Oleh Dwi Klik Santosa
SEMPRUL : Adakah pola atau tata kemasyarakatan di belahan bumi kehidupan ini yang bebas dari friksi-friksi?
TEMBEM : Maksudmu?
SEMPRUL : Perdebatan, perselisihan, pertengkaran, bahkan perduelan, tak terelakkan, bukan?
TEMBEM : Namanya juga manusia. Ya, wajarlah. Eh, tapi apa sih, sebenarnya, maksudmu?
SEMPRUL : Hmmm …. gotong-royong kampung. Betapa indah. Sangat menyenangkan kiranya, jika tetap dan terus hidup. Sesuatu yang megah, sesuatu yang impresif, ada dan hadir menandai. Jiwa-jiwa yang besar. Cita-cita yang luhur. Bernama kerukunan dan nilai-nilai agung kemajuan peradaban. Perbedaan-perbedaan di dalamnya, yaahh, memang selalu ada. Tapi guyub rukun itu nyata dan mengalir, bukan ….
TEMBEM : Hmm … sepertinya engkau sedang merisaukan sesuatu. Benarkah?
SEMPRUL : Ya, sejujurnya, aku memprihatinkan sesuatu. Bahwa pola nafas hidup masyarakat kita, kurasakan sepertinya sudah ibaratnya menjilma agama universal bernama materialistis. Entah siapa nabinya? Entah siapa gurunya? Dan, entah darimana sekolahnya? Seakan-akan. Seolah-olah segala sesuatunya, makin hari, kian merangsek. Seperti terskenario rapi : segala geraknya melulu dari, oleh dan untuk tujuan paling menara bersebut MA-TE-RI. Apakah keagungan dan keanggunan pencarian manusia itu ujung, hulu dan muaranya melulu materiil? Apakah Tuhan itu ….
TEMBEM : Idih! … kata-katamu!
SEMPRUL : Kadang aku merenungkan. Kalau saja, semua orang di dunia ini dermawan-dermawati, mudah memberi, gampang berbagi. Dan juga tidak keras dan wagu seperti batu, tidak bersikap sebagaimana diajarkan oleh nabi palsu yang gemar berpropaganda : “wahai saudara-saudaraku yang cakap, klimis dan mulia, marilah kita semuanya rajin dan gagah nguri-uri hakekat kita sebagai Homo Luden, Homo Homini Lupus …………”
[]
Sukoharjo
19 September 2010
: 09.23