak ada yang menarik (menurut gue ya…), akhirnya kami Cuma singgah sebentar, kemudian nyari tempat yang layak buat ngopi-ngopi sambil buka laptop. Pengennya sih update cerita perjalanan. Tapi apa daya, internetnya nggak connected!

Ada kisah seru juga sebelum meninggalkan TUKTUK.

Waktu mau ke warung kopi (catat! Warung kopi beneran bukan kafe), mobil kami parkir dengan manisnya. Tapi langsung dihadang opung (nenek) yang sedang asyik nyirih (makan sirih) dibawah pohon rindang. Gue kaget aja! Kirain si nenek patung orang2an. Eh nggak taunya masih punya nyawa. Dia bilang begini…(setelah diartikan dalam bahasa Indonesia..)

“ngapain mobil ditarok disitu?”

“Mau parkir inang…”

“ooo….”

Trus, nggak berapa lama kami pun masuk ke warung Kopi yang hanya bener2 jual KOPI saja. Tidak ada makanan lain yang dijual sebagai teman minum kopi. Parah banget bukan? Tidak kreatif!

Usai minum kopi, mobil yang kami parkir ditodong uang parkir sama si Opung! Dengan lantang dan mirip jagoan tahun 60-an (beda tipis dengan Leila Sari gitu deh gayanya) si Opung minta uang parkir sebesar rp.10.000.. busyettttt…!!! mengalahkan Grand Indonesia nih ongkos parkir..

Akhirnya supir kami ngotot pae bahasa Batak, yang artinya, si supir menanyakan surat parkir si opung. Dia nggak berkutik… edan…!!!! mental penduduk setempat perlu di reformasi deh!!!! Mental PREMAN semua..!!

Pukul 01:00 WIB

Kami meninggalkan TukTuk -Pulau Samosir, dengan naik Ferry menuju Parapat. Ya, penyeberangan dari Pulau samosir ke Parapat memakan waktu 45 menit. Nyampe Parapat, akmi langsung cari makan. Perut sudah kriuk-kriuk…lalu mobil kami laju meninggalkan DANAU TOBA menuju Pematang Sianta,Tebing Tinggi dan mendarat di Hotel JW.Marriot Medan…

Perjalanan yang cukup menarik bagi gue. Berada di Tuktuk dan Parapat membuat gue sadar, kalau masing-masing daerah yang gue kunjungi punya tradisi dan kebiasaan beda-beda. Kalau di Bali penduduknya sadar bahwa sumber mata pencarian mereka lebih dominan di dunia pariwisata, sehingga mereka selalu menghormati, melayani Turis yang datang ke Ranah mereka. bahkan mereka bisa membuat pengunjung betah berlama2 di Bali. Beda dengan kawasan Danau Toba, Pulau Samosir yang dimata gue masih bermental Preman! Belum menyadari kalau kawasan mereka adalah kawasan Wisata. Sehingga mereka sering memalak dan berlaku kasar terhadap tamu yang datang. Suka membuat harga yang dijual seenaknya tanpa kompromi. Sehingga pengunjung merasa selalu was-was jika sedang berada di tempat wisata itu…

HARUS ADA PERUBAHAN

Jika kawasan wisata itu ingin terus berkembang (tidak mati suri) dan semakin banyak dikunjungi para Turis. Bersikap ramah, sopan dan juga membuat harga yang masuk diakal agar informasi dari mulut ke mulut tentang keindahan dan keramahan penduduk setempat itu nyampe kemana-mana… jangan sampai ada kalimat yang berbunyi,” hati-hati kalau datang ke situ….suka memalak dan makanan suka buat harga asal-asalan..”

So, saatnya ada perubahan di kawasan indah itu..!! karena INDAH SAJA TIDAK CUKUP!!! JIKA TIDAK DIBARENGI DENGAN KERAMAHAN. KENYAMANAN DAN FEEL LIKE HOME jika sedang berada disitu….

[]