Tag Archives: bisnis

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Sketsa: Bangga Garuda Mengibarkan Indonesia

Oleh Iwan Piliang

Pada 7 Juli 2010, Jeremias Tandaju menulis surat pembaca di detik.com, akan peristiwa tak nyamannya naik Garuda. Ia dari Menado transit di Makassar, lalu oleh seorang pramugari meminta kursinya diserahkan ke isteri seorang pilot, sementara ia harus menunggu 50 menit lagi, benarkah demikian ceritanya? Mengapa Garuda berusaha mandiri di tengah gempuran bisnis penerbangan murah lokal maupun dunia tak menjadi kebanggaan, termasuk oleh pemimpin negara? Kini negara sibuk mengurus pembelian pesawat kenegaraan. Bukankah dengan dipakai Presiden, memberi nilai tambah citra bagi Garuda Indonesia? Mungkin Presiden kudu belajar dulu ke David Ogilvie, bangga memakai produk kliennya sendiri selain membuatkan iklannya.

PEMBACA rutin Sketsa saya tentu masih ingat, ihwal kasus Garuda tak mendapat pasokan Avtur di Bandara Timika, awal tahun ini, karena tidak membawa direksi PT Freeport Indonesia, yang jadwal penerbangannya, memang di jam berikutnya, sementara Garuda yang meningggalkan sang direksi yang mulia PT Freeport Indonesia, sudah kedodoran terlambat dari jadwal.

Premis saya kala itu, keangkuhan laku direksi PT Freeport Indonesia, sebagai bentuk kesewenangan, sok kuasa. Permintaannya tersebut diuji dengan ketentuan berlaku di ranah dunia penerbangan mana pun, tetap keliru, apalagi melanggar norma, terlebih adab hidup bermasyarakat.

Karena ulah direksi PT Freeport Indonesia ketika itu, Menteri Perhubungan sampai harus turun tangan, memanggil kedua belah pihak. Energi menjadi terkuras hanya untuk berapat urusan norak. Diakui atau tidak. Lema saya: waktu terbuang hanya karena urusan ego. Bagi saya, kasus itu sebuah catatan yang tak akan pernah raib, sebagai kumpulan perilaku para pejabat, khususnya cara bertutur para pemangku kuasa yang terus saya himpun di negeri ini. Di dalam kasus ini, khusus ihwal oknum direksi sebuah perusahaan besar terpandang.

Karenanya ketika Jeremias Tandaju menulis surat pembaca di detik.com, saya mengkonfirmasi kepada yang bersangkutan melalui SMS ke nomor mobile phone-nya. Aplagi yang terjadi dengan Garuda?

”Apa yang saya tulis benar. Pramugari bertanya, apakah ada penumpang yang terbang sendiri tanpa keluarga?”

”Saya tunjuk tangan. Lalu pramugari meminta saya turun di saat transit di Makassar itu, untuk menunggu 50 menit lagi ke penerbangan berikutnya.”

”Alasan sang pramugari ada isteri pilot harus berangkat bersama pernerbangan itu, kalau tidak, pesawat tak akan berangkat!”

Di media sosial facebook, perihal ini segera menyebar. Setidaknya Linda Djalil, mantan wartawan Tempo yang kini aktif sebagai blogger, mencoba menghubungi Emirsyah Satar, Dirut Garuda, namun yang bersangkutan tidak aktif hand phone-nya.

Saya mencoba menghubungi Pujobroto, Humas garuda via SMS. Karena kesibukannya yang padat, baru malam ia memberi jawaban. Kamis pagi, 8 Juni, di saat hendak take off ke Kuala Lumpur, ia mengirim kabar, bahwa sudah men-cek kasus ini, dan ternyata penumpang itu, bukan isteri pilot. Ia penumpang Garuda yang memohon karena urusan sangat mendesak, minta didahulukan berangkat.

Pertanyaan bagi saya, mengapa sang pramugari harus menggertak bahwa sang penumpang isteri pilot? Apakah sebagai jalan pintas? Bukankah hal itu sebuah kebohongan, sekaligus merusak reputasi sang pilot?

Sebelum Pujobroto memberikan keterangan lagi, saya menduga, bahwa jika benar kelakuan sang pilot Garuda, seperti yang dituturkan sang pramugari, bagi saya ia tak ubahnya bak supir Kopaja 66, jurusan Manggarai-Blok M, Jakarta. Untungnya ini bukan laku sang pilot, tetapi urusan cara berdiplomasi.

Bila supir Kopaja, Metro Mini, seenaknya berhenti, bahkan menurunkan penumpang untuk pindah ke bis berikutnya, karena ia mau balik haluan. Sudahlah di dalam bis itu serasa di atas kaleng rombeng; komprang-kompreng suara kaca jendela, segenap suspensi mati pula, sehingga bis menginjak lubang kecil saja membuat seluruh jok bergetar-getar, lalu daun kuping Anda pasti turut bergoyang.

Belum lagi aroma oli terbakar di saluran pembuangan panas ada di belakang bangku supir. Anda yang tak biasa, saya pastikan membuat hidung sakit. Nasib berkendaran umum demikian bukan sepuluh tahun lalu, tapi saat ini, hari ini, dan mana mungkin dijajal Gubernur DKI dan jajaran?

Belum pula jika hujan mendera, kaca bis tak bisa ditutup, penumpang kuyup. Azab jadi masyarakat kecil pengguna kendaraan umum di Jakarta begitu. Nah jika salah satu azab itu, menurunkan penumpang sekenanya, mendera penumpang Garuda, bagi saya absurd kali?

Untunglah komunikasi cepat Pujobroto, kendati pun belum menuntaskan jawaban pertanyaan saya, setidaknya, ia telah menyampaikan bahwa ada seseorang penumpang yang hendak ditolong, tetapi saya duga eksekusinya keliru.

Sembari menunggu progres kasus ini, saya menuliskan sketsa ini.

JIKA Anda cermati, urusan langgam berkomunikasi di ranah pejabat publik, kian hari memang kian pah-poh saja. Inti soal, langgam begawan sebagai pejabat cenderung mengedepankan ego. Sehingga bertutur tidak lagi dengan berkerendahan hati, apalagi bernurani hati?

Dalam kerangka inilah, saya memberi porsi perhatian kepada Garuda.

Jika Anda menyimak bisnis penerbangan kini, persaingan amat ketat. Bahkan Ryan Air di Inggris sudah akan melayani pernerbangan penumpang berdiri untuk jarak pendek.

Di dalam negeri kue Garuda sudah digerogoti banyak pemain. Mereka adalah swata nasional yang memang juga harus ditumbuhkan. Namun berkaca ke belahan jagad manapun, banyak negara di dunia mendukung dengan segenap cara bahwa penerbangan nasional negaranya tumbuh pesat.

Secara signifikan kita dapat menyimak Singapore Airline, selain dukungan negara yang kuat, pelayanan prima memang menjadi kunci utama suksesnya usaha jasa penerbangan. Saya pernah menaiki Etihad milik Uni Emirat Arab (UAE), smester pertama tahun ini. Laku subsidi bagi sang penerbangan oleh pemerintahnya bukan basa-basi. Bahkan sosok penerbangan negara sama, bertajuk Emirat, yang di kejuaraan World Cup, sepak bola dunia 2010, dapat Anda simak beriklan board di lapangan pertandingan di Afrika Selatan. Sponsor mereka bayarkan konon lebih dari US $ 100 juta, sebagai bentuk subsidi UAE, negara. Demi citra: Fly Emirat!

Kini jika bertanya ke lubuk hati, apakah kita bangga ber-garuda? Saya sebagai pribadi, masih memiliki kebanggan itu. Setidaknya di saat-saat transit di bandara internasional dunia, begitu ada, melirik Garuda, bangga hati di sana, apalagi bertuliskan Garuda Indonesia. Ada Indonesia-nya!

Maka ketika negara memutuskan membeli pesawat kepresidenan sendiri dengan harga mahal, perawatan mahal, ongkos perjalanan lebih mahal, bagi saya sebuah langkah salah. Sama gegabahnya dengan membangun gedung baru DPR berbiaya Rp 1,6 triliun dengan menyebut alasan gedung lama miring. Boleh saja menyebut sebagai citra juga, bahwa negara punya pesawat kenegaraan. Tetapi bermartabat mana bangga dengan Guruda mengibarkan kata Indonesia di badannya?: Garuda Indonesia!

Dan menyangkut citra, sudah saatnya Garuda Indonesia mulai melirik media sosial. Ingat kini, teknologi telah membuat sosok Jeremias misalnya, dengan cepat memuat surat pembaca ke media online, cukup, agaknya dari email di Black berry-nya. Lalu kabar menyebar ke setidaknya 30 juta komunitas online. Hari berikutnya berkelipatan dua, 60 juta pembaca. Dalam kerangka inilah, komunikasi publik kini tak bisa lagi dihadapi dengan cara-cara konvensional. Aapalagi dengan terus-terusan berlagak begawan.

Sebagai dukungan bagi Garuda yang ada Indonesia di badannya, saya sebagai praktisi media sosial aktif (blogger) menuliskan ini, for free. Saya bangga Garuda, Mengibarkan Indonesia!

[]

Iwan Piliang, blog-presstalk.com