Tag Archives: karya

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Premis Verifikasi Kasus Nazar-Anas

Oleh Iwan Piliang

Jauh sebelum ribut kasus Nazaruddin saya sudah memverifikasi ihwal tender pembangunan proyek pemerintah. Ada beberapa hal yang menarik dari verifikasi itu. Pertama bila proyek bernilai di bawah Rp 100 miliar, maka fee yang bisa “dimainkan” masih dalam %. Tetapi jika proyek di atas Rp 100 miliar, pemilik proyek biasanya bisa mematok uang yang dapat digangsir.

Bagaimana cara mengganggsirnya?

Biasanya perusahaan BUMN seperti PT Adhi Karya –yang disebut Nazar di kasus Hambalang— dimenangkan ketika tender. Sebelum kemenangan itu, di bawah meja, sudah ada kontrak bawah tangan dengan perusahaan Konsultan Konstruksi. Bendera perusahaan  jasa inilah yang dijadikan lalu lintas kas.

Mengapa begitu?

Perusahaan seperti Adhi Karya adalah perusahan terbuka (Tbk.), sulit untuk berkongkalingklong, karena diaudit dan dilaporkan ke publik. Karenanya jika pakai bendera  Adhi Karya akal-akalan pasti akan tercium. Begitu logika mereka yang bermain.

Nah dalam tatanan inilah, PT yang terindikasi melibatkan Nazar dan Anas menggangsir dan  jika diverifikasi mendalam, pelakunya akan muncul nama itu ke itu, dan bertemulah  sosok terindikasi seperti Machfud Suroso (MS). MS inilah salah satu pemain utama, selain Andi Muchayat, putra Muchayat, komisaris Bank Mandiri.

Kepada publik sudah saya jelaskan saya pernah membantu media Demokrat. Saya tahu ada faksi di dalam. Tetapi tak ada hubungan saya dengan salah satu faksi. Bagi saya hal itu hanyalah bagaikan puzzle perjalanan. dari potongan satu ke potongan lainnya saya mencoba menyusunnya sehingga dapat dibaca publik secara utuh.

Ruh jurnalisme yang mengantarkan sajian ini semua.

Bukan hal lain.

Mengapa menayangkan wawancara Nazar?

Bagaimana untuk mengetahui kebenaran dan atau kesalahan, jika informasi hanya sepihak, tidak ada info dari Nazar. kalau pun ada selalu dibantah, BB dibantah palsu, SMS dianggap sampah! Karenanya semua jagad jurnlis di indonesia BAHKAN DUNIA, saya berani menyebut dunia karena jaringan AP, Reuters juga mencarinya dan meminta berwawancara.

Soal Didik L. Pambudi yang menulis di situs Demokrat dan Bobby Triadi, gencar memojokkan saya?

Didik yang memasukkan saya ke Demokrat. Bahkan hampir tak masuk ke sana. Ia sampai “merengek” apalagi setelah ayahnya berpesan sebelum ajal, “sudah di Demokrat saja.” Bahwa Didik hari ini menulis di situs Demokrat seperti sekarang, silakan publik menilai sendiri. Saya tak kenal Bobby semula. Saya hanya kenal dari Dididk. Saya tahu Bobby dari Didik. Karenanya soal Integritas Bobby mantan Kordinator Reportase Tempo yang pernah  membawahinya ketika menjadi kontributor foto dapat ditanya dan tak ada urusan personal saya dengannya.

Sehingga tak perlu lagi tanggapan dari saya, dan atau juga menangapi setiap hal yang ditulis dua oarang itu.

Saya bekerja keras sekarang, menjernihkan hati dan pikirtan, bagaimana agar bahan video, dan data lain diperoleh, meneruskan verifikasi indikasi keterlibatan Adhi Karya   berkolusinya masif “mengangsir” uang rakyat, dibongkar. Ini premis utama. Karena dari uang tambun yang digangsirlah, terindikasi Anas Urbaningrum bisa bayar-bayar.

Ruh jurnalisme itu hati nurani. Acuan hati, selalu memandu kita ke arah kebenaran.

Bagaikan saya verifikasi soal penggelapan pajak transfer pricing, hal itu terjadi setelah Lillahi Taala setelah di suatu tengah malam bertanya ke langit di Abu Dhabi, Emirat Arab,  untuk kerja sosial: Tuhan, mengapa perempuan Indonesia diperkosa, bekerja  jadi babu, apakah negara saya miskin?

Ternyata dari verifikasi penggelapan pajak tambun, Tuhan membelalakkan mata saya bahwa negeri ini kaya raya luar biasa secara angka dapat dibuktikan! ***

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blogger, aktifis media sosial.

Nazaruddin memegang flashdisk berisi bukti yang diklaimnya, dalam rekaman percakapan Skype dengan jurnalis Iwan Piliang (sumber foto: iwan piliang/istimewa)


[Kajian] Membaca Tarian Jiwa Julia Napitupulu

(Sebuah telaah sederhana tentang kehadiran seorang Julia Napitupulu dalam Buku : JEJAK-JEJAK CINTA TUJUH PEREMPUAN)

 

Oleh Kusnadi Arraihan *)

Tulisan, apapun bentuknya adalah sebuah cermin gerak dinamis dari jiwa penulisnya.  Tulisan adalah wahana yang paling jujur, tentang kedirian seseorang. Banyak hal yang tersimpan dalam gerak tulisan itu. Kehidupan ini bagi seorang penulis adalah bukan hanya ketika dia berbicara soal bakat, tetapi juga merupakan alat seperti katub pengaman untuk melepaskan sebahagian dari beban kehidupan. Itu sebab mengapa menulis tak sepenuhnya hanya mengandalkan panca indera, tetapi juga melewati proses perenungan, aktualisasi imajinasi dan ini tugas dari dinamika kejiwaan penulisnya.

Inilah cermin kesan yang paling terlihat, ketika saya pertama sekali mengenal seorang perempuan pemilik nama Julia Napitupulu, saya hanya mengenalnya dari ruang Facebook, yang notebene diperlukan sebuah kemampuan daya jelajah analisa kita terhadap apa yang ditulis oleh seseorang, karena bisa jadi, tak sepenuhnya kita yang berkerabat di halaman jejaring sosial tersebut pernah saling bertemu muka. Maka pengenalan kita tentang sahabat tersebut biasanya hanya tertumpu pada tulisan yang disajikannya. Dan hal inilah yang coba saya lakukan juga terhadap seorang Julia Napitupulu.

Dalam buku “Jejak-Jejak Cinta Tujuh Perempuan” yang diterbitkan Penerbit Langit Kata tahun 2011, tebal 168 halaman, memuat tulisan dari tujuh penulis dalam bentuk cerita pendek dan puisi.

Ketujuh penulis tersebut, yaitu : Tina K – Ami Wahyu – Ami Verita – Lely Aprilia – Ayudya Prameswari – Tita Tjindarbumi – Julia Napitupulu. Penyunting oleh Ami Wahyu, foto sampul Thony Tjokro, pewajah sampul dan pewajah isi disajikan oleh Donoem.

Dalam kaitan ini, saya mengkhususkan untuk sedikit menyajikan hasil “penglihatan” saya pada tulisan Julia Napitupulu. Penulis dengan latar belakang pendidikan ilmu psikologi ini memiliki multi talenta, karena di sela-sela menulis, Julia Napitupulu adalah seorang trainer bidang soft competence, seorang pembawa acara, bahkan juga piawai memainkan alat musik piano sekaligus menekuni bakatnya sebagai penyanyi. Benar-benar sebuah jiwa yang tak pernah berhenti menari.

Dalam buku ini, Julia Napitupulu ada menyajikan tiga tulisan, yang sekejap seusai membacanya, ada yang terus bergerak dalam benak, jejak kesan yang ditinggalkan tulisan dari hasil imajinasi penulis ini tak hanya mencari ruang, tetapi juga terus mengelana dalam pikiran. Mengapa demikian? Karena seorang Julia (demikian ia biasa disapa para sahabatnya – atau juga dengan nama Jula, sebuah sapaan penuh historis dari masa kecilnya) menulis dengan sepenuh jiwa yang bergerak, karena hati nurani penulis ini mampu menitipkan “ruh” pada setiap kalimat yang dituliskannya. Dapat kita rasakan nuansa yang demikian jernih ketika membaca salah satu sajiannya pada buku ini, yang ia beri judul “Melodi yang Tercipta Begitu Saja”. 

Dari judulnya saja, sungguh Julia telah berani keluar dari patron penulisan judul karya sastra yang pada umumnya menjauhi makna harfiah, lebih kental dengan penggunaan perumpamaan. Dalam tulisannya ini, Julia menggambarkan betapa sesuatu yang disebutnya dengan “melodi” itu bukan disiapkannya lebih dahulu baru kemudian melodi itu melahirkan banyak senandung. Tetapi justru, dengan kebersahajaan rasa dan jiwanya, Julia mencoba untuk menikmati jalinan kehidupan yang tersambung sebagai tali temali ini, dengan kadar kualitas dan cara-cara yang hebat, sehingga justru kisah kehidupan yang mungkin hal wajar bagi kehidupan orang lain, justru menjadi rahim yang melahirkan banyak melodi bagi kehidupan seorang Julia. Hidup telah dengan baik di-improvisasi olehnya.

Struktur tulisan yang lahir dari seorang Julia Napitupulu sebenarnya tak sepenuhnya kental dengan sastra, hal ini wajar, karena mungkin pengalaman dan latar belakang pendidikannya telah memasukkan unsur psikologi dalam setiap ia menuliskan sesuatu. Tetapi yang terasakan saat menikmati tulisan-tulisannya justru kita berada dalam ruang keindahan yang runut dan seperti memenuhi semua keelokan sastra. Mari kita perhatikan lirik dari tulisannya ini, saya petikkan :

di siang yang bagai hening malam

aku dan lekakiku terbaring dalam pesona

terlontar dari bintang-bintang yang meledakkan kami

dalam warna-warna pelangi

 

wajahnya,

raut lelaki yang tuntas

merekam sensasi

yang masih menjalari pori-pori

aku mengeja damai

diteratur hembus nafasnya

 

Diksi yang disajikannya sederhana, tapi proses pengendapan makna dalam benak setelah memahami dua bait lirik di atas, justru menjadi tidak sederhana. Larik “di siang yang bagai hening malam” adalah sebuah kontradiksi yang indah, Julia lihai sekali memilih bait ini. Pada bait kedua kita perhatikan: “wajahnya, raut lelaki yang tuntas”. O, duhai indahnya. Sebagai lelaki tulen, saya bahkan belum bisa mencerna dengan baik, makna hebat di balik larik itu.

Menikmati secara keseluruhan “Melodi yang Tercipta Begitu Saja” terasa kita memasuki sebuah ruang yang luas, dan di setiap sudut ruang itu ada keindahan yang bersahaja. Pada bagian tengah ruang itu, ada penataan bunga-bunga yang penuh warna. Ruang itu adalah kehidupan itu sendiri. Julia sangat suka menggunakan metafora alam untuk mempersonifikasikan tentang realitas hidup. Dan dalam tulisan ini Julia dengan sangat piawai menggambarkan sosok lelaki, sulit bagi pembaca untuk menyembunyikan kekaguman untuk cara-cara dia menuangkan ke dalam bentuk bahasa.

Kita lihat saja caranya menuangkan sketsa imajinasi tentang lelaki itu. Lelaki yang memiliki wajah sebagai raut yang tuntas, tulang rahang yang kukuh like a wave to the sea, tulang lehernya a bird to the sky, tulang belikatnya sekuat kayu, seliat tanah. Dan banyak hal lain yang digambarkan Julia dengan sangat anggun. Seluruh yang dimiliki lelaki itu pada akhirnya melahirkan sebuah melodi. Sungguh sebuah tulisan yang menjadikan nafas selalu harum, seperti sebuah telaga bening yang eksotis.

Pada tulisan kedua yang disumbangkan Julia dalam buku tersebut diberi judul “Sekarang Aku Tahu untuk Apa Aku Bernyanyi. Sebuah judul yang biasa saja. Tapi sungguh berbeda dengan isinya. Tulisan ini juga terkesan skema prolog, digambarkan seperti dialog, dan dengan menggunakan bahasa yang menghanyutkan rasa.

Kekuatan tulisan-tulisan Julia yang saya kenal memang bercorak seperti itu. Ini yang saya katakana di awal tadi sebagai pengaruh ilmu psikologi yang digelutinya. Artinya, semua puisi dan tulisan Julia selalu menghentak di kedalaman rasa yang terdalam. Sehingga sulit bagi pembaca untuk mengabaikan sebarispun dari larik-larik yang ditulisnya.

Pada tulisan ketiga yang disajikan dalam buku ini, Julia menggunakan bahasa Inggris yang indah, untuk menuliskan keindahan puisinya tersebut. Judulnya pun cukup menggugah “You’re My Every Phrase”. Ah!

Tulisan ini juga tetap menggambarkan tentang dua anak manusia, juga masih menggunakan alam sebagai bagian dari perumpamaan yang hendak diungkap. Dalam suatu pembicaraan, Julia pernah mengatakan kepada saya bahwa memang dia suka menggunakan unsur alam sebagai bagian dari tulisannya, karena hakikatnya alam itu adalah kehidupan itu sendiri. Dengan demikian, dalam perspektif Julia, alam itu adalah realitas hidup untuk mewakili banyak rasa, banyak keadaan, dan itu telah dilakukannya dengan menggunakan idiom-idiom yang memukau.

Secara keseluruhan, dengan tidak mengabaikan kehebatan tulisan dari enam penulis lainnya,  ketiga tulisan Julia yang dalam buku ini diletakkan pada bagian penutup, tetapi justru di sini kelihaian penyuntingnya untuk menjadikan ketiga tulisan Julia ini bukan sebagai “grendel”, tetapi justru menjadi “perekat” imaji pembaca terhadap buku ini. Karena ketika kita menyelesaikan keseluruhan isi buku ini, maka ketiga tulisan Julia ini menjadi bagian penting dari “penahan kesan menarik” terhadap keseluruhan isi buku.

Sebuah tulisan memiliki banyak tanggung jawab untuk mewakili suatu keadaan di tengah khalayak, tulisan tentang cinta, tentang anak-anak, tentang remaja, dan tentang orang tua, bahkan tentang keseluruhan hidup manusia, adalah warna yang membuat kita faham tatanan masyarakat berserta pola pikir yang bergerak membentuk peradaban. Dan seorang Julia Napitupulu tengah berusaha menggeluti semua kemampuan bakat yang dititipkan Tuhan kepadanya. Dalam setiap tulisannya, perempuan Batak ini benar-benar memproses sebuah tulisan seperti menjaga sebuah proses kelahiran seorang anak, sedemikian rupa dia menjaga seluruh kualitas, dan ini juga yang membuat dirinya, dalam segi kuantitas tulisan agak tertinggal dibandingkan dengan bakat menulisnya yang sebenarnya sangat baik itu. Ini masalah sikap dan komitmen, dan seorang Julia menjaganya menurut perspektif yang dimilikinya.

Ada rasa kagum yang terselip, di tengah gelombang aktivitasnya yang demikian padat, belum lagi urusan perannya sebagai seorang istri dan ibu dari dua orang anak, seorang Julia Napitupulu masih sempat menulis. Bisa jadi mungkin bukanlah tulisan yang fenomenal, tapi di ruang rasa jiwa saya, tulisan Julia selalu memberikan nuansa keanggunan yang memukau.  Karena membaca tulisannya seperti menyaksikan jiwanya menari-nari, mengisi semua ruang sambil terus bergerak dinamis, dengan ritme dan tempo yang indah. Julia Napitupulu adalah sebuah jiwa yang terus menari. ***

16 Mei 2011

*) Kusnadi Arraihan – Penikmat Sastra. Menetap di Medan.

The Dancing Soul (illustrasi oleh Ardi Nugroho, Surabaya)

Kusnadi Arraihan, bernama pena ‘Koez’ lahir pada 19 September kini tinggal di kota Medan, Sumut. Buah penanya dapat pula dilihat pada: http://hamparanbirutanpabatas.blogspot.com, http://kusnadiarraihan.wordpress.com


Sketsa: Berkaca ke Monorail di Ranah Partai Kartel

Oleh Iwan Piliang (Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com)   Sosok

Tantowi Yahya bangga mengatakan ke media pekan lalu, bahwa ia sudah mendapatkan dukungan Soetiyoso maju menjadi calon Gubernur DKI tahun depan. Mantan Gubernur DKI itu yakin di akhir jabatannya lalu, alternatif moda transportasi Monorail kelar. Fakta kemudian, ia tidak mampu berbuat apa-apa karena “power” satu pengusaha terindikasi tajam ingin mencaplok proyek monorail. Jika semua calon Gubernur dari partai tahun depan berada di genggaman kepentingan pengusaha tambun dan partai terindikasi kartel semua, yakinkah Anda ibu kota Negara lebih baik adanya? Berikut kembali Sketsa Monorail, saya gabung dengan tulisan November 2008 lalu, berjudul: Monorail Taat Rel, Dialog Dodol dan Birokrasi

***

RABU malam, 23 Maret 2011. Menjelang pukul 23 malam, saya mencoba melewati jalan HR. Rasuna Said, arah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Tujuan  satu saja: menikmati panorama menatap bilah-bilah pilar besi calon pilar monorail terbengkalai.

Di seberang Menara Imperium sebuah bendera merah berkibar di antara bilah besi calon pilar. Saya tak dapat membaca tulisan yang ada di bendera itu. Menjelang Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian calon pilar yang berwujud beton kekar segi empat itu, badannya belang-belentong oleh bekas sobekan stiker, poster.

Meneruskan perjalanan, persis di seberng Pasar Festival. Entah mengapa satu saja pilar yang beton segi empatnya sudah lebih tinggi. Pilar itu tampak dicat merah.

Saya menatap ke kiri, teringat di masa SMP dulu, bersama sekolah berenang di komplek Soemantri Brojonegoro. Kawasan ini jelas milik Pemda DKI Jakarta. Ada komplek olahraga; arena basket, lapangan sepak bola. Selain berenang lokasi itu menjadi ajang kami melakukan pertandingan sepak bola antar kelas.

Peralihan kawasan ini dikelola swasta, sebagai warga DKI saya tak tahu menahu bentuk kerjasamanya, apatah pula berapa Pemda dapat duit dari pengelolan property yang ada? Dan atau bagaimana status tanah milik Negara itu? Property milik salah satu kelompok usaha kini di kawasan yang disebut Pasar Festival itu, kini sudah mendominasi, dan landmarknya yang dulu bertajuk Gelanggang Olahraga Soemantri Brojonegoro, seakan sudah lenyap ditelan bumi.

Bukan suatu karangan jika asset Pemda, asset negara, berlomba-lomba dikuasasi penguasaha. Bukan pula keanehan toh ruh kepengusahaan itu mencari peluang. Lahiriah usaha memang demikian. Peluang bisa apa saja, termasuk bila perlu mencaplok hak-hak publik, maka laku caplok-mencaplok itu terus saja terjadi. Bahkan tak ketulungan membelenggu fasilitas dan kebutuhan publik.

Mencoba rendah hati memverifikasi, premis saya jernih soal terbengkalainya proyek monorail. Secara tegas saya katakana, proyek itu terbengkalai karena ulah keingin kelompok  usaha yang ingin menguasainya. Lain tidak. Untuk mendukung kalimat saya ini, bukan sebuah kalimat instan yang saya lontarkan. Anda dapat mengikuti bagian Sketsa yang saya tulis November 2008 lalu:

RUSLAN Diwirjo, sosok yang low profile di Departemen Pekerjaan Umum di era Soeharto, pernah menjadi Dirjen di Departemen PU, dikenal sebagai “Bapak Infratruktur” karena di eranyalah jalan tol Jagorawi dibangun, didirikan Jasamarga. Ruslan pula yang mengusulkan terobosan membangun tol melibatkan swasta. Dan pemerintah cukup memberikan dukungan. Sumber pembiayaan biasanya datang sendiri.

Saya mencatat, investasi tol Cawang-Priok, Jakarta, antara lain dilakukan Hasanal Bolkiah sebesar US $ 70 juta, dengan Rp 0 bunga. Itulah sebuah bentuk kepercayaan asing, jika dalam sebuah proyek infrastruktur memang mendapatkan dukungan pemerintah, dana pembiayaan seakan datang sendiri.

Hingga hari ini, masyarakat konstruksi mengenal Ruslan, sebagai sosok pejabat yang lurus, bersih, hidup bersahaja.

Saya hanya heran bila di dalam era SBY-Kalla kini sudah dibuat tiga kali event Infrastructur Summit, melibatkan Kadin Indonesia –lagi-lagi Kadin, organisasi terunik di jagad, cuma satu saja di sini, di negeri lain chamber of commerce banyak wujudnya, dan keberadaan Kadin di-SK-Presiden-kan segala— yang ada hanya sebuah kegiatan pameran, seminar, seremoni, investasi tak kunjung datang, proyek infrastuktur tak kunjung bergerak.

Ketika beberapa anak muda, kelompok enjiner anak negeri, berhimpun, lalu mendarma-baktikan ilmunya berbuat bagi Jakarta, bagi sebuah solusi mengatasi kemacetan, maka pada 2003 didirikan PT. Jakarta Monoraíl.

Maka anak-anak muda yang berpendidikan tinggi di bidang transportasi itu, mengajak Ruslan Diwirjo, yang di usia pensiun, menjadi Dirut perusahaan yang membuat moda transportasi alternatif ini. Ruslan tak menampik. Hidup memang pengabdian, demikian logika Ruslan.

Salah satu anak muda, Sukmawaty Syukur, inisiator Monoraíl, lulusan pendidikan transportasi di Amerika Serikat.

Siang, 7 Januari 2009, sebagai upaya menindak-lanjuti tulisan saya Menertawakan Pilar Logika Tidak Berkira, 22 Desember 2008, saya menemui Sukma di kantor PT Jakarta Monorail di Perkantoran Umar Ismail, Lt. 2. Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Sukma menuturkan. Pada suatu hari di 2003. Ruslan dan direksi Jakarta Monorraíl, sebagai inisiatif swasta, menghadap Soetiyoso, kala itu Gubernur DKI.

“Kami yakin proyek ini bisa berjalan Pak. Tetapi tak ada dana di muka yang harus kami bayarkan ke Bapak, ke Pemda,” ujar Ruslan kepada Soetiyoso.

“Wah, tidak perlu. Saya percaya, jika Pak Ruslan ada di proyek ini, pasti jalan. Saya masih ada sumber lain. Saya ingin di era saya mengakhiri jabatan, ada sesuatu yang saya tinggalkan,” jawab Soetiyoso.

Maka modal perencanaan proyek, konsep yang telah dibuat, rancang bangun, serta melibatkan kapasitas konsultan sekaliber PT Wiratman & Associate Consulting Engineers, dengan manajemen yang terbuka, maka PT Adhi Karya Tbk, yang turut menjadi pemegang saham, melihat proyek monorail dengan investasi Rp 4 triliun itu layak.

Maka PT Adhi Karya pun mulai membangun pondasi, sebagaimana hingga hari ini, kita lihat pilar-pilar pembangunan sementara terbengkalai

Dua jalur direncanakan: jalur biru menghubungkan Bekasi dan Tangerang, sepanjang 76 km, di tengah kota bersilangan dengan jalar hijau, 26 km, di dalam kota.

“Hingga kini masalah pembebasan lahan pun tidak ada masalah sudah tuntas 97%,” ujar Sukmawati.

Dalam membangun infrastruktur, urusan lahan, menjadi kunci, itu antara lain petuah Ruslan, sang Dirut. Maka di beberapa ruas protokol terminal monoraíl memang didesain menggantung, sehingga tidak ”mencaplok” lahan publik.

Gerbong Monoraíl pun, yang semula menggunakan Hitachi, Jepang, dengan biaya US$ 407 juta, terkendala untuk penanaman modal asing Jepang yang harus G to G, sementara PT Jakarta Monoraíl adalah swasta. Diperoleh solusi untuk membuat gerbong lokal, gabungan PT INKA, Lembaga Elektronika Nasional (LEN) dan PT Bukaka, yang dapat menekan biaya hanya US $ 107 juta—hemat US$ 300 juta.

Urusan pembiayaan pun tidak masalah, karena melalui lembaga keuangan di Arab Saudi sudah siap melakukan joint venture dengan PT. Jakarta Monorail. Bahkan support dari pemerintah pusat melalui Departemen Keuangan, melalui surat yang akhirnya ditandatangni oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, juga sudah ada.

Jakarta Monorail (foto: A. Pontoh)

Maka masalah memang tinggal di Pemda DKI Jakarta.

Padahal jika tidak aral yang merintangi, maka 2009 ini sedianya penduduk DKI Jakarta sudah dapat menikmati monoraíl yang nyaman, ontime perjalanan, dan signifikan menjadi terobosan kemacetan lalu lintas orang yang bergerak mencapai 600 ribu sehari di DKI Jakarta kini.

Lantas mengapa terhambat di Pemda DKI?

KARENA ini daerah Betawi, saya menjadi teringat akan analogi pembuatan dodol—sebagai makanan khas tradisional di Jakarta.

Suatu hari gula merah dalam adonan dodol baru yang lebih bergizi dan enak bilang, “Kalau bukan karena saya, maka dodol ini tidak jadi.. lho!”

“Enak saja, kalau bukan karena santan, memang lo jadi dodol?” kata kelapa.

Beras ketan pun tak ketinggalan.

“Gue kan bahan baku utama!”

Ributlah masing-masing bahan baku dodol baru itu.

Celakanya si tukang adon, penguasa pemerintahan, punya pembuat dodol yang lain. Ia melihat keributan sesama dodol bicara dodol itu, sebuah peluang. Karena selama ini dari berjualan “dodol” lainnya, sudah mengantarkan dirinya menjadi konglomerat dodol tambun di Betawi.

Dengan tukang dodol yang berpikir demikian, ia tidak lagi memikirkan bagaimana pemakan dodol di segenap Betawi bisa lebih nikmat memakan dodol, lebih bergizi.

Sebaliknya. Pemain dodol lama ingin menguasai dodol baru itu, dengan langgam dan keinginannya sendiri. Untuk itu bahan baku dodol yang memang ribut sesama dodol tadi, di hidangkan beritanya ke media, bahwa prospek dodol yang lebih baik untuk rakyat Betawi, tidak bagus, melanggar sukuk, tidak efisien, dan seterusnya.

Akibatnya, rakyat Betawi tidak menikmati Dodol prima.

ANALOGI dodol itu secara jernih dapat saya sampaikan setelah melakukan verifikasi. Sama halnya saya memverifikasi mengapa PT Perkasa Engineering, yang mampu membuat blok mesin angkutan, termasuk mesin panser, hari ini terbengkalai, termasuk PT DI, dulu IPTN, sempat merana kini sedang bangkit lagi itu.

Seakan tak beda keadaannya. Pada dua kasus di luar Monoraíl, kepentingan asing bermain. Pada kasus monoraíl lebih ke kepentingan lokal menyandera.

Pada persoalan monoraíl, saya laksana melihat peminat dodol baru itu “menyandera” kepentingan publik demi sebuah keinginan memiliki proyek. Toh, bagi pebisnis kakap, setiap usaha terkadang laksana mainan, dan terkadang mainan seakan menyandera kepentingan publik itu, bisa jadi juga menjadi kepuasan seseorang.

Akibatnya upaya anak-anak pintar Indonesia —bahkan sosok macam Ruslan Diwirjo yang terkenal kredibel, telah ikut turun tangan— seakan tak mampu berbuat bagi bangsanya.

Laksana senasib sepenanggungan dengan credencial asset hebat di PT DI, atau macam seorang enjiner macam Rippon Dwi, kelahiran Riau, lulusan ITB yang puluhan tahun di Perkasa Engineering, di PT Perkasa.

Karenanya kepada saya, di siang di awal Januari 2009 itu Sukmawaty bertutur bahwa di tengah keadaan stagnan, ia mencoba menerobos melirik market global.

Saya percaya mereka berhasil.

Tiang Monirail (foto: kabarindonesia.com)

Apa yang terjadi kini, melalui tangan Sukmawaty dan kawan-kawan, bersama PT Adhi Karya, mendapat proyek pembangunan Monoraíl Mekah-Medinah, Arab Saudi.

“Nilainya mencapai empat millar dollar,” ujar Sukma.

Artinya lebih 10 kali lipat dari proyek PT Jakarta Monoraíl.

“Cuma tak enaknya, karena itu internasional biding, agar tidak mencolok di mata dunia, kami seakan jadi sub kontraktor,” kata Sukma pula, “Karena kami di Jakarta dianggap belum berhasil. Jadi belum boleh jadi main contractor.

Padahal ketidak-berhasilan di Jakarta itu bukan karena fisibilitas proyek, juga bukan karena pembiayaan tidak tersedia itu. Tetapi karena, yah, Anda pahamilah analogi dodol di atas.

Di luar monoraíl, terobosan Sukmawaty ke Timur Tengah, kini mengantarkan PT Adhi Karya mendapatkan proyek pembangunan 20 gedung pencakar langit di Dubai.

Prospek itu, sebagai bukti bahwa kontraktor Indonesia dipercaya dunia.

Sehingga jika memang dalam Maret ini, proyek Monorraíl tidak kunjung jalan, Sukma dan kawan-kawan sudah siap-siap membawa masalah ini ke arbitrase internasiional. Dan jika itu terjadi, sudahlah proyek tak jalan, menjadi catatan prestasi kelam bagi Pemda DKI Jakarta.

Padahal di lain sisi, setiap tahun Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemda DKI Jakarta mencapai Rp 20 triliun. Untuk apa dan ke mana saja anggaran itu dipakai? Saya sebagai warga Jakarta tidak pernah mendapatkan pemaparan melalui sosialisasi pertanggungan jawab publik Pemda?

Saya layak bertanya, sebab di lapangan, Jakarta tetap macet, drainase tidak kunjung baik, rumah sakit bahkan pengobatan hingga kelas Puskesmas hari ini tetap belum gratis, segalanya masih duit di Jakarta ini?

Karenanya tidak berlebihan bila kepada Anda, Pembaca, saya mengatakan: Jika Pemda mau, ringan saja urusan mendukung monoraíl.

Menjadi tanya juga kemudian, Soetiyoso yang di awal mendukung proyek ini, seakan tak bisa berbuat apa-apa di akhir masa jabatannya akibat analogi dodol tadi yang mencengkeram.

Di lain sisi, jalur busway yang bersubsidi dipastikan gagal oleh seorang pengamat tranposrtasi. “Karena Indonesia bukan Bogota. Jakarta adalah Tokyo. Menempatkan logika Jakarta macam di Bogota, inilah yang keliru”

“Jalur busway bisa digunakan khusus jalur motor.”

Urusan logika yang kepelintir oleh kepentingan sempit oknum, dan celakanya pejabat level Gubernur pun seakan tak mampu berbuat terhadap sosok dalam analogi dodol tadi, maka kini berpulang kepada publik memang, plus media alternatif membuka mata rakyat kebanyakan, agar saatnya negeri ini membebaskan belenggu “penjajahan” sempit oleh segelintir oknum anak bangsanya sendiri.***

(ditulis pada 24 Maret 2011)


Keinginan Sapardi Dilafaz Cinta Gibran

(Mengakhiri silang sengkarut debat dan klaim khalayak pada jejak sebuah puisi)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

SILANG pendapat perihal dua entitas puisi yang masing masing berjudul “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono dan “Lafaz Cinta” karya Kahlil Gibran yang sangat identik dalam syair-syairnya, sepertinya akan segera berakhir.

Bagi saya, awalnya persilangan pendapat yang ramai terjadi di berbagai situs dan blogger sastra Indonesia, soal kedua puisi ini belum menyita perhatian saya. Sampai suatu waktu Shinta Miranda, seorang sastrais perempuan, membuat umpan pada komentarnya di tulisan saya Ada Apa Antara Dauglas Mulloch dan Taufiq Ismail.

Pada Shinta Miranda, saya kemudian menyanggupi untuk membuat telisik literasi atas dua puisi berjudul berbeda namun memiliki kesamaan larik itu.

Persilangan pendapat yang bermula pada adanya kesamaan nash puisi ini membuat saya tertarik. Entah siapa yang mulai membenturkan dua nama penyair itu pada satu bidang puisi? Tetapi saya pun sependapat jika sebuah karya mesti ditahbiskan pada pengkaryanya, bukan pada pengutipnya, atau pada pengklaiman pihak lain.

Agar lebih jelas, yang mana nash puisi yang “disengketakan” itu, berikut saya kutip puisi tersebut;

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada//

Syair ini tentu saja indah, sehingga sering bahkan terkutip di banyak undangan pernikahan, dan kartu ucapan pada kado antar kekasih. Ini seketika menarik bagi saya. Sebab dibeberapa situs atau blog pecinta sastra, ketika literasi ini ditampilkan dengan menyebut salah satu dari dua penyair itu, seketika lahir debat. Konyol, sebab kadang debat tadi berganti keras bahkan sering lancung menjadi sarkas. Tak ada yang mau mengalah, masing-masing pihak mengemukakan pendapat dan sangkaan yang sebenarnya tak berujung-pangkal.

Penelusuran Literasi untuk Membuktikan Akurasi Klaim

Untuk membuktikan siapa sebenarnya pemilik sah karya puisi itu, saya pun mencoba melakukan penisikan literasi pada kedua penyair. Ketersediaan bahan penisikan lumayan membantu.

Karena saya percaya pada premis bahwa sejak awal melihat dan membaca puisi itu adalah nama Sapardi Djoko Damono yang tertera dan belum pernah melihatnya diterakan atas nama Kahlil Gibran, dan menangkap kemungkinan lain adalahnya duplikasi, maka saya berangkat dengan sebuah hipotesa subjektif untuk menisik karya-karya Gibran.

Alasan saya pada hipotesa subjektif ini adalah; 1) karya Gibran kebanyakan berbahasa asing, dan hanya sedikit yang telah ditranslasi ke bahasa Indonesia, sehingga merujuk dokumen aslinya agak sukar; 2) total karya Gibran beserta varian dan derifasinya berjumlah 522 karya, termasuk karya-karya Gibran dalam bahasa Arab, Inggris, terjemahan dari bahasa Arab, karya seni, artikel pendek, puisi, kumpulan surat, biografinya, dan kritisasi, tesis, essai, artikel dan review atas karyanya, rekaman suara, pochette, laporan pameran, dan sejumlah karyanya dalam bahasa Italia dan Perancis; 3) jejak kepenyairan Sapardi mudah ditelusuri.

Ada dua sumber dokumen yang saya gunakan dalam penisikan; hardcopy berliterasi Indonesia (cetak/buku) dan softcopy berliterasi asing (digital/literasi internet). Untuk kepentingan menguber literasi Kahlil Gibran dalam bahasa asing, saya memutuskan menggunakan tiga mesin mencari (search engine) yang terbukti akurat, yakni Google.com, Yahoo.com, dan Bing.com. Sebuah mesin pencari Ask.com tidak saya gunakan sebab memiliki kelemahan (sukar menemukan dokumen dengan kata kunci panjang secara akurat).

Metodenya sederhana saja, namun butuh kesabaran ekstra untuk menisik sekian banyak literatur rujukan. Jika pada karya Gibran, saya temukan memang ada syair serupa yang merujuk namanya, maka saya terpaksa harus kembali “menguber” karya-karya Sapardi. Saya mendahulukan Gibran sebab ini bisa membantu mempercepat uji tisik literasi yang saya lakukan.

Ada enam buku Gibran Kahlil Gibran (berbahasa Indonesia, terbitan Pustaka Jaya) yang menjadi acuan saya sebagai bahan uji, yakni; Lagu Gelombang; Pasir dan Buih; Potret Diri; Sang Pralambang; Sayap-Sayap Patah; dan Taman Sang Nabi.

Sebagai pembanding saya sertakan pula beberapa karya Gibran dalam bahasa Inggris. Lima e-book novel Gibran Kahlil Gibran berbahasa Inggris; The Broken Wings (1959); The Earth Gods (1931); The Perfect World (1918); A Tear and a Smile (1914); dan Nymphs of the Valley (1908).

Kumpulan surat-surat; 1) Beloved Prophet: The Love Letters of Kahlil Gibran and Mary Haskell and her Private Journal, [New York, Alfred A. Knopf, 1972 (in notes B.P.) – Hilu, V. (ed. and arr.)]; 2) Blue Flame: The Love Letters of Kahlil Gibran and May Ziadah, [Harlow, Longman, 1983 – Bushrui, S. B. and S. H. al-Kuzbari (eds. and trans.)]; 3) Gibran: Love Letters, [Oxford, Oneworld, 1995 (rev. ed. of Blue Flame) – Bushrui, S. B. and S. H. al-Kuzbari (eds. and trans.)]; 4) Chapel Hill papers (Minis family papers), in the Southern Historical Collection, University of North Carolina at Chapel Hill, item #2725, [1948, includes correspondence of Mary Elizabeth (Haskell) Minis from and about Kahlil Gibran]; 5) I Care about your Happiness: Quotations from the Love Letters of Kahlil Gibran and Mary Haskell, [selected by S. P. Schutz and N. Hoffman, Boulder, Blue Mountain Arts, 1976]; 6) The Love Letters of Kahlil Gibran and Mary Haskell, [Houston, Annie Salem Otto, 1964 – Otto, A. S. (ed. and arr.)]; 7) Unpublished Gibran Letters to Ameen Rihani, [trans. S. B. Bushrui, Beirut, Rihani House for the World Lebanese Cultural Union, 1972].

Defeat (poem); Freedom and Slavery (poem); Love (poem); O Mother Mine (moulaya; syrian folk songs); Out of My Deeper Heart (short articles); Reflections on Love (short articles); Speech and Silence (short articles); Three Maiden Lovers (moulaya; syrian folk songs); Youth and Age (short articles); The Wisdom of Gibran: Aphorisms and Maxims, ed. and trans. J. Sheban, New York, Philosophical Library, 1966.

Saya menyertakan pula kumpulan surat Gibran, sejumlah puisi penting, artikel pendek, teks moulaya, dan kumpulan kata bijak Gibran, sebab saya menaruh sangka bahwa bisa saja enam larik puisi itu diselipkan Gibran dalam surat-suratnya, atau bagian dari artikel, puisi, moulaya, atau bahkan dalam salah satu kutipan bijak Gibran.

Memulai Penisikan

Setelah menyiapkan tiga mesin pencari berbeda, saya pun memasukkan kata kunci; kahlil gibran’s book containing these words i want to love you with a simple like the words that were not spoken to the fire that makes wood ashes i want to love you with a simple like cues that were not delivered to the rain clouds that make it dead.

Hasilnya, hanya satu rujukan yang memuat puisi itu sebagai milik Gibran, yakni fatoerblogs_wordpress_aphorisms-love. Sayangnya blog ini adalah blog milik orang Indonesia yang memuat translasi syair dalam bahasa Inggris yang gramarnya acak-kadut.

Kata kunci saya sempitkan, menjadi; all+kahlil gibran’s books have containing words I want to love you with a simple, like the words that were not spoken to the fire that makes wood ashes, I want to love you with a simple, like cues that were not delivered to the rain clouds that make it dead.

Setelah disaring, rujukan yang persis benar mengacu pada syair bermilik Gibran ada tiga, yakni; fatoerblogs_wordpress_aphorisms-love; jovinohidayat_blogspot_jika-cinta-berbicara; jovinohidayat_ blogspot_archive. Sayangnya lagi, ketiga rujukan ini adalah blog milik orang Indonesia yang memuat translasi syair seadanya. Malah ada kemungkinan tiga puisi pada tiga blog ini berasal dari satu sumber penerjemahan.

Lalu kata kuncinya saya sempitkan lagi, menjadi; all + kahlil gibran’s + books + have containing + words + fire + wood + ashes + cues + rain + clouds

Sama seperti kata kunci format kedua, saya kembali menemukan tiga rujukan blog yang sama.

Semua rujukan mesin pencari terhadap Gibran dan Sapardi hasilnya identik, sehingga jelas sekali kongklusi bahwa syair-syair itu disadur sekenanya dari satu blog ke blog lainnya (tanpa memperdulikan fakta pengkarya).

Sama halnya untuk literasi penyair Gibran dalam bahasa Inggris, perlakuan yang sama juga saya berikan untuk literasi penyair Gibran dan Sapardi dalam penelusuran berbahasa Indonesia.

Kata kunci mengalami tiga kali formasi penajaman, untuk menghasilkan rujukan yang seakurat mungkin.

  1. Kata kunci pertama; kahlil gibran+sapardi buku yang mengandung kata Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…seperti kata-kata yang tidak berbicara dengan api yang membuat abu kayu… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…seperti isyarat yang tidak disampaikan kepada awan hujan yang membuatnya mati.
  2. Kata kunci kedua, yang disempitkan; buku+Kahlil Gibran+Sapardi memiliki kata-kata yang mengandung aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata-kata yang tidak berbicara dengan api yang membuat abu kayu, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak disampaikan kepada awan hujan yang membuatnya mati.
  3. Kata kunci ketiga, yang kian disempitkan dengan separasi kata inti pembentuk puisi; semua + buku + kahlil gibran + sapardi + api + kayu + abu + isyarat + hujan + awan.

Yang menarik, ketika saya menggunakan kata kunci berbahasa Indonesia dan sekaligus mempadankan dua nama (kahlil gibran+sapardi) untuk syair yang sama, diperoleh rujukan dengan pembagian; 6.412 hasil untuk Gibran, dan 5.159 hasil untuk Sapardi. Uniknya, dari 11.571 rujukan puisi ini yang ditemukan semuanya sama persis pada larik, yang membedakannya hanya judul dan tera pengkaryanya saja.

Rekomendasi Pencabutan

Semua rujukan ini dipisahkan sesuai karakter literasi yang paling kuat rujukannya, dengan ditentukan oleh kelengkapan kata dan kalimat yang disadur oleh para pemilik blog. Dari rujukan yang tersisa jika berbentuk file *.pdf maka akan didownload terlebih dulu lalu disaring dengan menggunakan fasilitas (tools) software pemilah kata.

Karena semua karya awal Gibran ditranslasi dalam bahasa Inggris maka saya melacak puisi tersebut dengan menggunakan ektraksi kata inti menggunakan software pemilah kata.

Hasilnya, sungguh membuat saya lega. Ternyata yang diperdebatkan selama ini tidak lebih sekadar bualan belaka. Semata-mata hanya memetik karya tanpa mengecek referensi awal. Parahnya, karya itu sudah tersebar kemana-mana, dan dipolemikkan dalam silang sengkarut yang tak berujung.

Saya berani mengatakan, bahwa dengan ini, perdebatan perihal syair tersebut telah berakhir. Bahwa syair indah itu adalah milik Sapardi Djoko Damono dengan judul asli “Aku Ingin”, dan bukan syair milik Gibran yang diberi judul “Lafaz Cinta”. Saya merekomendasikan agar para pemilik blog segera mencabut syair jiplakan berjudul “Lafaz Cinta” yang didaulatkan atas nama Gibran, dan memasang nama Sapardi Djoko Damono, sebagai pemilik asli syair itu.

Kesimpulan ini dapat saya buktikan secara empiris. Perhatikan penggunaan kata kunci (fire, wood, ashes, cues, rain, dan clouds) pada beberapa karya utama Gibran dari enam sample buku yang digunakan, dan lima e-book, serta beberapa literasi Gibran berformat *.pdf.

Dari enam kata kunci utama pembentuk syair, hanya dua kata yang sering muncul dalam karya-karya Gibran, yakni Ashes (abu) dan Fire (api). Dan, tidak ada karya Gibran yang mempertemukan enam kata di atas dalam larik-larik pada dua bait pendek, atau pada sebuah puisi utuh.

Karya-karya Gibran yang mengandung kata Ashes :

“life is as cold as ice and as grey as ashes.”

[ Kahlil Gibran to Yusuf Huwayik, in A Self-Portrait (1972), 26. ]

“like ashes which hide the embers but do not extinguish them.”

[ Jessie Fremont Beale to Fred Holland Day, Nov. 25, 1896. Quoted in J. and K. Gibran, Life and World, 37–38. ]

“Night is over, and we children of night must die when dawn comes leaping upon the hills; and out of our ashes a mightier love shall rise. And it shall laugh in the sun and it shall be deathless.”

[Beloved Prophet, 323]

Sedangkan, dalam karya Gibran (dan yang merujuk Gibran dan karyanya) yang mengandung kata Fire :

One of his greatest delights was to cast images in lead using old sardine tins. He used to put the lead on the fire to melt and then fill the two halves of the can with fine moist sand. Then pressing the image in between the two, he would scrape away the sand that squeezed out, put the two halves together again and pour the lead into the mold until the image had cooled.

[Beloved Prophet, 429]

“Dust of the Ages and the Eternal Fire”

[in Nymphs of the Valley, 30. Gibran also wrote “The Poet from Baalbek,” a story with the theme of reincarnation (Thoughts and Meditations, 1–8). Ameen Rihani in his magisterial work The Book of Khalid, which was to later influence Gibran’s own writings, refers to Baalbek as being the place where Shakib spent much of his childhood.]

His rebellion, no doubt in this instance fired by his own bitter rejection by Hala’s powerful family, is evident in “The Broken Wings”.

[Man and Poet, Khalil Gibran.]

After the fire, Gibran began painting and writing with renewed resolution. Perhaps in recognition of his indebtedness to Fred Holland Day he wrote “Letters of Fire”, beginning his soliloquy with the lines inscribed on Keats’ grave in Rome: “Here lies one whose name was writ in water.”

[Man and Poet, Khalil Gibran]

“Write upon my gravestone: Here lies the remains of him who wrote his name on Heaven’s face in letters of fire.”

[A Tear and a Smile]

Three stories written during this period, “Martha,” “Yuhanna the Mad,” and the “Dust of the Ages and the Eternal Fire,” were later published together under the title “Ara’is al-Muruj”.

[Nymphs of the Valley]

The other story in the trilogy, “Dust of the Ages and the Eternal Fire,” deals with the themes of reincarnation and preordained love. The hero appears first as Nathan, the son of a Phoenician priest in Baalbek, and then in his new incarnation as Ali al-Husaini, a Bedouin nomad.

[Nymphs of the Valley, The Husainis were an Arab tribe dwelling in tents around Baalbek]

In January 1912, after much delay, Gibran’s Arabic novella al-’Ajnihah al-Mutakassirah (The Broken Wings) was published. He sent Mary a copy in which he had translated the dedication: TO THE ONE who stares at the sun with glazed eyes and grasps the fire with untrembling fingers and hears the spiritual time of Eternity behind the clamorous shrieking of the blind. To M.E.H. I dedicate this book. – Gibran.

[ Kahlil Gibran, dedication in The Broken Wings, 1959 ]

It is true the world will be apt enough to censure thee for a madman in walking contrary to it: And thou art not to be surprised if the children thereof laugh at thee, calling thee silly fool. For the way to the love of God is folly to the world, but is wisdom to the children of God. Hence, whenever the world perceiveth this holy fire of love in God’s children, it concludeth immediately that they are turned fools, and are besides themselves. But to the children of God, that which is despised of the world is the greatest treasure.

[ The Perfect World was later published in 1918 in The Madman: His Parables and Poems (1918); quoted in Heinemann edition (1971), 71.]

The name of Arrabitah spread wide and far becoming tantamount to renaissance, to rejuvenation in the minds of the younger generations, and to iconoclasm and hot-headed rebellion in the eyes of the older and more conservative ones. The lines of battle were clearly drawn: the issue was never in doubt. So quickly was the tide turned in favor of Arrabitah that those who hailed it were no less puzzled than those who opposed it…no one knows the “secret” save that hidden power which brought the members of Arrabitah together at a certain spot, in a certain time, and for a certain purpose entirely irrespective of their conscious planning, endowing each with a flame that may be more, or less brilliant than that of another, but all coming from the selfsame fireplace.

[Naimy, A Biography, 157, 158.]

My life has a great deal of seeing people in it, just individuals, one by one, and groups as well. And I want it to be so more and more. I want to live reality. Better than to write ever so truly about fire, is to be one little live coal. I want some day simply to live what I would say, and talk to people. I want to be a teacher. Because I have been so lonely, I want to talk to those who are lonely.

[Beloved Prophet, 356]

Who shall inscribe the name of the present generation in the scrolls of Time, who they are and where they are? I do not find them among the many “nightingales of the Nile and the warblers of Syria and Lebanon,” but among the few whose lips and hearts have been touched by a new fire. Of those some are still within the womb of Creative Silence; some are breathing the air we breathe, and treading the ground we tread. Of the latter –, nay, leading the latter – is the poet of Night and Solitude, the poet of Loneliness and Melancholy, the poet of Longing and Spiritual Awakening, the poet of the sea and the Tempest – Gibran Kahlil Gibran.

[Naimy, A Biography, 159–60. First published in Beirut in 1934 and translated into English by Mikhail Naimy in 1950, and published by the Philosophical Library.]

Again in Mother Earth the artist portrays men and women, rooted to the earth and at the same time endowed with the transformational and unifying power of fire, expressed in The Earth Gods thus:

Behold, man and woman/ Flame to flame/ In white ecstasy// Roots that suck at the breast of purple earth/ Flame flowers at the breasts of the sky// And we are the purple breast/ And we are the enduring sky// Our soul, even the soul of life, your soul and mine/ Dwells this night in a throat enflamed/ And garments the body of a girl with beating waves// Your sceptre cannot sway this destiny/ Your weariness is but ambition// This and all is wiped away// In the passion of a man and a maid//

[The Earth Gods, 31.]

Dari rujukan ini dapat saya simpulkan, bahwa dalam karya-karya Gibran tidak ada dua bait yang menggabungkan enam kata kunci yang terdapat pada puisi yang dipolemikkan, sehingga dapat dipastikan bahwa TIDAK PERNAH ADA puisi berjudul Lafaz Cinta karya Khalil Gibran. Uji literasi membuktikan bahwa secara eksistensial, syair pada puisi di bawah ini adalah sah milik Sapardi Djoko Damono:

Aku Ingin

Oleh Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

[]

Saya puas dengan hasilnya. Tentu saja, saya pribadi puas atas penelusuran dua hari ini. Hanya saja, masih ada yang sedikit mengganjal hati saya. Mengapa selama ini penyair Sapardi DD, tidak berusaha meralat sangkaan keliru orang-orang atas syairnya tersebut. Apakah beliau sengaja membiarkannya demikian, agar polemik menjadi ramai, atau beliau tak mau ikut-ikutan “capek” pada sesuatu yang tiba-tiba menjadi silang sengkarut.

Entahlah…yang pasti selamat buat beliau atas syair indahnya itu. []

—————————

Catatan penulis:

*] Akumulasi rata-rata data yang berhasil diperoleh dari ketiga mesin pencari untuk literasi Gibran berkata kunci bahasa Inggris; Google [124.000], Yahoo [0], Bing [12.900]

**] Sedangkan akumulasi rata-rata data yang berhasil diperoleh dari ketiga mesin pencari untuk literasi Gibran+Sapardi berkata kunci bahasa Indonesia; Gibran : Google [955], Yahoo [17], Bing [5.440], dan Sapardi : Google [635], Yahoo [54], Bing [4.470]

***] Software dan fasilitas pemilah kata+kalimat pada file PDF dan e-book: Adobe Reader 9.2, dan PDF Word+Phrase Extractor 3.0 Beta 3

Sapardi Djoko Damono. Foto: Arif Relano Oba

Gibran Kahlil Gibran. Sumber foto: Flickr


Foto Bugil, Seni atawa Porno?

Oleh Mappajarungi Manan

Foto-foto: Marwan Jr

“Ah, aku bingung. Mana karya seni dan mana porno”  ujarku kepada rekan, usai menyeruput secangkir kopi hangat di ruang loby Hotel Nikko, Jakarta. Jumat, siang(26/8)  sekitar pukul 15.00 WIB. Rupanya,  era kebebasan, semua diidentikkan dalam segala hal. Misalnya, bebas mengobok-obok agama, bebas memaki-maki. Kini aku baru usai menyaksikan kebebasan memajang foto-foto porno. Mungkin aku dibilangin kuno ya, karya seni dibilangin porno?…hehehehe.

Cafe Oak, Hotel Nikko,  yang biasa dipakai menikmati suasana santai dengan alunan musik, berubah jadi pameran foto karya fotografer, seperti Darwis Triadi, Davi Linggar, Jay Subyakto, Kay Moreno, Marsio dan Oetomo. Tidak ketinggalan pula beberapa fotografer dari Majalah FHM Indonesia. Tampilan karya para juru foto professional itu berlangsung dari tgl 23-28 Agustus 2005.

Suasana yang sejuk di Oak room itu, menimbulkan pikiran beragam. “Duh bagusnya foto ini ya, artistic sekali, jadi pingin punya foto seperti ini” ujar seorang wanita yang melihat-lihat karya fotografer Marsio. Disetiap figura, wanita yang menyaksikan pajangan itu tak berkedip. Ketika berada di depan karya Darwis Triadi,  seakan merasakan sendiri sebagai model. Tampak karya Darwis, seorang perempuan bugil berdiri menghadap pohon, dengan hamparan sawah. Sayang karya itu hitam putih. Wanita itu begitu mengagumi tanpa kedip. Harga sebuah karya foto darwis tertulis Rp 5 juta.

Darahku mendesir.. ah kaco nih. Kendati tidak sevulgar karya Darwis, namun terlihat soft. Karya Kay Moreno dengan model Lena Maya, membuat aku sedikit tertegun ia penuh berbalut bunga dengan percikan air. Sayang NOT FOR SALE. Namun ketika melihat karya Marsio lainnya dengan model  Karenina, norak,namun harganya diatas karya Darwis yakni Rp 10 juta.

Suguhan dari karya fotografer itu, kendatipun telah memiliki nama besar, tapi ternyata tidak semuanya menampilkan karya bagus. Pose-pose Karenina yang dijepret oleh Marsio banyak yang norak. Misalnya Darwis yang memotret model Kinaryosih tidak menimbulkan greget demikian pula karya Oetomo  dengan model Davina. Karya Hitam Putih Darwis lebih bercerita.

Akhirnya aku sulit mengambil kesimpulan mengenai definisi pornografi yang sudah jelas dan tegas dalam pandangan agama. Tetapi batasan pornografi  yang telah baku itu, kini masih terus diperdebatkan dan diarahkan untuk dikaburkan. Inilah penampilan erotisme yang direkam dalam foto oleh mereka.

pornoaksi dalam konteks terminologi Islam. Dalam Islam, aurat  tersebut memiliki definisi yang sudah jelas, yaitu sesuatu  yang tak patut dilakukan, tidak patut diperlihatkan atau tak  patut diucapkan. kaitan ini ada aurat rohani dan jasmani. Mengutip    firman Allah SWT yang artinya, “Tutuplah dadamu dengan  kerudungmu”. “Itu sudah jelas. Buat wanita suara dan rambut saja menyangkut aurat.

Kalau rambut dan suara mungkin dianggap wajar, namun haram yang besar menunjukkan pusar dan buah dada. Namun melihat  kenyataan itu masyarakat akan terdiam, bagi pengumbar nafsu itu adalah karya seni, untuk menutupi “kekurangannya” itu.

Tampilan karya foto itu, merupakan suatu gambar yang bisa menimbulkan rangsangan seks. Tapi masyarakat Indonesia tidak tunggal. Yang pasti, kelihatan “putting beliung” adalah bahaya. Dapat menimbulkan petaka, ya gak?..  Jadi ingat foto Sophia Latjuba hehehehe.. tapi foto Sophia dan Asarah Azhari, angin “Putting beliungnya” gak nampak hehehe bener gak nih? …Jadi.. sulitkan menilai, mana seni dan porno? []

Aug 26, ’05 9:26 AM

foto: Marwan Jr

foto: Marwan Jr

foto: Marwan Jr


Mari Bermain

Oleh Adhy Rical
Bermain apa dulu? Teater apa aja. Nikmati aja dulu. Poin pentingnya di sini. Sebab agaknya sulit jika menyinggung hal-hal besar tentang teater seperti produksi, artistik, dan lainnya tetapi kita lupa hal yang paling sederhana: bermain. Wajar atau tidak teknik bermainnya, ada aturannya tersendiri. Paling tidak mata penonton lebih cerdas dari yang kita duga sebelumnya.

Jika aturan itu mungkin membuat orang malas dalami, ya biar saja. Tiap orang punya metode berbeda. Setidaknya, saya tidak berupaya mendedahkan persoalan dengan sesuatu yang rumit. Kadang-kadang bermain itu justru aturannya dibuat sendiri oleh yang bersangkutan. Setelah ramai dan menarik, barulah aturan pasti disepakati.

Begini, tanggal 9 Juli 2007 lalu, seorang sutradara dari kelompok Store House Jepang, mengadakan workshop di Kedai Kebun Forum. Workshop yang sederhana tapi mengasyikkan: bermain tali. Ingatan kita kembali ke permainan-permainan masa kecil. Namun di balik itu, Singo mengharapkan kerjasama kolektif sederhana yang tentu saja teater tidak menafikan itu. Bukankah dalam permainan itu ada pertukaran budaya yang pelan-pelan terasa juga pertukaran pengalaman batin? Lebih dari itu, hubungan emosional dan bentuk kerjasama yang tidak banyak membuat alis menyatu rapat. Tiap peserta punya referensi sendiri, keberagaman, dan pengalaman yang berbeda. Justru inilah uniknya. Masing-masing kepala punya problem yang mesti dia dedahkan sendiri dalam pencapaian karya kreatif berikutnya.

Patut dicatat, bahwa saya tidak berbicara soal hal baru dalam karya kreatif teater yang dihasilkannya (mungkin secara estetik) tetapi proses dan karya yang berguna itu sendiri kelak. Juga bukan soal menokohkan apalagi mengidolakan karya terdahulu atau memilah penonton secara estetis dan ekonomis tapi apa yang sudah kita hasilkan selanjutnya memotret diri untuk terus berkarya dan berkembang, tentu saja lewat pengalaman bersama diri, orang lain, dan alam. Sesederhana itu. Yap. Terus bagaimana dengan teater yang harus bertapa dulu di tempat tertentu untuk mendapatkan ilham? Berdiam diri dalam kamar dengan setumpuk referensi? Atau berkelana ke tempat mana saja untuk berbagi cerita? Apapun kecenderungannya, verbalitas atau semiotik. Jelasnya, ia masih dalam ranah bermain.

Saya hanya ingin bermain (juga?) dalam teater yang cenderung bermula. Remaja! Waow. Teater pink. Teater timbul-tenggelam. Prosesnya lebih pendek daripada teater mahasiswa. Dan memang ia lebih banyak jumlahnya (?), karena keadaan bukan karena matakuliah, mungkin juga karena trend. Apa sajalah, tak perlu didebatkan. Basis kekuatannya dahsyat benar. Seperti remaja yang kali pertama dapat ciuman, rasanya sulit dipikir karena nggak nyambung. Tapi daya magisnya, wuihh… (jangan dilanjutkan, kalau pun “ya”, teruskan sesuai selera).

Sayangnya tidak banyak naskah lakon untuk segmen ini. Akhirnya, banyak naskah yang dimainkan tergolong berat (belum lagi tafsirnya mungkin gelap hehe, pinjam istilah seorang teman). Beberapa festival teater remaja di tanah air bisa buktikan kecenderungan itu.

Bermain dengan Ijma

Nah ini dia. Mari bermain berdasarkan kesepakatan bersama dulu. Istilah ijma kupinjam sajalah. Soalnya sampai sekarang kan belum ada ijma-nya teater. Ijma yang kumaksud sederhana juga seperti penemuan Teater Garasi yang sangat kecil tapi berguna. Apaan? Latar hitam dalam panggung. Dasarnya: referensi, alasannya: teater Indonesia miskin. Ini belum termasuk penemuan lain mereka yang mesti saya angkat gelas untuk bersulang: terima kasih.

Garasi mungkin saja agak berbeda dengan komunitas teater lainnya. Mereka tidak mau persulit keadaan tapi mencari sesuatu yang sulit untuk kemudian dibuat mudah. Metode yang mungkin banyak orang lalui tapi tidak menyadari begitu pentingnya. Belajar bersama, memberi dan menerima menjadi satu hal yang tidak terpisahkan. Banyak ijma yang berlaku demi pencapaian bersama. Komunitas yang belajar bersama, tentu memperoleh sesuatu yang sangat berguna untuk dikembangkan lagi sehingga kecenderungan latah dan tidak berkonsep dapat dihindari.

Saya teringat dengan salah satu infotainment tivi tentang strategi orang yang ingin cintanya diterima oleh pujaan hati. Banyak cara yang dilakukan, dari yang paling goblok sampai hal yang paling ekstrim. Penonton sudah punya jawaban di kepala: diterima atau ditolak. Yang bikin menarik hati bukan jawaban dari pilihan itu tapi bagaimana prosesnya ia berupaya lakukan perjuangannya. Bermain teater dengan ijma, apalagi dengan remaja, dibutuhkan sekali itu. Setelah Garasi, siapa lagi?

Kapan Bermain?

Jangan tanya dan tunggu tapi tentukan. Apalagi mencari perbedaan atau kelemahan komunitas tertentu untuk kemudian saling menjatuhkan. Kalau pun ada biar saja. Anggap saja dinamika. Dengan begitu, keberagaman ada maka daya hidup untuk bermain kian besar. Sehingga yang berproses dalam karya dan pentas nantinya bukan yang itu-itu terus.

Saya pikir, remaja adalah salah satu modal penting untuk keberagaman teater ke depan. Modal itu telah dikerjakan Garasi dengan program Actor Studio-nya meskipun remaja belum bisa masuk dalam program tersebut. Paling tidak, program itu banyak membantu dalam pencapaian tertentu, minimal di atas 17 tahun.

Tidak menutup kemungkinan program Actor Studio akan merambah pelajar. Jika salah satu item program itu adalah “membuka jalan” keaktoran maka pelajar dengan idiom pink itu pasti lebih menarik. Wilayah permainan akan semakin hidup dengan gaya pubertas yang berbeda. Lebih jauh, teater tidak lagi menjadi sesuatu yang ekslusif dan magis saja, tetapi nantinya benar-benar menjadi milik publik. Bukan sekadar bermain untuk ditonton oleh penggemar komunitas tertentu.

Setuju atau tidak saya khawatir jangan sampai teater kita juga begitu, tertindas oleh sesuatu yang tidak diketahui sendiri: tertindas gelap. Ah, jangan sampai kita lupa bermain indah tetapi lebih mementingkan tepuk tangan yang riuh. Tak apalah jika begitu. Setidaknya, masih ada yang bisa ditertawai sebuah adegan tak lucu karena dimainkan kawan sendiri. Ah, biar saja begitu. Biarkan ia mencari jalannya sendiri. Toh, kentara juga siapa yang lampunya redup sebelum menyala.◘

Yogyakarta, 2007