Oleh Syaiful Alim
Kaudatang membawa sampan
lalu kita mengarungi lautan
dengan tangan sebagai dayung
kaukenalkan aku ikan duyung
juga kerang yang mengerang
oleh gores bebatu karang.
Kita berpeluk ketika ombak mengamuk
“Cinta tak kan remuk walau sampan lapuk.
cinta tak kan rebah meski badai menjarah.”
Kauberkata seraya menatap mataku
dan aku makin lahap mendekapmu.
“Simpanlah sampanku di hatimu”
Kaudatang menawari hujan
ketika sawah ladangku diterjang desah gersang
tanah hatiku retak oleh koyak kuku matahari yang jalang.
Hujanmulah yang membasahi tanah, menumbuhkan kembang
sehingga aku bisa lagi melihat kembang dirayu kumbang.
“Cinta itu menghidupkan” kauberkata sambil merangkul leherku
dan aku mengambil senyum mungil dari pipimu.
“Hujanku selalu ada di dekatmu, kemarau tak mampu menjeratmu”
Kaudatang menghidangkan terang rembulan
ketika mataku dihadang gelap gulita.
Rembulanmulah yang menemaniku menata kata jadi puisi dan cerita
“Cinta itu cahaya” kauberkata seraya membelai rambutku dengan lembut
dan aku membalut tubuhmu dengan hangat yang tersulut.
“Percayalah, rembulanku selalu menggantung di malammu”
Kalian hadir membawa butir-butir waktu
bagi hidupku yang sering tergelincir licin lereng tebing kehidupan.
Aku katakan sekali lagi, bahwa aku cuma debu
yang terombang-ombing angin.
Mauku pada satu
muara jiwaku cuma bisa menerima satu resah
datang dan singgahlah di gubuk sajakku
lalu beranjak meninggalkan seribu tujah.
Maafkanlah aku,
biarkan aku terkapar ditampar gamang dan ragu.
Aku tak tahu kepada siapa menuju
pintu rumahku telah kuborgol
dan kuberlari menggapai sebotol sepi
di puncak rindu yang mengapi.
Khartoum, Sudan, 2010.
[]
Tinggalkan komentar