Tag Archives: agung

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen, Minggu Ke-VII, Agustus 2012

@Cover VII Agustus 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-VII, Agustus 2012

Periode: 05 – 12 Agustus 2012


Akulah Rahwana

Oleh Dwi Klik Santosa

foto : foto image

Halo, halo …. akulah Rahwana. Setengkal darah yang dilahirkan dari rahim ibuku karena ragu dan malu.

Banyak yang mengatakan aku ini sosok yang rakus dan misterius. Ah, tapi baiklah, akan kujelaskan saja kepada kalian. Sejujurnya, aku ini bukan siapa-siapa. Bukan dilahirkan dari ranah yang misteri dan tak bisa dipahami. Aku makhluk yang wajar saja. Sama seperti kalian. Cuma ada yang harus kalian maklumi supaya kalian mengerti.

Sekali lagi kukatakan, aku bukan siapa-siapa, wahai. Hidup adalah soal bagaimana sesuatu harus diyakini dan dilakukan. Kalau saja aku ini sosok yang kalian anggap momok, dajal dan laknat. Tapi lihatlah dengan telanjang, di negeriku aku disanjung-sanjung, dielu-elu. Siapa mungkir: akulah si sakti dan super digdaya. Apakah ini serta merta? .. Aha, coba kalian simak dan baca lagi sejarahku. Aku bertapa dalam sepi karena cita-cita. 10 tahun, kau tahu itu. Satu dekade … hahaha … inilah aku!

Aku tidak suka mengoyak nasib si miskin. Untuk apa? Wong hartaku sedemikian melimpah dan serba berlebihan. Aku juga tidak ingin mengaku sebagai lelananging jagat. Untuk apa? Wong isteriku banyak. Kalau aku punya mau, tak usahlah merayu-rayu, apalagi mendayu-dayu. Siapa berani menolakku? Aku juga tidak ingin mengaku sebagai raja kata-kata. Untuk apa? Wong kata-kata sesungguhnya bisa menjadi pedang bagi siapapun. Kata-kata akan sakti atau tidak, akan mujarab atau tidak, semua tergantung dari gladi pengolahannya. Kalian ingat, bukan, bagaimana sepiku hidup sendiri, selama itu di keheningan Puncak Gunung Gohkarna? Dan, karenanya mahadewa lemah saja menghadapi kata-kataku.

Cuma, ya, cuma. Hanya karena si Rama sialan. Dan juga Anoman si monyet putih jahanam itu. Jadi berantakan sejarahku. Ya, ya, ya …. Memang, memang …  sosok-sosok yang perkasa tapi alim. Hmmm … Tidak banyak mengumpat. Apalagi mengeluh. Meski sengsara, sedemikian rupa luka karena ulahku. … Begitulah semestinya. Berkat kesabaran. Dengan sepenuh pengabdian. Pada akhirnya musnah juga kejahatanku dihapus masa.

Zentha

20 Agustus 2010

: 10.09

[]

foto : foto image

RAHWANA, rah itu darah, wana itu hutan. Sebercak daging berdarah yang lahir di hutan. DASAMUKA atau si sepuluh muka, ini gelarku. Tercipta karena api yang menyala sebagai kesumatku.

Begawan Wisrawa. Ayahku ini seorang brahmana keturunan maharesi kahyangan bernama Dewa Sambu. Dewi Sukesi. Sedang ibuku ini putri mahkota dari Kerajaan Alengka, keturunan dari Prabu Somaliraja yang agung. Hanya karena takdir Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu yang dianggap kurang pada tempatnya, lahirku dipersalahkan para dewa.

Hmm … apakah dosa-dosaku lahir awalnya karena dosa-dosa orang tuaku? Ah, ….


Balada Laki-Laki Jantan

Oleh Dwi Klik Santosa

Nafasku laki-laki jantan. Perkasa karena serba liat urat dan ototku. Gahar dan keras suaraku, takkah niscaya ini kharisma manusia agung. Hohoho… Inikah takdirku ksatria. Megah disebabkan terlahir dari darah seorang raja. Pedang dan perang inilah serba mainanku. Siapa meragukan aku. Sedangkan kata-kataku… hohoho… Serasa-rasa gagah dan garda depan. Jangan heran. Jangan kaget… itulah nuansa serba indah karena terjalin dari caraku menaklukkan. Siapa itu lawan. Apa itu aral bagi mau dan hasratku. Hai, hai, hai.. Siapa kamu? Siapa kalian?

Akulah jejaka brilian. Kupahamkan dengan baik; adaku karena mutuku. Siapa tak kenal aku. Siapa tak gandrung padaku… Hohoho… Dan begitulah, seribu satu perempuan kukenali dengan baik. Dari keringat, geliat dan nafasnya. Dari cara jalan, macak dan nggombalnya. Senampak-nampak mahal, sebau-bau wangi, tapi… ah, palsu… palsu belaka. Putih, merah dan hitamnya adalah sapuan cakrawala yang luntur dari aslinya. Aduuuhhhh biyuuungg, Yundaku… Yunda Sembadra… Akulah laki-laki angin. Melayang-layang, mengawang-awang asaku terbang kini tanpa tali ikatan. Kemana terbangku, kemana rebahku. Aku mabuk, yundaku… Terjatuh kini dan kapan lagi bangunku.

[]

Pondokaren

22 Agustus 2010

: 05.2o

[]

Burisrawa namaku. Dilahirkan sebagai pangeran tampan, benih kemasyuran dari Prabu Salya ayahku dan permaisuri Setyawati ibuku. Ketiga kakakku adalah perempuan cantik-cantik. Dan kesemuanya diperisteri oleh tiga laki-laki bergelar raja besar. Takkah kalian percaya. Takkah kalian maklum apa arti bengalku… hohoho…



Asmara Sang Kelana

Oleh Dwi Klik Santosa

“Di belantara sepi kini sunyiku ditemani. Bunyi jengkerik dan gegesekan ilalang acapkali menggetari gairahku. Cahya bulat purnama itu, aduhai…engkaukah, wajah lugu itu, Dindaku.”

“Nanda Anggraini sudah tiada, pangeranku. Kiranya ia telah berpulang menghadap sang pencipta. Hendaknya jangan terlalu larut ditangisi…”

“Anggrainiku tersayang masih hidup, paman Jarodeh. Lihatlah purnama itu. Bekerjapan matanya lekang melepasku. Senyumnya… Teduhnya… Syahdunya…aduhai, betapa cahya itu meresap, merasuk, menyentuhi batinku…dia itu Anggrainiku, paman. Dialah dindaku tersayang…”

“Duhai, pangeran budiman. Hendaknya jangan seperti si pungguk merindukan bulan…”

“Saya bukan si pungguk, paman. Sayalah Panji Inu Kertapati cucu Airlangga sang penakluk. Tiada perempuan lain manis seelok Anggraini.”

“Ya, Anandalah cucu sang kusuma yang gagah. Tiada lagi paman meragukan itu. Tapi percayakah Ndika, bahwa kata-kata paman ini sebenarnya lebih bermanfaat dan mujarab, dibandingkan dengan apa kata ilalang, atau angin malam…”

“Ya, pamanku yang arif. Cerita apa yang hendak paman sampaikan kepada saya…”

“Dalam suatu tidur yang lelap, Paman diberikan mimpi. Sesuatu yang aneh. Sesuatu yang gaib yang kiranya paman percayai ini sebagai petunjuk…”

“Mimpi apa paman? Kiranya paman bersedia bercerita kepada saya…”

“Ya, anakku yang tampan. Sebuah kata-kata meluncur dari atas langit berbicara dengan paman. Wahai…berjalanlah kalian dengan tujuan. Mantapkan tekad. Perangi angkara si penindas rakyat jelata. Jika telah sirna si bromocorah musuh kehidupan, niscaya sih sang maha pencipta akan menghidupkan kembali Anggraini.”

+ + +

Dari Lemah Abang mengarungi Laut Bali, melabuh di Madura, bergerak ke Banyuwangi, Blitar, Pasuruan dan Madiun, ditaklukkan raja-raja songar dan perompak-perompak penjarah. Ditaklukkan para jahat musuh Kerajaan Daha dan Jenggala. Dua kerajaan sekandung warisan sang Airlangga. Si pendekar Kelana yang direstui Dewa Asmara, begitu julukan itu disematkan. Dibawah nasehat Jarodeh, si pengasuh bijak. Betapa hanya seratus pengikut saja, krida Sang Kelana dikenali trengginas berperang bak bayang-bayang siluman.

“Nah, anakku. Perang telah kita selesaikan dengan gemilang. Takkah kau lihat sekarang. Dewi Sekartaji, putri Yang Mulia Lembu Amisena Raja Daha, cantik melebihi cahya rembulan. Bukankah dia itu sepadan dengan kegagahanAndika menggantikan Anggraini…”

Mata yang jalang bak elang itu berkaca-kaca. Berlinangan. Bertetesan air bening itu meleleh membasahi kedua pipinya.

“Tidak sangka, jika paman Jarodeh yang arif, tega membohongi saya…”

“Adakah saya berbohong kepada Ananda…”

“Tidak ada perempuan lain hidup di hati Inu Kertapati. Paman tahu itu…Paman pasti mengerti perasaan saya. Dan mimpi paman itu…kebenaran apa yang ingin saya pahami?”

Angin malam berhembus khidmat. Sekhusyuk Jarodeh memanjatkan doa, purnama terang pun agung memancar-mancar. Cahyanya yang keemasan bagai menyorotkan berkah ilahi.

“Anakku, Inu Kertapati. Coba Ndika pandangi dengan hati yang hampa. Siapa sejatinya Dewi Sekartaji, sepupu kemenakan Ndika yang menawan itu.”

Kata-kata Jarodeh yang lantun dihantar angin. Merasuki telinga dan menembusi relung kalbu sang pangeran kelana.

“Aha, Anggraini! Benarkah dikau Anggrainiku. Dikaukah dindaku sayangku…”

Dipeluk ditangisi Dewi Sekartaji, si perempuan anggun yang senyumnya elok bak purnama itu. Dialah sekar kedaton Kerajaan Daha anak Raja agung Lembu Amisena, putri yang diperjodohkan dengannya semenjak ia lahir bahkan.Tapi apa lacur, perjodohan adalah persoalan hati. Kepada Anggraini, putri Arya Kudanawarsa, patih sang ayahanda hatinya telah dijatuhkan. Disebabkan ketetapan hatinya yang kukuh, menyebabkan Anggraini si perempuan terkasih harus tewas di ujung keris jagal Jenggala. Itulah politik para raja. Ambisi orang tua yang berkata atas nama kehormatan wangsa.

“Dengarkan kata-kata paman, anakku. Sesungguhnya yang telah mati tidak akan pernah bisa hidup kembali. Tapi kiranya Tuhan maha berkehendak. Roh Nanda Anggraini, kekasih Ndika tercinta itu terbang ke pangkuan. Menetes-netes dalam doanya, agar kiranya Tuhan Yang Maha Bercahaya berkenan menjilmakan cintanya yang tulus menyatu ke dalam cahya purnama. Oleh angin yang rajin mendengar tangis nestapa Ndika, menghantarkan cinta kasih yang suci itu menyatu dalam jiwa raga, lahir dan batin Dewi Sekartaji…”

Ditatapnya mesra wajahsi pangeran lugu.

“Anggraini dan Sekartaji bagaikan rembulan kembar, menyatu melebur keduanya dibawah naungan agung cahya purnama. Jangan ragu lagi, anakku. Candra Kirana, dialah itu kekasih Andika yang sejati.”

Pondokaren

12 september 2009 : 11.38

[]