Daily Archives: September 20, 2010

Kampung Kita : Kampung Nusantara

Oleh Dwi Klik Santosa

Bersalam-salaman. Berbagi sapa. Berbagi senyum. Berbagi bungah. Inilah adab kami, gotong royong itu punya nama.

Era boleh berganti nama. Gombalisasi global boleh saja hendak mengubah arah. Tapi di hati yang putih, dan memerah nusantara, tidak ada (insyaAllah) merobohkan élan juang itu untuk hakiki.

Fitri, mari kembali ke fitrah kita yang sahaja. Dalam lingkar kerukunan dan kebersamaan, semoga dibumikan sari-sari pencarian itu kepada inti yang sejati.

Salam saya.

dari kampung Sukoharjo

11 September 2010

: 07.2o

[]

HARI FITRI YANG BERKAH : Bersalam-salaman seluruh warga kampungku

SINERGI : Alam kampungku pun renyap mengasihi penghuninya yang saling berbagi kegembiraan

MEREKA SUDAH PADA BESAR : Anak-anak sanggar ketapelku dulu dan aku

LUCU DAN MENYENANGKAN : begitu kira-kira kenangan dulu itu masih tersimpan, meski kami jarang lagi bertemu. Hanya karena tuntutan nafkah dan perjuangan mencapai bentuk


Tourist yang Tersesat yang Menyenangkan

Oleh Afrilia Utami

Sore, (12/09) di kagetkan dengan kedatangan bule asing, bersama dengan Teten Rustendi (om saya) yang saat itu membawanya ke tempat kediaman kami. Bagaimana tidak kaget, tiba-tiba tanpa kabar ada seorang yang tampan rupawan, hahaha.

Hanya berpakai celana Jeans Pendek, kaos, topi, dan sebuah ransel besar, beserta kacamata hitam pekat yang tepat di gantungkan di kerah bajunya.

Owh, hello… My name Brian Davidson. I’m from Texas (America)” dengan senyum yang sumringah.

Hai.. I’am Afrilia, Ok. Sit down over there, please…” jawabku dengan sedikit gugup.

Thank you, Nice to meet you.. A..ff..rilial…

No…no. My name Afrilia. But, you can called me A-F-R-I-L.”

“Afril… OK, your name’s difficult.. haha..

Berbincang dengannya sangat menyenangkan. Terlebih ia sudah berada di Indonesia kuranglebih selama dua bulan. Sebelum menuju Tasikmalaya, ia mengunjungi Sumatra, Jakarta, Padang, Yogyakarta, dll untuk mempelajari alat musik tradisional ‘Gamelan’.

Pertemuannya dengan Teten Tustendi, di awali dengan ketidak sengajaan. Ketika itu Om Teten sedang makan di luar. Tiba-tiba melihat seorang bule yang ternyata benar dalam keadaan tersesat, setelah di tanya tujuannya ialah menuju pantai Pangandaran. Tetapi tersasar sampai di Tasikmalaya. Bukan tanpa sebab ternyata dibalik itu semua iapun tidak begitu menguasai bahasa Indonesia. Mr. Brain dalam usianya 23 tahun sudah berkeliling hampir seluruh negara bagian bawah katulistiwa. Hampir semua negara pernah ia kunjungi, ya beliau seorang adventurer. Berpetualang sendiri. Dan memang sungguh berani, belum mental di uji.

Pemilik nama Lengkap Brian Davidson ini, selain ramah dan mengasikkan. Ia pandai memainkan catur, kartu, terutama Jugle. Ya, kami bersenang-senang seharian penuh dengannya. Hahaha, seperti ada mainan baru. Seorang Atheis yang tiba-tiba menggemparkan kami. Ia ingin belajar Islam lebih dalam, Mr. Brain selalu membawa catatan kecil di saku kanannya, dan sebuah kamus kecil English-Indonesia di saku kiri celananya. Dalam catatan kecilnya, ia selalu menulis apa yang ia temukan. Ternyata ia telah merangkum banyak pertanyaan tentang Islam, yang semakin mengagetkan ia mempunyai sebuah Al-Qur’an tiga bahasa.

Menurutnya “I love Islam more than Christianity. Though I knew little about Christianity. Democracy in the religion of my family (Islam lebih saya sukai, daripada Kristiani. Meski saya tahu sedikit tentang Kristiani. Keluarga saya Demokrasi dalam agama.)” jawabnya saat di tanya.

Why would you want to learn Islam (mengapa anda ingin mempelajari islam?).”

Dalam diskusi membahas tentang agama, tentu sangatlah menarik dan asik. Banyak pertanyaan-pertanyaan beliau yang terkadang mengapa sulit ya…di jawab dengan rumusan dalam bahasa English. “Why I should fear God?“. “What God tells us to fight the apostates and infidels?“. “What is an apostate and infidel?

(Mengapa saya harus takut kepada Allah?”. “Apa Allah menyuruh kita untuk berperang kepada orang murtad dan kafir?”.”Apa yang dimaksud dengan murtad dan kafir?)” dan tentu masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan.

Esok pagi, om saya mengajak Mr. Brain untuk berkeliling kota naik sepeda. Dengan riangnya Mr. Brain langsung siap dan sangat bersemangat. Sesudah berkeliling sekitar 45 menit. Mr. Brain ingin mencoba makanan nasi T.O, ia melihat di internet tentang Nasi T.O dan ingin mencoba.

Hahaha, tidak salah saja ada bule di suruh makan nasi T.O dengan tangan telanjang tanpa sendok dan garpu yang setiap harinya hampir tidak alpa di atas piring berdampingan juga dengan serbet sarung. Melihat cara makannya, cukup membuat kami tersenyum sembunyikan tawa. Lama sekali, berulang kali ia sulit mengumpulkan nasi untuk menyuapkannya ke dalam mulut. “Waw, that’s Good. Hmm… “ ujarnya berkali-kali.

Kecerdasan dan ketangkasaan beliau cepat tanggap dalam melahap ilmu. Ia menguasai beberapa bahasa Spains, Korea (pernah menjadi guru bahasa English di Soul, Korea Selatan), Japan, dan mungkin sekarang bertambah bahasa Indonesia.

What you think about Indonesian society?

Yeah, saya senang with Indonesian’s People. They’re open hmm… terbuka.. dan I Love it, in here. Sa..yaa.. menyukai alat tra..disional music Indonesian and Indonesia’s culture. Before datang saya ke Indonesia. Saya ke Malaysia. Malaysia’s People tertutup.. tertutup, do you know tertutup?” jawabnya dengan bahasa yang gado-gado (campur English-Indo).

Hari-hari bersamanya adalah hari yang sangatlah menyenangkan. Banyak tawa jenaka yang lahir bersamanya. Senyum Mr. Brain itu yang kerap terpatung dalam mimik rautnya.

I hope you will never forget me..” ucap saya yang pelan membisik padanya.

Yeah .. Of Course. And I expect the same.. I glad to see you..

.. Begitulah muasal persahabatan dengan tourist tersasar itu.

14 September 2010

[]


Cerpen : With Mith (Kami Berbicara Tentang Mengasiani Diri)

Oleh Afrilia Utami

Pagi hari yang masih buta, matahari belum penuh berwibawa di angkasa. Aku bergegas pergi di temani Pak Her, menuju rumah Mith. Sengaja kumatikan cellphoneku selama di perjalanan sampai tiba pulang, “biarlah mereka menunggu,” kataku dalam hati. “Hari ini jadwalku bersama Mith,” kataku lagi. Seperti biasa, aku lupa untuk mempersiapkan kata. Lupa membungkus tanya. Lupa menahan rasa, hanya kangenku yang menjadi modal utama dan beberapa makanan bungkus kesukaan Mith untuk mengunjunginya. Dan permintaan yang selalu inginkan hadirku bersama dengan waktunya. Terkadang, aku berpikir sendiri, mengapa sulit membedakan antara senyum dan murungku setiba di depan rumahmu? ragu memijit bel pagar tinggi itu. Aku tersenyum karena kutemukan sahabat sekaligus Guru jiwaku di sini, dan lupa aku murung karena beberapa pikirku menyatakan sudah tak lama lagi waktu bisa setiba, bersamanya.

Dalam situasi seperti ini, kunjunganku ke rumah Mith terasa seperti menikmati embun sejuk di tengah kemarau berkepanjangan. Kami banyak berbicara tentang hidup, tentang keluarga, tentang cinta, dan yang paling di sukai oleh Mith, “Semangat Kasih” dan mengapa masyarakat kita sampai kekurangan nilai ini.

“Apa kau bosan? Mendengarkan keluh luluhku ini, Afril?” kata Mith, dengan suara yang semakin kayuh semakin kuyuh.

“Aku tak pernah bosan mendengarkan, semua kata-kata lisanmu. Semua ucapmu adalah gizi untuk pembelajaranku, Mith .. “ aku menarik nafas. “yang buatku bosan menunggu, kapan aku bisa melihatmu kembali berdiri kokoh, berlari siapa cepat siapa dapat. Sedang kulakukan bosanku untuk sebuah harapan.”  Jawabku, kami semakin saling tatap empat mata.

Ia tersenyum. “Cepat atau lambat bosanmu itu akan menjadi kebiasaan di waktu kita, lalu sesudahnya kebiasaan itu akan pergi, hilang, dan punah…”

“Dan pasti aku akan mencarinya, aku akan merindukannya, aku akan …. “ Potongku.

“Dan kau akan melanjutkan hidupmu.” Ujarnya kembali memotong lisanku.

Sementara itu aku mencermati tanda-tanda perkembangan penyakit yang di deritanya. Jemarinya masih berkerja baik untuk mengangkat gelas minum, dan pensil tuk menulis. Tetapi ia tak bisa mengangkat siku-sikunya lebih tinggi dari dada. Ia selalu menghabiskan waktunya di ruang kerja. Di dalamnya terletak kursi santai besar, dengan bantal dan selimut, pula karet yang terbentuk untuk menyangga pahanya yang semakin melemah. Di samping kursi terletak sebuah lonceng, untuk menandakan permintaan bantuan.

Terkadang ia sulit untuk sekedar menggoyangkannya, sedangkan bel itu berbunyi jika di goyangkan. Ada Jimmy anak bungsunya, dan Carron suster yang di tugaskan untuk menjaga sekaligus merawat Mith.

Aku bertanya kepada Mith, apakah ia menangisi dirinya sendiri?

“Kadang-kadang pada pagi hari” katanya. “Pagi hari adalah saatnya untuk berkabung. Setiap awal kuterbangun aku merasakan tubuhku. Aku menggerakan –apa saja yang masih dapat kugerakan- dan aku berkabung setiap kumenemukan ada bagian atau kemampuanku yang hilang. Aku bersedih karena lambat dan menyaksikan proses kematianku. Akan tetapi setelah itu aku berhenti menangisi diri. Dan kau Afril, apa yang kaulakukan dan rasakan pada posisiku ini?”

“Ya, aku memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis kalau itu perlu. Tapi setelah itu aku memusatkan perhatianku kepada segala hal yang masih baik dalam hidupku. Kepada orang-orang yang datang menjengukku. Kepada kisah-kisah yang akan kudengar setiap harinya. Terkhusus setiap salah satu tanggal ganjil sekali dalam dua minggu. Karena kita manusia bilangan ganjil.”

Ia tertawa. Manusia bilangan Ganjil.

“Fril, aku tidak membiarkan diriku terlalu hanyut lebih sumut tapi tidak sekecil semut dalam rasa kasihan berlebihan kepada diriku sendiri. Setiap pagi kubiarkan diriku menagis sedikit, tapi hanya itu.” Ucap Mith, mencoba lebih dalam membelai belahan kasihku.

Aku teringat semua orang yang kukenal, yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menangisi diri sendiri. Alangkah baiknya bila orang dapat menahan diri untuk tidak menangisi diri berkepanjangan. –namun terkadang, itu sulit tuk di lakukan. Karena perasaan kita lebih jujur jika dalam sendiri menghening. Di lakukan sembari senyap mengingat sakit dan luka-luka yang purba atau baru beragam rupa- .cukup beberapa tetes air mata setiap pagi, kemudian menghadapi hari dengan tegar. Jika Mith sanggup melakukannya, padahal ia menderita penyakit yang sangat melilit merajam dan mengerikan…

“Mengerikanlah bila kau memandangnya dengan cara begitu” komentar Mith. “Memang ngeri nyeri menyaksikan bagaimana tubuhku perlahan-lahan kehilangan fungsinya. Tapi aku cukup bersyukur atas kesempatan yang cukup luang bagiku untuk mengucapkan salam perpisahan. “

Ia tersenyum. “Tak semua orang seberuntung aku.”

Aku mengamati sosok tua teronggok dalam kursi yang sedang berhadapan kurang seinci mill. Tak bisa berdiri, tak bisa mandi, bahkan tak bisa membetulkan celana sendiri, atau sekedar menyuapkan nasi. Beruntung? Sungguhkah ia merasa beruntung?

“Afril .. “ panggilnya.

“Ya?”

“Boleh aku meminta sesuatu darimu?”

Tentu, jika aku bisa.

“Aku ingin” ia menarik nafas. “merasakan .. “ di lanjutkan dengan batuk yang berdurasi panjang. Sekali batuk, ia sulit untuk berhenti. Dan pasti batuk itu akan semakin membuatnya lelah, semakin lemah.

“Minumlah dulu..  “ ucapku sambil membawakan segelas airputih.

Sesudah ia habiskan airminumnya. “Aku ingin merasakan … hatimu ada mengalung dekat lalu erat dan kuat di hatiku.dan hangat tubuhmu menghangatkan mayatku.. “

Aku mayat juga. Jika kau mayat. Kita mayat? Siapa yang akan menghangatkan kita. Apa belum, kau rasakan itu semua, Mith?

“Aku ingin mendekapmu, memelukmu dan itu tak menjanjikan untuk waktu lama.”

Aku tersenyum. Baiklah …

Dan mulai dari sanalah aku semakin menyayanginya. Aku semakin tandus akan rindu hangatnya yang arus dan aku selalu haus akan hadir, kata, ucapnya hijau menghumus. Mith, hari ini aku terlalu sulit menceritakannya. Aku tak ahli berkata, aku terlalu patung tuk berhitung, aku terlalu gagap tuk banyak berbicara rangkap. Bercerita akan kisah kita, kisah yang ada dan di adakan. Mungkin hanya lewat coretan sederharna ini, kotretan singkat kebersamaan kita ada dalam hidup cerita.

“Bersyukurlah … Tak semua orang seberuntung aku.”

___________________________________________________

Mith,

Tubuhku masih surut

Separuh napasku makin kerut

Langkah mungkin tak berturut.

Semangat Kasih ini satu miliki raut

Sendiri. Berbagi. Tak pernah saling meribut

Kau turut menjadi kilau di gulitaku

Aku menjadi jantung di jiwa beragamu

Kauaku turut menghidupi waktu suka,luka, haru.

Menjadi satu.

S

A

T

U

Debu.

[]

17 September 2010


Tiga Indera Kau Salah Kata (Lupa) ?

Oleh Afrilia Utami

/1/

Ada yang retak di kakimu

Di ujung kuku-kuku melulu malu

Termutasi. Ilusi mat(i) mengepala sakau

Di ekor bayang mu?

/2/

Dengarlah bisu di dua mataku. Tidak

Mempunyai sanak sejak kanak-kanak

Kau lupa beranak. Aku Lupa menanak

Kudus batu. Musaf pelepah perak tinta rangka

Tengkorak.

Jahiliah mu?

/3/

Hilang suara telinganya. Jangan tanya

Tiga wat terawat. Pengomposan UCAP, pembibitan

Tepat KATA. Hijau kaumata kacamata.

Semakin biang dinding gugur bunga rupa. (katanya)

Murah yang murahan, sayang…

Engkau Tangis dan ringis yang terus?

[]

12 September 2010


Merenungkan Pencarian

Oleh Dwi Klik Santosa

SEMPRUL : Adakah pola atau tata kemasyarakatan di belahan bumi kehidupan ini yang bebas dari friksi-friksi?

TEMBEM : Maksudmu?

SEMPRUL : Perdebatan, perselisihan, pertengkaran, bahkan perduelan, tak terelakkan, bukan?

TEMBEM : Namanya juga manusia. Ya, wajarlah. Eh, tapi apa sih, sebenarnya, maksudmu?

SEMPRUL : Hmmm …. gotong-royong kampung. Betapa indah. Sangat menyenangkan kiranya, jika tetap dan terus hidup. Sesuatu yang megah, sesuatu yang impresif, ada dan hadir menandai. Jiwa-jiwa yang besar. Cita-cita yang luhur. Bernama kerukunan dan nilai-nilai agung kemajuan peradaban. Perbedaan-perbedaan di dalamnya, yaahh, memang selalu ada. Tapi guyub rukun itu nyata dan mengalir, bukan ….

TEMBEM : Hmm … sepertinya engkau sedang merisaukan sesuatu. Benarkah?

SEMPRUL : Ya, sejujurnya, aku memprihatinkan sesuatu. Bahwa pola nafas hidup masyarakat kita, kurasakan sepertinya sudah ibaratnya menjilma agama universal bernama materialistis. Entah siapa nabinya? Entah siapa gurunya? Dan, entah darimana sekolahnya? Seakan-akan. Seolah-olah segala sesuatunya, makin hari, kian merangsek. Seperti terskenario rapi : segala geraknya melulu dari, oleh dan untuk tujuan paling menara bersebut MA-TE-RI. Apakah keagungan dan keanggunan pencarian manusia itu ujung, hulu dan muaranya melulu materiil? Apakah Tuhan itu ….

TEMBEM : Idih! … kata-katamu!

SEMPRUL : Kadang aku merenungkan. Kalau saja, semua orang di dunia ini dermawan-dermawati, mudah memberi, gampang berbagi. Dan juga tidak keras dan wagu seperti batu, tidak bersikap sebagaimana diajarkan oleh nabi palsu yang gemar berpropaganda : “wahai saudara-saudaraku yang cakap, klimis dan mulia, marilah kita semuanya rajin dan gagah nguri-uri hakekat kita sebagai Homo Luden, Homo Homini Lupus …………”

[]

Sukoharjo
19 September 2010
: 09.23


Pusaran Ragu

Oleh Hera Naimahh

kau bawa aku mengangkasa mengitari jagat raya

menghitung bintang-bintang dan bercakap dengan purnama

adakah sebuah negeri tak bermusim yang bersedia menyimpan

serangkaian kisah tentang cahaya silau yang sanggup

membakar segenap reruntuhan masa lalu

mestinya kau halau semua rintangan di balik angin puting beliung yang

menghancurkan kesanggupan bersama waktu

benarkah cinta sanggup menaklukkan debur

aku letih bercakap dengan diri sendiri

aku letih merangkai kata-kata untuk menenteramkan

kegaduhan di alam serba maya

sekarang aku tahu

ternyata aku memang tak sepenuhnya mampu

mengurung senja bersamamu

cukuplah perjalanan ini

aku hendak bergegas pulang ke pangkuan kesadaran

karena  pantai   tak  lagi  bisa  menjadi  tepi  yang  gigih

menduga

dan setia

*****

hera 12/9/10


Pelukan di Negeri Poci

Oleh Hera Naimahh

di beranda itu kunanti dirimu
namun rindu sepertinya memang harus terus menunggu

di batas sepi itu kueja namamu huruf demi huruf di antara memori-memori kita yang terentang dalam gelombang waktu yang panjang

meski telah sangat rapi kubuat komposisi warna keterpisahan cinta kita
namun pelukanmu mencair juga di redup malam negeri poci menjelma puisi seribu purnama

***
hera-100910

[]


The King Of The Thief

Seri Tolak ACFTA (VI)

(Manuver Negatif Direct Broker ; Apa Mungkin Model Beginian Bersaing di ACFTA?)

Oleh Ilham Q. Moehiddin

Wuihhh…selesai juga tuh Pansus Century. Tiga bulan parlemen mengolah kasus hukum perbankan itu di atas ranah yang lebih politis. Tiga bulan para penggagas hak angket berjibaku dengan berbagai asumsi dan teknis perbankan—yang bahkan beberapa di antara mereka tak paham sama sekali. Tetapi, begitulah…namanya juga urusan politik, tentunya nuasanya sangat politis, bukan?

***

SAYA tidak akan mengulas masalah Bank Century itu dengan segala macam teknis perbankan. Tak elok, takut keliru. Saya belum paham benar soal silang-sengkarut teknis perbankan itu. Masalah pada bank itu, kian menambah miring penilaian dunia usaha asing terhadap kondisi perbankan di Indonesia. Selepas kasus ini, penilaian mereka terhadap perbankan Indonesia makin sumir.

Lha…saya pernah mengalaminya kok. Ketika itu, saya ada buy offer untuk memenuhi pesanan Cashew Nut 40 ton per bulan. Buyer-nya Cafe Geurme di Jerman sana. Cafe ini memutuskan mengganti kacang tanah yang kerap mereka gunakan sebagai snack kala minum beer, dengan mete yang memang lebih gurih. Pemesanan itu melalui broker yang berkantor di London, Blade Marketing Company. Broker person-nya seorang Pakistan Muslim bernama Riaz Ali.

Nah, karena saya menyanggupi dapat memenuhi quota-nya, dan karena baru kali ini saya berlagak-lagak sebagai eksportir, saya pun merasa harus men-cap diri masih amatiran dong… Karenanya pula, saya harus tahu—mau tidak mau—dengan segala teknis impor; macam porto folio ekspor-impor, regulasinya, urusan grade, spesifikasi, sucofindo, kemasan, dan lainnya.

Saya juga harus mempelajari peta untuk sekadar tahu mete saya nanti akan lewat mana—walau sebenarnya urusan itu sudah di-handling oleh perusahaan forwarding. Tetapi, karenanya saya jadi tahu; bahwa dari Laut Utara, pelabuhan terdekat—sekaligus paling ramai—di eropa itu adanya di Amsterdam, wilayah Belanda. Kontainer saya selanjutnya akan melalui jalur darat, melalui Rheine, Hannover, dan akhirnya harus tiba di Berlin, wilayah Jerman, sesuai yang tertera di catatan destination pada dokumen ekspor.

Sebenarnya, ada juga pelabuhan di Jerman yang berhadapan langsung dengan Laut Utara, seperti Hamburg. Tetapi, untuk mencapainya, Anda akan melalui teluk Laut Utara yang berhadapan juga dengan pulau Helgoland. Kapal mesti harus sedikit ke Utara lagi, dan menemui barrier gugusan Helgoland. Terlalu beresiko, mungkin itu pertimbangannya. Belanda sendiri, memang sudah menjadi pelabuhan ramai sejak 15 abad lampau, bahkan ketika Belanda masih dibawah satu Ratu yang juga memerintah di Belgia dan Luxemburg (Benelux). Kedua negara itu kemudian memisah dari Belanda dan membentuk protektorat di bawah perlindungan Ratu Belanda.

Tak lupa, saya pun harus membaca beberapa literatur tentang istilah dan teknis umum financial dan perbankan untuk bisnis seperti ini; nilai tukar, LC, dan lainnya. Soal yang terakhir ini-lah (termasuk Century) yang akan saya kisahkan nanti. Tapi, kita lanjut yang ini dulu ya

Lantaran Regulasi Lingkungan Hidup Belanda

Meski banyak berburu literatur, dan bertanya sana-sini, masih saja ada yang luput. Seperti, misalnya, soal regulasi lingkungan di beberapa wilayah yang harus dilalui kontainer itu. Tentu saja saya luput soal ini, dan parahnya, tak ada yang sengaja menyentil itu, sekadar memancing keingintahuan saya lebih lanjut. Saya tidak diberitahu soal regulasi anti plastik di Belanda. Jadi, ketika kontainer itu harus melalui pemeriksaan bea cukai di negeri kincir angin itu, cashew nut yang rentan pada perlakuan tertentu itu, harus patah dan meninggalkan banyak rendemen. Bea Cukai Belanda membongkar semua kemasannya untuk kemudian dipindah ke kontainer stainless berbentuk tabung besar.

Karena ketidaktahuan itulah, hingga saya merasa yakin dengan kemasan plastik bening ukuran 20 kilo-an. Pada saat di-packing di Jakarta pun, saya sama sekali tidak diberitahu, perihal kerugian dengan kemasan begitu. Hingga kemudian saya mendapat telepon dari pihak forwarding perihal pembongkaran itu. Telepon saat pertama kali, saya tidak khawatir. Barulah ketika seorang staf dari Atase Perdagangan KBRI Den Haag menelepon kali kedua, saya bukan khawatir lagi, tetapi terkejut dan sangat cemas soal kelangsungan supply yang saya sanggupi. Saya tidak suka, jika ada yang kecewa karena perbuatan saya.

Tidak ada jalan lain, saya harus mengecek konfirmasi itu, langsung ke tempat di mana masalah itu muncul. Saya sudah lama punya passport. Dengan bantuan seorang kawan lama di kedutaan Belanda di Jakarta, saya sudah mengantongi visa. Setelah membayar setoran fiskal, saya terbang ke Belanda.

Singkat kisah, dari hotel, saya menemui petugas yang mengurusi kiriman yang “tersandera” karena berbagai alasan. Saya diantar langsung ke tempat dimana tong-tong stainless berisi pesanan itu diletakkan. Apa yang kemudian saya liat, membuat saya semakin cemas. Memang, kuantitas barang saya tidak berkurang, tetapi kondisi yang pecah, seperti meyakinkan saya bahwa barang itu pasti di-reject pemesannya. Terbayang kan, kerugiannya?

Untunglah, staf yang menemani melihat kondisi kiriman saya, memberi saran bagus. Mungkin dia jatuh iba melihat kecemasan di wajah saya. Dia menyarankan agar saya mau menerima bantuannya untuk menghubungi serikat buruh setempat agar segera memulai proses pemilahan (sortir), memisahkan mete utuh dari rendemen-nya. Syukur pula, mereka mau dibayar murah, sekitar 4 Euro, per jam. Murah, paling tidak itu menurut sangkaan saya. Jika ada yang menilai itu kemahalan, biar sajalah, sudah terlanjur.

Mereka ada 80 pekerja, yang siap bekerja selama tujuh jam per hari. Pekerjaan pemilahan itu rampung dua hari saja, lebih cepat sehari dari waktu yang saya perkirakan. Hasilnya; hampir satu ton mete hancur, dan sisanya masih baik, walau tidak sedikit yang ujungnya complang.

Ketika para buruh melakukan pekerjaannya, saya disibukkan me-renegosiasi pihak Blade Marketing dan pihak Cafe Geurme, tentang kondisi yang saya alami. Walau sedikit alot—orang Pakistan cukup sulit ditaklukkan dalam negosiasi macam ini, kendati mereka tidak sesulit orang India—akhirnya mereka meluluskan permintaan saya untuk tetap menerima barang pesanan itu tanpa ada pemotongan biaya, yang bisa dianggap sebagai konpensasi dari wanprestasi yang saya buat. Di pihak saya, pada pesanan berikutnya saya akan melebihkan pesanan satu ton, jadinya 41 ton pada bulan berikutnya.

Saya menghitung posisi saya; dengan skema seperti itu saya masih untung karena selisih kurs dan harga mete di tingkat petani.

Sekedar informasi, dengan spesifikasi mete sebesar telunjuk (240 biji per kilogram), bersertifikat Sucofindo, berstandar US-Food & Drug Administration (minimal berstandar mutu baku makanan sehat Eropa), harganya tidak kurang dari 10 dolar US per kilogramnya. Saya memilih mata uang dollar dalam transaksi, bukan euro, apalagi rupiah, karena beberapa alasan. Hal itu mempengaruhi keuntungan.

Okelah. Riaz Ali masih berbaik hati menawarkan rendemen mete itu, untuk dijualnya pada beberapa perusahaan coklat lokal. Dia berhasil, dan untungnya lumayan. Fee untuk dia pun…lumayan-lah.

Akhirnya, mete-mete itu ditransportasikan melalui jalan darat. Kemasan plastik yang tadinya membungkus mete pesanan itu, oleh petugas pelabuhan, dimasukkan kembali ke dalam peti kemas, dan diharuskan dibawa pulang ke negara asal, ke Indonesia. Saya kagum dengan aturan anti plastik negara itu yang diterapkan dengan ketat, dan tanpa kompromi. Mete pesanan itu tetap dalam drum kontainer stainless yang rupanya milik kantor perwakilan forwarding yang saya sewa. Untuk mencapai Jerman, butuh waktu kurang lebih tiga sampai empat hari. Saya jadi punya waktu dua hari untuk mempelajari regulasi lainnya di negara ini berkaitan dengan sektor ekspor-impor komoditas yang baru saya tekuni itu.

Kejadian itu, membawa berkah tersendiri. Di bursa komoditas tertua dunia di Belanda ini—dibangun di Amsterdam pada 1897 sampai 1909, sebuah ruang perdagangan komersial, (stock exchange)—saya akhirnya tahu, bahwa mete dari Indonesia, dilabel dengan nama “Indian Cashew”. Menyedihkan.

Saya juga akhirnya tahu, komoditas yang memiliki nilai perdagangan tinggi di Eropa; kelapa dan produk turunannya (coconut fibre); madu alami (yang dipanen dari alam, dan harganya ditentukan dari tekstur dan tingkat kekentalan). Komoditi yang umumnya ditransaksikan adalah kopi, kakao, gula, kedelai, jagung, emas, tembaga, kapas, lada, gandum, dan CPO (crude palm oil, minyak sawit mentah), katun, susu, logam (emas, perak, nikel) dan juga kontrak berjangka yang menggunakan komoditi sebagai aset acuannya (Kontrak berjangka ini mencakup harga spot, kontrak serah, kontrak berjangka dan opsi berjangka ataupun suku bunga, instrumen lingkungan hidup, swap, ataupun kontrak derivatif pengangkutan).

Menyedihkan memikirkan, bahwa jutaan petani dan pekebun di Indonesia masih jauh dari hidup sejahtera. Saya mengira, selain terganggu sistem, keuntungan petani tidak pernah besar disebabkan terlalu banyaknya broker. Kadang komoditas para petani itu masuk dalam panel pasar setelah melalui rantai perantara yang berlapis-lapis. Harga yang tadinya sangat tinggi, begitu tiba di tingkat petani setelah melalui jasa perantara, sudah sangat-sangat tipis. Rantai kapitalis macam ini, tidak akan pernah membawa keuntungan pada petani. Solusinya, cuma memintas rantai distribusinya dengan bantuan pemerintah, agar harga yang tiba di tingkat petani “masih cukup tebal”.

Jika perantara “pemburu komoditas” itu bisa sampai di desa-desa menemui petani, bernegosiasi dalam pembelian langsung, maka sangat mungkin petani pun bisa mengantarkan komoditasnya langsung ke pasar yang dia kehendaki, dengan ukuran pasar yang dia inginkan. Jika komoditasnya dia inginkan hanya untuk mengisi kebutuhan domestik, dia bisa langsung ke pasar komoditas nasional. Pemerintah tinggal memfasilitasi masyarakat dengan informasi yang terkait, dan membangun sistem sekaligus menjaganya.

Cara ini terang saja akan mengganggu sistem distribusi dan pasar kapitalis yang sudah ada dan sedang eksis itu. Jika model direct macam ini, akan menyebabkan banyak broker yang harus gulung tikar. Pemangkasan sistem distribusi komoditas hingga sampai ke pasar, secara langsung akan menghempaskan sektor jasa, yang kerap beriring bersisian itu.

Tapi, menurut saya, ini hanya masalah pilihan saja; pemerintah mau memihak rakyat petaninya yang puluhan juta itu? Atau, memihak pekerja sektor jasa perantara komoditas yang jumlahnya sedikit (selain itu, mereka yang berdasi ini, justru yang paling besar mereguk untung dari bisnis broker komoditas—padahal mereka tidak menanam setangkai pun tanaman yang mereka jajakan itu).

Manuver negatif direct broker; apa mungkin model beginian bersaing di ACFTA?

Yang mencurigakan sekaligus mengherankan bagi saya, bahwa pemerintah Indonesia ternyata “dikalahkan” oleh Malaysia dalam hal perlindungan petani. Negara jiran itu bahkan sudah lebih dulu memiliki bursa komoditas yang disebut Bursa Malaysia (MDEX). Walaupun produk yang diperdagangkannya baru sebatas produk biofuel dan derivatifnya, namun negara itu bisa menjamin dan melindungi keuntungan petani untuk pasokan mereka dalam industri bahan bakar nabati.

Apa keuntungan Indonesia dibanding Malaysia pada soal ini? Indonesia yang sering membanggakan diri sebagai negara agraris, ternyata tidak seberdaya yang kita kira. Padahal, jika mau, Indonesia bisa menjadi pemain tunggal kawasan untuk sektor perdagangan produk agraria. Petani produsen Indonesia, seharusnya, tidak perlu menunggu terlalu lama untuk sebuah bursa komoditas dan bursa berjangka, yang untuk saat ini, dapat melindungi petani produsen Indonesia.

Indonesia memang memiliki Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dan Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX). Tetapi, jika bursa ini hanya menyediakan ruang yang kecil—baru memperdagangkan CPO—untuk produk komoditas Indonesia yang demikian banyak itu, wah…percuma saja rasanya. Pun, lembaga-lembaga perdagangan komoditas ini seharusnya bisa menguasai dan menjadi penentu harga CPO dunia—ini jika mengingat CPO adalah produk unggulan negeri ini dan telah memberikan sumbangan pada pendapatan negara dari sektor non migas sebesar USS 7,87 miliar atau 8,54% dari pangsa pendapatan nasional.

Saya mencurigai, timbulnya kesan pemerintah yang “menahan diri” itu, sekadar untuk melindungi para pengusaha raksasa yang bergerak dalam bisnis ini. Keengganan ini akan memicu kartelisasi di sektor pertanian; penguasaan jenis komoditas tertentu, beserta jaringan distribusi dan pasarnya sekaligus oleh satu kepentingan demi kapitalisasi keuntungan.

Bukankah, jika berharap kencangnya aliran dari kantong air yang membesar, cukup hanya dengan membuat pendek pipanya, maka buat apa menggunakan pipa panjang yang memperlambat arus dan menghabiskan energi? Sistem yang efesien selalu berbiaya rendah, dan menyisakan keuntungan yang besar. Sistem yang tak efisien selalu, pastinya, mahal.

Lihatlah, akibat nyata dari model distribusi panjang dan berlapis-lapis itu; identitas asli komoditas jadi hilang. Mengapa harus “Indian Cashew”, bukannya “Indonesian Cashew”? Kemana larinya kebanggaan Anda ketika Indonesia didaulat menjadi penghasil mete terbesar di dunia, ketika tahu mete-mete itu dilabel dengan nama negara lain ketika hendak diperdagangkan. Dan ini, tertera dengan terang di panel elektronik yang berhuruf kuning dan merah, yang terpasang besar di dinding gedung bursa komoditas dunia di Amsterdam itu.

***

Kembali ke soal pesanan komoditas tadi, saya menyusul ke Jerman sehari kemudian. Di Cafe Geurme, saya bertemu Riaz Ali. Rupanya, Riaz merasa perlu melihat sendiri kondisi yang saya kisahkan padanya lewat telepon dan email. Kami bertemu, dan berbicara di kantor pemilik cafe, yang keturunan Yunani berwarga negara Jerman itu, Pavellikas Alkos, namanya. Pada saya, dia minta dipanggil Pavell saja.

Orangnya ramah sekali. Wajahnya tirus, namun bibirnya sering senyum. Bicaranya cepat, tak terkecuali ketika kami berbicara bertiga dalam bahasa Inggris. Beberapa film dokumenter dan film pendek produksi sineas Jerman yang pernah saya tonton, sedikit membuat saya paham apa yang dikatakannya dalam bahasa Jerman, tetapi itu tidak membantu sama sekali. Pavell menjamu saya dengan minuman beer tong andalan cafe-nya. Beer itu rasanya sedang, tak terlalu ringan. Sedikit pahit, tetapi segera hilang, begitu mete oven mampir di lidah. Oh, ini rupanya… Saya segera paham mengenai penggantian dari kacang tanah ke kacang mete yang dia terapkan.

Saya tanya Pavell, dari mana diperolehnya mete sebelum dia memesan melalui Blade Marketing. Katanya, sebelum bertemu Riaz Ali, dia mendatangkan mete dari pasar komoditas Swiss. Mete ukuran standar dan kecil, dan harganya mahal, keluhnya. Riaz Ali yang menyarankan padanya untuk “berburu” mete secara langsung ke Indonesia. Riaz Ali pula yang memasang buy offer di situs NAFED milik Departemen Perdagangan RI. Kebetulan saya membacanya, dan mengirim email soal spesifikasinya, sehingga kemudian Riaz Ali menelepon saya pada pukul tiga dini hari, waktu Indonesia.

Kita singkat lagi kisahnya. Sebelumnya saya berniat langsung pulang ke Indonesia. Tapi tak jadi, ketika Riaz mengundang saya ke London selama dua hari. Karena undangan itu dilakukan secara pribadi, bukan atas nama kantornya, maka Riaz menyanggupi menanggung akomodasi selama saya di sana. Terserahlah, pikir saya. Mumpung “ditraktir” neh

Kami banyak cerita. Riaz memberi gambaran tentang Blade Marketing, dan memberi tahu saya komoditas apa saja yang lalu lalang dalam porto folio usaha mereka. Banyak jenisnya, sayang sedikit sekali yang bisa dipesannya dari Indonesia; selain memang tidak dapat diperoleh dari Indonesia, jika ada pun, komoditasnya masih kalah sama negara-negara lain dalam urusan kuantitas dan kualitas.

Pembayaran atas pembelian pertama itu, sisanya sudah ditransfer Riaz. Down Payment-nya sudah ditransfer lebih dulu 30 persen, seketika, begitu dia menerima facsimile saya perihal kapal berisi kontainer pesanannya meninggalkan Port of Priok. Dalam dokumen tertera FOB alias free on board.

Nah, soal rekening dimana nantinya Riaz akan mentrasfer pembayaran itulah yang sempat saya “senggol” di awal-awal tulisan ini. Ketika saya hendak mengurus dokumen ekspor, salah satu syaratnya adalah calon eksportir harus membuka LC, atau letter of credit, semacam surat jaminan-lah. Jika Anda “pemain baru” sebaiknya buat pula satu rekening baru. Syarat lainnya pun ada, tetapi saya akan menyentil hal yang membuat saya terkaget-kaget itu saja.

Untuk membuka LC ini, saya segera menuju Mandiri, bank terbesar milik pemerintah itu. Saya memilih bank itu, sebab; selain bank pemerintah, yang saya yakin lebih terjamin dan aman, bank ini juga sudah mendirikan cabang di kota-kota besar dunia. LC-nya berhasil saya peroleh. Kebetulan dalam varian valas, jadi walau sedikit lama, urusannya masih tergolong lancar-lancar saja. Saya kirimkan notice mengenai nomor account dan LC yang saya gunakan. Betapa terkejutnya saya ketika Riaz menolak nomor rekening dan LC itu. Katanya, sudah sejak lama perusahaan pialang komoditas dan umumnya dunia usaha di sektor yang mereka geluti, tidak mempercayai likuiditas bank-bank di Indonesia.

Karena saya sudah mengurus segala sesuatunya sampai sejauh ini, tentu saja saya bertanya dengan nada sedikit protes; tentang apa alasan mereka menolak nomor rekening dan LC dari bank-bank Indonesia. Sebelum menjawab, Riaz merasa perlu meminta pemakluman dari saya, kemudian dia katakan, bahwa jasa yang diusahakannya sangat beresiko. Tidak sedikit dia dan kawan-kawannya tertipu oleh rekening dan LC “bodong” yang disodorkan relasi mereka, dari bank di Indonesia. Kadang relasi mereka mengeluhkan soal lambannya pencairan dana pembayaran yang mereka transfer melalui nomor rekening bank di Indonesia.

Tentu saja saya tidak bisa maklum dengan kondisi yang diceritakan Riaz itu. Sebegitu parahkah sistem bank di Indonesia ketika itu, sampai-sampai usahawan asing sulit meletakkan kepercayaan mereka pada perbankan Indonesia. Saya pun tak bisa maklum dengan kondite yang diberikan Riaz, terlebih karena saya langsung mengambil sikap, bahwa Riaz ini sedang berusaha mendiskreditkan bank negara saya. Betapa tidak rasionalnya saya, bukan? Tapi saya sudah mengambil sikap, itu yang penting, bagi saya.

Dia sarankan pada saya untuk membuka rekening dan LC baru pada bank asing yang beroperasi di Jakarta. Sarannya saya ikuti (biar gak terlalu lama ini urusan…). Dan, saya memilih Commonwealth Bank.

***

Tetapi, jangan panik dulu dengan cerita Riaz itu. Kisah ini terjadi sekitar 2007, saat yang belum lama, ketika bank-bank di Indonesia sedang memperbaiki sistem akibat kelumpuhan ekonomi global 1997-1998. Bank-bank kecil baru saja usai berfusi, dan masih harus terbiasa dengan segala sistem, termasuk sistem komputasi. Bahkan, sejumlah bank pemerintah pun terpaksa bersenyawa, hingga melahirkan bank besar sekelas Mandiri, yang memiliki likuiditas tinggi, dan CAR yang sangat stabil.

The Thief : Robert Tantular

Jadi, soal Bank Century tadi, saya merasa aneh dengan aksi politisasi itu. Apa perlunya mempolitisir kasus yang murni banking crime itu? Menurut saya…ini menurut saya lho… tindakan itu tidak populis. Sangat bermuatan kepentingan besar yang tautannya jelas; pengembosan koalisi akibat sentimen politis paska pemilu.

Bukannya Jusuf Kalla dengan terang dan keras, menyebut Robert Tantular sebagai “orang yang merampok banknya sendiri”. Buat apa seorang Jusuf Kalla di hadirkan di sidang pansus, jika kemudian keterangannya diabaikan?

Saya tidak sedang memposisikan diri sebagai juru tafsir dari pernyataan Jusuf Kalla itu, namun dari pernyataan itu, secara pribadi saya, melihat orang-orang yang bertanggungjawab terhadap panel moneter dan perbankan Indonesia ketika itu, sesungguhnya sedang pasang badan. Setelah tahu dan mengerti resiko yang akan mereka tanggung dengan tindakan penyelamatan itu; bahwa aksi “perampokan” yang dilakukan Robert Tantular terhadap banknya sendiri, efeknya akan merembet dan menciptakan domino effect yang dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sekaligus akan membenarkan pendapat sebagian orang bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat mengatasi krisis seperti yang digembar-gemborkan.

Jadi, walau nilai bailout-nya yang tadinya di-plot kecil saja, pada angka 340 miliar-an rupiah, akhirnya harus membengkak menjadi 6,7 triliun rupiah, karena digunakan sekaligus untuk menutup dan menyehatkan kembali likuiditas bank tersebut. Maka, benarlah jika selama ini, baik (mantan) Menkeu Sri Muliani dan sejumlah petinggi otoritas moneter Indonesia (termasuk mantan Gubernur BI, Boediono) selalu mengatakan bahwa uang 6,7 triliun itu tidak hilang, masih ada di Bank Mutiara dalam bentuk modal.

Kalau demikian, mengapa tidak segera dicairkan, dan dananya dikembalikan ke para pemiliknya, termasuk para deposan di Antaboga Securitas? Wah…soal cair mencairkan dana 6,7 triliun itu urusan gampang. Artinya pula, Anda harus menerima fakta ini; bahwa setelah ditarik atau dicairkan, dan akibat tindakan itu menyebabkan likuiditas Bank Mutiara minus sama sekali, maka tidak ada tindakan yang lebih tepat atasnya, yakni menutup bank itu, alias likuidasi penuh.

“Iya, tutup saja. Wong ini bank-nya kecil kok.”

Wah…repot mas. Kecil memang, tapi mereka juga punya nasabah, dan tentunya tanggungjawab. Apa iya, Anda harus mengorbankan semua pekerja di bank itu, semua nasabah yang ada disana, hanya karena tindakan kriminal pemiliknya yang “merampok” bank-nya sendiri? Nasabah bisa pindah setelah ada jaminan dari LPS, tapi juga harus ada opsi untuk menyelamatkan para pekerjanya yang jumlah tidak sedikit itu. Melebur bank ini pada lembaga perbankan lain, misalnya. Mereka juga rakyat Indonesia, yang seharusnya dijamin oleh negara. Mereka punya keluarga yang juga butuh makan. Jika Anda diposisi dilematik mereka, tentu penilaian Anda tak akan sesumir itu.

Semoga saja, model penangananan kasus ini, tidak sekaligus membangun atau makin memperkuat preseden buruk bagi warga asing (terlebih bagi warga Indonesia) terhadap kondisi perbankan Indonesia.

Maka, pertanyaannya kembali pada; apa perlunya kasus Century dipolitisasi? Padahal, rekomendasi dewan atas paripurna jelas menyebut agar kasus itu harus diselesaikan di jalur hukum. Nah…lho? Kok kesimpulan itu identik dengan pandangan masyarakat yang sejak awal miris melihat “drama Century dengan segala karakternya” itu, bahwa kasus itu adalah kriminal murni.

Lalu buat apa para penggiat pansus itu duduk berlama-lama, berbicara berlarut-larut, panggil si ini atau panggil si itu, telaah sana telaah sini, kunjung sana kunjung sini, campur bertengkar pula, saling sindir, beberapa sadar kamera lalu over acting, dan macam-macam lagak lainnya…kalau akhirnya pendapatnya tetap sama dan “tak baru”.

Mungkin niatnya cuma berkisar… hendak membuktikan bahwa koalisi lebih dari 65% itu tidak permanen seperti yang dikira. Atau, hendak membuktikan bahwa para partai yang kalah pemilu masih berdaya, walau di tingkat parlemen. Atau, hendak membuktikan bahwa rapuhnya koalisi itu serapuh kulit telur. Atau, hendak membuktikan bahwa kalah pemilu bukan berarti lemah sama sekali. Atau, hendak membuktikan bahwa semua hal dapat dipolitisasi—maksud saya…benar-benar semuanya—hukum dipolitisasi, ekonomi dipolitisasi, sosial dipolitisasi, hankam dipolitisasi, bahkan agama pun boleh dipolitisir.

Hanya saja…untuk membuktikan itu semua…selama tiga bulan, berapa banyak pajak yang rakyat bayarkan digunakan untuk operasional dan akomodasi. Ada gak yang sudah menghitungnya? Beritahu rakyat…jika angka hitungannya sudah ada, ya.

[]


Sketsa: Hebatnya Akademi Khan, Keblingernya Kemenkominfo

Oleh Iwan Piliang

Bukalah: www.khanacademy.org, Anda akan menyimak di pojok kiri sebuah logo sosok sebelah jari tangan abu-abu dan 21 helai daun hijau mengitari. Di sampingnya tulisan Khan Academy. Inilah situs internet diprakarsai Salman Khan, memuat semua materi pelajaran berbentuk visual, memanfaatkan youtube.com. Setiap hari kini  setidaknya  50  ribu  murid sejagad belajar materi ajar “mahaguru”  online, termasuk anak-anak SD negeri Cina. Ini semua dilakukan  gratis sosok muda  Salman Khan. Bandingkan dengan laku Kemenkominfo  ingin menenderkan pinjaman lunak  JICA  senilai Rp 38 miliar untuk membuat materi ajar online khusus untuk daerah Jogjakarta tok? Komunitas open source di  Bandung seperti Crayonpedia.org,  sudah lebih dulu memulai.  Gratis pula. Uang  Rp 38  miliar pinjaman lunak JICA bisa dialihkan  mendukung pengembangan  konten dan aplikasi Indonesia go global, jika cerdas, tentu!.

JAKARTA masih bersuasana lebaran. Rabu pagi , 15 September 2010, saya hendak menyalakan komputer desktop  tua. Seorang kenalan bergerak di dunia programing menyapa.

“Apakah Anda sudah pernah membuka Khan Academy?”

Saya jawab belum.

Melalui komputer i-pad-nya, saya diperlihatkan khanacademy.org.

Amboiii! Betapa telatnya saya baru tahu hal luar biasa telah  dilakukan sosok Salman Khan.

Ya, namanya  Salman Khan!

Ia  mendirikan Akademi Khan bertujuan menggunakan teknologi informasi bagi mendidik dunia.

Peraih gelar MBA dari Harvard Business School, meraih Master di bidang teknik listrik dan ilmu komputer, gelar BS (Bachelor of Science) di bidang teknik listrik dan ilmu komputer, dan gelar BS dalam matematika dari Institut Teknologi Massachusetts Intitute of Technology (MIT), Amerika Serikat (AS), itu  seharusnya gamblang saja mendapatkan kerja di perusahaan papan atas AS.

Tetapi ia  lebih memilih memanfaatkan www.youtube.com untuk menayangkan materi pelajaran. Kini jumlah video pelajaran telah digarapnya  tak kepalang tanggung. Sudah lebih 18 ribu video. Saktinya, semua dikerjakannya sendiri, mulai dari menyusun  materi, memvideokan, menjadi guru sekaligus. 

Kini dalam sehari tak kurang dari 50  ribu muridnya mengkases khanacademy.org, termasuk anak-anak SD dari negeri tirai bambu, Cina,mengikuti pelajarannya secara online.

Sosok bocah dari Korea menuliskan komentarnya:

“I’m from Korea, a small country and I’m eleven. Your lecture is so famous so we could know your skill! I’m loving this alot~ :), “  him204@naver.com, yang diposting lima hari lalu, di mata pelajaran video aljabar.

Dalam tutorial online-nya, Khan menyajikan berbagai materi pelajaran memudahkan pelajar memahami. Di antara pelajaran itu; matematika, kimia, biologi, sejarah, probabilitas, trigonometri, permainan asah otak, aljabar, ekonomi, perbankan dan uang, keuangan, geometri, statistik, kalkulus, fisika, persamaan diferensial. Tentu masih banyak lainnya.

Ada pula komentar orang tua murid, ”Saya tidak tahu siapa Anda. Tapi dalam pikiran saya, Anda adalah penyelamat. Anak-anak saya benar-benar bersemangat dengan matematikanya. Terima kasih.”

Pria kelahiran New Orleans, Louisiana, AS,  dengan orang tua  imigran India dan Bangladesh, ini  hanyalah mengawali Khan Academy untuk membantu keponakannya belajar matematika dengan menggunakan Yahoo! notepad pada tahun 2004.  Lalu berkembang hingga seperti hari ini. Kini di bagian kanan situs internetnya, Salman Khan sudah berani menarok ikon donasi, dapat diklik bagi pengunjung yang mau menyumbang bagi upaya mulia  itu.

Ketika orang lain melamar pekerjaan  menjadi guru, Khan memilih menjadi guru praktis mendistribusikan tutorial di YouTube.

Hingga kini Salman Khan telah menerima 2009 Tech Award untuk Pendidikan. Tech Award merupakan program penghargaan internasional menghormati inovator dari seluruh dunia menerapkan teknologi bagi  manfaat kemanusiaan.

Pada Desember 2009, Khan YouTube-host tutorial dilihat oleh 35.000 orang per hari. Setiap video Khan rata-rata berdurasi sepuluh menit. Hingga kini, versi offline video-video Khan telah didistribusikan secara gratis ke daerah-daerah pedesaan Asia, Amerika Latin, dan Afrika

SosokKhan, pernah tampil di jaringan teve CNN. Pada event Aspen Ideas 2010, sosok Bill Gates pendiri Microsoft, sengaja memaparkan keberhasilan prestasi Akademi Khan pada pada forum bergengi ajang bergengsi yang berlangusng pada Juli 2010 lalu di Kolorado, AS. Upaya Salama Khan menjadi perbincangan hangat di forum itu.

Untuk skala nasional, khuisusnya lingkup komunitas open source di Bandung, pembuatan materi ajar baik sekadar dibaca, lengkap dengan audio visual itu sudah dimulai oleh www.crayonpedia.org. Melalui basis mesin wikipedia, para guru di seluruh tanah air dapat mengisi berkolaborasi materi ajar terbaik. Para murid di seluruh Indonesia dapat mengakses gratis.

Untuk upaya ini diperlukan energi melibatkan guru-guru berkenan mengisi konten.

Maka ketika di Kementerian Informasi dan Komunikasi saya dapatkan data ada rencana pengadaan materi ajar, hanya untuyk lingkup satu propinsi Jogjakarta. Saya lalu bertanya, mengapa bisa anggaran linjaman lunak dari JICA, harus mencapai Rp 38 miliar. Tak sampai separuh dana itu itu, seharusnay sudah mampu untuk melangkapi seluruh materi ajar tampil di crayonpedia. Misalnya.

ADALAH seorang kawan lainnya mengirim email kepada saya. Ia mengabarkan ada dugaan pemborosan anggaran negara berpeluang mengarah KKN terkait Pengadaan Materi Ajar (Paket 4) Yang Diselenggarakan Direktorat e-Government, Dirjen Aptel, Kemkominfo.

Ia memaparkan berdasarkan analisa  Dokumen Pelelangan Umum, Pengadaan Jasa lainnya Untuk Pengadaan Materi Ajar (Paket 4) Yang Diselenggarakan Direktorat e-Government, Dirjen Aptel, Kemkominfo.

Judul Pelelangan : Pengadaan Materi Ajar Nama Proyek: Proyek Pemanfaatan TIK Untuk Peningkatan dan Pemerataan Mutu Pendidikan di DI Yogyakarta JICA Loan No. IP-542  Nilai Proyek : Rp 38 Milyar  Dokumen Diterbitkan pada :  26 Agustus 2010, No : 01/PAN/PAKET-4/EGOV/8/2010

Perincian Sebenarnya Pelelangan:

  1. Pengadaan Authoring Tools Sebanyak 130 Paket (110 Paket di Sekolah + 20 di IDC) di Yogyakarta dan 480 Paket di Kemkomifo, sehingga total menjadi 610 Paket.
  2. Pengadaan Mater Ajar Digital 9 Paket (Matematika Kelas 4, 5, 6, dan Matematika & IPA Kelas 7, 8, 9).
  3. Pengadaan Materi Uji Digital 9 Paket (meliputi Materi Uji : Harian, Semesteran, Setara Ujian Nasional, Berstandar Internasional).
  4. Implementasi ( Integrasi Materi Ajar & Uji ke dalam Sistem e-Learning (LMS/LCMS), Instalasi Authoring Tools di 110 Sekolah dan di IDC, Replikasi Sistem e-Learning (LMS/LCMS) ) di 110 Sekolah.
  5. Training Untuk 3 Kelas (1 Kelas 30 Orang) yi kelas : SD, SMP Matematika dan SMP IPA.
  6. Dokumentasi Dalam Bentuk Hard & Soft Copy (Buku Panduan, Dok Pengembangan, dan Source Code).
  7. Layanan Purna Jual (Hingga 31 Desember 2012)

Alasan pemborosan menurut kawan saya itu:

  1. Diknas Sudah Membeli Hak Cipta 400 Buku Materi Ajar 400 (Informasi Terakhir Telah Mencapai 800 Buku Matei Ajar) Yang Pengadaanya Menelan Anggaran Rp 40 Milyar melalui Program/Proyek BSE (Buku Sekolahy Elektronik).
  2. Apabila dibutuhkan Rp 40 Milyar untuk sekitar 400 Buku Materi Ajar, maka harga rata-rata pengadaan buku materi ajar adalah Rp 100 Juta per buku materi ajar. Sehingga biaya untuk pembuatan materi ajar seperti dalam proyek kominfo, untuk 9 materi ajar, seharusnya sekitar Rp 900 Juta. Bila diasumsikan biaya pembuatan materi uji adalah setara dengan biaya materi ajar, maka total biaya pengadaan materi ajar dan materi uji hanyalah sekitar Rp 1,8 Milyar).
  3. Biaya Pelatihan dengan Asumsi Rp 5 Juta per orang untuk satu minggu pelatihan hanya dibutuhkan biaya Rp 450 Juta dan Paling Mahalnya Rp 900 Juta (untuk 2 minggu pelatihan).
  4. Dokumentasi Hardcopy rasanya sudah bukan eranya dan cukup Softcopy yang biayanya maksimum Rp 900 Juta.
  5. Implementasi (termasuk instalasi dan Integrasi) dan Support Untuk di Yogyakarta, untuk 110 sekolah dibutuhkan cukup 20 Orang. Untuk masa support selama satu setengah tahun dibutuhkan biaya biaya maksimum Rp 3,6 Milyar.
  6. Perhitungan hingga point 5) untuk sementara hanya dibutuhkan pendanaan sebesar Rp 7,2 Milyar. Lalu Apa yang Membuat Mahal ?
  7. Karena LMS/LCMS (seperti Moodle) bisa didapat/download secara gratis, maka yang berpeluang menjadi mahal adalah Aplikasi AUTHORING TOOLS yang sudah dikunci spesifikasinya ?
  8. Pantaskah Proyek Senilai Rp 7,2 Milyar, nilainya dibesarkan hanya untuk AUTHORING TOOLS sehingga menjadi senilai Rp 38 Milyar ?

Bagaimana jika  melirik Crayonpedia?

  1. Sempurnakan fitur Crayonpedia saat ini yang fokus hanya penyusunan Materi Ajar secara kolaborasi, sehingga Crayonpedia memiliki fitur penyusunan MATERI AJAR & MATERI UJI SECARA KOLABORASI Plus pengembangan fasilitas Sinkronisasi Program & Database antara Server  Sekolah dengan Server di IDC, agar akses Materi Ajar & Materi Uji dari Sekolah tidak memerlukan koneksi internet yang besar, sehingga siswa cukup akses server lokal dari sekolah masing-masing, untuk pengembangan ini maksimum perlu anggaran Rp 1 Milyar
  2. Belikan Laptop untuk 1.100 guru (satu sekolah 10 guru, dan untuk 110 sekolah pilot project) + pelatihannya (untuk menyusun materi ajar dan materi uji selama satu minggu dan gunakan materi ajar yang sudah ada BSE (dari diknas) sebagai referensi) untuk guru-guru di 110 sekolah dalam pilot project, bila harga laptop Rp 5 juta dan pelatihan Rp 5 juta … maka dibutuhkan anggaran Rp 11 Milyar. Wajibkan guru-guru tersebut (dengan insentif laptop (Rp 5 juta)) untuk menyusun materi uji minimal materi uji harian dan cukup per guru satu atau 2 materi uji harian (karena materi ajarnya sudah ada dari BSE). Untuk Materi Uji Semesteran dan Unas cukup diambil dari Materi Uji Sekolah/Unas yang pernah ada.
  3. Support selama 1 tahun di IDC dan di Yogyakarta Maksimum Rp 3 Milyar

Hanya dengan Maksimum Rp 15 Milyiar, bisa mendapatkan sesuatu yang dapat membawa dampak besar bagi seluruh Sekolah dan Pelajar di Indonesia, karena materi ajar dan materi uji disiapkan bisa dimanfaatkan oleh Seluruh Guru, Siswa, dan Sekolah di Indonesia dan yang paling penting adalah :

Materi ajar dan materi uji dapat disempurnakan secara berkesinambungan oleh guru-guru se Indonesia. Ingat ada 2,5 juta guru, dosen, dan dapat diakses bebas dan gratis oleh semua siswa—lebih dari 50 juta siswa dan mahasiswa.

Tulis kawan itu pula: imajinasikan kelanjutannya, yaitu: dampak Kolaborasi & Interaksi Antara 2,5 Juta Guru dan 50 Juta Siswa !

Kesimpulan kawan saya itu:

Pelelangan yang ada adalah solusi pendidikan tidak cerdas dan berpeluang pemborosan anggaran negara—hutang dari Jepang, meskipun berbunga murah tetap harus dibayar oleh rakyat.

Proyek tersebut berpeluang merupakan indikasi  modus KKN canggih—terutama untuk produk AUTHORING TOOLS—dan atau kita dibodohin  Jepang, bila spesifikasi teknologi Authoring Tools hanya dimiliki oleh Software Provider dari Jepang .

Sidang Pembaca Sketsa yang  Budiman,

Begitulah Sketsa kali ini. Anda tentu dapat menyimak bagaimana Salman Khan, juga upaya anak negeri di Crayonpedia, dan langgam sebuah departemen terindikasi mengedepankan proyek, yang  bukan mencerdaskan. ***

Iwan Piliang, literary citizen reporeter, blog-presstalk.com


Mari

Oleh Syaiful Alim

Mari, teman

kita ke taman

nyaman duduk di kursi

saksi utuh puisi

jatuh dari pohon trembesi.

Mari, kugamit tangamu

gapai angan bersamaku.

Mari, kudekap jiwamu

saling mencintai tanpa jemu.

Mari, menari

lupakan duri, temu diri.

Mari, cari

cara curi sari rindu.

Mari, asah pisau

tujah resah risau.

Mari, acak jejak

lacak sajak.

Mari, lari

raih matahari.

Mari!

[]

Khartoum, Sudan, 2010.