Tag Archives: buruh

Mukjizat

Oleh Ade Anita

 

APA kalian percaya bahwa mukjizat (dalam kamus bahasa Indonesia, mukjizat diartikan sbg keajaiban yg terjadi diluar kemampuan nalar pikiran manusia) itu ada? Sebaiknya percaya. Mukjizat itu memang nyata ada.

Semalam, aku dan keluargaku kedatangan tamu istimewa. Amat sangat istimewa. Sebuah keluarga yang baru saja merasakan mendapat mukjizat dari Allah.

Bukan. Mereka bukan sebuah keluarga kaya raya yang mendapat karunia kenikmatan lain di dunia ini.

Juga bukan keluarga yang mendapat hadiah lottere.

Tapi sebuah keluarga miskin, dimana ratu keluarganya, bekerja membantuku menyeterika pakaian.

Ya. Ini adalah keluarga miskin dengan tiga orang anak yang masih kecil. Sang ibu bekerja sebagai buruh cuci seterika; sedangkan ayah menjadi petugas instalasi listrik lepasan (tukang pasang kabel jika ada orang yang ingin membangun rumah. Dia tidak sama dengan petugas PLN dan memang tidak bekerja di PLN. Mereka umumnya termasuk kategori tukang bangunan, hanya saja spesiallisasinya di pemasangan instalasi listrik).

Pada bulan Februari lalu, aku memasang status di facebookku ini dengan bunyi seperti ini:

Innalillahi wainna ilaihi rajiun … anaknya mbak yg suka bantuin aku nyetrika jatuh dari atap KRL di cawang…kepala bagian belakangnya pecah, skrg di ICU rs tebet..semoga diberi yg terbaik oleh Allah SWT.

[24 February at 19:03 via Mobile Web • Comment • Like]

Jujur.. waktu itu aku tidak dapat berharap banyak pada kondisi si anak.

Ade Anita
jam lima sore tadi.. rs tebet minta 30 juta utk operasi penyelamatan…si mbak lari sana lari sini cari bantuan, suaminya hanya kuli bangunan. aku bingung mo ngomong apa, krn aku tahu, kecuali mukjizat Allah datang, jikapun operasi berhasil dilakukan dan si anak selamat; si anak akan jd spt zombie..otak belakangnya rusak parah..hiks..hiks… ..
[24 February at 19:20]

Ade Anita
tabah bgt..dia dtg ke rumahku tanpa air mata, “bu, saya ikhlas dgn kondisi anak saya skrg, benar-benar ikhlas..meski baru 12 tahun saya bersamanya..baru tadi pagi saya mengantarnya sekolah…” lalu si mbak mencium tanganku dgn tangan gemetar lalu tiba2 menangis di atas punggung tanganku..”Ya Allah, apa salah saya? Apa saya kurang sabar selama ini? Kenapa saya selalu diuji dgn penderitaan?”….sedih bgt…air mata si mbak memenuhi punggung tanganku
[24 February at 19:27 ]

Dan semalam si ibu, anaknya dan neneknya datang ke rumahku.

Subhanallah… aku asli kehabisan kata-kata. Semalam itu benar-benar merupakan sebuah pemandangan betapa besarnya kekuasaan Allah pada seseorang. Subhanallah…Allahu Akbar.

Susah payah rasanya menyimpan rasa haru dan takjub. Benar-benar luar biasa.

Kepalanya sekarang peyang sebelah. Jadi, kejadiannya begini. Pulang sekolah, karena kereta api penuh, maka teman-teman anak tersebut mengajak anak itu naik ke atas atap gerbong kereta api.

“Gri, ayo naik ke atas. Cemen lu kagak berani datang. Ayo. Kagak ape-ape lagi. Ayo, pengecut lu!”

Semula anak ini tidak mau naik ke atas. Dia hari itu sedang tidak enak badan memang. Sebenarnya, semalam dia sudah minta dikerok oleh ibunya. Lalu pagi-pagi minta ijin untuk tidak masuk sekolah. Tapi si ibu meminta dia untuk bersekolah. Dengan naik kendaraan umum, si ibu pagi-pagi mengantarkan anaknya bersekolah. Anak ini adalah anak tertua dan laki-laki. Harapan keluarga tentu berada di pundaknya. Tapi pulang sekolah, ledekan teman-temannya tidak dapat dihadapinya seorang diri. Tidak ada lagi ibu yang dapat mendampinginnya terus menerus dan menjauhkannya dari ledekan dan ajakan buruk teman-temannya. Maka, karena tidak mau dianggap pengecut dan cemen, anak inipun naik ke atas gerbong kereta api.

Ternyata di atas gerbong kereta api, angin cukup kencang. Tubuhnya yang sedang tidak enak badan ini terasa tidak enak. Perutnya terasa mual dan dia mulai merasa menggigil. Teman-temannya pun datang lagi.

“Kenapa lu? Dingin. Ini…. rokok. Merokok aja biar nggak dingin.” Anak ini belum pernah merokok sebelumnya. Dia baru kelas satu SMP.

“Hei, pengecut lu. Ayo cepat. Enak, bikin elu jadi bersemangat dan kuat. Lagian bukan laki-laki kalau nggak merokok.” Maka, diapun merokok dan lalu batuk-batuk dengan sukses. Kepalanya makin pusing tapi laju kereta telah memabwanya sampai di tujuan. Kereta berhenti di Stasiun Cawang. Ini tujuan perhentian mereka. Satu persatu anak-anak inipun turun dari kereta api dengan cara melompat ke bawah. Hup.

Tapi anak ini tidak pernah bisa sukses melompat. Kepalanya terantuk teralis atap stasiun kereta api.

DUG.

Tepat mengenai tulang kepala samping, dan otak besarnya pun terpukul keras. Amat keras. Tengkoraknya retak, tapi darah yang keluar tidak terlalu banyak. Hanya saja, si anak langsung pingsan.

“Satu jam anak saya tidak diapa-apakan di RS Bxxxxx.”
“Kenapa?”
“Karena tidak ada yang tahu siapa keluarga yang menanggungnya.”
“Loh? Teman-temannya kemana?”
“Kabur semua. Mereka pada takut semua. Jadi langsung pada kabur. Baru deh setelah satu jam tergeletak, ada salah seorang temannya yang merasa bersalah lalu datang ke stasiun ngasih tahu bahwa dia tahu sekolah dimana si korban. Akhirnya, satu jam kemudian, pihak stasiun Cawang mendatangi sekolah ini anak. Membongkar semua file data siswa, satu jam kemudian barulah diketahui dimana rumah orang tua korban dan barulah saya bisa mendatangi anak saya ke rumah sakit. Dan Masya Allah bu, saya hampir tidak mengenali anak saya sendiri. Wajahnya membengkak, suaranya seperti orang digorok… grkk…grkk…grk…… Dada, bibir, pipi, leher semuanya berwarna biru tua hampir kehitaman. Rupanya karena tidak ada perlakuan apapun di rumah sakit ini, maka pendarahan sudah menyebar kemana-mana. Paru-parunya terendam darah.”

“Saya berlari-lari mencari bantuan. Ada lima rumah sakit yang saya hubungi, kelima-limanya tidak sanggup memberikan pertolongan. Wajah dan dada anak saya sudah seperti balon berwarna ungu tua. Dan suaranya itu yang mengerikan…. grrkk… grrk…. Persis seperti orang yang habis digorok. Akhirnya, barulah di rumah sakit ke enam anak saya diterima dan mereka langsung melakukan pembedahan setelah sebelumnya mengatakan bahwa mereka membutuhkan uang Rp 30 juta untuk melakukan pembedahan tersebut. Saya berlari-lari lagi ke sana kemari mencari bantuan dan terkumpullah Rp 5 juta rupiah. Lalu operasi pun dilakukan malam itu juga. Semua darah yang menggenangi paru-paru anak saya dikeluarkan melalui sebuah selang yang cukup besar melalui mulut. Juga darah-darah beku yang ada di seputar kepala, wajah, leher dan dadanya.”

“Akhirnya, satu bulan anak saya di ICU dalam keadaan koma. Suami saya sudah menguatkan saya, dan meminta saya untuk ikhlas. Bu, jujur, saya waktu itu sudah ikhlas. IKhlas sekali. Tapi saya tetap tidak berhenti berdoa. Saya berdoa terus dan terus hingga bibir saya kering dan pecah-pecah. Saya benar-benar berharap Allah akan memberikan mukjizat pada saya.”

“Selama ini, saya benar-benar ikhlas dengan semua kehidupan saya yang miskin. Saya tidak pernah protes pada Allah. Saya bisa bekerja, saya bersyukur. Saya bisa makan, saya bersyukur. Saya harus berpuasa karena tidak punya uang untuk membeli makananan, saya bersyukur. Saya harus terbaring sakit dan tidak dapat bekerja, saya juga tetap bersyukur. Saya tidak pernah menuntut yang aneh-aneh pada Allah. Saya juga tidak pernah mengajukan protes kepada Allah. Jadi, ketika anak saya sakit, saya bilang sama Allah, bahwa kali ini, saya akan menggunakan hak saya untuk meminta sebagai hamba Allah. Saya ingin meminta kesembuhan untuk anak saya.”

Aku (ade anita) merinding mendengar doa si ibu ini. Sekian lama, terlalu banyak aku berhadapan dengan banyak orang dan kebanyakan dari mereka selalu punya banyak keinginan yang dipanjatkan pada Tuhan mereka. Ada yang berdoa dengan cara santun dan lemah lembut, ada juga yang berdoa dengan memaksa Tuhan mereka agar mengabulkan permintaan mereka. Tapi baru kali ini aku mendengar seorang ibu yang menangguhkan semua permintaannya untuk kehidupannya, karena ingin doa yang menjadi haknya untuk meminta sesuatu pada Tuhan itu, diberikannya pada anaknya di saat yang benar-benar tepat.

Bunda. Di telapakmu ada surga. Di tanganmu ada doa. Dan di dalam hatimu selalu terselip kasih dan sayang.

Tepat satu bulan, anaknya pun siuman. Subhanallah.

Tapi perjuangannya belum selesai sampai disini. Masih ada hari-hari panjang penyembuhan. Pada pasien dengan cidera otak berat, tidak ada pemberian obat untuk menghilangkan rasa sakit. Maka dari hari ke hari, yang harus dihadapi oleh si ibu adalah lolongan kesakitan si anak. Tengkorak anaknya dibolongi dengan diameter 10 cm. Potongan tulang tengkorak itu retak, dan dokter mencangkokannya di daerah pinggul si anak agar tulang tengkorak itu bisa merecover diri sendiri. Satu bulan kemudian, tulang tengkorak yang dicangkokkan di bagian pinggul si anak ini tumbuh dan setelah bentuknya rapat lagi, kembali tulang ini dipindahkan ke kepala si anak. Dijahit lagi untuk menutupi lubang yang menganga di kepalanya tersebut.

Sisa hari selanjutnya adalah terapi untuk menyatukan kembali seluruh syaraf.

“Jadi, kadang dalam satu hari anak saya terus menerus tertawa tiada henti. Ini karena syarat tawanya sedang bekerja. Lalu satu hari penuh terus menerus menangis. Satu hari terus menerus menendang, satu hari terus menerus memukul, meninju, memaki, sedih, senang…. satu persatu semuanya muncul. Saya seperti sedang menyaksikan seorang robot. Dan kembali saya berdoa. Saya tidak ingin anak saya sembuh dan menjadi anak yang idiot. Alhamdulillah anak saya akhirnya sekarang sembuh dan tidak idiot. Dia normal.”

Dan memang demikianlah pemandangan yang saya saksikan di hadapan saya semalam. Seorang anak normal yang tidak berbeda dengan anak-anak lain.

“Waktu koma, apa yang kamu impikan?”

“Saya bermimpi bertemu dengan nabi Ibrahim. Dia berpakaian serba putih, berjanggut. DIrinya amat sangat bercahaya sehingga amat susah payah saya melihatnya. Saya pun memajukan lengan saya, untuk melindungi cahaya silau yang menyertai kedatangan nabi Ibrahim tersebut. Lalu, nabi IBrahim tersebut berkata pada saya… “agri, jangan nakal ya. Berbaktilah pada ibumu. Sekarang, pulanglah lagi.”… lalu saya langsung ada di lapangan rumput yang hijau… terus main bola deh. Asyik banget. Sampai akhirnya dibangunkan. dan ada ibu di samping saya….mak, makasih ya.”..” Si anak sambil mengucapkan terima kasih menatap ibunya yang menatapnya masih dengan pandangan rasa syukur. Si ibu lalu menggenggam jemari anaknya dan menciuminya dengan penuh rasa syukur.

“Jangan nakal lagi ya nak nak.”

“Nggak mak. Agri nggak akan nakal, Agri dah janji sama Allah, Agri mau jadi dai.”

Dan memang demikianlah keadaan anak ini sekarang. Setiap pagi dia selalu berdzikir Al Fathihah sebanyak 100 kali.

Lalu saya kehabisan kata-kata. Untuk pertama kalinya, saya diberi karunia pemandangan sebuah mukjizat yang luar biasa.

[]

(menulis masih dengan rasa amazing yang luar biasa. Subhanallah, kuasa Allah benar-benar luar biasa).

Jakarta, 9 Juni 2010

foto ini adalah hasil gambar anak saya, Swarnasari.. menceritakan tentan induk ayam yang selalu melindungi anak-anaknya. Anak si ibu tersebut memang berjumlah tiga orang.


Negeri Kami Begitu Ngeri dan Nyeri

Oleh Syaiful Alim

I

Negeri kami kaya raya

tapi kami banyak yang tidur di pinggir jalan raya.

Negeri kami subur

tapi kami makan beras impor

dan ikan dari singapura dan kuala lumpur.

Negeri kami makmur

tapi jutaan rakyatnya menjemur

basah luka di panas matahari

sudah lama dilindas dilibas reroda kuasa

yang berlumur dosa.

Luka kami jadi jamur

tumbuh di sekejur tubuh

yang membuat mata kami lamur

menanti mati dikubur umur.

Ke mana sumur-sumur kami

tempat mandi, mencuci, dan membasahi

kemarau yang kian birahi.

Ke mana sungai-sungai kami

tempat hanyutkan derit derita

dan jerit sakit berabad lama.

Hutan-hutan mulai gundul

kebun sawah ladang sudah susah dicangkul

anak-anak kami kian sulit digamit dan dirangkul

karena dapur berhari-hari tak mengepul.

II

Lihatlah kaum beragama negeri kami

pandai berakrobat ayat suci

sebagai siasat mengembat kursi.

Lihatlah artis aktor negeri kami

tidak hanya pintar aksi di televisi

tapi juga mencalonkan diri jadi bupati

walikota, dan gubernur cuma bermodal pesona berahi.

Lihatlah rakyat negeri kami

dibiarkan sekarat sampai berkarat keringat.

Beribu-ribu mengungsi

ke negeri orang mencari sekerat roti

meski dicaci maki, disetrika, diperkosa

dan dijual di tempat-tempat prostitusi.

Lihatlah anggota dewan kami

enak naik sedan produk luar negeri

rakyat bersedu sedan, berjejal-jejal pantat

berdiri bergelantungan bagai monyet

di tiang besi bis kota tua terkutuk

bau apek bau keringat busuk

menusuk-nusuk indra cium

belum lagi jemari-jemari

yang mengendap-ngendap dompet

hendak mencopet.

Lihatlah pejabat-pejabat kami

mereka sudah berubah jadi tikus-tikus berdasi

sementara kami makan nasi basi.

Aduhai serdadu yang lihai melesatkan peluru

sesatkan arah tuju ke kepala koruptor-koruptor itu

jangan kau bidik rakyat cilik

mereka sudah lama berdarah tercabik.

Negeri kami kotor

oleh ulah teror penjarahan upah buruh

dan kami pasti kalah oleh leleh peluru yang luruh

dari mulut-mulut pejabat yang tiba-tiba jadi tikus sawah

mencuri keringat, air mata, dan mata air yang sepuh

tertanam di tubuh melepuh.

III

Kami ingin menangis

tapi air mata habis.

Kami ingin tertawa

tapi duka senantiasa terbawa.

Kami ingin teriak mengoyak langit

tapi kami kehilangan suara jerit.

Kami ingin bersaksi di hadapan matahari

tapi matahari sudah mereka beli.

OH NEGERI KAMI BEGITU NGERI DAN NYERI

[]

Khartoum, Sudan, 2010.


Doa-Doa Manusia Teraniaya ( Lima Sajak )

Oleh Syaiful Alim

Sajak Kesatu: Doa Petani

Tuhan yang Maha Kaya
ini doa terakhir kami yang teraniaya:

Beri kami beras setakar
yang mengenyangkan bermusim-musim lapar.
Kau tahu, kami tak punya sawah lagi
sudah ditanami bangunan-bangunan mewah tanpa hati.

Perut negeri kami latah
lebih gagah mengunyah beras impor
daripada beras sendiri
yang dimasak di kompor dan bau minyak tanah.

Para koruptor mencuri padi dari lumbung kami
lalu ditimbun di lambung-lambung busung mereka
dengan perut hamil lima bulan, entah beratnya berapa.

Kami pupuk tanaman padi
dengan air mata dan keringat
tapi sepi tak kunjung menepi
panen gagal, harga padi dijegal
politik ekonomi yang tak pernah
memihak rakyat.

Kami selalu melarat
Padahal kamilah yang punya sawah, tomat,
gandum, buah-buah berpipi langsat.

Anak-anak kami sekarat
di meja makan, karena menunggu
Ibu masak batu di tungku.

Masa depan kami bagai besi berkarat
hidup tanpa sumur pembasuh peluh
tanpa pohon langit berteduh
tanpa bunga mawar penawar penat.

Tuhan yang Maha Adil
doa kami cuma kecil!

Beri Kami Beras Setakar.

[]

Sajak Kedua: Doa Pelacur

Tuhan,
aku masih fasih menyebutmu ternyata
aku melulu tersisih dari mereka
yang melirikku dengan risih dosa.
Beberapa hari lalu aku ke mushola
sembahyang dan berdoa
tapi tiba-tiba bekas sujudku disiram karena
disangka najis
aku nangis berjalan menuju jalan raya
tanpa busana
tapi tiba-tiba mereka menyeretku
ke sebuah rumah ramah sarang laba-laba

: aku diperkosa.

Mereka bagai anjing
menyantap daging
dengan liur kering
dan lolong nyaring.

: akulah surga sebenarnya.

Tuhan,
Jika mereka kau masukkan surga
aku tidak terima
mereka sudah mengunyah surga
dari tubuhku
sementara aku ditujah neraka
dalam segala gerakku.

“Tuhan, hakikat surga dan neraka itu apa
jika yang saleh dan pendosa tak ada beda
mereka yang mengaku suci ternyata
mengkhayalkanku melucuti pakaianku
satu persatu, dan diam-diam mereka
meniduriku tanpa menyelipkan sehelai
rupiah di bra atau celana dalamku.”

Ah, Tuhan, apakah aku masih boleh meminta?

[]

Sajak Ketiga: Doa Anak Tukang Becak

Tuhan yang Maha Kaya
Bapakku tukang becak
beri ia uang yang banyak
dari keringat yang terbuang
di jalan sepanjang kota.

Tuhan yang Maha Karunia
becak bapakku masuk penjara
karena dituntut undang-undang jalan raya
bapakku tak bisa kerja
ibu butuh biaya belanja
adik sakit malaria
bagaimana?
minjam uang tetangga, malah dihina
minta kepala negara, pasti digertak penjaga istana.

Aku baca kitab suci dan dengar ujar kiai
bahwa Kau Maha Pemberi Rizki
tapi kini tiada bukti
Kau biarkan kami mati.

Oh barangkali aku harus nulis sajak
supaya derit derita sedikit reda
melupa sakit yang sejak lama.

[]

Sajak Keempat: Doa Anak Tukang Bakso

Tuhan
Gerobak bapakku rusak ditabrak mobil
barang jualan berserak di jalan
tulang-tulang bapak retak.

Kini aku jadi tukang bakso
mengganti bapak yang masih loyo
mendorong gerobak dari toko ke toko
dan gang ke gang
tapi tiba-tiba banyak anak geng
yang menggandeng botol dan pisau:

“Ayo beri kami pentol, jika tak, kupukul botol”

Bagaimana aku memberi
baru terjual satu dua mangkuk
lalu mereka ngamuk
menekuk
menusuk
aku ambruk
remuk.

Polisi tiba
kami semua diciduk.

Tuhan!

[]

Sajak Kelima: Hari Buruh, Haru Luruh

Kami berkumpul di lapangan pinggiran kota
aspal mengepul terik matahari
merapal kata, menghapal luka-luka
yang tak henti.

Kami ingat ketika demo
naik bemo depan istana negara
kami dipukuli sekompi polisi
banyak yang mati
dengan perut tak terisi sebiji nasi.

“Sampai kapan kami tidur tanpa dipan
kapan kami bisa hidup mapan”

Cuma itu yang kami teriakkan
sampai serak
berak peluh dan air mata.

Oh, sungguh mahal perihal hidup layak
kami mati dikoyak kehendak.
Oh, sungguh kental bantal ombak
kami mati disentak tombak.

Oh, apakah hari masih mampu menampung pedih
jika kami risih tersisih.
Oh, apakah matahari masih menampang perih
jika suara kami tinggal lirih.

Oh!
Hari Buruh
Haru luruh!

[] Khartoum, Sudan, 2010.


Isu Sosial Demokratik Gaya Lama Terbantai

(Telaah kritis terhadap artikel “Kader: Tulang Punggung Revolusi” yang sesungguhnya menyindir kesalahpahaman kaum Sosial-Demokratik)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

GUEVARA, dalam artikel “Kader: Tulang Punggung Revolusi”, sangat percaya akan model pengembangan kader yang bermula dari garis-garis perjuangan revolusioner, sekaligus mengritik habis-habisan kebijakan pemerintahan baru Cuba paska revolusi Cuba yang mengantarkan negara itu dalam pemerintahan komunisme gaya Castro.

Guevara menyebut; segala sesuatu yang terjadi dalam pemerintahan adalah kemunduran yang diakibatkan metode asal tunjuk terhadap posisi-posisi vital dalam pemerintahan baru Cuba yang berpotensi dijadikan alasan atas tudingan kelemahan sistem yang mereka anut.

Padahal, menurut Guevara; keadaan itu terbentuk bukan disengaja, tetapi lebih dikarenakan umur pemerintahan yang muda, dan revolusi yang dilakukan agak tergesa-gesa. Ini menghilangkan pertimbangan secara rasional bahwa sebuah pemerintahan akan berdaya di hadapan masyarakat (revolusioner) apabila semua posisi vital itu diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja.

Lalu, Guevara, masih dalam artikel tersebut, mengajukan opsi upaya pengkaderan yang memang sejatinya berangkat dari semangat revolusioner yang mereka perjuangkan dari awal. Tidak bergeser, bahkan berpindah.

Saya teringat, sebuah kelompok perjuangan serupa di Indonesia yang bergelora kembali selepas masa Orde Baru. Front Rakyat Demokratik, kelompok yang didominasi mahasiswa dan kelas pekerja/buruh itu, menjadi begitu euforia ketika era totaliter Orde Baru berakhir, seperti memberi mereka ruang dan peluang untuk bersuara, bahwa cita-cita revolusioner mereka—dengan menduplikasi semangat revolusioner Cuba—akan berlanjut dan subur.

Harapan yang membungkus ide dan gagasan mereka itu, sebenarnya belum matang, jika melihat dan bercermin dengan kondisi Indonesia, sekaligus diparalelkan dengan kondisi Cuba dalam artikel Guevara. Kematangan berpolitik, bahkan kepiawaian mengelola kebijakan dan program ekonomi mutlak adanya.

Bagaimana mungkin Front Rakyat Demokratik—yang kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Rakyat Demokratik diera multipartai tahun 1998—berharap merebut kekuasaan melalui pemilu yang sebagian besar pasar politiknya didominasi lusinan partai-partai besar dengan pengalaman yang telah membumi. Bagaimana mungkin kelompok ini berharap membangun sebuah negara yang luas dan kompleks macam Indonesia dengan sebuah jargon “Pemerintahan Rakyat Miskin”.

Jargon revolusioner—sangat revolusioner malah—jika melihat kemampuan dan daya dukung sumberdaya manusia serta isu sosial yang menghadang di depan mereka. Seketika Anda akan ditubruk sebuah kenyataan realistis bahwa upaya revolusioner itu adalah sia-sia.

Tidak kah sindiran Guevara, di awal-awal artikel itu, memberi sedikit ruang bagi pemikiran rasional, bahwa upaya sempalan itu akan berakhir tragis: tidak diperhatikan bahkan diacuhkan.

Kesadaran itulah yang mungkin menghinggapi orang macam Budiman Sudjatmiko untuk tidak terlena dengan rencana besar yang bakal berjalan pincang jika diperhadapkan dengan realitas Indonesia. Sebagaimana rencana PKI, yang juga sangat revolusioner dijamannya, kandas semata-mata dikarenakan rivalitas politik yang tidak sehat, dan mematikan.

Jika PKI saja harus mengalami nasib tragis, dimatikan dan dikalahkan, oleh komponen yang seharusnya berada dalam posisi pergerakan mereka, yakni tentara, yang telah kalaboratif dengan kepentingan politis partai-partai berkuasa ketika itu, bagaimana bisa FRD atau PRD berharap lebih di tengah resistensi besar karena perubahan pola fikir rakyat Indonesia yang terdikotomi tiga dasawarsa lebih, bahwa faham yang mereka usung bukan solusi praktis mensejahterakan rakyat Indonesia. Dianggap berbahaya dan laten. Mimpi indah yang harus pungkas lebih awal.

Maka, Budiman Sudjatmiko pun, harus meredam keinginannya, dan memindahkannya dalam statuta perjuangan parpol yang lebih besar.

Jika sulit melawan dominasi lusinan partai besar, mengapa tidak melebur didalamnya. Bukankah ideologi, pemahaman, dan fikir tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Sederhananya, wadahnya boleh mangkok atau piring, tetapi kita tetap bisa menikmati sereal diatasnya, bukan? Yang Anda baca barusan, bukan pemikiran Budiman Sudjatmiko. Tetapi pemikiran saya ketika melihat gejala itu pada Budiman Sudjatmiko. Mungkin pergerakan Budiman dilandasi dengan pemikiran dan alasan berbeda, tetapi bahwa pemikiran Budiman identik dengan gejala yang saya tangkap, bisa benar adanya.

Kelemahan mendasar yang dimiliki kelompok dengan basis gerakan massa proletar macam Urban Poor Consorsium, Jaringan Miskin Kota, Liga Mahasiswa untuk Demokrasi, dan sebagainya—yang suatu ketika berfusi dalam sebuah Partai Rakyat Demokratik (1998), kemudian POPOR (2004)—adalah tidak adanya korelasi dalam agenda aksi mereka antara visi kenegaraan menuju kesejahteraan rakyat, dengan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia yang terbingkai dalam berbedaan agama, suku, ras, kepentingan politik, ekonomi, dan sosial.

Buntunya korelasi ini makin nyata menjadi penghambat abadi bagi perjuangan paham sosial demokratik di Indonesia. Di sisi lain, argumentasi tentang maksud “Pemerintahan Oleh Rakyat Miskin” gagal dikomunikasikan secara gamblang dan terperinci, sehingga apa saja seputar rencana itu, tak bisa ditangkap sebagai sesuatu yang dapat diwujudkan, dan terukur.

Sementara, keikutsertaan beberapa elemen yang menyebut diri mereka sebagai rakyat miskin, tidak cukup menggambarkan keterwakilan kaum proletar dalam bingkai pergerakan tersebut. Sehingga, ketika orang menilainya, kelompok ini lebih mirip organisasi sempalan ketimbang organisasi yang memuat rencana besar terhadap cita-cita perubahan.

***

Guevara memang telah menyindir siapa saja pelaku sosial-demokratik di dunia. Dengan sindiran Guevara tersebut—dan membandingkannya dengan realitas kekinian—saya dapat menarik kesimpulan; bahwa inti sebuah gerakan revolusioner tidak lagi berpijak pada opsi penumbangan kekuasaan kapitalis dengan jalan pembentukan partai politik, atau dengan yang lebih ekstrim, yakni jalan senjata.

Perubahan jaman yang demikian cepat tidak lagi membuat isu sosial-demokratik dapat diterapkan dengan cara-cara lama. Jika Cuba, Korea Utara, China dan Rusia, masih dapat meletakkan fundamen faham ini pada tataran negara-bangsa mereka, maka ini sulit dilakukan di masa sekarang.

Kader, Guevara menekankan maksudnya pada kata tersebut. Dengan membangun kader sosial-demokratis yang kuat, berdaya, terampil dan intelektualis, maka gerakan dan faham sosial-demokratik akan tetap tumbuh dan subur di medium apa saja, kondisi apa saja, dan dalam tekanan manapun. Kader itu tidak dapat lagi diarahkan pada perjuangan revolusioner gaya lama yang cenderung menghabiskan tenaga, sumberdaya, dan kurang populis.

Sindiran Guevara itu sekadar hendak membungkus niatnya dan visinya ke depan, bahwa kader sosial-demokratik akan tetap dapat bertahan jika mereka memiliki kemampuan yang disyaratkannya, dan diterapkan di semua medium, baik politik atau sosial. Perjuangan kader sosial-demokratik ke depan tidak lagi harus berpusat dalam kelompok-kelompok yang berpotensi dihancurkan dengan mudah, tetapi kader harus melebur dalam partai politik mana saja, organisasi massa mana saja, dan aliran mana saja.

Demikian. Tetaplah Kritis dan Berpikir Merdeka. []