Tag Archives: cerita

[E-Book] Bunga Rampai Cerpen Minggu Ke-V, Juli 2012

Klik gambar untuk melihat dan mengunduh

E-Book Bunga Rampai Cerpen Mingguan

Minggu ke-V, Juli 2012

Periode: 23 – 29 Juli 2012


Kejutan Terduga ala Ilham Q. Moehiddin dan Boim Lebom

Oleh Ade Anita

Kejutan Terduga. Ya…kalian memang tidak salah baca, ini memang tertulis kejutan terduga. Artinya, sebuah kejutan yang sudah diduga bakalan terjadi tapi ternyata tetap mengejutkan. Ada banyak contohnya, seperti dugaan kita bahwa nilai di raport akan dapat segini-segini-segini sambil mengingat-ingat nilai-nilai yang sudah kita ketahui sebelumnya dari hasil evaluasi belajar kita. Tapi, ketika pembagian raport dan kita membuka buku raport tersebut, tetap saja ada kejutan tak terduga meski kita sudah menduga sebelumnya. Sensasi surprise yang kita peroleh terasa seperti sesuatu yang belum kita ketahui sebelumnya.

Atau ketika berlari setelah tiba-tiba seseorang berteriak, “Bu, bu, anaknya jatuh tuh…sekarang dia menangis.”

Kita sudah tahu rupa anak kita sendiri jika sedang menangis, pasti bibirnya manyun, air matanya dideras-derasin…sederas-derasnya guna menarik simpati banyak orang…sebanyak-banyaknya. Tapi tetap saja ketika di ujung pelarian kita untuk menghampiri anak kita tersebut, tetap muncul sensasi surprise yang mengejutkan. “Ya Allah, anakku menangis, air matanya deras banget, kenapa, nak?”Padahal sudah diberitahu sebelumnya bahwa dia terjatuh.

Semua kejutan yang sudah diduga itu memang kadang tidak masuk di akal sehat. Kenapa masih bisa tetap mengejutkan? Kenapa semua dugaan yang sudah diprediksikan sebelumnya itu masih bisa tetap mengejutkan?

Dan, inilah yang saya temui ketika membaca dua buah cerpen dari dua orang penulis handal yang saya baca kemarin dan beberapa hari yang lalu. Keduanya menyajikan dua buah cerpen yang cantik.

(terlepas dari kefrontalan tema, pemilihan bahasa, judul, penggambaran situasi yang mungkin tidak cocok untuk beberapa orang dan sebagainya. Hmmm, jujur, saya sebenarnya berusaha keras ingin tetap menulis dan membaca yang cerah-cerah dan mencerahkan saja. Tapi, kemarin seorang teman mengingatkan betapa pentingnya untuk menilik sejenak kenyataan yang terpapar sehari-hari, yang begitu dekat dengan kehidupan real masyarakat kebanyakan. Well, teman. Ini penjelasan saya. Bukan maksud saya menghindar menulis kisah itu, hanya saja, kadang saya ingin sesuatu yang menghibur diri sendiri karena lelah juga terus menerus menyaksikan kesusahan, kesulitan, kesengsaraan, dan problema hidup yang membelit. Kadang, saya merasa menulis dan membaca adalah seperti sejenak mengintip “surga” agar kembali semangat dalam perjalanan panjang di dunia menuju akherat yang kadang terasa menjenuhkan).

Ya sudah…tidak usah berpanjang-panjang, silahkan baca dua cerpen cantik ini. Keduanya sebenarnya memiliki karakter dan gaya yang amat berbeda tapi punya sebuah persamaan, yaitu sama-sama menampilkan kejutan. Dan lihat kepiawaian dua penulis handal ini menyajikan kejutannya. Saya sendiri, belajar banyak dari dua cerpen ini. Yaitu bahwa menulis itu membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Yaitu kesabaran untuk terus menyusun kata demi kata agar bisa tetap memikat pembaca tulisan kita hingga tetap setia membaca apa yang kita tulis. Juga kesabaran untuk menyimpan kejutan di akhir cerita (ada banyak penulis pemula yang tidak sabar ingin cepat-cepat membuka kode rahasia/cluenya, bahkan membuatnya tidak rahasia lagi) dan terus meminta pembaca agar sejenak melupakan kejutan di akhir itu dan terus menyaksikan suguhan kita dengan nyaman. Saya sendiri belum bisa melakukan itu. Itu sebabnya kedua cerpen ini saya simpan karena saya ingin belajar banyak.

[]

KUTANG

Oleh Ilham Q. Moehiddin

“JANGAN gantung disitu!” teriak Jajang, perempuan pelacur yang dibawa ayah seminggu lalu, sudah mulai bertingkah.

Mariam yang hendak menyampirkan kutang Jajang di pagar rumah, bersama cucian lainnya, terlonjak kaget. Masam mukanya. Mariam lalu berputar ke samping rumah, lantas melempar begitu saja kutang Jajang ke atas perdu rimbun dekat kandang ayam. Ini pun tanpa setahu Jajang. Sebab, jika Jajang sampai tahu, kutangnya dilempar begitu saja, jelas ia segera datang mengomeli Mariam. Tapi Mariam tidak acuh. Setelah membalik baskom, ia kembali memasak.

Jajang sedari bangun, sudah duduk kangkang di beranda. Daster yang dikenakannya membuat bentuk pinggul dan buah dadanya amat kentara. Akibatnya beberapa bapak dan mahasiswa yang kebetulan melintas depan rumah, melotot hingga hampir masuk got. Dan, Jajang tak peduli. Sudah dua batang lisong ayah dihabiskannya, ditemani segelas kopi buatan Mariam, tentu saja tanpa setahu ayah. Ayah sudah pernah marah perihal lisong itu.

“Lisong itu jangan kau habiskan Jang, untukku nanti tak sehari sudah habis. Kau kan sudah kuberi uang, belilah rokok menthol kegemaranmu. Katanya, biar kau tak mudah hamil,” kata ayah sambil menyesap kopi buatan Mariam. Wajah ayah tertekuk, bibir ayah tertarik ke dalam. Digelengnya kepala berulang-ulang. Pahit, pasti tanpa gula, mungkin begitu ayah membatin. “Kopimu lagi-lagi enak pagi ini, Iam.” Mariam tak menyahut.

“Sudah aku katakan, sisakan lisong itu buatku!” Ayah tiba-tiba muncul di pintu.

Kali ini Jajang tidak bisa berkelit. Ia ketahuan mengisap lisong ayah. Jajang cemberut. Dilemparnya tiga lisong ke atas tas kerja lusuh ayah. Ayah merapikan kerah bajunya…meraih kunci truknya lalu menuju pintu pagar.

Jajang tersenyum. Kuakui, Jajang memang cantik jika senyum tanpa lisong ayah dibibirnya. Ayah mengusap kepalanya, lalu menepuk paha Jajang, “jangan terbiasa duduk kangkang seperti itu, orang perempuan akan selalu cantik jika bisa sedikit sopan.” Ayah berkata datar, senyum sekilas, lalu pergi.

Jajang menatapi punggung ayah hingga lepas dari matanya, lalu masuk kamar. Entah apa yang dibuatnya di dalam. Aku rapikan sepatuku, lalu ke dapur. Mariam sedang menggoreng telur setengah matang untuk sarapanku.

“Pergi sendiri?” Mariam bertanya, sambil meletakkan piring didepanku.

“Tidak. Linggar akan kemari menjemputku.” Jawabku sambil meneguk teh.

“Mau kubuatkan telur satu lagi?”

“Tak usahlah. Linggar pasti sudah sarapan sebelum kemari.”

“Baiklah.”

Mariam adik ayah. Dia tinggal bersama kami sejak kematian ibu delapan tahun lalu. Dia benar-benar memegang amanah ibuku, untuk menjagaku. Mungkin karena amanah ibu Mariam belum mau menikah sampai sekarang. Beberapa lelaki dari kampung kami sudah pernah datang menemui ayah, meminta Mariam sebagai istri. Tapi Mariam menolak halus, menjadikan diriku sebagai alasan penolakannya. Aku kasihan padanya. Sekaligus senang karena dia masih bersama kami.

Aku tak tahu kalau Linggar sudah datang. Dia tidak ke dapur, tapi langsung ke kamarku. Aku tahu apa yang dibuatnya dikamarku. Hal itu mendadak jadi kebiasaan Linggar semenjak Jajang ada di rumah ini.

Aku sudah memperingati Linggar agar perbuatannya dihentikan. “Nanti lubang itu ayah lihat. Ayah sering kemari melihatku belajar. Ditanyakannya nanti lubang itu, lantas aku mau jawab apa?”.

Tapi Linggar tidak peduli.

Jadilah, dia setiap pagi datang, beralasan menjemputku, lalu menunggui lubang buatannya di dinding kamarku yang tepat bersebelahan dengan kamar ayah dimana Jajang lebih banyak menghabiskan waktunya.

Jika Jajang tidak segera dibawa ayah kembali ke tangsi truk, Linggar tidak akan berhenti. Linggar pernah bilang padaku, bahwa Jajang itu sangat cantik menggoda, muda, membuatnya tidak bisa tidur terus memikirkan kemolekan tubuh perempuan itu. Kalau saja Jajang bukan perempuan milik ayah, sudah pasti akan diajaknya lari. Linggar itu sudah gila, barangkali.

Tetapi, aku agak terganggu dengan komentar komentar Linggar tentang perempuan itu. Penasaranku timbul, apa sebenarnya yang dilihat Linggar melalui lubang di dinding kamarku itu? Apa mungkin yang dilihat Linggar adalah tubuh telanjang Jajang saat sedang berganti baju? Atau Linggar senang menatapi pantat montok Jajang yang kerap berdiri di ambang jendela kamar ayah?

Jujur saja aku turut menikmati keuntungan dari rutinitas Linggar itu. Karenanya, Linggar akan tiap pagi ke rumah ini, menjemputku. Paling tidak, aku bisa berhemat untuk biaya angkot ke kampus.

#

Hari ini Mariam kembali mengeluh pada ayah perihal harga gula dan minyak tanah. Tapi ayah tidak berkomentar. Ayah hanya memberi Mariam sepuluh ribu rupiah. Itupun kata ayah untuk tiga hari. Tatkala Mariam hendak protes, ayah buru-buru menimpali, “…ada baiknya dapurmu terus menyala Mariam, tapi bersabarlah. Terima dulu uang itu, nanti aku tambah. Saat ini aku tak punya lagi. Uang dua puluh ribu rupiah ini untuk Jajang. Katanya, rokok dia habis dan kutangnya sobek lagi.” Katanya pada Mariam sambil melipat uang dua puluh ribuan yang lalu diselipkan ayah dibawah gelas kopinya.

Sambil berjalan ke kamar mandi ayah menggerutu pada dirinya sendiri, “…kenapa perempuan itu mesti beli kutang saban hari. Perasaan…aku tak pernah mengoyak kutang perempuan.”

Kulihat Mariam merah pipinya, rupanya dia malu…tutur kata ayah terdengar olehnya.

Sambil bersabun, ayah masih juga bicara tentang minyak tanah, “…kalau minyak kau habis, dan aku tak ada, suruh saja si Anwar mengumpulkan kayu kering dari pohon-pohon di taman kota sana.”

Mendengar itu, aku spontan teriak, “Tidak! Nanti aku ditangkap orang Tantib dituduh mau mencuri kayu!”

“Ya..sudah.” Ayah menyahutiku pelan.

#

Usai mandi, ayah berkata hendak ke pangkalan truk. Ada barang yang hendak diantarpulaukan. Aku tak habis pikir, kenapa jika ayah hendak ‘nyetir’ ke luar kota, tidak pernah memberi tahu jauh jauh hari. Tidak pula hendak membawa serta Jajang. Kata ayah, biar Jajang di sini dulu, sebab ayah mungkin pulang agak lama. Ayah malah menyambung kalimatnya dengan sedikit menyinggung aku, bahwa aku tidak begitu suka Jajang ada di rumah ini.

Sebenarnya bukan aku tidak begitu suka akan kehadiran Jajang. Aku akui, Jajang sungguh membuat rumah ini sedikit ramai. Yang aku tidak suka adalah gunjingan tetangga, dan tentunya rutinitas Linggar dikamarku. Sibuk memelototi tubuh Jajang dari lubang di dinding kamarku. Sekarang lubang itu kian besar saja ukurannya. Dia tak puas dengan ukuran sebesar kelingking. Justru itu yang aku takutkan, semakin besar lubang buatan Linggar, semakin besar pula peluang ayah akan melihatnya.

Ayah lalu pergi, tentunya diantar Jajang ke pintu pagar. Sepeninggal ibu delapan tahun lalu ayah sangat kesepian. Jika bukan Jajang yang dibawanya ke rumah, pasti Marliah, perempuan yang tidak pernah berhenti mengunyah. Rahangnya selalu bergerak. Selain gembul, perempuan itu sangat boros menggunakan air. Jika mandi, nampak air di selokan belakang mengalir tak putus putus. Aku tak suka Marliah. Masih baik jika ayah menginapkan Jajang. Hanya saja, Marliah tak pernah meributkan kutang seperti Jajang.

Aku urusi saja kuliahku. Aku tidak mau otakku dipenuhi masalah rumah, soal kegemaran Linggar mengintip, perkara dapur Mariam, dan tentunya keributan kecil soal kutang Jajang.

#

Bahasan kuliah tak mau masuk ke otakku. Jamilah telah menulis sepenggal pesan yang disampaikan padaku lewat temannya. Mila tak menulis banyak pesan, kecuali bahwa ia tak masuk hari ini. Kusampaikan pula pesan lewat kawannya itu, bahwa aku akan menemuinya di kontrakannya selepas urusan dengan dosen pembimbingku sudah pungkas.

Di halaman kantor fakultas, Linggar telah menunggu aku, Senang sekali tampangnya.

“Nanti malam aku ke rumahmu ya?” Bujuk Linggar.

“Buat apa?” Tanyaku sambil membereskan diktat yang tertiup angin.

“Aku ingin ketemu Jajang.”

Aku terpana. “Tidak.”

“Kenapa? Ayahmu kan tidak ada.”

“Pokoknya tidak boleh,” kataku tegas, dan sebelum Linggar menyahutiku, aku menyambung, “…aku tak mau kau kena damprat ayah kalau ketahuan menggoda perempuannya.”

“Aku tak akan menggodanya. Aku hanya akan mengobrol sedikit padanya. Lagi pula di rumah kan ada Mariam.”

Aku menatap Linggar. Kuperhatikan gelagat anak ini. “Baiklah.” Kataku.

Linggar tersenyum menang, tapi segera ku tarik bahunya, “Eit..tunggu dulu. Kau harus ingat, jangan macam-macam!” Aku memperingatinya.

“Santailah sedikit. Aku tahu kau sedang khawatir dengan Jamilah. Temuilah dia.” Linggar meyakinkanku sambil menepuk pundakku.

Aku harus ke tempat Jamilah. Aku bergegas, sebab kurasakan pelataran ini makin panas.

#

Aku tiba di rumah sudah hampir sore. Begitu tiba aku tak langsung masuk kamar, tapi terus ke dapur. Mariam tidak ada, namun semua yang aku butuhkan saat ini sudah tersaji di atas meja makan. Benar, aku sangat lapar. Tapi niatku urung, laparku mendadak lenyap saat telingaku menangkap suara renyah tawa Jajang. Asalnya dari kamarku. Segera kuhampiri kamarku, tapi Linggar baru saja keluar. Dia melihatku, mengancungkan jempolnya, sembari memberi isyarat agar aku tenang saja sebab tak terjadi apa-apa. Kutengok kamarku, ada Jajang di dalam, dan sedang duduk di kursi meja belajarku.

“Keluar.” Aku berteriak pendek pada Jajang, dan perempuan itu segera keluar tanpa membantah, lalu masuk kamar ayah. Kutatap Linggar dengan sinar mata bertanya.

“Tenang saja. Aku sudah berjanji kami hanya akan ngobrol,” kata Linggar sambil meraih ranselnya.

“Tapi dia perempuan ayahku!” Kataku sambil menekan suara.

“Tapi bukan istri ayahmu kan?!”

Aku tertegun Linggar menjawab begitu. “Oke… Lalu kenapa?”

Linggar mengangkat keningnya. “Kau pasti paham jika siapapun boleh bercakap dengannya.” Datar saja Linggar berkata.

Aku tak membalas kalimat Linggar. Sahabatku itu mengacak-acak rambutku, lalu pergi begitu saja.

Baiklah. Sebatas mereka tak berbuat apa-apa, akan sedikit membuatku lega. Kutengok ke luar sebentar sebelum menutup pintu, kulihat enam kutang masih tersampir di pagar samping rumah. Pasti kutang Jajang.

Malamnya aku minta Mariam mengawasi Jajang selama aku tak di rumah. Dengan mengangguk Mariam menyanggupi tugas itu.

#

Seminggu kemudian, sepulang kuliah, kutemukan sebentuk paket di meja beranda. Paket tanpa pengirim, tapi jelas tertera nama Jajang sebagai penerima. Paket itu agak besar, tapi tak berat seperti terlihat.

Kuserahkan saja paket itu pada Jajang. Perempuan itu gembira menerimanya dan langsung masuk kamar. Masih kudengar suara ringannya dari balik dinding tipis bilik ayah. Pastilah dari ayah, batinku.

#

Tiga hari kemudian, sepulang dari pertemuan liga mahasiswa, lapar nyaris hendak membunuhku. Di pagar rumah kulihat lima kutang tersampir. Semuanya baru dicuci, dan tampak masih baru. Tadinya hendak kuminta Mariam memindahkan semua kutang itu ke samping rumah. Tapi lapar perutku tak bisa berkompromi lagi, sebelum menuju dapur, kupindahkan sendiri kutang-kutang itu.

Lalu aku ke dapur mencari Mariam. Kutemukan adik ayah itu sedang mengatur perabot dapur yang baru selesai dicucinya.

“Ada lauk apa?” Tanyaku sambil meraih tudung makan.

“Hanya nasi. Aku tak masak lagi, minyak habis,” kata Mariam tanpa menoleh. Dari apa yang kulihat, Mariam memang hanya meletakkan sepasu nasi di atas meja.

“Secepat itu?”

“Kalau ingin lauk, beli mie bungkus saja. Air panas ada kok.”

“Jajang kemana?”

“Di kamar ayahmu.”

Perih lapar diperutku makin menggila. Aku ke kamar hendak mencari beberapa recehan di meja belajarku untuk sebungkus mie instan di kios ujung gang.

Ketika sedang mencari, mataku terpaku pada lubang buatan Linggar. Penasaran membuatku melupakan sejenak niat menemukan recehan diantara tumpukan kertas kuliah.

Perlahan aku dekati lubang itu. Sebenarnya apa yang sering dilihat Linggar melalui lubang ini. Baru saja kutempatkan mataku di sana, secepatnya kutarik kepalaku ke belakang. Jika tidak menyaksikan sendiri, tentunya aku tak akan pernah percaya. Di kamar ayah, kulihat Jajang sedang bersama sahabatku Linggar. Di kamar ayah..di ranjang ayah..bersama perempuan simpanan ayah, sahabatku Linggar tanpa busana…sedang menggeluti tubuh telanjang Jajang. Daster, celana dalam dan kutang Jajang…tersampir dimana mana.

Linggar dengan penuh berahi menciumi tubuh telanjang Jajang…dan perempuan itu begitu menikmatinya sambil tersenyum senang.

Aku tiba-tiba muak dengan kedua manusia ini. Mataku masih saja lekat di depan lubang itu. Saat itu Mariam masuk, “Nwar, kamu boleh kok utang di warung sebelah.”

Aku kaget setengah mati. Aku Gugup. Seperti orang yang tertangkap basah, aku menyambut kalimat Mariam.

“Apa..kutang? Kutang siapa?

[]

Kendari, 2003

[ sumber : Kutang. Bab VI. Cerpen. Antologi Kitab & Tafsir Perawan ]



———–sekarang cerpen yang lainnya.

CERITA PAGI 2

by Boim Lebon on Tuesday, 23 November 2010 at 08:20

Pagi2 mau berangkat kerja. Kadang naik bis, naik motor atau bawa mobil. Hari itu mau ke kantor naik bis aja, karena lbh santai, praktis dan ekonomis. Tiba-tiba ada dua anak lewat depan rumah sambil tertawa-tawa.

“eh, liat Abit gak? dia e’e’ di mobil papanya …”

“iya, liat … hehe lucu ya, sambil meringis!”

“ksh tau yuk ke mamanya?”

“jangaaan … hehe, ntar Abit dimarahin looh!”

saya cuma mesem-mesem aja ngeliat anak-anak tetangga yang masih senyam-senyum itu. Tapi selanjutnya anak2 berumur 6-7 tahunan itu berlari.

Dan ketika saya mulai meninggalkan rumah, seorang tetangga nampak sedang memanasi Avanzanya, “mau bareng Mas Boim?”

“Oh, boleh, makasih,’ kata saya, ‘ngerepotin gak?”

“Ah, enggak…lagian saya keluar tol Kebun Jeruk juga kok.”

Oh, ya, udah, daripada naik bis, sekarang ke kantor nebeng Avanza tetangga, deh.

Saya dipersilahkan duduk di bangku depan samping sopir. Tapi begitu sy duduk, kok bangkunya agak basah…?

Saya liat kayaknya ada sesuatu yg … iiih, gak bisa digambarkan dng kata-kata, nih. Soalnya sy diam terus, sampai si tetangga itu bilang, “anak sy yang kecil buang-buang air melulu Mas, kenapa ya? Masuk angin atau kenapa y?”

Sy cuma bilang, “mungkin juga, sih …terus td dia masuk ke mobil ini ya?”

“Eh iya, emang kenapa, Mas?”

“Ah, enggaaaaak …..” dalam hati gak enak, udah numpang masak protes?

[]


Wapanda

Oleh Adhy Rical

kaukah yang bernyanyi itu, wapanda?

katakan dengan pelan

jika lesung menjadi tempat sepatu atau ternak kutu

lalu ranjang yang buatmu geliat tak gairah:

alu bertalu-palu di bawah bendera

jangan menangis, wapanda

orang-orang akan datang memburu iba

sebelum kau mengerti

derita hanya sebatas mata

petaka bermula dari kata-kata

bukan layar kaca

aku menyaksikan kerumunan cerita

menjadi lampiran dan sampiran

sesajen sayembara, tradisi lima tahunan

jangan menangis, wapanda

tanah ini milik negara, katanya

kuburan belakang rumah memang tak berpagar

tapi tak pernah ada babi yang merusak dan menggali

kecuali mereka

Batumarupa, 2010

[]

wapanda (bahasa Wanci, kepulauan Wakatobi):

secara harfiah berarti ‘pendek’, maknanya meluas menjadi sapaan untuk perempuan yang disayangi tapi tak dikenal, ‘kekasih’.

foto: lita pauh (dok)


Di Bawah Pohon Pete

Oleh Dwi Klik Santosa

bulan pucat dalam jepretanku. foto : dwi ks, 6 agustus 2009; 23.09

Aku pernah menangis di bawah pohon itu

Entah karena apa

Mungkin disebabkan aku merasa tidak akan pernah lagi

Mendengarkan pengetahuan-pengetahuan indahnya

nada marahnya, cerita lucunya

bahkan isak tangisnya

Sungguh mati, aku merasa kehilangan

Dan sangat gusar kapan lagi akan menemukan

Aku pernah menangis di bawah pohon itu

Ketika banyak orang berebutan paling depan

hendak melepasnya menuju

Hanya bersender aku dibawah pohon itu

Sunyi dan sepoi ditemani angin bukit

Tersibak-sibak rambutku

Menggerak-gerakkan mata untuk luruh

dan mengucap doa yang tak seberapa fasih

“Tuhanku, hamba berbicara kini

Sebagai manusia rapuh

Makhluk yang suka sekali mengeluh

Banyak menuntut dan rajin membohong pada diri

Hamba ingin bersyukur kepadaMu, Tuhan

Hamba ingin curhat kepadaMu

Yang Kaupanggil hari ini, semogalah tunai kembali kepadaMu

Sedang makhlukMu yang sebatang dan berdebu ini

lapangkan jalannya untuk tegar menelusuri jejak-jejak itu”

[]

Cipayung Jaya, 5 Agustus 2010 : 22.4o


We Care, Starbuck Care With Anak Jalanan

Oleh Very Barus

HIKMAH apa yang elo dapat pada hari Minggu kemaren…?? (1 Agustus 2010).

Awal bulan yang teramat indah bagi gue. Karena memasuki satu Agustus kemaren, gue mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam hidup gue. Minggu pagi kemaren, sebenarnya tidak ada planning yang istimewa gue jalani selain menghantarkan keponakan gue yang hendak pulang ke Manado.

That’s it!

Tapi setelah tiba di Jakarta Sabtu malam (31/7), gue sempat ber-bbm-ria dengan sahabat-sahabat BROMO TRIP gue. Niat mau weekend bareng. Tapi terbatalkan karena malam semakin larut, saat gue tiba di jantung Ibukota. Badan gue pun terasa letih, juga teman-teman yang lain. Hingga akhirnya planning yang nggak terencanakan itu diundur hingga minggu paginya.

“Minggu pagi mau ikut nggak, Ver? Kami mau berbagi kasih dengan anak-anak jalanan.”
“Dimana…?” tanya gue penasaran.
Ngumpulnya di Starbuck BNI 46 sebelah Shangri La. Mau ikut nggak?”
“Mauuu…!!!!”
Ntar kalo elo mau ngajarin anak-anak jalanan itu dengan ilmu yang kamu kuasain juga boleh. Intinya kita berbagi kasih dengan anak jalanan deh…”
Gue mauuuuu…jam berapa..? Dan siapa saja..?”
“Jam 8 pagi sudah ngumpul di Starbuck BNI 46. Ntar kita ketemu sama teman-teman Bromo yang lain dan team dari Starbuck…”
Ok…! Gue ikut..! Wake me up B4 7 Am ok..!!”
Okk!!!”

Dan dengan semangat 45 karena besok mau ke BNI 46 (hiks…angkanya berdekatan), gue langsung tidur lebih awal. Biar besok pagi bangun dengan segar! Zzzz… zzzz… zzzz… zzzz…

07.00 WIB (tanpa ada ayam berkokok)

Gue terbangun saat BBm (BlackBerry Message) dari Sari masuk—sudah bangun bloommm..??

Karena sebenarnya gue sudah terbangun sejak jarum jam masih bergelinding dari angka 6 menuju angka 7. Tapi roh gue belum ngumpul semua di tubuh. Jadi masih blackout gitu deh. Tapi karena sudah semangat sejak tidur, akhirnya gue bangun dan langsung mandi. Kemudian berangkat. Meski saat berangkat perut masih kriuk-kriuk karena belum nyerap. Yang penting nyampe di kawasan BNI 46 aja dulu.

Naek ojek deh ke sono.

Trus, tukang ojeknya lumayan baik deh (ato emang doyan curcol alias curhat colongan?). Sepanjang perjalanan si bapak yang asli Probolinggo cerita kalo dia bangga dengan ngojek-nya, dia bisa menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Trus si bapak juga bilang, kalo dia bangga sejak taon 2007 ada pelanggan setianya yang memakai jasa ojeknya sampai saat ini. Jadi dengan adanya pelanggan setia itu, dia serasa bekerja yang dapat gaji bulanan… (Ada 3 pelanggannya yang tiap hari harus diantar jemput oleh si bapak..)

Syukurlah pak…yang namanya bekerja dengan hati pasti hasilnya akan jauh lebih baik—ucap gue. Dan si bapak setuju. Karena sekarang si bapak bangga sudah bisa beli motor untuk ngojek. Hmmm….thanks for sharing-nya, pak…

7.30 PAGI

Nyampe Wisma BNI 46…kebetulan di samping gedung ada jual ketoprak, bubur ayam, mie ayam dan gorengan. Hmmnggak ada salahnya gue mengisi perut dengan ketoprak. Nyam… nyam… nyam… kenyangggg…!!!!

Usai makan, langsung deh menjumpai teman-teman di STARBUCK. Di sana sudah ada Deddy, Sari, Irman dan Romie nangkring dengan manisnya. Tapi anak jalanan belum datang. Kita disuguhin kopi/teh/serta minuman lain khas Starbuck free. Nggak ketinggalan cemilan-cemilan khas Starbuck (thanks buat Sari dan Rommie)

Berhubung “Sahabat Jalanan” belum juga nongol, Deddy dan Irman nyerap dulu deh(makan mie ayam), di samping gedung BNI 46.

Jam 9.20 PAGI…

Anak-anak jalanan mulai berdatangan dengan dipandu oleh Riska dan teman-teman yang membimbing anak-anak jalanan yang jumlahnya sekitar 20 anak. Dengan wajah sumringah sambil menenteng tubler, mug dan cangkir berlambang putri duyung hijau (lambang logo Starbuck) mereka masuk ke gerai Starbuck BNI 46. Ada rasa suka cita di hati mereka.

Tidak hanya mereka, gue dan teman-teman gue juga menyambut mereka dengan suka cita. Starbuck yang identik tempat nongkrong kalangan orang berduit, esmud, serta anak-anak yang tertasbihkan menjadi anak orang kaya. Tapi ternyata dugaan gue keliru. Mereka, anak-anak jalanan yang mendapat predikat “Sahabat Anak” oleh Riska dkk. (yang tergabung dalam wadah atau lembaga yang bernaung dalam SAHABAT ANAK—www.sahabatanak.com—mengurus, mendidik dan memberikan pencerahan pada anak-anak jalanan di kawasan Jakarta Barat.) mereka juga bisa menikmati sedapnya kopi dan makanan khas Starbuck.

Pagi itu, agenda dari Starbuck adalah, breakfast bersama anak-anak jalanan. Serta berbagi keceriaan dengan mereka. Sempat speechless juga sih melihat waiters/waitress dari Starbuck melayani anak-anak jalanan dengan senyum yang teramat tulus. Nggak ada rasa jijik dan marah karena anak jalanan masuk ke Gerai kopi KONDANG itu. Mereka terus silih berganti membagi-bagikan minuman (sesuai selera anak-anak Jalanan). Serta makanan untuk sarapan mereka, mulai donat, kue dan berbagai jenis cemilan lainnya.

Anak-anak jalanan pun terlihat begitu bahagia, bisa menikmati kopi dan teh yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh mereka bisa masuk ke tenggorokan mereka. Juga, dengan bangga mereka menenteng tubler, mug dan cangkir dari Starbuck yang (sebelumya) dibagi-bagikan secara cuma-cuma oleh pihak Starbuck. Hmmm….. awesome!

Sampai, akhirnya, gue, Deddy, Irman dan Sari pun mulai berbaur dengan anak-anak jalanan. Juga dengan Riska si ketua rombongan. Lagi-lagi gue tertegun mendapat kisah-kisah mengharukan dari pengalaman hidup para anak jalanan… Mereka harus berjuang menghadapi kehidupan KERAS di jalanan. Ngamen, demi kelangsungan hidup mereka. bahkan kisah pilu ketika ada anak yang sempat mau di GUNTING alias mau diperkosa oleh anak jalanan lainnya…juga ditangkap oleh Satpol PP. Serta banyak kekerasan-kekerasan yang mereka alami yang belum tentu dialami anak-anak lainnya yang bukan anak jalanan…hmmm

Bahkan, ada cerita miris lainnya yang dituturkan Riska…saat anak-anak pengen masuk mall. Sebenarnya anak-anak jalanan punya kerindungan pengen masuk ke dalam mall…sekedar ingin menikmati sejuknya di dalam mall. Tapi belum lagi kaki nyampe di lobby mall. Para SATPAM yang dianggap MONSTER oleh anak-anak jalanan sudah menghadang mereka. Dengan garang mereka di usir dan tidak di perbolehkan masuk ke dalam pekarangan mall. Alasannya TIDAK LAYAK mereka menginjakkan kaki ke Mall…jadi boro-boro bermimpi masuk mall…bermimpi duduk di kursi STARBUCK pun mereka enggan.

Tapi, dengan kerjasama dan keiklasan pihak Starbuck, mimpi mereka yang ‘enggan’ tadi bisa diwujudkan. Mereka bisa duduk-duduk dengan manis…dengan riang di gerai kopi kalangan manusia-manusia hedon ibukota, tanpa harus kucing-kucingan dengan Satpam juga tanpa ada rasa takut diusir para waiters dan waitress.

Kemudian…

Sebelum breakfast with ‘Sahabat Anak’ berakhir, kami pun berkumpul bersama untuk menikmati suguhan lagu dari salah seorang anak jalanan…lagu JANGAN MENYERAH dari D’Masiv pun kami nyanyikan bersama-sama…

Syukuri apa yang ada…
Hidup adalah anugrah…
Tetap jalani hidup ini…
Melakukan yang terbaik…
Jangan menyerah…jangan menyerah…jangan menyerah…

Ya…jangan menyerah Sahabatku…karena Kami juga peduli kok sama kalian…We Care…Starbuck Care…

Coz, we are only HUMAN…!!!!

(sebenarnya saat ketemu anak-anak jalanan, gue pengen berbagi cerita…berbagi ilmu dan berbagi pengalaman dengan kisah-kisah dan pengalaman hidup yang gue alami juga. Karena gue senang berhadapan dengan mereka-mereka…semoga one-day gue masih bisa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seperti ini…AMINNNNN…!!!!)

[]


Mug-Mug : Panggung Yang Penuh Harapan

Oleh Halim HD

SEBUAH kosa kata yang berasal dari bahasa Inggris, “Mug”, yang artinya wadah untuk minum, menjadi tajuk bagi sebuah pertunjukan yang sangat menarik dan energik dan menjadi suatu bentuk alternatif yang kreatif yang disajikan pada siang dan malam hari oleh Teater Anawula Menggaa (TAM) pada tanggal 29 Desember 2006 di gedung kesenian Sulsel “Societeit de Harmonie”, Makasar. Sebelumnya, TAM menyajikan karyanya di Solo (Taman Budaya Surakarta, secretariat LSM Pattiro dan SMA Santo Yosef) dan Bandung (CCL, Culture Central Ledeng yang dikelola oleh tokoh dan aktor teater handal, Iman Soleh). Beberapa bulan yang lalu, grup ini pula terpilih sebagai penyaji terbaik pada FDRN 2006 (Festival Drama Remaja Nasional) di Semarang.

Pementasan dengan durasi sekitar 40 menit itu mengangkat cerita dengan tema persahabatan di antara kaum remaja dan anak-anak. Cerita berlangsung dalam suatu ruangan di mana tiga orang anak-anak yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan persaudaraan Tutut Velta Sari, Rasdiana, Ainna Kasturi). Sebagaimana dunia anak-anak yang penuh dengan energi yang meluap yang sering pula membuat mereka satu dengan lainnya saling bersaing dank arena itu pula mereka sering bertengkar. Dan pertengkaran itu, awalnya sangat sederhana, mereka memiliki mug dan masing-masing orang menganggap bahwa mug mereka memiliki identitas, dan identitas itulah yang mereka pertahankan sebagai bagian dari diri mereka. Di antara pertengkaran itu, masuk seorang rekan mereka (Arni Eva Yanti) yang membawa kabar tentang penjahat yang ingin mengambil mug mereka. Dari sini cerita berlanjut kepada bagaimana mereka menyiapkan diri untuk mempertahankan mug milik mereka, dan dengan kesiagaan bagaikan para prajurit yang siap tempur, mereka mengolah tubuhnya dalam berbagai bentuk bela diri.

Adegan ini mengingatkan kita kepada dunia teve yang memiliki pengaruh kuat kepada dunia anak-anak dan remaja khususnya serial sinetron dengan tema pendekar silat nusantara. Yang menarik, justru pengaruh teve yang menjadi bagian dari adegan itu ditunjukkan bukan dengan cara konsumtif, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam: mereka bukan hanya sekedar konsumen yang dijejali oleh informasi dan dunia hiburan belaka. Lebih dari itu, silat nusantara menjadi inspirasi buat mereka untuk mempertahankan wilayah identitas mereka dari gangguan pihal luar. Tentu sebagaimana kebanyakan ujung cerita di kalangan anak-anak dan remaja, happy ending menjadi bagian terpenting: melalui mug dan dengan kehadiran para penjahat itu mereka menyatukan diri sebagai saudara sekandung yang saling menolong dan membentuk solidaritas. Yang menarik, plot cerita ini berujung pada kehadiran sosok lain, seorang tamu yang lebih dewasa (Kiki Reskiayan Ilyas) yang memberitahukan kepada mereka bahwa ruangan tempat mereka berada itu akan digunakan untuk pementasan. Maka alur cerita berganti kembali ke dalam bentuk keseharian tentang dunia anak-anak dan remaja yang penuh dengan keceriaan dan juga rasa ingina tahu yang besar. Di sini, penulis memang piawai mengolah dan menjalin cerita yang saling berlapis; durasi 40 menit itu mampu menggambarkan suatu dunia kehidupan yang beragam dan penuh dengan berbagai suasana hubungan yang manusiawi.

Yang menarik dari pementasan TAM ini adalah tidak adanya usaha untuk menjadikan lakon dan panggung sebagai media untuk menjejali berbagai pandangan, sebagaimana sering kita lihat di teve dalam bentuk sinetron dan sosiodrama atau teater kampus yang cenderung cerewet. TAM yang menyajikan “Mug-Mug” yang ditulis dan disutradarai oleh Abdul Razak Abadi dengan cerdas mengungkapkan realitas keseharian sebagaimana dunia remaja yang tidak tendensius, sangat bersahaja. Dan kekuatan ini juga terletak pada penyutradaraan yang sangat memahami psikologi perkembangan anak-anak dan remaja, dan dengan cerdas sutradara mengeksplorasi potensi yang dimiliki oleh mereka dan dipadukan dengan kuat melalui bingkai pemahaman tentang kehidupan anak-anak dan remaja dengan dunia sekitarnya yang telah menjadi bagian yang paling dalam dari permainan grup TAM.

Saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh Titus Albertus (Forum Pinilih, Solo) dan Iman Sholeh (dua juri FDRN di Semarang) ketika saya menelpon mereka beberapa hari setelah acara FDRN, dan mereka menyatakan bahwa anak-anak di grup TAM bermain dengan pola realisme yang subtil jika dibandingkan dengan grup-grup lain yang mengikuti FDRN. Yang paling penting lainnya, property dan setting yang mereka garap merupakan suatu bentuk alternatif yang cerdas yang membuat mereka bisa menggunakan berbagai level, kotak, dan menjadikannya apa saja, dari kursi, meja, dan bentuk lainnya yang imajinatif. Yang terakhir inilah yang perlu juga kita garisbawahi: begitu banyak teater yang makin cerewet oleh tubuh dan berbagai bentuk property dan setting yang sesungguhnya menjadi alat bantu dalam permainan teater justru sering memperangkap pemain. Dengan kata lain, sutradara telah memperhitungkan dengan cerdas, dan membuka berbagai kemungkinan bagi pemain untuk menciptakan ruang pertunjukannya menurut potensi dan aktualisasi diri mereka. Saya teringat Takeyama, dedengkot dan salah seorang ideology teater Jepang pada masa pembaharuan teater Jepang tahun 1960-70-an; dia menyatakan, bahwa teater mesti menciptakan ruang bagi kehadiran manusia, dan di situ pula manusia hadir bersama dalam rentang sejarah yang diciptakan dan mengolah kembali realitas social dan sejarah yang ada di lingkungannya dalam ruang teater. TAM terasa sekali mampu bermain pada ruang apa saja, tanpa beban dan kesulitan artistik.

Satu hal yang perlu saya tambahkan dan garis bawahi di sini, bahwa lakon “Mug-Mug” oleh TAM yang telah memainkannya sebanyak 30 kali selama rentang 2-3 tahun merupakan suatu proses yang perlu kita pelajari dan amati dengan cermat. Pelajaran itu menyatakan bahwa jika teater dan kehidupan grup dengan pilihan lakon yang secara terus-menerus dijalani secara intens dan mendalam, dan menjadikannya setiap pemainnya tidak lagi dilihat secara teknis akting belaka. Mereka melakukan di atas panggung dengan seluruh kehadiran tubuh dan diri mereka, ekspresi yang paling dalam tanpa suatu kecerewetan sebagaimana kebanyakan teater kampus yang dipenuhi dan didorong oleh keinginan mengejar jumlah nomor produksi, kuantitas, dari waktu ke waktu namun tiada pendalaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya mengalami kejenuhan pada tingkat yang memualkan ketika saya menyaksikan grup teater mahasiswa yang sekadar naik panggung. Dan membandingkannya dengan TAM, dengan proses kerja mereka, serta ketekunan serta jalinan kerja antara anggota TAM dengan sutradaranya bisa menjadi inspirasi yang visioner bagi siapa saja yang ingin memasuki dan menapaki dunia kesenian, khususnya teater.

Catatan akhir yang ingin saya sampaikan di sini, bahwa kehadiran TAM bisa menjadi suatu bentuk model dan pola pengembangan teater di sekolah. Tentu bahwa hal itu juga berkaitan dengan komitmen Abdul Razak Abadi yang menjalani dunia pendidikan dan teater sebagai bagian paling dalam dari dirinya. Untuk itu, kita bisa memberikan bukan hanya applaus dan tepuk tangan. Sosok ulet itu juga membutuhkan masukan, kritik, dialog dan tentu saja dukungan dari berbagai pihak. Apalagi jika kita secara geografis memandang posisi TAM yang lahir, tumbuh dan berkembang dari sebuah wilayah terpencil, kecamatan Lambuya, kabupaten Konawe yang oleh sebagian besar tidak diketahui letak dan posisinya pada peta Indonesia. Saya ingin menegaskan bahwa sebuah komunitas, sebuah grup teater anak-anak dan remaja bisa menjadi image yang positif. Dan citra itu kini telah melintasi dan membawa nama baik wilayahnya. Lebih dari itu, di antara sistem pendidikan kita yang selalu mengalami krisis dari waktu ke waktu, dan di antara pola hidup yang kian konsumtif khususnya kaum anak-anak dan remaja yang dijejali oleh teve yang banyak membawa dampak kepada pola tingkah laku kekerasan, kehadiran TAM sangat inspiratif bagi kalangan orang dewasa, orangtua, dan para pendidik.

Akhirulkalam, saya ingin menyatakan bahwa theatre is life, film is art, television is furniture – dan TAM membuktikan ungkapan itu dalam wujud mereka yang penuh harapan.

[]

Makasar, 30 November 2006


Halim HD

Bagi jurnalis muda, nama Halim HD belumlah dikenal secara luas. Maklum postur tubuhnya yang menyerupai ’biksu’ Shaolin ini tak banyak bicara dihadapan para wartawan muda, khususnya di Solo. Tapi bagi para pewarta senior, nama Halim tak asing lagi. Meski berpenampilan tak mencolok, ia toh tetap dikenal oleh para jurnalis ’kaplak-awu’ sebagai ’pengembara’ budaya, melanglang dari kota-ke-kota. Networker kebudayaan dan penulis, tinggal di Solo dan Makassar.



Benda-Benda yang Bercerita Keganjilan

( Kaji Puisi Penyair Indi Saragi )

Oleh Syaiful Alim

Teks Sajak:

Rahasia Ganjil Si Tukang Beras
Indi Saragi

Ada keganjilan tatkala kita bercengkrama di pasar
Lewat sudut mata si tukang beras berkata, ada rahasia di butiran
Ikan membusuk di bubu, gelondongan di keranjang
Pertukaran berlalu tanpa gerakan
Tak cukup berasap untuk tercium antara kebusukan,
Dari air yang menggenang,
Dalam keramaian

Ada mayat kaku antara ibu-ibu membawa timbangan
Timbangan condong, tak ketahuan,
Timbangan dengkleh, tak diusangkan

Ada kerumunan membicarakan,
Kisah tak kunjung padam dalam kantung gunjingan, dibawa pulang seolah hiburan
Dimasak dalam panci untuk melepas kekenyangan,
Katup dibuka, embun menyatakan,
Hantu di pasar pencuri makanan.

[]

Indi Saragi

###

Kaji Puisi: Benda-Benda yang Bercerita Keganjilan

TAKDIR benda adalah diam. Nasib benda-benda akan berubah jika ada unsur atau tangan yang menggerakkannya. Seolah tangan itu meniupkan ruh ke tubuh benda-benda itu. Ketika benda diambil dari habitat muasalnya, maka ia mengalami perubahan, baik aktif maupun pasif. Pun ketika benda-benda itu diusung di alam imaji.

Takdir penyair adalah gerak, pemikir. Eksistensi atau kehadiran penyair diakui ketika ia berusaha mengasah hati atau mindanya, sebagai jembatan memaknai atau mengakrabi kehidupan. Daun yang luruh dari reranting bisa disunting penyair menjadi cermin. Cermin yang akan menampakkan hakikat kepemilikan atau benda-benda alam semesta. Seolah daun luruh itu menyampaikan pesan kepada kita bahwa tak ada yang abadi. yang berasal dari debu, kembali menyatu dengan debu, yang berasal dari tanah, kembali merebah di tanah, yang berasal dari api, kembali pergi ke api, yang berasal dari air, kembali mencair, yang berasal dari cahaya, kembali fana ke inti cahaya. Pohon yang awalmula tampak kuat nan kokoh, akhirnya juga roboh. Reranting yang liat bagai taring, akhirnya pun mengering. Dedauanan yang hijau, waktu demi waktu akan layu. Kulit yang putih mengkilat, lamat-lamat akan lumat oleh ulat waktu. Begitulah setiap ciptaan akan menemui takdir akhirnya.

Lalu apa medium penyair menyampaikan pesan daun luruh itu? saya mencoba menggarisbawahi bahwa antara penyair, puisi, bahasa, dan benda itu memiliki kaitan atau ikatan yang berporos pada saling ketergantungan. Bahasa dan benda akan mati jika tidak dimanfaatkan oleh jemari penyair. Begitu sebaliknya, penyair akan berakhir eksistensinya jika bahasa dan benda tidak ada dan mengada di alam semesta. Maka di sinilah letak peran puisi itu. Puisi adalah kembaran perasaan penyair. Dimana benda-benda yang dibalut bahasa tadi mengekpresikan gelap-remang-terang wajah-wajah yang dipotret penyair.

Kini, saya menjumpai seorang penyair perempuan bernama Indi Saragi. Ia hadir menawarkan sebuah rahasia keganjilan yang diperoleh dari proses pengamatan atau proses berpikir. Di sini, Indi Saragi, identitas kepenyairannya dipertaruhkan. Tersebab apa? Tak lain oleh gerak kerja yang sedang dan telah dilakukan. Ia memotret realitas.

“Rahasia Ganjil Si Tukang Beras”

Saya mencoba meraba dulu kata ‘ganjil’ yang dipakai oleh penyair ini. Disebut ganjil atau keganjilan karena sesuatu atau seseorang itu memiliki kebiasaan berbeda (aneh) dengan yang berlaku. Bisa juga karena di luar jalur gerak yang ada.

Penyair Indi Saragi berusaha mengungkap keganjilan-keganjilan itu melalui media bahasa. Bahasa yang sudah diwujudkan, puisi. Puisi ini menjadi kepanjangan tangan realitas yang mengeram di tubuh bahasa. Seolah kata-kata mengabarkan apa-apa yang terjadi.

Kata-kata yang digelar oleh penyair ini sederhana dan akrab di telinga kita. tapi seolah memancar cahaya ketika diramu jemari penyair Indi Saragi ini. Kata-kata yang berserakan di sekitaran dipungut untuk mengukuhkan maksud kelahiran benda-benda itu untuk apa. Coba kita mengamati kata-kata itu dalam puisi ini.

: pasar, beras, ikan, keranjang, timbangan, panci.

Penyair ini membangun imajinya dengan kosakata yang melingkupi sekitar pasar. Pasar jadi si subjek liris, juga objek liris. Benda-benda yang telah diusung tadi mencoba dikerahkan untuk menyingkap, mengungkap keganjilan-keganjilan yang mengitari si tukang beras. Benda-benda itu telah diberdayakan oleh penyair dalam mendedahkan kegelisahan.

Benda-benda itu bercerita tentang keganjilan. Mereka bersuara. Mereka melaksanakan perannya masing-masing. Peran yang saling berkelindan.

“Ada keganjilan tatkala kita bercengkrama di pasar
Lewat sudut mata si tukang beras berkata, ada rahasia di butiran”

Sungguh menarik larik pembuka puisi ini. Sang penyair menggunakan kata ganti ‘kita’. Dari ‘kita’ ini sang penyair mencoba menunjukkan bahwa apa yang dialami oleh sang penyair itu juga dialami oleh banyak orang. Atau bisa juga bahwa ‘kita’ disini untuk mengetuk, mengajak kesadaran pembaca menceburkan diri ke permasalahan yang digelar oleh penyair ini.

“lewat sudut mata”

Betapa ajaib larik ini. Mata telah menjadi obor, yang digunakan sebagai penerang kegelapan dalam menyingkap keganjilan itu. Lalu butiran-butiran beras menyempurnakan tugas sudut mata.

“ada rahasia di butiran”

1. “Ikan membusuk di bubu, gelondongan di keranjang”

2. “Ada mayat kaku antara ibu ibu membawa timbangan”

3. “Timbangan condong, tak ketahuan,”

4. “Timbangan dengkleh, tak diusangkan”

Jika kita mengamati larik-larik di atas, maka nampak jelas benda-benda yang diusung oleh Penyair ini seolah berbicara, menyampaikan apa kehendak yang mengusung mereka.

“Timbangan condong, tak ketahuan,”

“Timbangan dengkleh, tak diusangkan”

TIMBANGAN. Timbangan yang menjadi alat mengukur berat itu- misal menimbang beras- menyingkap ketidakberesan yang terjadi dalam aktifitas jual-beli (ekonomi) sebuah masyarakat. Dan inilah yang dimaksud penyair dengan ‘ganjil’ itu. Timbangan yang seharusnya seimbang antara sayap kanan-kiri, jadi berat sebelah (condong). Ketidakberesan atau ketidakadilan ini belum mencuat ke permukaan, mungkin karena si tukang beras pandai bersiasat, misalnya timbangan itu diganduli batu atau apa gitu.

TIMBANGAN. Timbangan ‘dengkleh’ atau rusak, yang seharusnya sudah dimuseumkan atau dijual di toko loak, malah masih saja digunakan untuk menimbang barang.

Saya tergoda untuk menariknya lebih jauh larik sajak di bawah ini:

“Timbangan dengkleh, tak diusangkan”

Timbangan di sini bisa saya maknai dengan sesuatu atau seseorang. seseorang yang sudah tidak layak lagi dalam memimpin sebuah kelompok atau lebih besar lagi sebuah Negara, maka sudah sewajarnya diturunkan dari jabatan dan wewenang. Begitu juga sebuah teori, dogma atau doktrin yang sudah tidak layak terbit lagi, maka harus dibuang di tong sampah, diganti dengan teori baru yang lebih menjanjikan dan menyelesaikan problematika kehidupan manusia. Di dunia pemikiran kita mengenal istilah dekonstruksi dan rekonstruksi.

Jika saya meminjam istilah pemikir dan penyair arab, Adonis, bahwa dunia atau alam ini dipeluk dua kutub yang bertolak belakang, yaitu ash-sawabit wa taghoyyurot ( yang statis dan yang dinamis). Dia berpendapat, doktrin yang statis sifatnya itu ( urusan ibadah), harus dibiarkan dan dikunci, tapi doktrin yang dinamis sifatnya itu (urusan mua’malah/interaksi sosial) itu harus dilakukan proses ijtihad yang tak kenal henti. Maka saya kira larik sajak di atas terlihat elan fitalnya bagi kehidupan manusia yang begitu luas.

Lebih jauh lagi, apa yang digelar dan dihidangkan oleh Penyair Indi dengan sajak ini adalah semacam peringatan atau kritikan kehidupan bersosial kita. Yang makin lama terasa hampa. Kita terjebak pada kubang individualistik berlebihan. Di mana hubungan antar manusia ditandai dengan sikap tak acuh, tak asuh. Sehingga nurani atau jiwa sulit tersentuh dengan penderitaan orang lain.

“Pertukaran berlalu tanpa gerakan
Tak cukup berasap untuk tercium antara kebusukan,
Dari air yang menggenang,
Dalam keramaian”

Bisa dibayangkan bagaimana penyair ini menyodorkan ‘realita’ yang begitu semrawut dari yang sewajarnya, seharusnya. Seolah sajak ini membidik aktifitas keseharian manusia yang penuh kebusukan dan kemunafikan. Sampai-sampai sikap buruk itu menjadi biasa dilakukan. Penyair ini memakai bahasa kias asap yang tak kuasa mencium kebusukan atau air genangan dalam keramaian. Seharusnya asap sebagai simbol keburukan atau kebobrokan itu nampak dan menyesakkan dada. Seharusnya genangan air di jalan itu menjadi cermin empati dan simpati masyarakat sekitar. Tapi apa yang terjadi? Jalan yang berlubang dan menggenang air dibiarkan saja tanpa ada gerak meminimalisir atau mendayakan tenaga dan otak untuk mengakhiri masalah itu.

“Ada kerumunan membicarakan,
Kisah tak kunjung padam dalam kantung gunjingan, dibawa pulang seolah hiburan
Dimasak dalam panci untuk melepas kekenyangan,
Katup dibuka, embun menyatakan,
Hantu di pasar pencuri makanan.”

He he betapa segar daya ungkap Penyair ini. Saya jatuh cinta dengan larik ‘dimasak dalam panci’. He he larik cantik dan tak terduga. Inilah olah mengkritik yang baik dari sang Penyair. Ketika menyeruak fakta-fakta atau fenomena-fenomena yang mencengangkan tadi, ternyata masyarakat kita bersikap pasif atau memakai bahasa gaulnya ‘emang gue pikirin’. Dan penyair ini memakai ‘dimasak dalam panci’. Fakta atau fenomena tadi itu diolah kembali cuma dijadikan obrolan keseharian di warung kopi, ibu-ibu arisan, atau anggota DPR/MPR yang kerjaannya cuma rapat dengan menghabiskan uang rakyat. Apa yang terjadi? Fenomena-fenomena tadi seolah hantu di pasar yang mencuri makanan. Ada makanan yang hilang dari nampan, namun masyarakat berpendapat, pencurinya adalah hantu, padahal salahsatu dari merekalah yang mencuri. Akhirnya jadilah cerita yang tak kenal pangkal ujung. Aduh! sebuah potret kehidupan yang mengerikan!
————————-

Syaiful Alim
gembel bahasa

Tulisan ini saya ambil dari rak komentar note Indi Saragi. Saya menuliskannya pada waktu itu juga ketika tergelitik untuk mengutak-atik larik-larik cantik miliknya. Mohon maaf jika nampak retak dari sisi penafsirannya. Harap dimaklumi, karena ini komentar spontanitas. Terima kasih dan salam kreatif.


Cerita Ngos-Ngosan Di Bandara

Oleh Very Barus

Ceritanya begini:
Jam 7 .00 pagi, gue dan sobat gue berangkat ke Bandara Soetta. Tujuannya terminal 3, karena kami naek Mandala Airlines menuju Denpasar Bali. Lo tau sendiri terminal 3 itu terminal baru dan masih anget-angetnya sebagai terminal “CONTOH” untuk terminal lama yang sudah butut! Dan pantas untuk dimusnahkan dari muka bumi ini. Terminal di Soetta harus dirubah menjadi terminal 3 yang berkelas internasional (kok jadi cerita terminal sehhh!!!).

Sebenarnya pesawat kami berangkat pukul 09.05 WIB. Nah, lo sudah bisa ngebayangin gimana terburu-burunya kami. Tapi karena bawa mobil sendiri, kami pikir gampang lahngebut dengan kecepatan setan pasti bisa deh 30 menit nyampe bandara. Boarding Pass 30 menit dan sisa waktu masih ada 1 jam…(itu teoriiiiiii dari otak kami. Tapi…prakteknya…??? Simak aja…!!!).

Nyampe di bandara ternyata waktu itu terminal 3 akan diresmikan bapak SBY. Jadi lo tau kan protokoler acara ke-presiden-an sangat ribet dan berbelit-belit. Acaranya sih singkat tapi prosesi menjelang acara peresmiannya yang bikin emosi jiwa menjadi sakit jiwa.
Semua area terminal 3 harus disterilisasi oleh bapak-bapak berseragam kopi susu alias polisi and the gank (senyum dikit nape pak..??? Galak-galak amatt…!!!).

Rute ke terminal 3 yang seharusnya bisa kami lalui dengan mudah, eh..ditutup dan disuruh muter melalui terminal HAJI. Waduuuhhh…waktu sudah kejepit malah disuruh muter lagi… terpaksa kita ngikutis arus aja dah. Trus, melintasi jalur HAJI tetep aja banyak polisi-polisi berwajah garang mengasih aba-aba yang sumpah gue sudah katam cara mereka memberi aba-aba… Muter sana muter sini…dengan minus ekspresi senyum.. huhhhh…!! Biasa aja kaleee pakkk…!

Akhirnya dengan waktu yang semakin kejepit, gue dan sobat berbagi tugas. Gue diturunkan di tempat perhentian mobil (gue harus naek shuttle bus lagi!!), sementara teman gue pergi ke tempat parkir mobil untuk mobil nginap).

Dengan sisa-sisa nafas gue yang teramat NGOS-NGOSAN (ingat! Nafas NGOS-NGOSAN membuat kita boros bernafas dampaknya bisa GEMPORRR…!!!)
Gue naek shuttle bus yang jaraknya hanya 200 meter (kok musti pake shuttle sih…) kayaknya langkah kaki gue bisa lebih cepat nyampe ketimbang naek shuttle bus.

Buru-buru gue keluar dan langsung masuk ke terminal 3 dan masuk ke bagian pemeriksaan yang mesin detector-nya bolak-balik berbunyi. Padahal semua benda yang berbahan logam ato mengundang bunyi-bunyian sudah gue lepaskan…eh ternyata masih bunyi juga… (setelah diselidiki ternyata penyebab bunyi itu adalah bersumber dari “tititgue karena kegedean hahahhahaha….porno lo Ver..!!!)

Trus, lanjut ke bagian boarding…diperiksa-periksa sama bagian ticketing BERESSS… Lega—lega—lega… Giliran gue nunggu teman gue

Pukul 8:10, belum nongol juga…

Pukul 8:15, belom juga nongol

Gue SMS; Dimana lo…??? Buruannn…!!!
Sobat; Bentar…sudah di shuttle bus

Pukul 8:30, aba-aba (pengumuman) dari MANDALA airlines; “Penumpang Mandala dengan nomer penerbangan bla…bla…bla…jurusan Denpasar dipersilahkan masuk ke dalam pesawat…”

MAMPUS..!!!

Itu kan pengumuman pesawat yang gue naekin…? Mana sobat gue belom nongol-nongol lagi… Makin panik lah gue si MR.PANIC (dalam kondisi terjepit gue suka panikan cuy…!! Makanya gue dikenal sebagai Mr.Panic).

Bolak balik gue telpon…tetep aja jawabannya masih di shuttle busKok gak nyampe-nyampe, sementara gue naek shuttle aja cuma 2 menit doang nyampe.

8:40 WIB, aba-aba dari Mandala Airlines berkumandang lagi…

8:50 WIB, “Perhatian..!! kepada penumpang bernama…” (NAMA GUE BO…!! dan NAMA SOBAT GUE diumumkan di pengeras suara—Speaker).

HAAA…??? Nama gue dipanggil pake pengeras suara…(lo bisa bayangin keringat gue sudah bukan kayak jagung lagi, tapi kayak keringat kedondong yang gede-gede jatoh dari jidat gue).

Sementara petugas Mandala yang ada di sekitar gue sudah berteriak-teriak memanggil nama gue dan nama sobat gue. Tapi gue pura-pura BEGO aja. Gue langsung telpon sobat gue
CEPAATTTT BODAAAAAATTTTTTT……!!!!!”

9:00 WIB, sobat gue muncul dan kami pun berlari-lari menuju perut pesawat. Tapi kendalanya cukup banyak… Karena di pintu pemeriksaan berikutnya kami harus ikutan ngantri.
Dengan sok HERO gue langsung memotong antrian dan langsung berdiri di posisi paling DEPAN….
”Pak…pesawat kami sudah mau berangkat…jadi tolong kami diduluin…(siapa el…mungkin begitu kata hati si petugas…), tapi akhirnya kami diperbolehkan masuk. Dan saat pemeriksaan di ct-Scane…untung deh TITIT gue nggak bunyi-bunyi lagi…bisa ribet urusannya…

9:10 WIB
Gue dan sobat gue nyampe di perut pesawat dengan nafas yang SUMPAH tinggal satu satu…(mau nafas aja susah…karena harus rebut-rebutan nafas sama sobat gue…). Tapi mata para penumpang laennya sudah kayak SEKUMPULAN MACAN KELAPARAN yang siap menerkam gue dan sobat gue… Dengan sisa-sisa senyum PEPSODENT, gue langsung bilang…

”TENANG…TENANG…PESAWAT TIDAK DELAY KOK…!!!!”

Dan kami pun langsung mencari tempat duduk, langsung menghempaskan pantat kami yang sudah begitu letih berlari-lari…
SUMPAH..!!!
Baru kali ini gue mengalami keterlambatan naek pesawat. TERNYATA TIDAK ENAK…!!!!

Setelah pesawat take offgue pun terlelap….zzz….zzzz…zzz…zzz. Bangun tidur…eh…sudah nyampe Bali…lega dehhh…!!!! []


Harga Tubuh

Oleh Adhy Rical

seorang perempuan telanjang di samping lelaki
dekat toko elektronik,
lelaki itu masih mengapit keramik
dari desa asaki
: kendari, ruko birahi

tadi malam,
lampu padam cukup lama
ada cerita silsilah keluarga,
petugas lapak, dan wangi tubuh
“kita berpelukan di bawah tenda yang sedikit terbuka”
agar garis tubuh dapat terlihat menghijau

lihatlah karapan kuda di pulau wuna
tak perlu pelana untuk kedua paha yang rona
dan ciuman telinga belakang
cukuplah tanda kian jenjang

mungkin nanti, keramik tak lagi antik dengan wajahmu
sebab peluru lebih desing dari teriakan
tubuh keduanya kaku
hanya lelaki yang gesit memakai celana dan baju
bukankah darah di kepala tak perlu merogoh saku?

[]
Kendari, 2010


Lumba-Lumba

Oleh Adhy Rical

: sr

lelaki hutan: getah pandan, kamera sampan
buku cerita dan kain bergambar
riak air mengukur detak jantungmu

di tanganmu, sebuah matahari meleleh
bekas jarum dan rambut lelakimu
menusuk peparu, serta mengikat rahim
kudengar kau memanggilku dalam botol plastik
selang yang mengurat raut keningmu
kau berbisik: karamba, lumba-lumba, dan keranda

ai na
matamu seperti kunang-kunang
yang keluar dari kuku moyangku
dan tak pernah habis kutarik dengan larik
bagai dua bocah main layangan di suaka:
menjadi serdadu, dan kulit dayak singkawang
keduanya tak pernah kau timang

keinginan itu peluru laras di leste, katamu
maka datanglah tanpa keranda
lumba-lumba bermain bola di karamba

Konawe, 2010