Tag Archives: solo

Melongok Sedikit “Isi Perut” Novel Garis Merah di Rijswijk

Di buku kesatu dari trilogi Rijswijk ini, kita akan membaca beberapa hal dalam setting Batavia (Betawi), Kwik Tang Kiam, seperti apa jam malam di Passer Senen, Passer Baroe, Kramat Raya. Pelarian Tan Sjahrir di subuh buta, menghindari Marrechaussée Belanda, dan akhirnya berlindung di salah satu rumah warga Betawi di Menteng.

Ada kejadian lucu di Kedai Kopi Acim, di depan Gang Sebelas, saat seorang tentara pelajar dari Kompi IV Komando Gerilya Kota wilayah Kebon Sirih menjemput Makhzam dari persembunyian di Cikini. Juga pertemuan pertama kali Makhzam dengan Sri Yanti.

Aksi-aksi sabotase Malaka dan Makhzam di Solo dan Semarang terhadap tangsi Belanda, saat Komando Pasukan Hijrah bergerak ke Bandung. Menyergap pos-pos dan tangsi logistik Belanda di sekitar kota Cina, Semarang dan merampok kereta api uap DD ALCO yang membawa logistik ke Jogja, membuat Mook, petinggi intelijen militer Belanda, naik pitam dan marah-marah pada Gubernur Jendral Stachouwer.

Malaka dan Makzham dimarahi Gatot Subroto karena mempermainkan Kapten Sanyoto dan menjadikannya lelucon di antara pasukan tentara pelajar, hanya karena lebih cekatan daripada Peleton Intai Tempur milik Sanyoto.

Lalu, percakapan Tan Malaka soal gerak ideologis Marx, dan apa maunya Soekarno pada penyatuan tiga aliran penting pemikiran yang dicampurnya, dan tentang posisi Tjipto dan Douwes Dekker—di sebuah kamar kecil di Jogja. Lalu, sejauh mana peran utusan-utusan Celebes dan Borneo sebelum pertemuan di Des Indes. Ada Rohana yang jago masak dan menjahit, tapi pandai menulis di surat kabar Perempoean Bergerak.

Bagaimana silang pendapat Sjahrir dan Malaka soal okupasi Nippon, dan seperti apa Hatta menengahi pertentangan itu. Pembicaraan dan siasat rahasia yang dibangun Mook, dan rencana Jonkheer Stachouwer membendung arus kepentingan di dalam Casteel Rijswijk. Posisi Amir Sjarifuddin di antara NEFIS dan kaum Calvinis di Kramat 106. Seperti apa permulaan siasat yang di bangun dan ditelusupkan Grand Mason-Zion, yang membonceng dalam setiap upaya Mook dan NEFIS.

Seperti apa nota aliansi sekutu yang diterima NEFIS, soal penimbunan kekuatan armada Nippon di Pasifik Barat Daya membayangi ancaman pada gugus Pulau Savo, Kepulauan Solomon, Kepulauan Santa Cruz, Semenanjung Huon, dan Kepulauan Admiralty. Lalu, pada gugus Guadalcanal, di mana bertebaran area-area yang ditandai bendera kecil berpita merah—Pulau Savo, Solomon Timur, Tanjung Esperance, Kepulauan Santa Cruz, dan Tassafaronga. Dan bendera-bendera kecil berpita biru, di gugus Solomon—Teluk Kula, Kolombangara, Teluk Vella, kawasan laut Vella Lavella, Teluk Kaisar Augusta, dan Tanjung Saint George.

Apa maksud pasukan Nippon pada bendera kecil berpita oranye berstrip kuning, yang ada di area dalam Gugus Guinea Baru: Laut Karang, Kokoda, Buna-Gona, Laut Bismarck, Teluk Nassau, Salamaua-Lae, Semenanjung Huon, Britania Baru, Kepulauan Admiralty, Aitape-Wewak. Dan, area berbendera kecil hijau di wilayah terluar Hindia: Biak, Noemfoor, dan Morotai.

Bagaimana siasat sekutu mengantisipasi pertahanan di wilayah ujung Filipina, Bataan, Selat Badung, Laut Java, Selat Sunda, Pulau Timor, Teluk Leyte, Borneo dan Celebes, yang masuk dalam peta perang Pasifik. Bagaimana kepanikan pemerintah Hindia tentang rencana serbuan Nippon selepas Operasi Selatan—dan mulai memasuki Andalas lewat samudera Hindia.

Lalu, kita ke Benkoelen (Bengkulu), menyimak kisah Soekarno dan Haji Hasan Din. Seperti apa posisi Benkoelen dalam kepentingan dan nafsu penguasaan oleh EIC dan VOC yang masif di sana. **

 

Judul: GARIS MERAH DI RIJSWIJK

(buku kesatu dari Trilogi Rijswijk)

Penulis: Li Loh

Penerbit: Republika, Juni 2012.

ISBN: 978-602-759-504-0

Harga : Rp. 57.500,-

 

Dapatkan di Toko Buku Gramedia

atau Hub. Penerbit Republika (Rida) di: 021-7803747 (ext. 103)

Novel ini ditulis dengan teknik Gonzo-Story


Mug-Mug : Panggung Yang Penuh Harapan

Oleh Halim HD

SEBUAH kosa kata yang berasal dari bahasa Inggris, “Mug”, yang artinya wadah untuk minum, menjadi tajuk bagi sebuah pertunjukan yang sangat menarik dan energik dan menjadi suatu bentuk alternatif yang kreatif yang disajikan pada siang dan malam hari oleh Teater Anawula Menggaa (TAM) pada tanggal 29 Desember 2006 di gedung kesenian Sulsel “Societeit de Harmonie”, Makasar. Sebelumnya, TAM menyajikan karyanya di Solo (Taman Budaya Surakarta, secretariat LSM Pattiro dan SMA Santo Yosef) dan Bandung (CCL, Culture Central Ledeng yang dikelola oleh tokoh dan aktor teater handal, Iman Soleh). Beberapa bulan yang lalu, grup ini pula terpilih sebagai penyaji terbaik pada FDRN 2006 (Festival Drama Remaja Nasional) di Semarang.

Pementasan dengan durasi sekitar 40 menit itu mengangkat cerita dengan tema persahabatan di antara kaum remaja dan anak-anak. Cerita berlangsung dalam suatu ruangan di mana tiga orang anak-anak yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan persaudaraan Tutut Velta Sari, Rasdiana, Ainna Kasturi). Sebagaimana dunia anak-anak yang penuh dengan energi yang meluap yang sering pula membuat mereka satu dengan lainnya saling bersaing dank arena itu pula mereka sering bertengkar. Dan pertengkaran itu, awalnya sangat sederhana, mereka memiliki mug dan masing-masing orang menganggap bahwa mug mereka memiliki identitas, dan identitas itulah yang mereka pertahankan sebagai bagian dari diri mereka. Di antara pertengkaran itu, masuk seorang rekan mereka (Arni Eva Yanti) yang membawa kabar tentang penjahat yang ingin mengambil mug mereka. Dari sini cerita berlanjut kepada bagaimana mereka menyiapkan diri untuk mempertahankan mug milik mereka, dan dengan kesiagaan bagaikan para prajurit yang siap tempur, mereka mengolah tubuhnya dalam berbagai bentuk bela diri.

Adegan ini mengingatkan kita kepada dunia teve yang memiliki pengaruh kuat kepada dunia anak-anak dan remaja khususnya serial sinetron dengan tema pendekar silat nusantara. Yang menarik, justru pengaruh teve yang menjadi bagian dari adegan itu ditunjukkan bukan dengan cara konsumtif, tetapi dengan pemahaman yang lebih dalam: mereka bukan hanya sekedar konsumen yang dijejali oleh informasi dan dunia hiburan belaka. Lebih dari itu, silat nusantara menjadi inspirasi buat mereka untuk mempertahankan wilayah identitas mereka dari gangguan pihal luar. Tentu sebagaimana kebanyakan ujung cerita di kalangan anak-anak dan remaja, happy ending menjadi bagian terpenting: melalui mug dan dengan kehadiran para penjahat itu mereka menyatukan diri sebagai saudara sekandung yang saling menolong dan membentuk solidaritas. Yang menarik, plot cerita ini berujung pada kehadiran sosok lain, seorang tamu yang lebih dewasa (Kiki Reskiayan Ilyas) yang memberitahukan kepada mereka bahwa ruangan tempat mereka berada itu akan digunakan untuk pementasan. Maka alur cerita berganti kembali ke dalam bentuk keseharian tentang dunia anak-anak dan remaja yang penuh dengan keceriaan dan juga rasa ingina tahu yang besar. Di sini, penulis memang piawai mengolah dan menjalin cerita yang saling berlapis; durasi 40 menit itu mampu menggambarkan suatu dunia kehidupan yang beragam dan penuh dengan berbagai suasana hubungan yang manusiawi.

Yang menarik dari pementasan TAM ini adalah tidak adanya usaha untuk menjadikan lakon dan panggung sebagai media untuk menjejali berbagai pandangan, sebagaimana sering kita lihat di teve dalam bentuk sinetron dan sosiodrama atau teater kampus yang cenderung cerewet. TAM yang menyajikan “Mug-Mug” yang ditulis dan disutradarai oleh Abdul Razak Abadi dengan cerdas mengungkapkan realitas keseharian sebagaimana dunia remaja yang tidak tendensius, sangat bersahaja. Dan kekuatan ini juga terletak pada penyutradaraan yang sangat memahami psikologi perkembangan anak-anak dan remaja, dan dengan cerdas sutradara mengeksplorasi potensi yang dimiliki oleh mereka dan dipadukan dengan kuat melalui bingkai pemahaman tentang kehidupan anak-anak dan remaja dengan dunia sekitarnya yang telah menjadi bagian yang paling dalam dari permainan grup TAM.

Saya setuju dengan apa yang pernah dikatakan oleh Titus Albertus (Forum Pinilih, Solo) dan Iman Sholeh (dua juri FDRN di Semarang) ketika saya menelpon mereka beberapa hari setelah acara FDRN, dan mereka menyatakan bahwa anak-anak di grup TAM bermain dengan pola realisme yang subtil jika dibandingkan dengan grup-grup lain yang mengikuti FDRN. Yang paling penting lainnya, property dan setting yang mereka garap merupakan suatu bentuk alternatif yang cerdas yang membuat mereka bisa menggunakan berbagai level, kotak, dan menjadikannya apa saja, dari kursi, meja, dan bentuk lainnya yang imajinatif. Yang terakhir inilah yang perlu juga kita garisbawahi: begitu banyak teater yang makin cerewet oleh tubuh dan berbagai bentuk property dan setting yang sesungguhnya menjadi alat bantu dalam permainan teater justru sering memperangkap pemain. Dengan kata lain, sutradara telah memperhitungkan dengan cerdas, dan membuka berbagai kemungkinan bagi pemain untuk menciptakan ruang pertunjukannya menurut potensi dan aktualisasi diri mereka. Saya teringat Takeyama, dedengkot dan salah seorang ideology teater Jepang pada masa pembaharuan teater Jepang tahun 1960-70-an; dia menyatakan, bahwa teater mesti menciptakan ruang bagi kehadiran manusia, dan di situ pula manusia hadir bersama dalam rentang sejarah yang diciptakan dan mengolah kembali realitas social dan sejarah yang ada di lingkungannya dalam ruang teater. TAM terasa sekali mampu bermain pada ruang apa saja, tanpa beban dan kesulitan artistik.

Satu hal yang perlu saya tambahkan dan garis bawahi di sini, bahwa lakon “Mug-Mug” oleh TAM yang telah memainkannya sebanyak 30 kali selama rentang 2-3 tahun merupakan suatu proses yang perlu kita pelajari dan amati dengan cermat. Pelajaran itu menyatakan bahwa jika teater dan kehidupan grup dengan pilihan lakon yang secara terus-menerus dijalani secara intens dan mendalam, dan menjadikannya setiap pemainnya tidak lagi dilihat secara teknis akting belaka. Mereka melakukan di atas panggung dengan seluruh kehadiran tubuh dan diri mereka, ekspresi yang paling dalam tanpa suatu kecerewetan sebagaimana kebanyakan teater kampus yang dipenuhi dan didorong oleh keinginan mengejar jumlah nomor produksi, kuantitas, dari waktu ke waktu namun tiada pendalaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya mengalami kejenuhan pada tingkat yang memualkan ketika saya menyaksikan grup teater mahasiswa yang sekadar naik panggung. Dan membandingkannya dengan TAM, dengan proses kerja mereka, serta ketekunan serta jalinan kerja antara anggota TAM dengan sutradaranya bisa menjadi inspirasi yang visioner bagi siapa saja yang ingin memasuki dan menapaki dunia kesenian, khususnya teater.

Catatan akhir yang ingin saya sampaikan di sini, bahwa kehadiran TAM bisa menjadi suatu bentuk model dan pola pengembangan teater di sekolah. Tentu bahwa hal itu juga berkaitan dengan komitmen Abdul Razak Abadi yang menjalani dunia pendidikan dan teater sebagai bagian paling dalam dari dirinya. Untuk itu, kita bisa memberikan bukan hanya applaus dan tepuk tangan. Sosok ulet itu juga membutuhkan masukan, kritik, dialog dan tentu saja dukungan dari berbagai pihak. Apalagi jika kita secara geografis memandang posisi TAM yang lahir, tumbuh dan berkembang dari sebuah wilayah terpencil, kecamatan Lambuya, kabupaten Konawe yang oleh sebagian besar tidak diketahui letak dan posisinya pada peta Indonesia. Saya ingin menegaskan bahwa sebuah komunitas, sebuah grup teater anak-anak dan remaja bisa menjadi image yang positif. Dan citra itu kini telah melintasi dan membawa nama baik wilayahnya. Lebih dari itu, di antara sistem pendidikan kita yang selalu mengalami krisis dari waktu ke waktu, dan di antara pola hidup yang kian konsumtif khususnya kaum anak-anak dan remaja yang dijejali oleh teve yang banyak membawa dampak kepada pola tingkah laku kekerasan, kehadiran TAM sangat inspiratif bagi kalangan orang dewasa, orangtua, dan para pendidik.

Akhirulkalam, saya ingin menyatakan bahwa theatre is life, film is art, television is furniture – dan TAM membuktikan ungkapan itu dalam wujud mereka yang penuh harapan.

[]

Makasar, 30 November 2006


Halim HD

Bagi jurnalis muda, nama Halim HD belumlah dikenal secara luas. Maklum postur tubuhnya yang menyerupai ’biksu’ Shaolin ini tak banyak bicara dihadapan para wartawan muda, khususnya di Solo. Tapi bagi para pewarta senior, nama Halim tak asing lagi. Meski berpenampilan tak mencolok, ia toh tetap dikenal oleh para jurnalis ’kaplak-awu’ sebagai ’pengembara’ budaya, melanglang dari kota-ke-kota. Networker kebudayaan dan penulis, tinggal di Solo dan Makassar.



Doa yang Berkelok ke Timur # 2

Oleh Adhy Rical

Siang itu, tanggal 25 Juli 2005, kau jelas sekali mendengar semua amarahku di ruang rias. Sebenarnya bukan padamu amarah itu. Aku hanya marah pada keadaan. Kenapa keteledoran masih ada dalam tim. Bukankah kau tahu, semenit pun tak boleh ada kata terlambat di sini? Kami telah sepakat sejak lama bahwa sebuah keberhasilan -paling tidak melawan dalam diri- adalah tidak terlambat waktu.

Persoalan sepele sebenarnya tapi mug bercorak hijau yang sudah kami siapkan dari Kendari tak sempat terbawa. Pentas dua jam lagi dimulai. Ini yang pertama membawa tim dengan jumlah yang besar dan pertama pentas di Jakarta. Kami merasa makin kecil di sini. Tentu sangat mendebarkan bukan?

“Dhy, kami sudah cari di pasar Minggu. Benda itu tidak ada. Gimana dong?”
Yaa bagaimana lagi. Benda itu wajib. Judulnya aja Mug, kok ga bisa dapat?”

Tak lama Ahid menelpon lagi. “Dhy, ada solusi gak? Mungkin bisa ganti dengan benda lain?”

“Ada. Nanti aku yang cari!”

Sepertinya, emosi siang itu cukup panas.

“Cari gimana maksudnya? Kamu kan sutradara, gimana ada waktu nyarinya?”
“Tenang saja. Selalu ada waktu yang baik jika kita tenang.”

Aku membayangkan masalah besar di sana. Kalian pasti mengoceh atau mengumpat padaku. Situasi memang tak pantas. Benar-benar tak pantas. Begitulah waktu selalu baik ketika tenang. Bukan secara kebetulan kalau saat itu aku lebih mengandalkan Udin, kawan dari Kendari yang baru tiga bulan di Jakarta kumintai untuk mencari mug. Ia berhasil.

Ada peristiwa yang membahagiakan selain pertunjukan itu.

Pertama, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan lomba mengakhiri cerita tingkat remaja. Sesuatu yang tak terbayangkan bagi kami sebab salah satu peserta dari timku berhasil memperoleh juara 1. “Saya suka Eva dalam menjalin kisah seperti itu, Dhy”, kata Ratna Sarumpaet. Ya ya. Terima kasih telah memilih Eva. Ia perempuan yang berbeda dari yang lain, kelakarku sedikit promosi. Hahahay.

Kedua, setelah Mug-Mug tampil, Slamet Gundono meminta kami untuk berkolaborasi. Wayang Suket yang menarik dengan lakon Gatot Kaca. Wuih! Tambah seru. Ini pengalaman berharga bisa bermain bersama “raksasa” dari Solo. Tentu saja TIM saat itu makin ramai dan riuh dengan dialek yang berbeda. Sesekali mas Slamet celetuk ala Kendari Mug dan TAM pun membalasnya ala Solo.

Doa yang Berkelok ke Timur. Ini judul kedua dari catatan yang kutulis. Katakanlah doa yang tak sampai atau belum sampai tapi kutujukan padamu. Beberapa kali pembicaraanku berkelok-kelok tapi belum menemuimu. Aku selalu berdebar menyebut namamu sebab percakapan sederhana kita lalu menginap tiga hari di tempatmu adalah sesuatu yang lain. Kangen? Iya barangkali.

“Kang, boleh tanya?”

Ini pertanyaan awal yang tak pernah aku lupa ketika kau mengajak bermalam di Horison.

“Bukan mug lagi kan? Haha…” Tawa yang ringan. Kukira itulah jawaban paling akrab dan dalam. Kami sebenarnya pernah bertemu di Kendari. Ketika itu ia ke Raha tapi aku tak sampai Raha.

Kok, Kaki Langit, Horison edisi lalu itu memuat lagu Iwan Fals utuh dan diulas sebagai sajak yang bagus sih? Itukan jiplakan!”

“Mungkin editornya penggemar lagu dangdut, Dhy.” Jawaban kelakar itu sudah cukup bagiku. Aku tak perlu bertanya lagi sebab sudah jelas. Tidak semua sajak dan lirik lagu itu dikuasai oleh editor kan?

“Tapi Iwan kan tak sama dengan….”

“Ini yang kedua, Dhy. Kayaknya kita diskusi di rumah saja. Sambil main badminton. Mau?”

Haha… boleh! Sudah lama tak berkeringat dengan badminton.”

***

Horison.

Memasuki ruang tengah, ada banyak foto terpampang. Kukira tak perlu kusebutkan siapa saja foto yang ada di situ. Aku merasakan damai. Ya. Sesuatu yang berbeda. Mungkin karena saat itu tak ada rapat redaksi atau pertemuan lain yang sifatnya urgen maka kesunyian itu menjadi keberuntungan tersendiri buat kami. Hemm… Aku langsung menuju lantai paling atas sebab katamu ruangan di sana paling cocok untuk kami. Pas untuk latihan. Lumayan, ruangnya cukup luas dengan beberapa jemuran di sekitar tembok.

Mulailah kau bercerita lebar tentang kesibukan awak Horison jelang deadline sampai motif cover yang pertama kali kubilang monoton. Tentu saja itu yang pertama kubilang sebab pengalaman kerja sebagai layouter di koran lokal cukuplah alasan untuk menolak. Apakah cover itu sebuah pencitraan atau hal lain? Diskusi malam hingga larut itu menarik sekali. Malam itu pula kali pertama melihatmu memakai sarung setelah beberapa hari sebelumnya, penampilanmu kebapakan dengan motif kemeja abu-abu lengan panjang dan celana kain jatuh abu-abu tua. Bukankah aku mengetahui semua jenis kain karena bekerja lima belas tahun sebagai desainer tekstil orangtuaku?

Mendadak kau mengeluh sakit ketika kita bermain badminton. “Dhy, udah dulu ya!” Cuma itu katamu. Tak ada bicara lagi lalu masuk kamar menyendiri.

Sayang sekali kita harus berpisah. Terlalu banyak hal yang kami dapatkan darimu tapi kami harus berangkat ke Yogyakarta. Tampil di Teater Garasi pada tanggal 28 Juli 2005.

“Hubungi kalau sudah sampai Jogja ya, Dhy. Tentu saja, kabar dari Kendari kutunggu selalu.”

“Siap, Kang!”

Sebuah sms dari Ahid masuk pada tanggal 23 November 2009, “Dhy, Akang berpulang ke rahmatullah.”

Aku hanya diam lalu menulis puisi pendek: Tuhan Mencintaimu. Sajak ini termuat dalam antologi puisi “Berjalan ke Utara”.

[]

Kendari, 2005-2010


Sketsa: Untuk Seorang Ayah, Paman, Kawan, BSH

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

“Profesi wartawan tak bisa dibeli.” Budiman S Hartojo (BSH), wartawan senior dan penyair, mantan wartawan Tempo, ini, Jumat pekan lalu dimakamkan. Ia berpulang di usia 71 tahun. Teman, ayah, paman, sekaligus “lawan” diskusi, BSH, begitu ia akrab disapa, menjadi kamus berjalan wartawan muda. Sebuah penggalan kenangan bersama pendiri Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi) ini; tauladan etika dan prinsip jurnalisme, tempat bersandar saling-silang belajar; antara senior dan yunior. Sebuah situasi nan kini sirna di meja redaksi media.

JUMATsiang menjelang shalat Jumat, 12 Maret 2010 Mendung menggayut. Matahari malu-malu dibalut awan. Hujan titik rintik. Keranda jenazah Budiman S Hartojo, kelahiran Solo, berpulang Kamis, 11 Maret 2010 pukul 14.22, itu, dibawa ke masjid di sebelah halaman taman rumahnya,di bilangan Jati Bening II, Bekasi, Jawa Barat.

Di saat itulah ingatan saya menerawang kepada sosoknya. Ketika saya pindah ke Jakarta 1979, dari Pekanbaru, Riau, semester akhir SMP, dan tinggal di bilangan Karet Belakang, Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Saya tak menduga bertetangga dengan seorang wartawan Tempo, majalah yang edisi bekasnya suka saya bulak-balik, beberapa artikel kadang saya baca.

Menuju kelas 1 SMA, intensitas perjumpaan dan ngobrol dengan BSH meninggi. Apalagi kedua orangtua saya yang sudah duluan tinggal di Jakarta, sejak 1973, lebih dulu mengenal BSH dan isterinya Djati Budiman, sosok perempuan cantik, kelahiran Cirebon.

“Ibumu kalau bikin rendang enak sekali,” ujar BSH.

Entah karena pintar memuji, setiap ibu saya memasak, termasuk gulai kepala ikan, pastilah BSH tidak terlewatkan. Bahkan sup tulang tungkai sapi, yang berisi sum-sum, menjadi santapan kegemaran BSH. Bisa Anda bayangkan kolesterolnya? Sayalah kebagian mengantar ke kediaman kontrakannya. Sepenggalah saja jaraknya dari tempat kami.

Tukar-menukar penganan acap kali. Di jeda sowan itu, ada saja obrolan dengan BSH. Dari situlah satu dua bukunya, suka saya pinjam dari perpustakaan pribadinya. Banyak buku sastra, termasuk majalah Horison yang lama. Buku kumpulan puisinya tak pernah terlewatkan.

Intensi mengobrol dengan BSH, seingat saya ketika saya kelas dua SMA, soal pembredelan Tempo. Saya banyak mendengar beragam masalah liputan Tempo, yang tak disukai oleh rejim Ordebaru, kala itu. Juga soal internal majalah berita mingguan itu. Di hari-hari deadline, terkadang ia meminta saya tidur di kamar depan rumahnya, karena Tante Djati, seorang diri di rumah. Mereka tak punya pembantu, juga belum dikaruniai anak keturunan hingga akhir hayatnya.

MOBIL jeep Toyota Land Cruiser hardtop, coklat muda itu, baru saja dipasang rak di atas plafonnya. BSH menaikkan barang berukuran besar. Untuk ukuran badan kecil, pendek, dengan napas tersengal, tak tega melihatnya. Barang bawaan itu umumnya buku. Di medio 1980-an itu, BSH harus pindah ke Bandung, menjadi Kepala Biro Tempo, Bandung, Jawa Barat.

Mengenakan topi, bak Mafioso Italia, lengkap dengan jas kotak-kotak dengan bagian siku berornamen bulatan coklat, saya tertawa geli melihat sosok mafia kecil seakan tenggelam di balik lingkaran setir mobil yang besar. Kendati duduknya sudah diganjal bantal, badan BSH tetap tak kunjung meninggi.

Saya, ayah, dan ibu, melepasnya berangkat menuju jabatan baru. Jadilah kediamannya di Jakarta, bak rumah kami. Saya sehari-hari menunggui. Beragam buku koleksinya, menjadi santapan hari-hari. Ada dosa terasa di dada saya. Satu dua buku koleksinya ada yang terbawa, lalu dipinjam kawan, dan tak kembali. Dari sosoknya saya begitu memahami pentingnya literasi.

Dosa berikutnya, ketika mobil dinasnya sudah berganti dengan Daihatsu Charade merah. Suatu waktu ia pertama dapat jatah dari Tempo menunaikan hajji. Jadilah saya menemani Tante Djati, dan hari-hari wira-wiri dengan mobil merah itu, mejeng.

Pertemanan BSH dengan sumber berita luas. Kendati kritis terhadap pemerintahan Ordebaru, sosok macam almarhum Rudini, mantan Kasad, secara khusus mengirim ucapan selamat lebaran pribadi: foto Rudini dan isteri lengkap dengan tanda tangan pribadi, salah satu yang saya ingat dipajang di meja rumahnya. Ia berkawan dengan banyak orang, terutama seniman yang suka mangkal di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia memilih bersahabat dengan banyak anak muda.

Suatu hari di Bandung. Saya melihatnya bekerja. Suara mesin tik-ketak-ketuk. Suaranya keras, setajam tarikan pena kalau ia menuliskan sesuatu, termasuk tanda tangannya dengan haruf B dominan bertekanan. Entah karena melihat suara ketikan itu pula, hingga kini, kolega saya programmer Anthony Seger, selalu protes akan gaya saya mengetik di komputer.

Di Bandung saya melihat wartawan muda seperti Bambang Harimurti, kini Pimpinan Umum Tempo, dan banyak nama lain yang beredar di dunia penerbitan di Indonesia. Sosok Moebanoe Moera, kini Redaktur Pelaksana TRUST, dulu juga di Tempo, yang kebetulan berdiri di kanan saya saat men-shalatkan jenazah BSH, mengaku sebagai salah satu muridnya.

BSH mengingatkan saya akan ejaan. Hingga ia berpulang, penulisan ejaan saya tak pernah 100 % benar. Padahal, ejaan salah satu kunci profesional, begitu BSH selalu mewanti-wanti.

Maka ketika saya berkuliah di jurusan komunikasi massa, sebuah buku tipis Ejaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi acuan kami satu semester, hanya mengantarkan nilai kuliah di angka do-re-mi. BSH terpingkal-pingkal. “Maka jangan anggap enteng urusan ejaan,” ujarnya. Seingat saya, itulah tawa heboh sosok yang suka bercanda ini.

Acap pula dia memperlihatkan tulisan yang hendak ia serahkan ke redaksi Tempo, ke saya untuk dibaca. Dan selalu hampir tak ada cacad salah tulis. BSH mengingatkan menuliskan di menyatakan tempat, seperti di muka dipisah. Beda dengan penulisan dikerjakan, kata sifat. Hingga kini hal remah begini masih alpa dilakukan, tak terkecuali wartawan tua apalagi muda. Dia akan senang hati jika kita ikut mengoreksi tulisannya.

Suatu saat setelah pensiun di Tempo, BSH, masih kiri kanan berusaha bekerja menulis. Ia menulis untuk majalah Pantau, 2003. Naskahnya tak keberatan diedit oleh sosok muda seperti Andreas Harsono.

Kecuali ketika Andreas mempertanyakan, mengapa tak ada tanda-tanda kekerasan dalam ‘sarang teroris’ di Pesantren Ngruki?

“Lah saya itu reporter, apa yang saya lihat, itu yang saya tulis,” jawab BSH.

BSH bilang reporter itu profesi wartawan seumur hidup.

“Redpel, Pemred, itu kan hanya urusan jabatan.”

Tulisan BSH di Pantau, ditempatkan oleh kawan-kawan jurnalis sebagai salah satu literair yang bagus. Penulisan literair itu pulalah yang kemudian menjadi pendalaman saya.

“Dan menulis macam ini, bukan barang baru. Tahun dua puluhan, Adi Negoro sudah menulis dengan langgam literair dalam Buku Melawat ke Barat.”

KETIKA menginjakkan kaki melangkah ke masjid di Jumat pekan lalu itu, sambil mengiringi keranda jenazah BSH, ingatan saya masih melayang akan kediamannya. Kendati bersahaja, rumah itu didesain oleh arsitek Adhi Moershid, arsitek yang pernah mendapatkan Aga Khan Award atas karyanya untuk Masjid Said Naum, Jakarta.

Suatu hari masih di medio 80-an, ia memperlihatkan sketsa di kertas putih, goresan tangan sang arsitek. BSH bermimpi mewujudkan rumahnya itu, kendati tak tahu harus membangunnya melalui rejeki darimana. “Baguskan desainnya? “ katanya. Saya melihat matanya menerawang, bermimpi.

Di kediamannya itu pula pernah suatu hari saya menemani sosok almarhum Prof Dr. Saleh Poeradisastra, ahli sejarah cum sastrawan, yang sedang menulis buku. Ia ingin di tempat sepi tak terganggu. Saya naik angkot biru menemani Prof., Saleh ke sana. Jalanan becek berlubang. Kini walaupun sudah beraspal dan beton, jalanan seputar rumah masih ada bolong-bolong. Di rumah yang masih standar KPR kala itu, Buyung Saleh, begitu sang Profesor akrab disapa menyelesaikan terjemahan Darul Islam, misalnya.

Akibat perkenalan dengan Buyung Saleh, suatu hari saya ketika bekerja sebagai reporter di majalah Matra, membutuhkan referensi urusan asal muasal kata Menteng. Kami sedang melakukan liputan panjang kata Menteng. Amarzan, sebagai Redpel Matra, mengingatkan saya agar menemui Saleh. Benar saja. Saleh menyebutkan kata Menteng dari nama orang. Namun ia enggan dikutip dulu sebelum ada referensi.

Di suatu Kamis petang, Saleh bersandal jepit, membawa tas kresek berisi buku tebal berbahasa Belanda. Ia langsung menuju meja saya di mana Matra kala itu berkantor di Setiabudi Building II, Jakarta Selatan. Saleh dengan peduli menterjemahkan bagian penting bagi reportase saya. “Nama Menteng itu dari nama tuan tanah, Daeng Menteng,” ujar Saleh. Di saat VOC bubar, malamnya Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, mengembalikan tanah-tanah tuan tanah.

Itulah gunanya senior, memberi arah, mengantarkan ke sumber yang bertanggung-jawab. Sejak saya berkecimpung tulis menulis, tak menemukan lagi bagaimana sosok macam Prof Saleh, punya tanggung jawab literasi besar sebagai sumber.

Dan pergumulan saya ke dunia tulis-menulis sebagai profesi, tidak terlepas dari katebelece BSH. Setelah saya menjadi reporter lepas majalah Swasembada (kini SWA), BSH membawakan surat untuk diberikan kepada Kemala Atmojo, Redaktur Pelaksana, di kantor majalah Zaman, sebagai bagian dari Tempo, kala itu di Proyek Senen. Di 1985 itu, Zaman akan berganti wajah menjadi Matra. Setelah mendapat penugasan dari Sori Siregar, Redaktur Zaman yang juga penulis cerpen, saya masuk sebagai list reporter lepas, hingga kemudian bekerja full di Matra.

Suatu petang, BSH memanggil saya, yang lagi mengetik laporan di Matra. Seperti biasa ia bersemangat dan tersenyum.

“Ini kenalkan Buyung, saudara juga.”

Sosok yang dikenalkan menjawab, Kemal.

“Ini Kemal Efendi Gani, dari Solo, orang Padang tapi lebih Jawa,” tutur BSH tertawa.

Ia menenteng Kemal bertemu Bondan Winarno – – kini terkenal dengan Maknyus itu — kala itu Redpel SWA, yang kantornya bersebelahan dengan kami. Tempo kala itu baru punya Gedung baru di seberang kami di HR Rasuna Said.

Kemal kini Pemimpin Redaksi SWA. Maka ketika saya melihat Bambang Halintar, Pemimpim Umum dan Perusahaan SWA, yang dulu juga di Tempo, hadir di antara pelayat, saya bertanya, ke mana Kemal?

Pertanyaan yang sama, agaknya, juga ditanyakan kawan-kawan kepada saya, “Ke mana Iwan?” di saat BSH dirawat di RS Thamrin, Jakarta Pusat.

Di saat saya di Abu Dhabi, Medio Februari 2010, SMS dari tanah air masuk. Eddy Mulyadi, mantan Sekjen PWI-Reformasi mengabarkan, “Jenguklah BSH, keadaannya mengkuatirkan.”

Dalam urusan SMS inilah saya sebagai anak, pernah melawan BSH, melarangnya berkirim SMS. Karena pernah menimbulkan salah pengertian di saat saya menjabat Ketua Umum PWI-Reformasi. Lebih jauh, saya pernah menghitung uang SMS yang dikeluarkannya untuk memotivasi wartawan jangan menerima amplop, termasuk menggerakkan organisasi PWI-Reformasi, jumlahnya sudah bisa mengganti mobil Daihatsu Classy Putih tuanya ke Kijang terbaru. Dan hingga akhir hayat, ia hanya mampu mengganti kelir mobil itu dari putih ke hitam. Bukan mobil baru.

Sekembali dari Abu Dhabi, bahkan telah tiga Sketsa saya tuliskan, saya tak kunjung juga menjenguk BSH ke rumah sakit. Entah mengapa jauh-jarak seakan melilit bak antara kutub utara dan selatan, langkah saya tak kunjung sampai ke rumah sakit. Lalu datanglah kabar melalui SMS bertubi-tubi dari kawan-kawan jurnalis, bahwa BSH sudah berpulang.

TANAH di pusara baru saja ditutup. Abdul Hakim, adik kandung BSH memberikan sambutan. Saya teringat akan bagaimana BSH mendidik adik kandungnya itu dulu bekerja. Abdul Hakim pernah dari satu rumah ke rumah lainnya mengukur jalanan Jakarta, mendagangkan buku terbitan Tira Pustaka. Seingat saya BSH hanya memberikan ongkos bis saja ke Takim, begitu kami menyapanya.

Saya pernah bertanya, makan siangnya bagaimana?

“Ia harus cari sendiri,” ujar BSH.

Maka sering ibu saya menawarkan makan seadanya kepada Takim, di saat bajunya lepek basah pulang kerja di era 80-an itu. Di Kamis malam di saat jam sudah menunjukkan 00.30, setelah 20-an tahun tak bertemu, Takim, menjabat tangan saya. “Sekarang saya jadi ustad,” katanya. Senyum dan tawa khasnya masih seperti dulu. Masih ingat dalam benak saya, hampir tiap malam Takim mengaji, membaca Al Quran.

Usai Takim berkidmat, kerabat diminta bicara terhormat. Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Tempo, mengenakan baju koko putih, berkopiah, di sebelah saya menatap, mengangguk, seakan meminta saya tampil. Adalah afdol Toriq mengucapkan kata akhir.

“Yang kita makam kan ini adalah guru kita, guru banyak kawan-kawan jurnalis,” ujar Toriq.

Sekelebat ingatan saya ke November 2008, di mana saya berada di liang lahat menutup pusara ibunda saya. Dari sudut mata, saya tatap BSH kala itu berkopiah haji, berjaket biru bersepatu karet putih, menatap nanar.

Ia ucapkan duka menjabat saya. “Ibu Agusti orang baik, pasti diterima di surganya Allah.”

Kala itu juga kalimat yang sama saya tabalkan dalam hati: Ya Allah, Budiman S Hartojo, orang baik, semoga Surga-Mu imbalannya. Amin.

Di Minggu, 21 Maret 2010, petang kami sekeluarga datang ke kediaman BSH. Menduga ada tahlilan, sebagaimana kebiasaan banyak dilakukan masyarakat. Ternyata menurut Tante Djati, isteri almarhum, mereka tidak mengadakan.

Keesokan paginya bangun tidur, isteri saya menangis sesenggukan.

Ada apa?

“Kok Pakdhe tidak ditahlilkan?”

Pakdhe adalah panggilan bagi ketiga anak kami terhadap BSH.

Saya jawab, pasti banyak orang mendoakan, banyak cara berdoa, termasuk malaikat akan mendoakan.

“Iya, ingat bagaimana dia bermain dengan anak-anak, mengajak anak-anak menggambar, sedih,” ujar Vivi, isteri saya.

Saya pun terbawa perasaan, bertanya dalam hati, mengapa sepi kawan dan kerabat mengantar BSH ke pusara, padahal begitu besar namanya? Jarak, waktu, dan kesibukan, telah membuat segalanya jauh. Sama dengan sok sibuknya saya, sehingga alpa hadir di saat Oom Bud – – begitu saya menyapa – – masih dirawat. []

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com