E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan
Minggu ke-VII, Agustus 2012
Periode: 05 – 12 Agustus 2012
Oleh : Julia Napitupulu
Wanita itu seorang pecinta…
Ia jatuh cinta seketika
pada segala senandung berbunyi jujur
Cintanya mengubah warna usang
Menjadi secerah pelangi menutup sewindu kemarau
Melumuri ‘biji mata’nya dengan cinta
Bunggah mengenakan milik kekasihnya
dan memelihara jejak bau nya
Bibir-bibir mencibir padahal mata mereka terpesona
melihat semangat cintanya bercermin
Bak pipi perawan berkenalan dengan perona
Tak mengejar peraduan sempurna, karena:
“Aku hanya perlu di sekitarmu,” ujarnya selalu berbinar Cinta
Ia jatuh cinta seketika
Pada kehidupan dan sensasi menerima napas
Yakin miliki 1000 tahun lagi
Untuk belajar musik, masak, dan terbang mengangkasa
“Aku mau jadi apa pun…hingga komplit untuk mu…”
Wanita itu seorang pecinta…
Ia menjadi candu seketika
kepada geliat otot kekasihnya
Menjadikan raganya taman bermain
dan riang mencicipi wahana demi wahana
yang tiap kali terasa baru baginya
Bagaimana tak auranya cinta nya menghangatkan hati yang dicinta?
Tak butuh mengurai masa, hingga kekasihnya terbakar cinta…
Segera saja, wanita itu menjadi KECINTAANnya…
[]
Jakarta, Kamis, 7 Juli 2010, 09.45 WIB
P.S.:
(*) to a Gentleman who always call his wife as: a LOVER…my Dear Om Dasrah…like U said to me, remember: “she’s been like a ‘ONE STOP SHOPPING’ for me” ..hope she’s rest in peace, miss her too.
(*) this writing is also dedicated to all CHOSEN LADIES, everywhere…
Julia Napitupulu
Lahir di Jakarta, 8 April 1974. Ibu dari Willi (putra, 7 tahun), dan Abel (putri, 6 tahun). Misi terbesarnya adalah menjadi pengajar. Setelah resign sebagai pelatih (psychology) di HR Consultant, Julia kini aktif bekerja sebagai pelatih di bidang Soft Competence dan Assessor Recruiting & Assesment karyawan, serta Konselor tes minat-bakat anak. Julia juga punya bejubel aktivitas, yakni Singing Pianist, Presenter Radio, MC. Menulis baginya adalah bentuk theraphy baginya untuk bisa melihat lebih jernih, dunia di luar dan dalam dirinya. Sebagai trainer, Julia kerap menggunakan metode menulis dalam proses kepelatihan; dalam bentuk studi kasus, kuis, skrip roleplay.
Oleh Y. Riswana
Kau coba bersyair kepada awan, ia kan terberai.
Kau coba lebur di denting malam, ia kan terbunuh sepi.
Atau berseru kepada dedaunan, ia akan gugur ke bumi….
Tidak bagi rindu ini padamu….
Tidak bagi cinta ini untukmu….
Ia kan selalu bertawaf di hatimu…
[]
Oleh Dwi Klik Santosa
dalam hidupku: buku-buku adalah embun. benarkah?
Amberat tyas kayungyun// Nalikane ing driya wus gambuh// Paripaksa tumambuh adheping dhiri// Nadyan adoh yen kadulu// Nanging caket jroning batos
Terdorong niat yang menekan. Ketika hati sudah memberontak. Seperti itulah, tercermin pada kenyataan diri. Meski jauh senampaknya. Namun teramat dekat di dalam batin.
+ + +
Menerawang gerak zaman, membaca dinamika peradaban. Menggladi pikir, melaku cita dalam kesahajaan. Apakah ilmu itu? Untuk apa pengetahuan?
Buku-buku yang tertata di rak-rak. Pun yang berserakan di box-box sebagai pajangan, akankah kelak memancar-mancar sebagai intisari, saripati lapang luasnya wawasan. Cahaya bagi pengetahuan mengurai rumitnya persoalan.
Buku tercipta karena laku. Laku dihayati dijalani mencipta lagi buku. Ah, tapi apa dan kenapa ingkar itu? Mengapa khianat? Duhai, laknat tak sudah-sudah …. Bukankah seribu satu nuansa dan cakrawala apa itu kearifan ditujukan pesona bagi terbitnya buku?
Duhai, benar belaka manusia itu profan dan fana. Nalarnya genap melogika, tapi aduhai … nafsu dan ambisinya menjadi panglima. Bergerak-gerak, ia mendahului, mengedepan paling muka. Kapan kita pernah bisa menolak : kitalah makhluk sempurna; binatang jalang bagi manusia yang lain; binatang yang doyan dan gemar dolanan ….
Duhai, apa dan bagaimana itu CINTA?
Pondokaren
3 Oktober 2010
: 10.o9
Oleh Syaiful Alim
Kaudatang membawa sampan
lalu kita mengarungi lautan
dengan tangan sebagai dayung
kaukenalkan aku ikan duyung
juga kerang yang mengerang
oleh gores bebatu karang.
Kita berpeluk ketika ombak mengamuk
“Cinta tak kan remuk walau sampan lapuk.
cinta tak kan rebah meski badai menjarah.”
Kauberkata seraya menatap mataku
dan aku makin lahap mendekapmu.
“Simpanlah sampanku di hatimu”
Kaudatang menawari hujan
ketika sawah ladangku diterjang desah gersang
tanah hatiku retak oleh koyak kuku matahari yang jalang.
Hujanmulah yang membasahi tanah, menumbuhkan kembang
sehingga aku bisa lagi melihat kembang dirayu kumbang.
“Cinta itu menghidupkan” kauberkata sambil merangkul leherku
dan aku mengambil senyum mungil dari pipimu.
“Hujanku selalu ada di dekatmu, kemarau tak mampu menjeratmu”
Kaudatang menghidangkan terang rembulan
ketika mataku dihadang gelap gulita.
Rembulanmulah yang menemaniku menata kata jadi puisi dan cerita
“Cinta itu cahaya” kauberkata seraya membelai rambutku dengan lembut
dan aku membalut tubuhmu dengan hangat yang tersulut.
“Percayalah, rembulanku selalu menggantung di malammu”
Kalian hadir membawa butir-butir waktu
bagi hidupku yang sering tergelincir licin lereng tebing kehidupan.
Aku katakan sekali lagi, bahwa aku cuma debu
yang terombang-ombing angin.
Mauku pada satu
muara jiwaku cuma bisa menerima satu resah
datang dan singgahlah di gubuk sajakku
lalu beranjak meninggalkan seribu tujah.
Maafkanlah aku,
biarkan aku terkapar ditampar gamang dan ragu.
Aku tak tahu kepada siapa menuju
pintu rumahku telah kuborgol
dan kuberlari menggapai sebotol sepi
di puncak rindu yang mengapi.
Khartoum, Sudan, 2010.
[]
Oleh Hera Hizboel
kembang darimu adalah nyanyian merdu yang menina boboku
kembang darimu adalah matahari yang membangunkan lelap tidurku
kembang darimu adalah puisi yang menggenapi rinduku
kembang darimu adalah musim semi yang membangkitkan segenap hasratku
kembang darimu adalah nyanyian merdu yang mengiringi tarian ku
kembang darimu adalah riak gelombang harapan dan cintaku
kembang darimu mengusik angin dan cuaca negeri sunyiku
kembang darimu adalah langit biru luas terbentang
menatap kembang –kembang itu diam-diam tumbuh perasaan di hatiku. antara keberanian dan ketidakberdayaan. Antara kebimbangan dan keyakinan. antara harapan dan ketidakpastian. antara kesanggupan dan rasa cemas
kembang itu…. mewangi di dasar hatiku
kembang itu…. menjadi kembang bagi jiwaku
kembang itu…. menjelma bintang dan rembulan yang menerangi sajadahku
kembang itu…. menggenapi lantunan zikir-tasbih-dan tahmidku
kembang itu.… menggelegak, menggemuruh, dan melebur di luas semesta-Mu
[]
5 Ramadhan 1431 H
hera
Oleh Afrilia Utami
Senja di dua mata arah bercerita tentang satu hati, rayu !
“Pautan rayu adakah kau tahu jika aku takut kau terjatuh, sangat takut ketika suara ini mengalun.”
Suaramu tak mengeluarkan kerikir batu kan? Apalagi oli yang mengalir.
Sudahlah aku takkan jatuh
“Ragamu memang tidak sayang, tapi hatimu bakal jatuh.”
Maka semburat senja semakin memerah ketika rona pipimu merubah ranum langsatmu, kian memerah.
“Tahukah dirimu jika kaki kaki hujan itu lebih tajam dari pedang, maka seperti itulah hadirmu ketika menyapa hati.”
Pernahkah kumenyakitimu.
Hingga bahagia mekar di ambang gumammu bahkan di tepi corak senyummu?
” Tahukah dirimu apa yang kurasa ketika itu, sakit teramat sakit, tapi ???
Indah bukan alang alang. “
Rindu hanya buat tarian yg mengendap pada bayang bayang, menukar sebungkus bahagia dengan senyum tangis semata. Aih, hadirku sudah memasuki hatimu kah?
” duhai perlukah aku kata, lihatlah di sudut senja maka pelangi sudah biaskan semua jawabmu itu.”
Maka menyatulah dua arah dalam satu hati, seperti menyatunya surya dengan samudra,
dan tahukah kalian wahai camar kalau senja ini indah, maka usahlah cemburu !
28 Juli 2010
[]
Notes :
sebuah catatan sederhana ketika saya berdialog dengan sahabat baik sekaligus penyair padi, noegi arur.
Oleh Afrilia Utami
malam ini…
seruling hening kembali hiasi degup waktu
diantara yang singgah
sepi telah permainkan imaji langit gelap
ketika para dermaga mimpi tengah menanti
Jangan ucap kerinduan
bila nyatanya sulit bersapa dalam biduan
lalu…
sedang aku bertanya
Hatiku merindukanmu
atau hanya terkaan
atau bahkan tawa biru
Ya, mungkin salahku
yang dulu pernah menitipkannya
pada ranum senyum
maupun kuyupnya laramu
[]
Oleh Afrilia Utami
Bukan logika hari yang bersenangdung dalam siluet ambigu
Apalagi kumpulan rumus yang merampas sebuah bisu
Aku tak berjanji ketika rapat jari membeku
Kau yang mengupah cinta pada segenggam rindu
Aku membelai rambutmu dengan lembut
Sehempas tercermin ragamu linang dimata hati
Selebih rindang ketenangan kita lewati
Selepasnya genggam hangat inginnya terpatri
Kau mengecup keningku
Saat nafas kita mulai bersatu
Didataran yang tak terpisah koma, titik, maupun tanda seru
Meraba-raba kepingan hati sayup mekar ditembang tepi danau
Kita bercakap ‘tentang’
Mengingat kenangan saat semua terisyarat hilang
Kita mencari sebuah bilangan yang mengendap pada temali layang-layang
Bermukim di Ilalang, Menghangat diselendang yang melingkar diambang
Bayang ….
Mereka bermukim tempat membina kebersamaan
Aku dan Kau bahagia iringi nadi yang bergumam dalam biduan
Sahut diri kita sepasang tak terpisahkan
Meski sedikit bimbang, atau meragu diperbatasaan …
Dalam ruang rindu..
“Kasihmu dan KasihNya, ditambah Kasih lainnya
Ku rasa hadir nyata menerpa mengelus serumpun perjalanan
Saat tertiup melaut Lembayung kerdam usia parau kehidupan.”
22 Juni 2010
[]