Category Archives: Media & Jurnalisme

Majalah Elektronik IFW Writer’s Digest Diluncurkan Hari Ini

IFW Writer’s Digest e-Magz resmi diluncurkan hari ini, Sabtu 30 Juni 2012. Berformat elektronik, majalah ini akan hadir sebulan sekali, dan dapat didownload secara gratis di site-blog resmi IFW.

Terbit dengan 50 halaman, majalah ini berisi 80 persen artikel sastra dan sisanya berbagai artikel mengait kepenulisan secara umum. Menurut rencana, majalah ini akan berangsur terbit berkala hingga upaya menerbitkannya seminggu sekali dapat tercapai.

Untuk membaca dan mendownload majalah ini, silakan klik gambar cover di sisi kanan atas halaman resmi IFW.

IFW Writer’s Digest, Edisi Perdana #1 Juli 2012


Opini: Memapas Koruptor Atas Bawah dengan Gergaji Angin

Oleh Iwan Piliang


Tumpuan memberantas korpsi kini berpulang kepada gerakan masif publik bila ingin keluar dari lakon gergaji angin.

***

JAUH sebelum heboh kasus Nazaruddin, saya pernah mengundang Fuad Bawazir, mantan Menteri Keuangan, pernah dua periode menjabat Dirjen Pajak, hadir ke acara Presstalk saya di QTV —kini Beritasatu— tayang di kanal Firstmedia, teve kabel.

Pada satu kesempatan, saya tanyakan ihwal dana Upah Pungut (UP), yang dilakukan oleh badan urusan pajak bumi dan bangunan sebelum bergabung ke Direktorat Pajak dulu. Konon dana UP jumlah juga triliunan, itu ada di rekening Bank Bumi Daya pusat atas nama pribadi  Fuad Bawazir.

Fuad membantah. Ia bilang, “Soal rekening liar itu saya yang buka ke Gus Dur agar diselidiki.”

Dalam verifikasi saya, hingga hari ini lebih 3.000 uang negara rekeningnya atas nama pribadi pejabat, terutama di Departemen Keuangan. Majalah Wartaekonomi, bila saya tak keliru, awal 2010 pernah mengupas ihwal ini. Mereka mengindikasikan masih mencapai 2.000 rekening liar atas nama pribadi pejabat.

Dari rekening liar merangkak ke rekening gendut.

Majalah TEMPO, salah satu media getol menuliskan soal rekening gendut di kepolisian. Lalu kasus ini seakan mendem di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada dua kasus besar ditulis TEMPO, rekening gendut dan kasus impor BBM berl;abel ZATAPI, menguap bak BBM dalam drum tanpa tutup, menguap bersama angin.

Kembali ke urusan pajak, sudah lama pula saya verifikasi sepak terjang mantan Dirjen pajak Hadi Purnomo. Di dalam catatan saya, ada dua hal yang layak terus diverifikasi. Pertama soal pembangunan gedung Direktorat Pajak dan kedua soal IT mereka.

Di urusan gedung itu, Anda agaknya kaget, kalau saya lagi-lagi menyebut nama Mahfud Suroso.

Mahfud adalah nama yang duduk bersama Anas dan Nazaruddin dalam perusahaan mereka di PT Anugerah Nusantara. Dalam keterangan Nazar, Mahfud-lah yang mengalokasikan Rp 50 miliar pertama, dari proyek Hambalang senilai Rp 1,2 triliun. Uang Rp 50 miliar itu terindikasi dipakai untruk Anas maju jadi Ketua Partai Demokrat. Anda tentu paham di Hambalang yang dimenangkan PT Adhi Karya

Di mana ada PT Adhi Karya, di mana terindikasi tajam ada Mahfud di belakangnya.

Di pembangunan gedung Direktorat Pajak, perusahan Mahfud yang mendapatkan pekerjaan manajemen proyek dan Mechanincal Engineering (M&E). Sosok ini pula yg terindikasi mulai menjalin hubungan dekat dengan Anas Urbaningrum sejak mendapatkan proyek pembuatan kotak suara di KPU. Dan dari Mahfud pula, alokasi uang untuk pejabat tak terkecuali terindikasi untuk Hadi Purnomo mengalir.

Makanya saya tak henti-henti himbau, KPK mengejar sosok Mahfud.

Kita semua paham, sosok seperti Hadi Purnomo kemudian didukung oleh hamper semua partai duduk sebagai Ketua Badan pemeriksa Keuangan (BPK).

Dan yang mengherankan saya sosok yang saya kenal sperti Nurlif, pernah duduk sebagai anggota Komisis IX di DPR era sebelum ini, malah duduk pula sebagai wakil BPK. Nurlif terindikasi bermasalah, ikutan menerima uang sogokan Gubernur BI, di mana Hamka Yandhu, Dudhie Makmun Murod, sdh terpidana duluan, sementara Nurlif menjadi Wakil Ketua BPK. Ketiga sosok ini sama-sama dengan saya dilantik menjadi angghota HIPMI, ketika saya sempat berbisnis pada 1989-1998.

Singkatnya jika sosok-sosok bermasalah dari atas sampai bawah bermasalah, bahkan ada di berbagai lembaga yang seharusnya kredibel maka apapun lading penebas, akhirnya hanya menghasilkan kesia-siaaan, saya mengistilahkan sebagai upaya menggergaji angin saja.

Bagaimana tidak, setelah berjumpa Komite Etik KPK Jumat, 9 September lalu, saya seakan mendapatkan pencerahan, bahwa mulai dari Presiden hingga lini terbawah bermasalah. Di level Presiden, terindikasi laporan dana kampanyenya ada yang dari Hamba Allah, lalu Hamba Allah 1, 2, 3 dan seterusnya dan minta dituliskan demikian oleh KPK, apa tidak bermasalah namanya?

Nah sampai di sini tingga;ah tugas media menuliskan, terlebih berharap banyak kepada media social, plus gerakan plontos nasional diteruskan.

Berhgarap ke lembaga formal, seperti KPK kendati pun secara angka prestasinya ada, pada akhirnya hanyalah pekerjaan menggergaji angin.

Di tangan rakyat kebanyakanlah kini pemberantasan korupsi bisa digelandang. Bila tidak kita hanya hari-hari ribut dan rusuh di media bikin kuping pengang. ***

Iwan Piliang, aktifis media sosial.


Sketsa: Behind The Scene Skype Nazaruddin (2)

Oleh Iwan Piliang

 

Nazaruddin terindikasi berbohong untuk kebohongan dan kini kekeh ingin membongkar kebohongan.

SETELAH penayangan wawancara via Skype dengan Nazaruddin, aplikasi online berbicara tatap muka, ditayangkan oleh Metro TV pada 22 Juli 2011malam, telepon genggam saya seakan tiada henti bergetar. Miss call banyak. Ada telepon masuk dari sahabat lama, hingga pesan misterius tak beridentitas.

Maka tidak berlebihan bila Sabtu 23 Juli itu hari terasa panjang. Perasaan was-was menghadang. Ada ancaman baik-baik. Masuk pula telepon berkata-kata kasar. Di rembang petang menjelang, di saat saya masih berada di atas taksi di bilangan Cik Ditiro, Jakarta Pusat, seorang menelepon dari hand phone yang tiga nomor akhirnya 626.

“Halo apa kabar?”

Suara terkesan muda bernada gaul.

Maaf nih, HP gue hilang, data banyak lenyap, siapa ni? Saya menjawab.

Ahh masa lupa…saya Djoko, itu lho yang kontak waktu masalah David?”

Mendadak sontak saya berujar, nuwun sewu, waah orang besar menelepon, terima kasih, maaf banget ya Pak.

“He he tak apa …”

Saya mempersingkat obrolan dengan menyampaikan bahwa saya meminta waktu akan menghadap ke kantor Menko Polhukam.

Benar. Sosok itu adalah: Djoko Suyanto, Menteri Kordinator Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), yang mengkordinasi 10 kementrian, termasuk Polri, dan lima badan seperti Badan Intelijen Negara (BIN).

Pada saat kasus David Haryanto, mahasiswa Indonesia yang “dibunuh” di Singapura di saat persidangan coroner terakhirnya, Wapres Boediono, bersamaan waktunya meresmikan kerjasama program S2 Rajaratnam-Nanyang Technological University (NTU) dengan Indonesia, di Singapura.

NTU adalah kampus di mana David “dibunuh”. Sehingga peresmian kerjasama dengan sekolah itu di akhir persidangan coroner kasus David, saya rasakan sebagai “penghinaan” kepada keluarga David, kepada anak dan bangsa Indonesia umumnya.

Maka sehari sebelum hal itu terjadi, saya berbicara keras di TVONE. Saya sampaikan ke pemirsa, bahwa saya bertemu dan berbicara dengan seorang warga Singapura. Saya Tanya opininya menyimak kasus seperti David. Dia bilang kalau warga Singapura satu saja kalimatnya, “Are you patriot or not?” Apalagi di tingkat penyidik, sebagai polisi. Pastilah yang diutamakannya kepatriotannya sebagai bangsa Singapura.

Pertanyaan yang sama seakan saya tujkukan di TVONE kepada Boediono, “Are you patriot or not?”

Jawabannya?

Di saat saya hendak menutup pintu rumah menuju bandara, sosok Djoko Suyanto menelepon. Ia bertanya apa sebaiknya dilakukan terhadap David? Saya katakan kerjasama antar negara karena memang sudah direncanakan lama silakan saja. Namun paling tidak negara harus menunjukkan empati.

Saya lempar ide, bagaimana bila keluarga David diterima oleh Bapak Boediono di Singapura. Djoko Suyanto lalu meminta waktu. Sekitar 10 menit ia balik menelepon saya kembali. Djoko mengatakan silakan pukul 14 hari itu juga Boediono berkenan menerima keluarga David di Hotel Shangrilla, Singapura. Pertemuan itu pun terjadilah. Adalah Menko Polhukam di belakang layar mengatur pertemuan itu.

Begitulah seorang Djoko Suyanto, yang saya kenal. Sosok rendah hati. Di luar kasus David itu, saya tak pernah lagi menjalin kontak. Pernah sekali waktu sebelum nomor HP-nya raib dari file saya, pernah mengirim SMS sekadar mengirim salam, tapi tak berbalas. Anda paham, sebagai Menko, pastilah ia sangat sibuk sekali.

Barulah setelah Metro TV menayangkan wawancara Skype saya dengan Nazaruddin, untuk kedua kalinya, Djoko Suyanto menjalin kontak kembali..

Senin, 25 Juli 2011, karena kesibukan sehari-hari, saya belum berkunjung ke kantor Menko Polhukam. Barulah Selasa esoknya setelah tampil di acara Apa Kabar Indonesia Pagi, dengan meminta diantar oleh mobil TVOne, saya langsung menuju ke kantor di kawasan Merdeka Barat itu.

Tentulah saya tak membuat janji. Saya langung menuju area belakang di mana ada warung kecil di pinggir parkir yang bersebelahan dengan kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan.

Sambil minum teh panas, saya mencoba menghubungi staf Djoko. Hari itu dapat kabar jadwal padat sang Menko. Saya melamun di warung yang masih sepi. Membayangkan apa gerangan yang hendak disampaikan. Saya berusaha berpikir positif.

Setelah lebih tiga puluh menit berlalu, kaki seakan menggerakkan saya untuk melangkah pulang. Namun di luar dugaan, sebelum melewati bangunan rumah bak pendopo di mana Menko berkantor, tampak keluar beberapa ajudan. Tak lama kemudian tampak Djoko Suyanto berjalan, menuju ke arah saya. Ia berpantalon hitam, berbaju batik bercorak coklat tua. Rambutnya diberi jeli, ditegakkan, bagaikan gaya anak muda. Segar.

Tentu dengan mudah saya dapat menyalaminya. Saya menjabat tangannya. Saya tanyakan kapan bisa mengahadap. Kepada stafnya Djoko bertanya apakah nanti sore setelah dengan Presiden ada jeda waktu untuk saya bisa jumpa. Stafnya mengatakan akan dicoba. Saya pun menyampaikan kesiapan kembali. Lalu kami berpisah.

Belum tiga langkah berjalan, Djoko memanggil, ia mengajak saya turut ke lantai 6. “Ada kegiatan media, sekalian saja ikut,” ujarnya.

Maka saya pun berjalan bersamanya menuju lantai 6 di Gedung Dewan Ketahanan Nasional. Rupanya di lantai 6 itu sudah banyak hadirin. Dominan yang hadir para tokoh media, pimpinan PWI, KPI dan lainnya. Di podium saya lihat bertuliskan: Peran Media Massa dalam Pengelolaan Masalah-Masalah Nasional. Rupanya ada seminar terbatas.

Begitu Menko Polhukam datang, acara langsung dibuka. Ia mengutarakan seluruh konten media setidaknya harus menganut tiga hal, yakni informasi, pendidikan, dan hiburan. Walaupun tidak lepas bahwa media ada unsur komoditas, tapi seyogianya roh jurnalisme harus menjadi topangan utama dibandingkan dengan roh bisnis.

Djoko juga mensitir bahwa media sosial yang berkembang saat ini, sebagai sesuatu yang positif. Agak tak “nyaman” saya, ketika di pengantar seminar ia menyebut saya sebagai tokoh media sosial yang hadir di ruangan itu. Kikuk rasanya , sebagai sosok tak diundang, mendadak datang. Apalagi di ruangan itu ada senior di jurnalisme Indonesia seperti Sabam Siagian.

Djoko Suyanto mengingatkan bahwa salah satu tanggung jawab media agar memiliki jiwa nasionalisme. Pola pikir besar media juga harus berpihak kepada negara. ”Pers harus ada keberpihakan terhadap negara,” tuturnya.

Sebelumnya F.H.B. Soelistyo, Deputi VII Menko Polhukam, di pengantarnya mengatakan desain silaturahmi iti ditujukan bukan untuk mempengaruhi peran dan fungsi masing-masing kelembagaan maupun institusi khususnya media massa, namun lebih pada upaya mencari titik temu simbol profesionalitas diantara fungsi dan peran masing-masing kelembagaan.

Pertemuan itu juga dihadiri J. Kristiadi Peneliti Senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Margiono Ketua PWI Pusat. Mereka berdua Pembicara. Moderator Tarman Azam Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Margiono mengutip hasil riset Kompas, bagaimana saat ini lembaga yang dipercaya publik adalah TNI dan Pers. “Itu artinya kalau pers dan TNI bersatu, bikin apapun saat ini dukung rakyat,” ujar Margiono tertawa. Lembaga terendah mendapat kepercayaan rakyat kini adalah DPR, hanya 16%. Dalam hati saya bertanya berapa persen pula kalau dirinci kepercayaan publik terhadap pers mainstream dibanding media alternatif, media sosial?Saya mengikuti hingga acara tuntas di jam makan siang.

Hingga hari ini pertemuan khusus saya dengan Menko Polhukam belum terjadi. Agendanya padat sekali. Saya belum bisa menduga apa gerangan yang akan ia sampaikan berkait dengan kasus Skyping saya dengan Nazaruddin.

Bagi saya jika ditanyakan apa premis berwawancara dengan Nazaruddin?

Jawabnya sederhana, verifikasi. Tidak ada niat menjadi corongnya Nazar. Tanpa saya berwawancara pun jagad jurnalis sudah pasti mencari sosoknya untuk konfirmasi. Bukan media di Indonesia saja. Saya tahu pasti lembaga kantor berita asingpun mencari akses untuk bisa mewawancarainya.

Logikanya, bagaimana kita menilai sesuatu itu benar atau salah jika informasi saja tak ada. Dalam kerangka inilah menjadi penting mewawacarai Nazaruddin, tersangka kongkalingkong di kasus Wisma Atlit. Dari paparan Nazar pula, kita semua paham, bahwa ada indikasi tajam pemakaian uang, anggaran APBN, yang dominan dihimpun dari pajak rakyat, digunakan untuk kepentingan pribadi, di mana melibat beberapa nama mulai Anas Urbaningrum, Machfud Suroso, Andi Muchayat, dan kalangan anggota DPR, sebagaimana sudah banyak diberitakan media massa.

Dari wawancara melalui Skype dengan Nazar pula kita dapat informasi bahwa ada indikasi pertemuan anggota KPK di kediaman Nazar. Ia menyebut nama-nama anggota KPK Ade Raharja dan Chandra Hamzah. Sesesorang menuding saya, karena wawancara Skype saya telah membuat tokoh seperti mereka plus Johan Budi tidak lulus seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitukah?

Menanggapi tudingan itu, saya hanya menjawab, bahwa saya sudah lama juga memverifikasi KPK, karenanya saya tidak mendukung salah satu pihak di era gencar-gencarnya dualisme Cicak-Buaya. Namun jika saya diminta beropini, saya tentu juga tak akan mengamini kalimat Marzuki Alie yang bikin kontroversi mengusulkan KPK dibubarkan saja.

Bagi saya institusi KPK penting. Ia menjadi tidak bergigi dan kredibel, karena orang-orang di dalamnya terindikasi melanggar komitmen pemeberantasan korupsi. Jika insannya bermasalah, mengapa institusinya kita lebur? Di lain sisi tak dipungkiri dengan banyak lembaga add-hoc kini, telah membenahi anggaran negara, namun hasil dicapai tak sesuai dengan harapan.

Selasa malam 27 Juli itu sebagaimana telah disimak publik, saya hadir di acara Jakarta Lawyer Club, TVOne, yang dipandu Karni Ilyas, dengan topik “Salahkah Media Menyiarkan Kasus Nazaruddin”, tentu termasuk di dalam topik utama ihwal ber-skype-ria saya dan Nazaruddin. Kuat dugaan saya Anda tentu telah menyimaknya apalagi Minggu, 31 Juli malam program itu telah disiarkan ulang.

Satu catatan saya, bahwa pada Kamis, 28 Juli, 2011, usai bertemu berberapa kawan dari TVOne di Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, saya menemui seorang kenalan di Mood Café. Saat itu pengunjung café sedang berkonsentrasi ke televisi, menyimak pertandingan bola Indonesia-Turkmenistan. Pada kesempatan bola masih 2-0 untuk Indonesia seuntaian kalimat itu disampaikan ke saya, “Bisa tidak seluruh data Nazar Anda minta dan ia tak usah pulang ke Indonesia?” Kalimat itu diikuti dengan tawaran ini dan itu.

Saya menjadi teringat akan serial film The Godfather. Bagaimana sebuah deal mafia dilangusngkan. Saya sangat kagum denagn orang-orang yang memainkan peran demikian, di banding dengan sosok yang mengaku “jagoan” mengancam-ancam lewat telepon.

Dulu ketika saya menulis soal sebuah restrukturisasi yang dilakukan BPPN, kini PRT Pengelola Asset, oknum pejabat di sana mengancam saya. Karena beraninya hanya melalui telepon saya berikan alamat lengkap saya dan saya tunggu ia kala itu juga.

Sehingga berbeda sekali langgam dulu dengan yang saya hadapi kini. Rada ngeri-ngeri sedap.

Saya akan menceritakan lagi ihwal ini di Sketsa berikutnya, sembari saat ini berfokus menjalin komunikasi dengan Nazaruddin menuntut janjinya untuk ber-skype lagi. Komunikasi dengannya, bagi akan juga terus berjalan dengan wartawan lain, terus terjalin melalui BackBerry Messenger.

Di balik hari-hari sejak wawancara ditayangkan Skype dengan Nazaruddin di Metro TV, hingga tulisan ini saya buat, keseharian saya tentulah tidak lagi sebagaimana biasanya.

Sekarang setiap saya keluar rumah, saya harus membuat janji dengan tek-tok; maksudnya dengan mengubah tempat pertemuan mendadak. Handphone disadap sudah biasa. Tetapi ancaman aneh-aneh tampaknya memang harus diantisipasi.

Akan halnya “serangan” terhadap tulisan dan momen mendapatkan Skype eksklusif itu, saya cukupkan ke haribaan publik yang menilainya.

Saya hanya sangat percaya satu: kerja jurnalisme itu kerja hati nurani. Muaranya kebenaran. Verifikasi tiada henti dengan kejernihan hati, saya yakini mengantarkan ke kebenaran sejati. (bersambung)

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blogger, blog-presstalk.com

 

Baca artikel sebelumnya: (Sketsa: Behind The Scene Skype Nazaruddin #1)


Premis Verifikasi Kasus Nazar-Anas

Oleh Iwan Piliang

Jauh sebelum ribut kasus Nazaruddin saya sudah memverifikasi ihwal tender pembangunan proyek pemerintah. Ada beberapa hal yang menarik dari verifikasi itu. Pertama bila proyek bernilai di bawah Rp 100 miliar, maka fee yang bisa “dimainkan” masih dalam %. Tetapi jika proyek di atas Rp 100 miliar, pemilik proyek biasanya bisa mematok uang yang dapat digangsir.

Bagaimana cara mengganggsirnya?

Biasanya perusahaan BUMN seperti PT Adhi Karya –yang disebut Nazar di kasus Hambalang— dimenangkan ketika tender. Sebelum kemenangan itu, di bawah meja, sudah ada kontrak bawah tangan dengan perusahaan Konsultan Konstruksi. Bendera perusahaan  jasa inilah yang dijadikan lalu lintas kas.

Mengapa begitu?

Perusahaan seperti Adhi Karya adalah perusahan terbuka (Tbk.), sulit untuk berkongkalingklong, karena diaudit dan dilaporkan ke publik. Karenanya jika pakai bendera  Adhi Karya akal-akalan pasti akan tercium. Begitu logika mereka yang bermain.

Nah dalam tatanan inilah, PT yang terindikasi melibatkan Nazar dan Anas menggangsir dan  jika diverifikasi mendalam, pelakunya akan muncul nama itu ke itu, dan bertemulah  sosok terindikasi seperti Machfud Suroso (MS). MS inilah salah satu pemain utama, selain Andi Muchayat, putra Muchayat, komisaris Bank Mandiri.

Kepada publik sudah saya jelaskan saya pernah membantu media Demokrat. Saya tahu ada faksi di dalam. Tetapi tak ada hubungan saya dengan salah satu faksi. Bagi saya hal itu hanyalah bagaikan puzzle perjalanan. dari potongan satu ke potongan lainnya saya mencoba menyusunnya sehingga dapat dibaca publik secara utuh.

Ruh jurnalisme yang mengantarkan sajian ini semua.

Bukan hal lain.

Mengapa menayangkan wawancara Nazar?

Bagaimana untuk mengetahui kebenaran dan atau kesalahan, jika informasi hanya sepihak, tidak ada info dari Nazar. kalau pun ada selalu dibantah, BB dibantah palsu, SMS dianggap sampah! Karenanya semua jagad jurnlis di indonesia BAHKAN DUNIA, saya berani menyebut dunia karena jaringan AP, Reuters juga mencarinya dan meminta berwawancara.

Soal Didik L. Pambudi yang menulis di situs Demokrat dan Bobby Triadi, gencar memojokkan saya?

Didik yang memasukkan saya ke Demokrat. Bahkan hampir tak masuk ke sana. Ia sampai “merengek” apalagi setelah ayahnya berpesan sebelum ajal, “sudah di Demokrat saja.” Bahwa Didik hari ini menulis di situs Demokrat seperti sekarang, silakan publik menilai sendiri. Saya tak kenal Bobby semula. Saya hanya kenal dari Dididk. Saya tahu Bobby dari Didik. Karenanya soal Integritas Bobby mantan Kordinator Reportase Tempo yang pernah  membawahinya ketika menjadi kontributor foto dapat ditanya dan tak ada urusan personal saya dengannya.

Sehingga tak perlu lagi tanggapan dari saya, dan atau juga menangapi setiap hal yang ditulis dua oarang itu.

Saya bekerja keras sekarang, menjernihkan hati dan pikirtan, bagaimana agar bahan video, dan data lain diperoleh, meneruskan verifikasi indikasi keterlibatan Adhi Karya   berkolusinya masif “mengangsir” uang rakyat, dibongkar. Ini premis utama. Karena dari uang tambun yang digangsirlah, terindikasi Anas Urbaningrum bisa bayar-bayar.

Ruh jurnalisme itu hati nurani. Acuan hati, selalu memandu kita ke arah kebenaran.

Bagaikan saya verifikasi soal penggelapan pajak transfer pricing, hal itu terjadi setelah Lillahi Taala setelah di suatu tengah malam bertanya ke langit di Abu Dhabi, Emirat Arab,  untuk kerja sosial: Tuhan, mengapa perempuan Indonesia diperkosa, bekerja  jadi babu, apakah negara saya miskin?

Ternyata dari verifikasi penggelapan pajak tambun, Tuhan membelalakkan mata saya bahwa negeri ini kaya raya luar biasa secara angka dapat dibuktikan! ***

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blogger, aktifis media sosial.

Nazaruddin memegang flashdisk berisi bukti yang diklaimnya, dalam rekaman percakapan Skype dengan jurnalis Iwan Piliang (sumber foto: iwan piliang/istimewa)


Opini: Esensi Kasus Bukan Berwara-wara Prita

Oleh Iwan Piliang (Blogger,Mereposisi Jakarta Menuju Jayakarta)

 

Amandemen UU ITE pasal 27 ayat 3!

***

SAAT ini kita hidup di ranah berita kasus ke kasus datang silih berganti yang diseduh jurnalis lalu dihidangkan ke media. Dominan kasus tidak tuntas bahasan.

Satu topik lanjut ke topik lain. Beranjak pula bahasan ke kasus lain lagi. Jika pun berlanjut-lanjut, berpanjang-panjang diperbincang, seperti kasus penggelapan pajak Gayus, kasus Century, kasus Nazaruddin hingga kasus Prita, tidak menyentuh pondamen premis; apa sesungguhnya terjadi, apa solusi dan bagaimana semua pihak bersikap?

Pada kesempatan ini saya fokus ke kasus Prita. Bermulanya kasus ini ketika Prita Mulyasari membuat surat keluhan terhadap Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, tentang pelayanan kepadanya. Surat elektronik, dikirim ke kawannya, lalu menyebar di dunia online.

Jika Anda sidang Pembaca sempat membaca, sosok Prita Mulyasari pernah dimuat di majalah Tempo pada Oktober 2008, di sebelahnya ada juga tulisan soal dilaporkannya saya oleh Alvin Lie, karena tulisan saya di blog soal rencana initial public effering PT Adaro. Kami berdua dilaporkan dengan tembakan sama: pencemaran nama baik.

Pokok soal, pencemaran nama baik sudah ada ganjaran di KUHP di pasal 310, 311, dengan hukuman 6 bulan. Lalu muncul-lah Undang-Undang Tentang Informasi Transaksi Elektronika (UU ITE), yang pasal 27 ayat 3-nya menghukum 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Ketika pernah bergiat di Kadin Indonesia, saya termasuk ikut mendukung UU ITE ini agar kepastian transaksi online mendapat tempat, termasuk urusan mengatur sidik eletronik (digital signature). Kesemuanya itu memberikan kepastian berusaha. Ini premis utamanya.

Entah mengapa ada penumpang gelap.

Ke dalam UU ITE itu dimasukkan soal pencemaran nama baik. Libido oknum pejabat di level Dirjen Kementerian Informasi dan Komunikasi, memasukkan pasal pencemaran itu. Hal ini disambut oleh kalangan DPR yang bersikap represif, maka keluarlah pasal seperti di atas, tanpa mereka mau dan malu pada sejarah.

Sejarah macam mana?

Syahdan, di era Majapahit, pencemaran nama baik, kata berbalas kata, bukan kata berbalas mata buta. Di era penjajahan, ketika Belanda masuk maka lahir pasal 310, 311 yang memenjarakan pencemar nama baik hingga 6 bulan.

Bisa dong dengen encer Anda mencerna? Kok malah di era online yang mashabnya sangat terbuka, pencemaran diganjar 6 tahun. Dengan angka 6 tahun, begitu seseorang tersangka, maka dia ditahan.

Dan di kasus penahanan itulah langgam tak manusiawi menimpa Prita, dan mungkin siapa saja ke depan.

Kala dipenjarakan, sosok Prita yang sedang menyusui anaknya tidak diberi kesempatan pamit ke anak-anaknya. Saya membaca berita itu dari Singapura di saat memverifikasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya, Mahasiswa Indonesia yang kuliah di NTU, kala itu. Sontak saya mendidih marah.

Maka begitu pulang ke Indonesia, saya menerobos ke penjara bersama kawan-kawan media. Dan kala itu mumpung sedang kampanye pemilihan Presiden, adalah Jusuf Kalla memberikan perhatian jaminan terhadap Prita untuk dilepas. Jusuf Kalla, bergerak setelah saya komunikasikan melalui putrinya yang ada di Facebook. Saya ingat harinya Selasa, dan Rabunya Prita bebas. Lantas pada Kamis, headline Media Indonesia foto Prita Mulyasari sudah bersama Megawati Soekarno Putri. Maklum kala itu semua Capres sedang cari muka.

Akibat gerakan bersama kawan-kawan media dukungan uang cash bermunculan memberkati Prita. Saya bersama Ketua Fraksi Demokrat kala itu, Anas Urbaningrum, sempat mengantar  ke kediaman Prita. Anas atas nama Fraksi Demokrat, memberikan tunai Rp 100 juta.

Kawan di sekretariat DPD RI meminta saya menyaksikan penyerahan cash Rp 50 juta yang dihaturkan Ratu Hemas. Beberapa personal lain seperti Fahmi Idris memberikan cek senilai Rp 50 juta. Lalu berlanjutlah gerakan koin menghimpun mencapai Rp 800 juta.

Prita top. Kalangan yang berbuat kian banyak. Bahkan pengacaranya semula sosok tak dikenal, Syamsu Anwar, belakangan “digeser” oleh OC Kaligis. Prita lalu membintang. OC Kaligis sudah membukukan kasus Prita ini. Kalangan DPR juga berbanyak-banyak simpati kepada Prita.

Jika ditelaah lucu sekali.

UU dibuat pemerintah dan disahkan oleh DPR. Begitu jadi, dan dirasa tak memenuhi rasa keadilan mereka urunan memberi receh. Dan esensi kasus tak pernah menggigit tuntas pas.

Maka saya menggugat pasal  27 ayat 3 itu bersama beberapa kawan lain yang peduli UU ITE  itu ke Mahkamah Konstitusi, karena membawa mudarat bagi kehidupan berbangsa itu. Dukungan tenaga ahli probono dari Dr. Ronny, ahli telematika Universitas Atmajaya, Makassar, juga Rudi Rusdiah, pendiri Apwkomitel, jaringan warnet.

Sayangnya di MK kami dikalahkan.

Ada adegan menyakitkan UU ITE pasal 27 ayat 3 itu kami gugat. Dirjen di Kementrian Komunikasi dan Informasi dengan biaya uang negara, uang rakyat, mencoba mengalihkan isu dengan menghadirkan artis Azhari bersaudara. Isu dibelokkan. Kawan-kawan media pun kala itu tak begitu menggubris upaya kami.

Dari persidangan itu saya mencatat, bahwa Hakim Konstitusi tanpa terkecuali, termasuk Mahfud MD, saya cap tidak menggunakan hati nuraninya. Terlebih sosok Dirjen dari Kementrian Informasi dan komunikasi yang saya indikasi tajam oportunis (karirnya melompat-lompat ke bidang-bidang berbeda, kini yang bersangkutan sudah lompat lagi menjadi kopmisaris bank BUMN).

Mereka semua, termasuk DPR, yang telah mensahkan UU ITE pasal 27 ayat 3, itu memang telah menghibahkan kemudaratan. Mau apa lagi. UU sudah diundangkan, digugat di MK, dikalahkan dan kini sudah membaja keberadaanya. Sebaliknya hingga kini Peraturan pelaksanaan UU ITE tidak kunjung dibuat, korban berjatuhan.

Hingga kini Prita lalu dikalahkan kasasi di Mahkamah Agung. Kita menyimak kelucuan satu ke kelucuan berikutnya terjadi.

Termasuk sangat lucu sekali ibarat orang tak paham SPOK dalam belajar bahasa, yang kita woro-woro selalu Pritanya. Padahal sejatinya yang harus didesak kini, adalah mengugah hati nurani anggota DPR yang  sesungguhnya wakil ralyat itu secepatnya meng-amandemen UU ITE pasal 27 ayat 3.

Lain tidak.

Akan halnya Prita, sudah cukuplah upaya terhadapnya. Ketika berjumpa suaminya di Bakoel Koffie, Cikini, tiga bulan lalu saya masih ingatkan agar publik tetap mengawal kasusnya di MA, juga saya sampaikan ringan bahwa saya sedang mengumpulkan koin untuk mengugat perdata majikan Sumiati, hanya melalui perdata kita memanusiawikan Sumiati dan harkat manusia Indonesia. Tentu saya berharap ia ikut mendukung dengan koin publik yang dimilikinya. Suami Prita hanya tersenyum. Kami berpisah dengan senyum-senyuman.

Menjadi sangat lucu apabila ke depan anggota DPR urunan koin lagi untuk Prita. Namun  jika itu yang terjadi, hanya bak mengambil judul film yang digarap Deddy Mizwar: Alangkah Lucunya Negeriku. ***

(ditulis pada 12 Juli 2011)


Sketsa Puasa 2 : Berpuasa Berserial Animasi Malaysia

Oleh Iwan Piliang

Serial Upin Ipin, diputar berulang di TPI. Ceritanya kuat, walaupun secara teknis animasi, visual tokoh utamanya hanyalah dua bocah kembar plontos, minimalis; bersekolah, bermain, berkehidupan di kampung. Literair penggalan pengalaman saya di industri animasi, berupaya lalu patah di tengah jalan mengindustrikan animasi di Indonesia. Padahal kemampuan animator kita, jauh lebih baik dari Malaysia. Sama dengan lebih unggulnya skill anak Indonesia di industri perminyakan. Setidaknya Dt. Noor M. Chalid, kartunis Kampong Boy, pernah ingin mengorder animasi ke saya. Pada 13 Agustus lalu rasa keindonesiaan kita seakan ditampar oleh ditembaknya kapal Patroli Departemen Kelautan RI di wilayah RI, oleh Polisi Perairan Diraja Malaysia. Mereka menangkap tiga petugas kita. Saya menyebut langgam Malaysia ini bagaikan Orang Kaya Baru (OKB) di Indonesia. Kata orang kampung saya, mereka ongeh—setingkat di atas congkak. Tarian Randai Sungai Geringging, tanah kelahiran saya, pernah pula diaku Malaysia sebagai keseniannya. Namun Upin dan Ipin tetaplah menghibur! Mana serial animasi kita?

TIGA anak saya lelaki. Mereka sepuluh, delapan dan tiga tahun. Dua anak tertua kini sudah menjalankan ibadah puasa penuh. Hiburan utama kami di saat makan sahur bersama keluarga di Ramadan kali ini menyimak penggalan serial animasi Upin-Ipin, produksi Malaysia disiarkan oleh TPI.

Di sebuah serialnya, Ipin membayangkan berbuka puasa melahap ayam goreng. Lalu kakaknya, Ros, mengajaknya berbelanja ke pasar. Kak Ros memberikan lembaran ringgit, sedianya dibelikan untuk dua tiga potong ayam sahaja. Namun Upin dan Ipin, justeru merasa dapat angin. Mereka membelanjakan semua ringgit ke aneka ayam; ayam golek, ayam madu, ayam goreng, ayam bakar, ayam pandan.

Di pasar mereka melihat Mail, teman sekelas, menjual ayam goreng kegemaran Ipin.

“Kau belilah ayam aku ni ‘Pin, emak aku buat, enaklah!” Mail berpromosi.

Si kembar itu pun sepakat membeli. Tak tanggung-tanggung, semua ayam goreng dagangan Mail bersisa, mereka borong.

Visual Upin dan Ipin menenteng beragam bungkusan serba ayam dengan riang pulang. Tinggallah Kak Ros manyun terperangah, segenap ringgit telah berganti ayam.

Di meja makan berbuka puasa. Meja penuh dengan hamparan piring berisi aneka penganan serba ayam.

“Kau habiskan itu semua,” ujar Ros ke Upin dan Ipin. Wajah Ros dongkol.

“Tak lah Kak, tak kuat lagi kami makannya.” suara Upin dan Ipin memelas.

Suasana di ruang makan di kampung melayu, Malaysia, itu. Opa—nenek—lalu menasehati Upin dan Ipin dengan suara khas, bijak, bahwa kalau lagi berpuasa, di siang hari, memang serasa semua makanan seakan terlahap, namun nyatanya di saat berbuka, sedikit sahaja dimakan, perut sudah berasa kenyang.

Khas duniak anak-kanak, khas Melayu.

“Betul, betul, betul!” ungkapan khas Ipin.

Ia acap mengulang ucapan lema betul, bentuk persetujuannya akan sesuatu.

Lalu anak Indonesia mengenallah budaya Malaysia melalui animasi. Berlanjut membanjirlah merchandising Upin Ipin, termasuk mewabah mainan tangkai es krim, diantaranya.

Lantas pertanyaannya, mana budaya kita, mana industri animasi Indonesia?

PANTASKAH saya bertanya?

Setelah mencoba berbisnis di jasa iklan sejak berhenti jadi wartawan dari majalah SWA pada 1989, dari 1993 hingga 1995, saya fokus memproduksi serial animasi. Alasan saya ketika itu sederhana saja. Bahwa menjadi pengusaha haruslah punya produk dan atau jasa yang masuk ke pasaran. Itu pengusaha!

Kalimat itu terus saya sosialisasikan di setiap menulis mengupas kewirausahaan hingga kini. Konon, kemajuan Cina dahsyat kini, tiada lain karena kegigihan membanjiri dunia dengan manca-ragam produk.

Nah setelah “capai” di jasa yang saya rasakan lebih banyak tangan “di bawah”, saya memilih industri tak dilirik orang ramai. Yakni serial animasi. Pilihan saya kala itu animasi wayang, dengan membuat karakter anak-anak, ada yang plontos macam Upin Ipin, namun berbaju wayang. Saya memilih judul Burisrawa, berdialek Batak.

Mengapa wayang? Sulit bagi saya kala itu membuat cerita berserial banyak. Cerita Kancil saja, untuk dijadikan enam episode masing-masing 24 menit—untuk siaran setengah jam—sudah seret kisahnya. Saya memilih Wayang Carangan, yang tak akan habis dikembangkan kisahnya hingga beratus serial.

Maka singkat kata, setelah sempat melihat-lihat ke Disney, AS, saya pun mengumpulkan animator 2D terbaik negeri ini, dan membenamkan segenap uang yang dihimpun seperak dua perak dari usaha selama lima tahun, lalu fokus membuat serial animasi.

Sesungguhnya serial animasi itu gampang menghitung bisnisnya. Harga penjualan paling murah serial itu per episode US $ 1.000, lalu jika kita sudah memproduksi 52 episode, untuk setahun, diputar seminggu sekali, maka per paket US $ 52.000. Untuk melego ke-1.000 stasiun teve menayangkan di pasar global sesuatu yang dapat dijangkau.

Maka jika seribu teve manca negara membeli, akan didapat US $ 52 juta, alias Rp 500 miliar lebih, belum termasuk pendapatan penjualan karakter untuk merchandising. Anggaplah pesimis, 10% saja jangkauan penjualan, masih diraih US $ 5,2 juta.

“Untuk meraih seribu televisi, bukan suatu yang sulit, karena di suatu negara televisi lebih dari satu, belum termasuk hak ulang siar,” ujar David C. Fill, Direktur Burbank, Sydney, pernah mengunjungi studio animasi saya awal 1995.

David pula yang melihat potensi Burisrawa dengan perbaikan penambahan dialog. Ia menyanggupi memasarkan ke Eropa, Asia, Timur Tengah. Amerika Serikat tidak bisa tembus, karena karakter yang kami buat terlalu tradisional.

Maka ketika satu episode serial Burisrawa yang kami produksi kelar, saya pun membuat sebuah event di Hotel Le Meredien pada awal 1994, membedah produksi kami. Hadir seratusan pakar, budayawan, kalangan DPR, pemerhati anak. Kritik dan pujian mengalir.

Episode pertama itu pula yang membuat Datok Noor M. Chalid—akrab dengan tokoh kartunnya: Lat—menerima saya di Kuala Lumpur, 11 Februari 1995. Ia menjemput saya ke bandara dengan Pajero, yang ia kemudikan sendiri. Ia mengajak ke sebuah klub eksekutif tak jauh dari Masjid Raya, Kuala Lumpur. Di sana sambil makan siang dengan nasi beralaskan potongan utuh daun pisang, kami saling tertawa, bagaimana serial Kampong Boy, dibuat di Kanada, sebagian proses dikerjakan oleh animator Filipina.

“Batang kelapa berdaun pisang, pisang berdaun kelapa. Pedati jadi macam kereta kuda kerajaan,” ujar “Lat“. Kami lalu terbahak-bahak, menertawakan para desain karakter Kanada tidak pula tahu beda kelapa dan pisang, juga pedati hanya gerobak, kayu segi empat ditarik sapi atau kerbau.

“Segera tahun depan, saya akan berkunjung ke studiomu, kita jajaki kerjasama produksi, karena di Indonesia biaya produksi rendah,” ujarnya.

Rencana Datok “Lat” itu tak pernah kesampaian. Sebab di penghujung 1995, seluruh dana produksi yang saya miliki dengan jumlah serial animasi kelar 6 episode, mencapai hampir Rp 2 miliar terbenam sudah. Pre Letter of Intent dari sebuah televisi lokal yang berkenan membeli dan menayangkan, tak kunjung kontrak. Padahal saya berkenan mereka beli di harga berapa saja. Toh sudah ada komitmen pasar global. Karena tiadanya kontrak, saya kesulitan mencari loan ke perbankan lokal.

Produksi yang rampung enam episode itu mustahil dipasarkan, karena untuk tayang setidaknya perlu 13 episode, dan untuk dijual ke pasar globali dealnya 52 episode satu paket, minimum 26 episode.

Maka khatam sebuah upaya membangun sebuah animasi dalam kerangka industri itu.

Sepuluh tahun silam kepada Agung Sanjaya, animator di Bali, memiliki studio mengerjakan bagian proses animasi untuk banyak produksi serial Jepang, seperti Dora Emon, Candy-Candy, bahkan untuk film animasi layar lebar Jepang, saya sampaikan ide untuk ke depan memproduksi serial Wayan dan Made.

Sebab dari Sanjaya saya mengerti bahwa Jepang tidak bakalan mendukung industri animasi negara lain. Karena itu salah satu credential asset mereka, baik sebagai industri, maupun penetrasi budaya. Di Bali orang kita hanya menjadi tukang yuntuk Jepang, sebatas meraih gaji tak seberapa.

Maka, ide tinggallah ide. Kini Indonesia, heboh Upin Ipin.

Mencari permodalan untuk bisnis kreatif di Indonesia amatlah sulitnya. Apalagi yang namanya venture capital riil yang saya teriakan sejak 25 tahun lalu, untuk dunia industri kreatif Indonesia, hingga kini masih isapan jempol belaka.

DI MEJA saya ketika menuliskan literair ini, menggeletak buku Undang-Undang Nomor 11, 2008, tentang Informasi Transaksi Elektronika (ITE). Di bagian halaman awalnya, ada tanda tangan seorang Dirjen Aplikasi Telematika, Depkominfo. Pada awal ia menjabat sempat saya paparkan potensi Indonesia di konten dan animasi. Karena, Departemen inilah salah satu yang sedianya mampu mengembangkan animasi menuju industri, bekerjasama dengan Departemen Perindustrian dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun belakangan hari, sang Dirjen boro-boro mengembangkan industri animasi untuk konten telematika, malah membuat UU ITE yang mengakibatkan ranah kehidupan seakan gonjang-ganjing, bahkan seorang ibu menyusui macam Prita Mulyasari, harus dibuikan tanpa bisa pamit ke anaknya yang lagi disusui.

Kala itu saya menggugat UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK), seakan seorang diri. Kawan-kawan media kala itu belum ngeh. Sang Dirjen, di persidangan sempat membawa artis Azhari bersaudara, sehingga konten pasal 27 ayat 3 yang saya gugat, soal beratnya hukuman ihwal pencemaran nama baik, seakan beralih ke sisi privat artis yang harus dilindungi. Dan kuat dugaan saya sang artis datang ke MK dibayar dengan uang Departemen, uang rakyat.

Kini mantan Dirjen itu sudah pula menjadi Komisaris sebuah bank BUMN papan atas. Dilihat dari portofolio karirnya, mampu melompat-lompat dalam hitungan pendek; Sebelumnya Kepala PT Pos Sumut, lalu tak sampai setahun jadi salah satu jajaran pimpinan Percetakan Uang Negara RI (Peruri). Maka pahamlah saya, bahwa bicara dengan pejabat negara, menjadi seakan menghadapi tembok.

Di Departemen Perindustrian, saya pernah merintis pengadaan motion capture. Alat untuk meng-capture gerak, sehingga mempercepat proses produksi. Departemen manganggarkan untuk dua tahun uang negara Rp 3,7 miliar sesuai dengan alat asal Inggris yang saya rekomendasikan: 18 kamera infra red, real time.

Ketika turun anggaran tahun pertama Rp 1,7 miliar, eh, kawan di AINAKI (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia), dimana organisasi ini saya salah satu pendiri—bahkan logonya pun goresan tangan saya sendiri—bersama sang Departemen, malah membeli kamera berkualifikasi sangat rendah dengan spesifikasi kualitas VGA, yang tak sampai Rp 200 juta didapat di pasaran. Hal ini harusnya diverifikasi KPK.

Dengan membeli peralatan dari Inggris, padahal tetap ada profit 5%, industri tertolong peralatan terpakai untuk kepentingan industri secara riil.

Dan di tahun berikutnya saya tak tahu lagi. Konon alat yang telah dibeli berkriteria VGA itu menganggur. Padahal setelah motion capture, saya mengharapkan negara mendukung pembelian jaringan komputer untuk merender: Rendering Farm.

Apa dinyana, wong motion capture gagal, apalah pula rendering farm.

Saya kemudian lebih memilih menulis untuk publik. Dari jauh saya amati banyak sekali sosok mengaku begawan di dunia animasi di Indonesia, tetapi belum ada yang mampu menjadi sebuah industri memproduksi 52 episode.

Maka ketika di event Indonesia ICT Award (INAICTA) 2010 ini ada animasi 3D Larjo, masuk sebagai pemenang, Riza Endartama, animator, lalu menjawab ucapan selamat saya di facebook-nya, “Iya kan berkat upaya abang juga dulu.” Ketika masih aktif di AINAKI dulu, kami memang sempat meminta usulan kawan-kawan animator membuat rencana serial. Larjo (singkatan Lalar Ijo) salah satu yang terpilih untuk dicarikan solusi menjadi serial, minimum hingga 26 episode, pada 2004 lalu.

Kini dalam hati terkadang ada rasa berkecil hati; apalah kita dibandingkan Malaysia kini dengan Upin Ipin saja kita telap.

Toh Larjo saja barulah berdurasi 5 menit, tidak pula sampai sepuluh episode.

Saya terkadang senyum dikulum. Menertawakan diri sendiri: tahu jalan menuju roma, apa daya tangan tak sampai. Jadi ingat sosok Jarjit Singh, acap berpantun di serial Upin Ipin, “Satu dua buah manggis, gagal tak usahlah menangis.”

He he he

Begitulah kawan-kawan, sebuah narasi tentang animasi yang tak kunjung menjadi industri di negeri ini. Rindu akan pemimpin negeri ini paham akan potensi dan peluang credential asset anak bangsanya.

Selamat merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan! []

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com


Raja Tega

Oleh Mappajarungi Manan

Tak pernah terpikirkan sejak semula. Akhirnya aku kembali menikmati suasana “kota Udang”, Cirebon.

Pada tanggal 21 sampai 22 July 2008, aku mengunjungi kembali kota ini, tetapi ini kali, kedatanganku bukan untuk sekadar tamasya, namun aku datang atas undangan pihak panitia SCBDP (Suistainable Capacity Building for Decentralization Project), semacam lembaga pemberi pelatihan teknis Hubungan Masyarakat. Sangat menarik dan menantang bagiku.

Tapi, walau begitu, acara SCBDP itu bukan semacam pelatihan. Lebih tepat dikatakan…tukar pendapat. Karena, peserta yang mengikuti pertemuan itu adalah mereka yang memiliki kapasitas tertinggi di kantornya, yakni pengambil kebijakan—alias Decision Maker-lah hehehehe. Ya, para peserta itu adalah para Kepala Dinas Instansi Pemerintah se-kota Cirebon.

Sejak era reformasi, penghapusan entitas Departemen Penerangan berimbas pada hilangnya fungsi kehumasan di sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda). Ini mengakibatkan para Kepala Dinas Instansi kerepotan dengan arus masuknya informasi dari berbagai kalangan. Di Pemda Kota Cirebon, misalnya, praktek kehumasan ditangani langsung oleh Kepala Bagian (Kabag) Umum. Sementara, dinas-dinas kota itu berhadapan dengan benturan-benturan birokratif yang memang jamak di kalangan lembaga pemerintahan.

Ketiadaan fungsi dan lembaga kehumasan di lingkup Pemda pada instansi setingkat dinas, secara langsung membawa masalah tersendiri. Para kepala dinas kerap direpotkan dengan ulah “wartawan” yang ingin langsung berhubungan dengan mereka. Para pejabat itu, merasa kesulitan menolak kehadiran dan keinginan “wartawan” untuk bertemu. Padahal, di keseharian mereka memimpin lembaga masing-masing, mereka sudah cukup disibukkan dengan urusan internal lembaga mereka sendiri.

Nah, disinilah sebenarnya, keberadaan Humas, dipandang sebagai hal yang penting. Sebab organ humas pada sebuah lembaga di lingkup pemda bekerja berdasar azas komunikasi dua arah; antara Pemda dan masyarakat, sehingga terbina hubungan saling pengertian. Jadi, sudah barang tentu, Humas juga penting sebagai mitra media massa.

Sebagai mitra media, Humas memiliki kapasitas mengatur, bukan mengarahkan media. Fungsi mengatur adalah memberi pemahaman kepada wartawan bila ingin menggali informasi internal di lingkup kerja mereka. Mengatur jadwal wawancara dengan pejabat yang akan dihubungi, misalnya. Serta memberi informasi yang jelas terinci dan tak ada hal yang ditutupi, adalah juga fungsi lainnya.

Akan tetapi, Humas yang diharapkan dan memiliki structural, tidak terdapat di Pemda Kota Cirebon. Akibatnya, pejabat-pejabat atas di lingkup Pemda itu, merasa direpotkan oleh ulah pencari berita (wartawan). Kalau wartawannya professional, pejabat itu tidak merasa kerepotan. Tetapi, mereka itu berhadapan dengan “wartawan-wartawan” yang membuat mereka benar-benar resah dan gelisah. Belum lagi turut campurnya polisi dan kejaksaan.

Kerepotan yang dimaksudkan adalah, ada kala “wartawan” tiba-tiba muncul sambil membawa berita—yang berkaitan dengan aktifitas instansi atau kepala dinas bersangkutan—yang telah mereka buat (berita jadi), tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Parahnya, para “wartawan” ini sama tidak jelasnya dengan media yang mereka bawa-bawa. Entah itu koran atau tabloid, atau apakah media mereka itu hanya cetak 20 hingga 50 eksamplar saja. Ujung-ujungnya mereka meminta duit. Lebih parahnya lagi; meminta proyek.

Jikalau pejabat itu memberi duit, esoknya atau beberapa hari kemudian, muncul lagi serombongan wartawan yang datang. Kadang bak copet, saat pejabat mengeluarkan dompet, mereka malah merampas dompet si pejabat lalu uangnya diambil sendiri. “Ini, saya laporkan ke polisi,” ujar pejabat itu. Wah…sungguh memprihatinkan.

Tidak hanya itu. Entah dari mana asal usulnya, ketika hari raya Idul Fitri, sekitar puluhan wartawan berkumpul di rumah para pejabat Pemda. Mereka antri minta amplop. Anehnya bila isinya hanya Rp 30.000, amplopnya seketika mereka tolak. Ulah demikian ini adalah tingkah laku wartawan yang tidak jelas. Mereka mengaku-aku sebagai wartawan.

Tingkah laku pewarta macam itu akan menjelaskan mutu perusahaan penerbitan media di daerah. Kerap kali ada media yang tidak mampu menggaji wartawannya, hingga ulah culas wartawan di lapangan sulit dikendalikan.

Tampaknya, para pejabat Pemda Kota Cirebon, sudah tidak berdaya lagi. Banyak faktor yang melatarbelakangi kondisi itu; entah…apakah para pejabat itu “mengantongi” daftar kesalahan yang akan berbuntut apabila terekspos, atau juga khawatir menjadi bulan-bulanan oknum aparat kejaksaan dan oknum polisi. Lalu, sampai kapan kondisi seperti itu akan terjadi? Jika dibiarkan, tentunya akan makin berlarut-larut, bukan?

Karenanya, ketika sesi tukar pendapat berlangsung saat itu, sebagai fasilitator, saya menyarankan untuk mengidentifikasi media dan identitas pelaku yang mengaku sebagai wartawan. Kalau-kalau, ternyata ulah mereka itu sekadar motif, menjadikan pejabat sebagai “mesin ATM” alias hanya sapi perahan saja. Saya sarankan agar mereka—para pejabat itu—dengan tegas menolak, dengan tidak memberi uang atau menolak memberi sesuatu dalam bentuk apapun, tak terkecuali dalam bentuk proyek.

Praktek-praktek wartawan yang tidak professional seperti itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan. Karena, bila hal semacam itu berlarut-larut, sampai pejabat tersebut pensiun pun, mereka akan tetap terbebani dengan ulah oknum wartawan pemeras. Seorang wartawan yang bekerja professional dan dari media yang akuntabilitasnya teruji, sudah barang tentu tidak berperilaku seperti itu. Wartawan hanya bekerja demi informasi yang bermanfaat dan kredibel, tak mengharapkan pemberian apapun dari pejabat manapun.

Saya menyarankan pada para pejabat itu, jika bisa sesekali-lah meniru tabiat “Raja Tega”. Jika para “wartawan” itu memaksa meminta sesuatu pada mereka, maka mereka harus berani bertindak; mengusir mereka. Apapun itu. Keberanian moral sebagai pejabat kadang-kadang memang diperlukan.

Nah, siapkah para pejabat itu menjadi Raja Tega…?

[]


Sketsa: Tulang Serikat Pekerja dan Paloh di PHK Papandayan.

Oleh Iwan Piliang

Perjalanan menulis Sketsa, dominan mereportase. Sebutlah dari reportase tukang patri menaut jalanan Jakarta, Kalimati Pademangan seumur Jakarta tak mengalir, kasus pembunuhan David, dipenjaranya Prita Mulyasari hingga memulangkan Ziyad ”terpenjara” 8 tahun Uni Emirat Arab. Berbeda dengan media mainstream memiliki rapat perencanaan, Sketsa esok, acap saya tak menduga menuliskan apa. Pada 14 Juli lalu, kaki telah menggerakkan saya berada di ruang Menteri Tenaga Kerja, pukul 13.00. Menteri menerima 44 orang Serikat Pekerja Mandiri Hotel Papandayan (SPMHP), Bandung. Ketika mengkonfirmasi via hand phone kepada Elman Saragih, Direksi Media Group, wartawan senior di Media Indonesia; bertanya mengapa Surya Paloh enggan menuntaskan PHK karyawan Hotel Panpandayan, Elman menjawab, ”Saya sedang ada pekerjaan.” HP-nya lalu dimatikan. Begitulah langgam wartawan menanggapi kerja dunianya sendiri. Bukan dunia lain.

TENGAH malam di berita malam sebuah televisi, 15 Juli saya menyimak bagaimana rombongan para advokat di Mahkamah Agung ribut. Pagi harinya koran Rakyat Merdeka menurunkan headline berjudul Gaduh, Pengacara Hina Ketua MA. Di situ juga ada foto Ketua MA, Arifin Tumpa menggeletak di lantai di barisan kaki para anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Mereka bertikai. Mereka menepuk dada demi pengakuan, so paling absah.

Sikap dan laku yang tersiar ke media itu, tidak mencerminkan lagi adab, norma, hukum yang harus dijunjung.

Siang harinya, setelah sempat menghadiri pertemuan Serikat Pekerja Mandiri Hotel Papandayan (SPMHP), Bandung dengan Menteri Tenaga Kerja, saya mencoba mengkonfirmasi kepada Heyden Lubis, advokat PT. Citragraha Nugratama-Hotel Papandayan, di Bandung. Saya bertanya ihwal kalimatnya kepada serikat pekerja, mengapa begitu kasar berkata kepada serikat pekerja ini bahwa sesuai penuturan Asep Ruhiyat, ketua SPMHP, sang pengacara ini berujar, ”Sampai tulang pun serikat pekerja tak akan menang.”

Melalui saluran selularnya, Heyden dengan nada tinggi mengatakan, ”Saya tak pernah mengatakan begitu.”

”Dan hotel ini juga tak ada hubungan kepemilikan dengan Surya paloh,” ujarnya dengan nada sama.

Saya katakan di depan saya ada dokumen kepemilikan Surya Paloh sebesar 95% akan PT Citragraha Nugratama, pemilik Hotel Panghegar. Lagi Heyden membantah. ”Tak ada Surya Paloh memiliki hotel ini.”

Demi sebuah sambutan lebih baik, saya mengirim SMS ke selularnya menuliskan nama saya, jabatan di karir jurnalisme yang pernah saya sandang, plus, sertifikasi saya di dunia investigasi. Ia membalas, ”Saya lawyer di Matraman, Jakarta. Nada saya bicara memang seperti ini.”

Saya membayangkan bagaimana para karyawan di serikat pekerja ini berhadapan dengan wakil manajemen perusahaan yang dimiliki oleh Surya Paloh, kelompok besar itu?

Sebagai sosok yunior Surya Paloh di HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda, di mana saya pernah menjadi member dan pengusaha), acap saya memperhatikan ia berpidato sejak lama beretorika mulia. Bahkan di majalah Nasinal Demokrat, di mana di edisi perdananya, ada tulisan saya soal Transfer Pricing, yang diminta tuliskan oleh Noorca M. Massardi. Di majalah itu saya membaca idealisme besar bagi perubahan bangsa ini ingin digadang Surya Paloh, tak terkecuali untuk ranah pekerja.

Kernyataan ihwal Hotel Papandayan ini, bagi saya seakan lain kata dengan irama, beda angguk dan anggap. Retorika lawyer mereka mengatakan bahwa Hotel Papandayan bukan milik Paloh, dibantah sendiri oleh oleh Sugeng Suparwoto, wartawan di kelompok Media Group – – pemimilik utamanya Surya Paloh.

“Memang benar hotel ini milik Media Group dan Surya Paloh. Manajemen sudah bertindak wise, tetapi bisa saja yang terjadi political blowing.” Saya mengutip Rakyat Merdeka.

Saya tak paham apa maksud lema political blowing. Agaknya, Anda sidang pembaca lebih mafhum?

Bagi saya ini esensinya urusan hati saja, urusan nasib pekerja di tengah kepentingan investor.

Sugeng mengaku manajemen sudah menempuh semua prosedur dan ketentuan perundangan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja. Ia juga menegaskan sudah melakukan diskusi dengan Disnakertrans, karena hotel direnovasi menghabiskaan waktu 12-18 bulan, memakan waktu panjang, maka diizinkan melakukan PHK.

Ihwal pesangon, paparan Sugeng pula di Rakyat merdeka: dilakukan dengan dua kali pesangon, ditambah dua kali pendapatan lainnya ditambah 15 % hal lain ditambah tiga bulan gaji.

Katakanlah kalkulasi Sugeng ini benar.

Kepada salah satu pekerja yang sudah bekerja 21 tahun saya tanyakan, ia akan menerima uang PHK total Rp 50 juta. Jumlah Rp 50 juta angka itu jika diambil tetap akan divisit menutupi cicilan kredit rumah yang sudah terlanjur mereka beli, misalnya. Sementara untuk mengikuti ketentuan berlaku, ia masih memiliki kesempatan kerja tiga belas tahun lagi hingga usia 55 tahun masa pensiun. ”Kami membutuhkan pekerjaan, di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan kini, ” ujar Asep Ruhiyat.

“Lagian perusahan tidak bangkrut. Ketentua itu berlaku jika perusahaan bangkrut.”

Otomatis perihal ini yang tidak diterima karyawan., Papandayan kini melakukan renovasi menjadi lebih besar gran. Dan jika Anda ke Bandung, Hotel yang terletak tak jauh dari Gedung Sate itu, memang kini memang tampak sedang melakukan finishing bangunan megahnya.

Atas penolakan PHK sepihak itulah maka serikat pekerja mengajukan penuntun ke pengadilan, dengan resiko mereka dikucilkan dan tak digaji. Maka kemudian keluar keputusan pengadilan kasasi, meminta perusahaan membayarkan gaji April dan Mei 2010, sebesar Rp 93.995.492. Dan meminta perusahaan pada 1 Juli 2010 hadir ke Pengadilan Negeri Bandung. Namun entah faktor apa, pihak perusahaan tidak tampak batang hidungnya. Atas dasar itulah mereka merasa perlu mengadu ke Menteri.

Lebih dari tiga orang karyawan serikat pekerja yang saya temui; mengaku serabutan sejak adanya kasus ini. Mereka tidak bergaji. Salah satu isteri karyawan stress, sampai harus dirawat di rumah sakit. Arif Rahman, yang saya temui di bawah tiang Merah Putih di depan Gedung Depnaker mengatakan ia harus bekerja serabutan, mencari barang bekas, menjadi calo menjualkan apa saja, termasuk HP bekas untuk sekadar seperak dua sehari. Bahkan salah seorang persis di depan pintu masuk ruang kerja Menteri Muhaimin Iskandar, memperlihatkan di HP-nya. Ia menjadi tukang cat gedung. Ia memanjak bak cicak hingga ke lantai 6 bangunan, padahal sebelumnya, ia hanyalah petugas front office hotel.

Memang menjadi pertanyaan, jika mengembangkan Papandayan menjadi lebih besar, mengapa pula harus mem-PHK, toh setelah beroperasi, hotel ini membutuhkan lagi karyawan baru? Di sinilah letak soalnya. Acap pemilik modal menyerahkan segalanya ketatanan hukum berlaku, setelah tatanan hukum itu diikuti dan serikat pekerja terbukti menang di pengadilan, hukum itu sendiri masih belum ditunaikan sang pengusaha.

Karenanya kuat dugaan saya, pihak manajemen dan pemilik tak senang dengan gaya adanya serikat pekerja. Dan jika menelusuri sejarah di kelompok usaha Media Group, dengan mudah Anda mendapatkan di Google.com, bahwa pembentukan serikat pekerja di kelompok Media Group itu pun, terindikasi tidak diingini oleh Surya Paloh.

Kalau sudah begitu, sebesar apapun keinginan ambisi, perihal esensi dasar pekerja saja kita lupakan, menjadi tanya besar akan cita-cita agung. Dalam kerangka inilah saya selama ini bertanya terhadap corak langgam para pemilik media, televisi.

Lalu apakah karena hal ini pula lantas keluar kalimat political blowing? Kendati saya tak paham diksi kalimat ini, saya mengira maksudnya sebagai membesarkan untuk kepentingan politik. Tentulah jauh panggang dari api.

Ini murni urusan hubungan pengusaha dengan tenaga kerja, yang mengesampingkan hati.

Khusus terhadap serikat pekerja ini, kini, mereka di depan hukum telah menang tanpa harus menunggu tulang? Apakah ada kerendahan hati memenuhi ketentuan hukum, apatah lagi ada kerendahan mempekerjakan mereka kembali? Kembalikan ke ego pemilik saja tampaknya. []

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com



Opini: Meledek Obama & Urusan Celeng Diproses Polisi?

Oleh Iwan Piliang

Belakangan sambil berseloroh acap di di media (teve) saya sampaikan yuk kembali belajar Bahasa Indonesia, karena bahasa logika, saya mengajak belajar SPOK. Kata celeng bermuara kepada celengan. Kendati bentuknya kodok, tak pernah dibilang kodokan. Lantas esensi alias subjek liputan utama TEMPO diapakan? Logika-logika aneh mengalir setelah reformasi yang tak mengantar meningkatnya mutu peradaban.

BARU pekan lalu saya menulis Sketsa soal Biennale Indonesia Art Award 2010, yang pamerannya berakhir 27 Juni 2010 ini. Di pameran adi karya seni Indonesia itu, peraih award membuat karya seni sosok patung Barack Obama naik becak.

Dalam sekuen foto yang digelar di pameran itu, sang patung sempat jatuh dari becak di Yogyakarta. Tangan patung itu patah, kakinya juga. Lalu adegan becak yang dinaiki patung difoto di depan rumah sakit Muhammadiyah di Yogyakarta, jidatnya dibalut perban, lengan dan kaki Obama sudah tersambung.

Di saat dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, patung itu sehat walafiat. Obama mengangkat jari kanan membentuk V, simbol peace. Oleh pembuatnya, Wilman Syahnur, patung dan parade foto patung Obama nyungsep dari becak itu sebagai kritik terhadap sang presiden AS itu, yang tak pantas menerima hadiah Nobel Perdamaian.

Logika saya apakah sang penerima yang harus dikritik atau sang panitia pemberi? Bisa menjadi sebuah diskusi.

Di Sketsa saya bertajuk Becak Obama dan Oh Miranda pekan lalu itu, saya bertanya mengapa Wilman tidak membuat saja patung Miranda Goeltom naik Becak dengan Nunun, yang mengaku pikun, karena tersangka mengalirkan sogokan kepada anggota komisi keuangan DPR, terindikasi demi mentasnya Miranda menjadi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Keduanya bisa dibuat patung naik becak lalu difoto diberdirikan dengan latar gedung KPK.

Setidaknya melalui ide saya itu, saya ingin bertanya kepada pematung bahwa tangau di seberang lautan tampak tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan? Kepada Jim Supangkat, kurator yang juga ketua Dewan Juri, saya ingin bertanya mengapa tidak berani berseloroh kepada sang pematung? Dan sebagai seniman, apalagi korator independen, perihal itu bisa saja jadi bahasan, bukan?

Mengapa hal ini saya pertanyakan? Mengingat Miranda Goeltom membuka pemaran seni itu pada 17 Juni 2010. Ia ketua Yayasan Seni Indonesia. Dan menurut hemat saya di pembukaan itu, para seniman hanya takzim, manut-manut, santun-santunan, basa-basi, apakah sambil berharap ada koleksi karya seni yang bakal dibeli Miranda atau koleganya?

Bagi saya inilah bentuk pergeseran seniman adi luhung Indonesia kini dibanding eranya Soedjojono dan kawan-kawan, di masa silam. Sama dengan bergesernya karakter negarawan bak sosok Hatta, ke ranah pejabat dan aparat di era kini.

Di media sosial, khususnya di Facebook saya, banyak kawan berkomentar, dan menyatakan bahwa kalau mengkritik Obama tidak berisiko. Berbeda dengan mengkritik pejabat publik Indonesia, selain siap diproses hukum, terkadang nyawa bisa di-munir-kan.

Saya tak habis pikir.

Demikiankah ternyata kemajuan hebat kita lintas-lini setelah reformasi?

BELUM sepekan berlalu dari penutupan pameran seni itu, Senin, 28 Juni 2010, majalah TEMPO menurunkan laporan utama ihwal rekening milik jenderal polisi. Tak terkecuali di sana ada rekening Susno Duadji, terindikasi berisi lebih Rp 3 miliar.

TEMPO menampilkan cover visual grafis air brush, sosok perwira polisi yang ditarik oleh tiga buah celengan babi.

Celengan babi, wujud nyatanya, terbuat tanah liat. Di ranah masyarakat memang acap digunakan sebagai tempat menabung uang receh. Saya masih ingat ketika kanak-kanak dulu, sosok celengan bulat dengan wujud bergambar muka babi oleh pedagangnya, sempat menjadi wadah celengan saya. Seingat saya sosok kodok juga dominan, dan saya juga pernah punya celengan kodok.

Seorang kawan Facebook, menyampaikan soal kata celeng yang menjadi celengan. Dalam penelusuran literasi saya, kata celeng memang menjadi istilah celengan. Kendati wujudnya ayam, atau kodok, tak pernah diucapkan ayaman atau kodokan.

Cover sebuah majalah memang sebuah karya kreatifitas. Ia ditabalkan menyampaikan konten produknya yang utama untuk edisi itu. Liputan utama TEMPO indikasi uang tambun yang dimiliki oleh beberapa perwira polisi, yang jika memakai akal waras, dibandingkan dengan gaji para pemegang rekeningnya, sungguh tidak masuk akal.

TEMPO lalu ludes di pasaran sebelum sempat beredar. Saya tak paham siapa pembelinya, karena saya belum melakukan verifikasi untuk menulisnya dalam format reportase untuk Sketsa.

Di opini ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa laku memborong TEMPO itu sebuah langkah naïf, jika tak hendak dibilang bodoh. Di era dunia online kini sudah demikian dinamis, dan hampir 30 juta orang Indonesia berlalu lintas online, maka dengan mudah dapat diperoleh konten majalah itu di www.tempointeraktif.com.

Ada juga pihak yang menduga bahwa hilangnya TEMPO di pasaran oleh laku oknum TEMPO sendiri. Namun apa iya? Dalam keadaan cash flow media kini menjadi kian ketat, membeli produk sendiri menjadi laku gila. Apalagi di ranah media kini yang integritasnya banyak layak dipertanyakan, kawan-kawan, TEMPO, masih menjadi oase kejujuran bagi saya. Tetapi begitulah, negeri kita kadung terbuai dan acap dibuai rumor-rumor kotor.

Satu yang fakta, sesuai kalimat disampaikan pejabat Polri. Inspektur Jenderal Edward Aritonang, juru bicara Mabes Polri, mengatakan cover TEMPO edisi rekening gendut itu sangat mencemarkan, menghina, merusak nilai-nilai kehormatan Polri. Kata Aritonang pula, banyak telepon dari berbagai daerah dari markas polisi dari daerah mempertanyakan mengapa mereka seolah-olah bergelimang binatang?

Singkat kata sesui keterangan Aritonang, silakan TEMPO menganggap hal itu sebagai karya seni, tetapi Polisi akan meneruskan ke langkah hukum. Dan langkah hukum akan dilakukan oleh Kepala Pembinaan Hukum Mabes Polri.

Bagi saya kalimat itu sebagai sebuah sikap reaktif Polri.

Karena pendidikan saya dari jurusan komunikasi, laku demikian secara psikologi komunikasi adalah sikap melawan perasan massa, oleh seorang pejabat publik. Jika saja saya pejabat Polri, saya akn mempertimbangkan sisi plus minusnya dari sudut citra. Entahlah, bagaimana berhitungnya polisi kini?

Momen seperti ini, jika Polri tidak reaktif, jika saja ia dapat tampil rendah hati, maka akan mengatakan: Kami berterima kasih, atas liputan TEMPO, media pada umumnya.

Dari liputan TEMPO bergambar perwira dan celengan babi itu, memberi kesempatan kami kian berbenah diri menjadi polisi, penegak dan pelayan keadilan lebih baik ke depan. Kami yakin kami bukan warga hewan, dan tak ada pula niat kami menjadi babi ngepet apalagi babi benaran – – diucapkan sambil bercanda tawa.

Kalau mau menambahkan, celengan itu memang dari kata celeng, kami tak pernah mendengar ada ayaman, kodokan, walaupun celengan ada yang berbentuk hewan lain. Ah mungkin saya cuma bermimpi memberi teori.

Akhirnya, selamat ulang tahun Bhayangkara, Polri. Semoga lebih baik citranya ke depan. Amin

[]

Iwan Piliang, blog-presstalk.com


Opini: Berpolitik Ala Wartawan Amplop

Oleh Iwan Piliang

Di dalam buku, The Element of Journalism, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, menuliskan salah satu elemen jurnalisme itu adalah: Wartawan diperkenankan mengikuti hati nurani personalnya. Agaknya, karena itulah wartawan harus menjernihkan nurani, membersihkan segenap jelaga hati. Mengharamkan amplop – – baca menerima uang dari sumber berita – – syarat utama. Jika ranah politik insannya menerima gelontoran uang dari pengusaha bermasalah, nurani sang politikus dipastikan kusut, tumpul membela kepentingan rakyat. Inilah langgam berpolitik di Indonesia kini terindikasi nyata!

MENJELANG Kongres Partai Demokrat (PD) pada 21-23 Mei 2010, Billboard berukuran setengah lapangan volley sosok Andi Malarangeng (AM), salah satu calon ketua umum PD berterbaran di titik sentral pandang mata di kawasan kota Bandung. Mulai dari pintu keluar tol Jl. Pasteur, ujung Jl Asia Afrika, dan beberapa ruas jalan lain. Suasana mengingatkan kepada pemilihan presiden.

Ketika awal pekan ini melintas di Bandara Soekarno-Hatta, saya melihat sebuah mobil yang segenap badannya bervisual AM. Billboard; mobil bercorak sosok kandidat; iklan televisi bervariasi ; iklan di Koran; lobby ke segenap media, berapakah biayanya?

Menyimak biaya kampanye seorang calon Gubernur di Kalimantan yang menggunakan jasa perusahaan komunikasi yang juga konon dipakai oleh AM, sang Cagub membelanjakan hingga Rp 150 miliar untuk media. Agaknya di rentang hitungan angka itu pulalah, bisa jadi, AM membeli ruang iklan media.

Dan hal itu sah saja, tentu!

Ada uang, ada kekuatan, mengapa tidak melakukan kampnye jor-joran? Tidak ada yang salah.

Menjadi pertanyaan, dari mana sumber uang tersebut?

Jika sumber uang tersebut berasal dari pengusaha yang terindikasi kelompok usahanya bermasalah dengan pajak, lalu AM kelak katakanlah menang, memimpin partai pemenang pemilu, Anda, Pembaca, bisa menilai sendiri bagaimana keadaan itu.

Langgam demikian ini bukan rahasia lagi sudah terbukti terindikasi tajam menumpulkan banyak kader partai politik yang masuk ke DPR. Mereka seakan sakit gigi bila dituntut berpihak kepada kepentingan publik, rakyat. Sama halnya tumpulnya para jurnalis penerima amplop menuliskan penggelapan melalui transfer pricing kelompok usaha pemilik medianya sendiri.

Karenanya akan sangat naïf, PD sebagai partai pemenang pemilu, jika masih dililit langgam kuno dalam perebutan kekuasaannya. Sebuah partai modern, sedianyalah memiliki basis ke segenap daerah.

Para anggota partai di dearah seyogyanya paham pemimpin yang mengakar di ranah kepartaiannya. Dan di partai yang modern itu, pengurus mulai dari tingkat DPC, DPD, para pemilik suara, tentulah sosok yang tak bisa dibeli dengan uang. Inilah sebuah pertaruhan bagi PD di kongresnya mendatang.

PD partai modern atau kadung uzur sebelum bertambah umur?

PADA penghujung April 2010 lalu, pendukung AM yang juga anggota DPR RI, Komisi I, Ramadhan Pohan kepada media, meminta mundur saja kandidat Caketum PD lainnya, Anas Urbaningrum.

Catatan saya menjadi bertambah, persoalan sumber uang jor-joran membeli ruang media, plus pula kini keangkuhan anggota dewan pendukung yang main perintah. Apakah ini sebuah tabiat baik? Belum lama saya teringat dari ceita sumber DPR. Dalam sebuah rapat fraksi PD, Bung Ramadhan pernah dipersalahkan dalam kasusnya dengan George Junus, soal buku Cikeas. Adalah Anas membela Ramadhan.

Saya pun mencoba membalik-balik catatan. Sosok AM dulu pernah bergabung bersama PDIP, lalu mendirikan partai bersama Riyas Rasyid, lalu meloncat lagi ke PD. Salah? Tidak ada yang salah.

Inilah dunia politik.

Banyak orang bilang bahwa dunia politik itu kotor. Namun jika disadari bahwa misinya bagi kepentingan rakyat, politik itu tak ubahnya jurnalisme, urusan hati juga di sana. Jika berbagai kooptasi dan laku kotor menyelimuti hati para kader partai politik, janganlah berharap misi murni bagi kepentingan rakyat berwujud.

Saya juga mencatat, jika seorang kandidat Ketua Umum Partai terindikasi tak pernah datang ke kantor pusatnya, tak tahu ruang kantor Ketua Umum serkarang ada: apakah layak sang calon berkata sangat mengerti dan paham organisasi yang akan ia pimpin?

Dalam kerangka paparan di ataslah, saya secara pribadi melakukan gerakan Rp 1.000 mendukung Anas Urbaningrum di Facebook, sebagai perlawanan dari luar terhadap politik uang dan politik menjelagakan hati nurani menuju berpolitik santun dan pro rakyat.

Untuk meperbaiki bangsa ini, jurnalisme harus bersih dari amplop, sehingga ia bisa menjadi kekuatan keempat dalam demokrasi. Untuk meperbaiki bangsa ini, di dalam berpolitik, manusianya yang akan menjadi konten trias politika, tidak boleh latah mencontoh laku wartawan amplop. []

Tulisan ini dapat pula dibaca di: http://www.blog-presstalk.com