Monthly Archives: Agustus 2010

Menikmati Keunikan Tuktuk – Pulau Samosir

Baca juga kisah sebelumnya : Wisata Ke Air Terjun Sipiso Piso

Oleh Very Barus

USAI berwisata ke Air Terjun Sipiso-Piso, perjalanan kami lanjutkan ke Danau Toba lewat Tongging. Kaki ini rasanya sudah gatal pengen cepat2 nyampe di danau Toba dan pengen nyeburrrrr ke air danau. Apalagi dari ketinggian si Piso-Piso, kami sudah melihat indahnya pemandangan Danau yang dulunya adalah Gunung Toba. Mobil kami laju dengan kecepatan ‘nyantai’. Maklum, kami tidak mau melewatkan momen demi momen pemandangan indah. Tangan gue tidak pernah berhenti mengabadikan pemandangan itu lewat kamera digital Lumix DMC LX3.

Nggak nyampe 30 menit mobil sudah nyampe aja di Desa Tongging. Adem banget! Danau-nya tenang, penduduknya juga tenang. Di pinggir danau gue melihat beberapa warga sedang sibuk mengambil ikan Pora-Pora (pake jala). Konon katanya ikan Pora-Pora hanya berada di Danau Toba. Di Danau atau sungai lain tidak ada. Maka dengan penasaran yang membuncah, gue pun turun ke danau untuk melihat dan menangkap ikan Pora2 yang sangat lincah banget gerakannya.

Ikan Pora2 ukurannya kecil. Ya, mirip kayak anak ikan mujair gitu deh. Kalo menurut candaan warga setempat, ikan Pora2 adalah ikan KUTUKAN! Karena ukurannya nggak bisa besar. Hanya segitu2 saja sampai tua-nya. Ikan Pora2 juga sering dijadikan menu makanan. Ikannya bisa digoreng, di sambal, di arsik juga mantap. (sangkin penasaran, waktu makan di rumah makan, gue langsung pesan ikan Pora2 untuk mencicipin kelezatannya. Ternyata rasanya mirip kayak ikan teri Sibolga)

Puas bermain2 dengan ikan Pora2, perjalanan kami lanjutkan ke Tuktuk-Pulau Samosir. Gue pikir, tadi kami sudah nyampe di Danau Toba, berarti perjalanan berhenti sampai disitu saja. Eh, ternyata perjalanan masih sangat panjang dan melalui jalanan yang terjal dan berliku2. Desa Tongging yang kami singgahi hanyalah ujung dari bagian Danau Toba. Sementara Tuktuk atau Pulau Samosir masih jauh lagi. Letaknya juga di tengah Danau Toba..

Alamaaaakkkkk….!!!!

Mobil dilaju dengan kecepatan ‘nyantai lagi’. Kali ini bukan karena pengen mengabadikan pemandangan. Melainkan karena di kanan kiri jalan sangat membahayakan. Sebelah kiri jurang yang di bawahnya Danau Toba. Sedangkan di sebelah sisi kanan adalah tebing-tebing bebatuan yang rawan longsor. Kebayang saja kalau perjalanan yang kami tempuh disaat musim hujan. Selain jalanan licin, juga khawatir kalau bebatuan longsor dari atas tebing lalu menimpa mobil kami…oh, noooo..!!! (and thanks God semua berjalan lancarrrrr..!!)

Kami melintasi beberapa desa yang sejujurnya sulit gue hafal satu persatu. Yang pasti perjalanan kami tempuh dengan penuh kebingungan. Maklum, disepanjang mata memadang kami banyak menemukan kuburan-kuburan dengan bangunan yang menjulang tinggi. Konon kata si supir(org Batak), monumen kuburan  yang dibangun dengan megahnya melambangkan sebuah ‘kredibilitas’ pemilik kuburan. Bahkan banyak warga yang rela membangun kuburan dengan megahnya demi menghormati leluhur (orangtua) mereka yang meninggal. Meski kehidupan dan juga rumah mereka terlihat begitu memprihatinkan. Tapi mereka rela membangun kuburan megah untuk sebuah penghormatan pada orangtua yang meninggal…. Begitulah tradisi!

Setelah menempuh perjalanan sekitar 5 jam, akhirnya kami pun nyampe di Tuktuk, Pulau Samosir. Hari sudah gelap, karena jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Kami langsung mencari penginapan (cottage) disekitar Tuktuk. Berhubung karena malam hari, kami tidak bisa melihat keindahan pemandangan lagi. Semua terlihat gelap dan menyeramkan….dibenak kami masih terbayang deretan kuburan-kuburan yang kami lewati sebelumnya. Ditambah lagi gue bisa melihat mahluk-mahluk di dunia lain….Argghh!!!!!

Perut lapar, kami cari makanan di kafe-kafe yang ada didekat hotel. Ya, kalo di Bali, kafe-kafe kecil tersebut banyak ditemukan dikawasan Poppies di Bali. Kami langsung pesan makanan yang panas dan pedas. Tapi sayang yang tersedia hanya INDOMIE REBUS dan SOTO AYAM saja! Minumnya teh manis panas dan beberapa minuman jus abal-abal (rasanya nggak nendang!)

Kalo dilihat dari jenis makanan yang kami makan, tentu harganya tidak akan melambung tinggi mahalnya. Tapi dasar orang daerah yg suka memanfaatin tamu yang datang, mereka langsung memasang tarif makanan yang cukup mahal. (sekitar 70 ribu saja!) meski, ngedumel, kami langsung bayar dan kembali ke Hotel langsung tidur!

Tuktuk atau Danau Toba dulu terkenal dengan udara yang cukup dingin. Tapi kemaren,  udara dingin itu sudah tidak terasa lagi. Malah gue kegerahan. Wajar kalau akhirnya gue membuka baju saat tidur….maaf kurang adem sih..!!!

Wes ewes ewes..Bamblas angine kemane….!!!!!

KEESOKAN PAGI HARINYA…

Kami langsung menuju resto untuk breakfast. Mohon maaf nih, breakfast-nya nggak layak direkomendasikan. Cuma nasi goreng, nasi putih dan soto. Standart bangetttttt…!!! rasanya juga nggak jelas! Hambar! Kayaknya lebih nendang masakan gue deh!. Nggak apa-apa deh, yang penting mengganjal perut dulu…. trus, kami lanjutkan jalan2 disekitar cottage yang bujubuneeee…indah banget! Kami terkagum-kagum dengan keindahannya. Suasana sangat tenang dan tidak ada gangguan kalo mau bersemedi, mau relax dan mau menenangkan diri. pemandangan disekitar cottage begitu memukau (foto2 sudah saya posting di facebook).

Tapi, bagi gue yang memiliki jiwa petualangan, tempat adem dan tenang seperti ini hanya bisa gue tempati nggak lebih dari 2 hari. Kalo lebih dua hari mungkin gue sudah mati gaya dan bisa Amnesia . maklum, berada di kawasan sepi seperti ini,nggak ada kafe dan tempat2 yang layak dikunjungi lagi membuat otak gue bisa mandeg untuk berkarya.

Puas memoto keindahan Tuktuk, kami lanjut ke kawasan lain. Ke kawasan menjual souvenir dan ada beberapa makam LELUHUR yang katanya sangat bersejarah dan kramat (bukan kramat Jati ato Kramat raya  ya…) ada juga aktraksi patung menari yang disebut SI GALE-GALE… ya, kayak patung orang jawa yang kepalanya goyang-goyang gitu. Tapi kalo patung si Gale-Gale patung yang tangannya menari2 (manortor-istilah Bataknya). Trus kalo kita mau menari bareng si patung juga boleh. Asal, usai nari kita ngasih uang sekedarnya sebagai wujud partisipasi… hmm… seru juga.

Hanya saja, sebelum masuk ke kawasan tersebut, gue sempat kesal sama seorang bapak yang ngaku2 sebagai GUIDE. Dengan senyum SOK RAMAH menyamperin kami, minta menjadi guide ke kawasan jual souvenir dan patung si Gale-gale. Dengan logat Batak sekental susuk cap ENAK! Si bapak bilang begini…

“mau di pandu nggak? Biayanya 50 ribu saja…”

Karena dulu (duluuuuuuu banget..waktu masih SMA ato SMP gue juga lupa), gue pernah ke Tuktuk dan ternyata daya ingat gue masih tajam setajam SILET!. Gue pikir, ngapain pake pemandu wong jaraknya Cuma satu pengkolan doang… buang2 uang saja 5o ribu ngasih ke si bapak itu..

Eh, bener saja.. nggak nyampe pada langkah ke 100, kami sudah nyampe ke kawasan jual SOUVENIR. Anehnya kawasan ini dari taon sebelum masehi sampe taon 2010 yang dijual itu dan itu saja. Nggak perubahan, perkebangan dan nggak ada inovasi baru. MONOTON!!!! Kreatif dong ITO..LAE….!!!!!

Karena yang dilihat nggak ada yang menarik (menurut gue ya…), akhirnya kami Cuma singgah sebentar, kemudian nyari tempat yang layak buat ngopi-ngopi sambil buka laptop. Pengennya sih update cerita perjalanan. Tapi apa daya, internetnya nggak connected!

Ada kisah seru juga sebelum meninggalkan TUKTUK.

Waktu mau ke warung kopi (catat! Warung kopi beneran bukan kafe), mobil kami parkir dengan manisnya. Tapi langsung dihadang opung (nenek) yang sedang asyik nyirih (makan sirih) dibawah pohon rindang. Gue kaget aja! Kirain si nenek patung orang2an. Eh nggak taunya masih punya nyawa. Dia bilang begini…(setelah diartikan dalam bahasa Indonesia..)

“ngapain mobil ditarok disitu?”

“Mau parkir inang…”

“ooo….”

Trus, nggak berapa lama kami pun masuk ke warung Kopi yang hanya bener2 jual KOPI saja. Tidak ada makanan lain yang dijual sebagai teman minum kopi. Parah banget bukan? Tidak kreatif!

Usai minum kopi, mobil yang kami parkir ditodong uang parkir sama si Opung! Dengan lantang dan mirip jagoan tahun 60-an (beda tipis dengan Leila Sari gitu deh gayanya) si Opung minta uang parkir sebesar rp.10.000.. busyettttt…!!! mengalahkan Grand Indonesia nih ongkos parkir..

Akhirnya supir kami ngotot pae bahasa Batak, yang artinya, si supir menanyakan surat parkir si opung. Dia nggak berkutik… edan…!!!! mental penduduk setempat perlu di reformasi deh!!!! Mental PREMAN semua..!!

Pukul 01:00 WIB

Kami meninggalkan TukTuk -Pulau Samosir, dengan naik Ferry menuju Parapat. Ya, penyeberangan dari Pulau samosir ke Parapat memakan waktu 45 menit. Nyampe Parapat, akmi langsung cari makan. Perut sudah kriuk-kriuk…lalu mobil kami laju meninggalkan DANAU TOBA menuju Pematang Sianta,Tebing Tinggi dan mendarat di Hotel JW.Marriot Medan…

Perjalanan yang cukup menarik bagi gue. Berada di Tuktuk dan Parapat membuat gue sadar, kalau masing-masing daerah yang gue kunjungi punya tradisi dan kebiasaan beda-beda. Kalau di Bali penduduknya sadar bahwa sumber mata pencarian mereka lebih dominan di dunia pariwisata, sehingga mereka selalu menghormati, melayani Turis yang datang ke Ranah mereka. bahkan mereka bisa membuat pengunjung betah berlama2 di Bali. Beda dengan kawasan Danau Toba, Pulau Samosir yang dimata gue masih bermental Preman! Belum menyadari kalau kawasan mereka adalah kawasan Wisata. Sehingga mereka sering memalak dan berlaku kasar terhadap tamu yang datang. Suka membuat harga yang dijual seenaknya tanpa kompromi. Sehingga pengunjung merasa selalu was-was jika sedang berada di tempat wisata itu…

HARUS ADA PERUBAHAN

Jika kawasan wisata itu ingin terus berkembang (tidak mati suri) dan semakin banyak dikunjungi para Turis. Bersikap ramah, sopan dan juga membuat harga yang masuk diakal agar informasi dari mulut ke mulut tentang keindahan dan keramahan penduduk setempat itu nyampe kemana-mana… jangan sampai ada kalimat yang berbunyi,” hati-hati kalau datang ke situ….suka memalak dan makanan suka buat harga asal-asalan..”

So, saatnya ada perubahan di kawasan indah itu..!! karena INDAH SAJA TIDAK CUKUP!!! JIKA TIDAK DIBARENGI DENGAN KERAMAHAN. KENYAMANAN DAN FEEL LIKE HOME jika sedang berada disitu….

[]


Wisata Ke Air Terjun Sipiso Piso

Baca juga kisah sebelumnya : Tentang Anjing

Oleh Very Barus

SABTU kemaren (21/8), gue dan teman-teman melanjutkan perjalanan wisata ke air terjun SIPISO PISO. Salah satu objek wisata yang cukup menarik untuk dikunjungi di kawasan Tanah Karo. Letaknya tidak jauh dari pemukiman masyarakat Desa Tongging, Kecamatan Merek (bukan Perek!), Kabupaten Karo.

Sejujurnya, air Terjun Sipiso-Piso bukan objek wisata baru dimata gue. Karena pada waktu kuliah dulu, gue pernah  KKN dan dicampakkan ke desa MEREK (Tanah Karo) . jadi setiap minggu, gue dan teman2 akan berwisata ke Sipiso Piso dengan jalan kaki. Nggak jauh2 banget sih… meski kalo dipikir2 tetep aja jauh. Karena jalan kakinya berkelok-kelok dan naik turun. Jadi ngebayangnya capek! (wakakakaka..!!! prinsi hidup yang plin plan!)

Kebetulan gue sedang berada di Medan, gue tidak menyia2kan kesempatan untuk bersilaturahmi ke Sipiso Piso. Maklum, sejak hijrah ke Jakarta, nyaris gue nggak pernah melihat Sipiso-Piso lagi. Jadi rasa penasaran yang mengkristal di benak gue harus dipecahkan. Ibarat orang ngidam, keinginan yang tidak diwujudkan bisa membuat si bayi cacat. Kalo gue kira2 apa ya..???

Eniwei…

Akhirnya gue dan dua teman yang juga datang dari Jakarta pun melakukan Trip ke Sipiso-Piso, dengan mengendarai Avanza. Perjalanan dimulai dari siang hari menuju Berastagi. Meski sudah menginjakkan kaki ke Berastagi (sebelumnya). Tapi tidak ada salahnya gue menjadi good guide bagi teman-teman gue yang belum pernah ke kawasan Tanah Karo itu. Setelah puas mengelilingi kota Berastagi yang sangat kecil itu (dalam hitungan menit saja sudah terkelilingi)

Perjalanan pun kami lanjutkan ke Kabanjahe untuk melihat keindahan air terjun Sipiso Piso. Rasa pensaran dan kangen dengan cipratan air terjun dengan ketinggian 360 kali itu, mobil pun kami pacu dengan kecepatan ala pembalap Formula 1. Tapi sangat disayangkan, memasuki kota Kabanjahe, hampir semua ruas jalan RUSAK PARAH. Edan..!!! semua jalan dihiasi dengan lubang-lubang yang lumayan mengganggu kelancaran berlalu lintas. Aneh bukan??? Apa penduduk atau pemerintah setempat tidak menyadari semua itu…?? bok ya diperbaikin dooongg!!!

Bahkan ada lubang yang sudah menyerupai kolam ikan lele. Digenangi air berwarna coklat disertai tumbuhan air menghiasai lubang ditengah jalan itu. Gue bisa membayangkan sudah berapa banyak korban yang terjatuh di kubangan ikan lele itu ya..??? HEBAT..HEBAT..!! (maksud gue hebat kebodohannya) Sepanjang jalan menuju tempat wisata Air Terjun Sipiso Piso gue dan teman2 dibuat geleng2 kepala dengan jalanan yang sangat tidak mulus itu.

Satu jam perjalanan dari Berastagi, akhirnya kami nyampe deh di Sipiso Piso. Sebelum masuk ke kawasan tersebut, kami dijegat sama petugas untuk membayar distribusi sebesar 7.500 untuk tiga orang. (murah banget ya…ongkos masuknya). Mobil kami parkirkan dan langsung mengeluarkan kamera untuk mengabadikan ke Indahan air terjun itu. Dari kejauhan airterjun tersebut sangat mempersona. Meski air yang terlihat tampak keruh alias tidak bening (maklum, Medan dan sekitarnya sedang diserang musim hujan). Jadi berpengaruh dengan air terjun itu. Terlihat tidak bening tapi sedikit kecoklatan…. tapi pemandangan itu tetap indah kok…

Tidak puas menatap dari atas, kami pun mencoba turun kebawah yang jaraknya sekitar satu kilometer. Kalau masa kuliah dulu, mau turun kebawah suka khawatir karena jalannya masih licin. Tapi sekarang sudah dibuat anak tangga jadi kita nggak perlu khawatir terpeleset. Hanya saja dibutuhkan stamina yang kuat untuk bisa mencapai ke bawah dan juga harus bisa naik ke atas juga… kalo elo perokok berat, siap-siap aja gempor dan ngos-ngossan…

Kami pun mulai menuruni anak tangga. Tapi dipertengahan perjalanan, pemandangan tidak sedap mulai terlihat. Pagar-pagar besi yang menjadi pembatas disisi sebelah kiri (jurang) mulai bergundulan. Alias pagar2 besi tersebut dirusak dan dicopot oleh tangan2 jahil. Sehingga anak tangganya terlihat tidak berseni. Gue yakin pagar besi tersebut dijual oleh orang2 yang berotak maling dan tidak mengerti arti keindahan… (pengennya si dipenjarakan saja!!)

Hingga ke dasar, kami juga melihat banyaknya sampah berserakan. Sampah bekas bungkusan makanan dan minuman ringan yang pasti dari para pengunjung. Rendahnya tingkat kesadaran untuk kebersihan disini terlihat jelas. Tidak ada tempat sampah…sehingga banyak sampah bertebaran dimana2…rasanya pengen teriak aja melihat kotornya tempat wisata itu.

Meski puas melihat indahnya pemandangan air terjun dan juga pemandangan danau Toba yang terlihat dari arah tongging, namun rasa kesal masih belum terobati dengan tingkah vandalisme orang2 yang doyan merusak cagar alam itu…

Come on guys!!!

Mari sama2 kita jaga keindahan dan kebersihan lingkungan. Terutama di tempat wisata Dimana pun itu!!!!

[]

Kisah selanjutnya di : Menikmati Keunikan Tuktuk – Pulau Samosir


Tentang Anjing

Baca juga kisah sebelumnya : Ternyata Togel Itu Masih Ada Toh..?

Oleh Very Barus

COBA PERHATIKAN, binatang apa yang paling banyak diangkat ke layar lebar atau layar kaca? Tentu jawabnya ANJING. Meski ada binatang-binatang lain yang juga di filmkan, seperti kucing, beruang, monyet dan sebagainya, namun Anjing adalah binatang yang tetap juaranya. Siapa yang tidak termehek-mehek ketikam menonton film HACHIKO. Tentang kesetiaan seekor anjing yang menjadi cerita legenda di negeri Sakura itu? Bahkan sosok Hachiko diabadikan ke dalam bentuk gapura (patung anjing Hachiko) di dekat stasiun kereta di Jepang.

Begitu juga dengan film EIGHT BELLOW, kisah tentang 6 ekor anjing yang terdampar di gurun salju. Ditinggal majikannya di gurun tersebut, sehingga beberapa dari anjing-anjing itu mati karena tidak kuasa menahan lapar dan penyakit. Tapi kesetiaannya menunggu majikannya untuk  datang bener-bener diacungin JEMPOL deh.

Dan beberapa kisah tentang kesetiaan, kejenakaan dan kejahilan anjing-anjing yang selalu bikin gue gemes menonton film berbau anjing. Bahkan kejengkelan gue menonton Marley & Me pun membuat gue tetap mencintai hewan yang mempunyai indra penciuman yang jempolan itu.

Nggak usah jauh-jauh mengambil perumpaan lewat film deh…di kehidupan nyata gue saja, anjing menjadi salah satu hewan piaraan yang sangat gue sukai dan juga sayangi. Yang jelas sejak masih imut-imut, orangtua sudah memelihara anjing sebagai hewan “penjaga rumah”. Meski sejak tinggal di kota besar seperti Bandung, sulit bagi gue untuk mewujudkan memelihara seekor anjing. Dikarenakan banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Tidak heran kalo keinginan memelihara anjing saat ini hanya masih dalam angan-angan…

TAPI…

Saat gue pulang ke kampung halaman kemaren, kedatangan gue sudah ditunggu oleh tiga ekor anjing piaraan keluarga. Mereka begitu antusias bertemu dengan gue. Padahal dua di antara anjing tersebut belum mengenal gue sebelumnya (maklum, umurnya belum nyampe setahun). Meski belum kenal, hubungan gue dengan Moffy dan Luchu (nama si anjing) sudah sangat akrab. Kemana pun gue pergi mereka pengen ikut. Kebetulan juga gue sayang banget sama mereka. Jadi di waktu senggang pun gue menyempatkan untuk memandikan mereka. Ngajak mereka bermain-main.

Lucunya lagi, setiap gue dan sodara-sodara mau pergi, pasti anjing-anjing itu sudah bersiap-siap hendak mengikuti kami dari belakang. Mengejar dan terus mengejar. Pokoknya kalo nggak disuruh pulang (dengan bentakkan) anjing-anjing itu akan terus mengikuti kemana pun kami pergi. Duh, kalo sudah melihat adegan itu pengen rasanya gue ikut sertakan mereka. Hanya saja, mana mungkin mereka ikut!!!!

Satu minggu berada di kota kecilku membuat aku dan 3 ekor anjing (milik kakak dan abang) menjadi hubungan kami semakin akrab. Setiap hari, anjing-anjing itu pengen gue pijat-pijat, pengen dielus-elus dan pengen dimandiin. Tingkah mereka seperti anak kecil yang pengen dibagikan mainan. Lucu dan menggemaskan….

Pernah juga kejadian lucu tapi sedih juga…

Saat ponakan gue, ELLA, pergi ke sekolah. Eh, anjing piaraannya mengikuti sampai dia ke sekolah. Ella yang minder karena ditemani si Luchu jadi enggan pergi ke sekolah. Alasannya teman-temannya takut kalo digigit si Luchu (padahal si Luchu bukan tukang gigit dan tidak berbahaya). Alhasil, setiap hari, sebelum pergi ke sekolah, maka si Luchu harus dikurung dulu di dalam kamar atau dikunci di dalam rumah. Baru deh ponakan gue bisa melenggang dengan manisnya ke sekolah.

Begitu juga dengan ponakan yang satunya, Niel. Saat mereka sekeluarga pergi ke luar kota beberapa hari, anjing mereka si HITAM (karena bulunya hitam), raib entah kemana. Padahal Niel sangat sayang banget sama si Hitam. Meski sudah dicari kemana-mana, namun sosok hitam tidak ditemukan juga. Intinya Niel sempat sedih juga karena kehilangan mainan kesayangannya.

Tapi yang bikin adegan itu semakin ‘sad ending‘ adalah, ketika gue harus meninggalkan kota kecilku dan meninggalkan anjing-anjing itu. Wajah mereka memelas dan sendu. Gue ngerti gimana perasaan mereka saat gue hendak pergi. Rasanya pengen gue abadikan lewat video deh gimana ekspresi wajah mereka. Lucu, sedih dan serasa nggak iklas gue pergi…

Hmmm…kini gue hanya bisa menatap wajah-wajah mereka lewat foto-foto di hape gue. Rekaman saat si luchu mengikuti gue pergi. Eh, dia asyik aja ngekor di belakang gue…dan nggak ada salahnya gue mengabadikan tulisan ini buat 3 anjing lucuku…

Yang jelas, kalau diajak berkisah tentang pengalaman hidup dengan anjing, rasanya memori di otak gue akan dengan mudahnya terbuka dan menuturkan kisah-kisah lucu bersama mereka.

[]

Kisah selanjutnya di : Wisata Ke Air Terjun Sipiso Piso


Ternyata Togel Itu Masih Ada Toh..?

Baca juga kisah sebelumnya : Tentang Pernikahan Itu

Oleh Very Barus

Malam tadi, aku, kakak dan abangku sedang asyik ngobrol ngalur ngidul di teras rumah. Adegan ‘chit-chat’ seperti ini sudah tidak pernah kami lakukan lagi. Maklum, gue sudah tidak menetap di kampung halamanku, melainkan di kota Bandung. Jadi acara ‘reuni’ kecil antar saudara bener-bener sangat mahal harganya. Kesempatan ngumpul itu kami manfaatkan untuk chit-chat. Ngobrol apa saja…

Usai makan durian yang bener-bener bikin gue mabok durian. Gimana nggak mabok, hampir tiap malam makan durian. Wujud perut gue sudah semakin membusung lapar. Tapi nggak apa-apa deh. Mumpung mudik, makanan apa saja yang disuguhin sikatttt..!!! Ato istilah dikampungku RIBAKKKKKK…!!!!

Tuntas makan durian, baru deh kami ngobrol-ngobrol di teras rumah. Jujur saja, efek makan durian membuat badan jadi kegerahan. Maklum aja, durian panas…udara panas jadi deh badan gerah! Rasanya pengen mandi atau berendam saja sekalian biar sejuk…!

OBROLAN KAMI…

Awalnya obrolan kami sangat simple. Membahas masalah keluarga, masalah kehidupan masing-masing hingga masalah apa saja yang timbul menjadi ‘TRENDING TOPIC’ malam itu. Yang jelas obrolan menggelinding ke masalah TOGEL alias Toto Gelap atau apalah istilahnya, yang jelas TOGEL yang sempat senyap di masa ke pemimpinan Sutanto di jajaran tertinggi kepolisian, dia dengan tegas memberantas segala bentuk perjudian. Sehingga semua judi-judian redupppp dan tiarap…

Tapi, setelah Sutanto Lengser dari tahtah kepemimpinanya di kepolisian RI, eh yang namanya TOGEL dan bentuk perjudian lainnya menjadi tumbuh bak jamur di musim hujan…

Dikampungku saja, kota yang sangat kecil itu, yang namanya Togel sangat-sangat berjaya. Sebagian masyarakatnya sudah terbius dengan pengaruh togel. Nggak pandang bulu, bapak-bapak, ibu-ibu, anak muda hingga anak kecil sekali pun, sering terlibat dalam perjudian tebak-tebak angka itu.

Jujur gue sempat terkaget-kaget soal TOGEL yang ternyata masih HIDUP. Bak reinkarnasi rasanya. Soalnya, masa-masa gue masih duduk di bangku SMP hingga di bangku Kuliah, nama TOGEL berbentuk SDSB DKK, atau apalah singkatan-singkatan berbau judi, kala itu sangat marak sekali…. tapi, kok masa-masa itu sudah berlalu sekian lama, eh malah nongol lagi…

Parahnya lagi, yang sering menjadi korban TOGEL ini adalah ibu-ibu dan bapak-bapak…mereka menyediakan waktu khusus untuk membahas nomer-nomer jitu yang ‘katanya’ bisa memenangkan undian tersebut…sangat tergiur dengan segala sesuatu berbau instant akan membutakan akal sehat. Ya…waktu habis untuk membahas angka-angka… sampai anak mimpi sekali pun ditanya, “…mimpi apa kamu nak..? Kali aja angka jitu..!”

Damn..!!! It’s not funny  for me..!!!

Dan menurut cerita abang gue, bahkan ada yang main TOGEL sampai memanggil roh halus untuk membahas nomer yang akan keluar. GILA…!!!! Sampai begitu parahkan kecanduan mereka dengan TOGEL sampai akal sehat mereka dibutakan…?

Hallloooo…pliss…stop it!!!!

Masih banyak yang lebih penting dikerjakan ketimbang harus membahas angka-angka yang menyesatkan itu!

Open ur mindkalo judi apa pun bentuknya sangat menyesatkan. Berhentilah sekarang juga! []

Kisah selanjutnya di : Tentang Anjing


Empat Puisi Rindu

Oleh Syaiful Alim

SAJAK KESATU: Rindu dan Kulkas

Rindu ini, cintaku, kusimpan dalam kulkas

supaya tetap awet dan bernafas.

Sehabis mengiris alis manismu

aku didera derita insomnia

dililit derit jerit memanggil-manggil namamu

dalam gigil yang menggila.

Rindu ini, cintaku, kusimpan dalam kulkas

agar tetap segar dan membekas.

Selepas mengupas kulit hijaumu

aku dihempas ampas-ampas senyummu

yang menancap di pipi dan tubuhku

dan kini tumbuh luka baru yang biru.

Rindu ini, cintaku, kusimpan dalam kulkas

supaya kau tak lepas dari diriku yang ganas.

Seusai meneguk danau mungil di liang telanjangmu

aku dicumbu kerikil-kerikil perjalanan menuju rumahmu.

Jejakmu tak terlacak, bercak darahmu membeku

aku retak ditetak sajak-sajak baku.

Cintaku, kulkas itu tak kuat menampung gelombang  rinduku.

Entah bagaimana caranya aku bisa menumbangkanmu

supaya darahmu menggenang di jantungku.

SAJAK KEDUA: Bangkai Waktu, Bingkai Rindu

Sudah berapa waktu membangkai

terkulai aku dalam lalai.

Sudah lelah menunggu

kelu aku dalam masam lagu.

Bangkai waktu menumpuk di kamar

ranjang kian lapuk, kain sprei memar wangi mawar.

Rindu begitu perih, lirih kudengar suaramu samar

wajahmu tertatih kuraih, melayang kenang bagai camar.

Kekasih, letih kumenanti tibamu

di surau tua ini, burung gereja senandung parau

hinggap di bumbung atap, meratap aku pada lambung harap tuju.

Perkenankan kubingkai rindu

dengan kayu air mata membeku.

SAJAK KETIGA: Menggarami Rindu

Kau tahu rindu bagai semangkuk sup bayam

garam hadir mengalir geram.

Aku tahu puisi bagai setangkup roti

tiada tanda berakhir mati.

Jejak kakimu mulai memuai

gejolak hati mulia memberi.

Sajakku tergelatak di meja

hendak tegak merangkai makna.

Cinta, rindu ini begitu hambar

sebentar lagi hilang debar.

Cinta, puisi ini betapa basi

mata mengeja, wajah pucat pasi.

Biar kugarami rindu

liar aku mengejar sepi.

Biar kugarami rindu

liar aku mengakar api.

SAJAK KEEMPAT:  Ketika Kau Rindu Padaku

Ketika kau rindu padaku

tatap senja saja, supaya tahu

betapa cinta serupa jelaga

menghitamkan atap telaga.

Ketika kau rindu padaku

buka buku, supaya tahu

betapa dunia penuh warna liku

bagai sayap pelangi dan kupu-kupu.

Ketika kau rindu padaku

ambil pisau, supaya tahu

betapa waktu itu tajam

menikammu diam-diam.

Ketika kau rindu padaku

dengar derit jendela, supaya tahu

betapa di luar sana

ada yang menjerit terlunta.

Ketika kau rindu padaku

unduh bunga mawar, supaya tahu

betapa penantian itu debar

duri mengintai bagai nasar.

Ketika kau rindu padaku

tulis sajak, supaya tahu

betapa hidup ini karunia

tak ada yang sia-sia.

Ketika kau rindu padaku

lukis pintu, supaya tahu

betapa tangismu

kelak habis dalam temu.

[]

Khartoum, Sudan, 2010.


Jejak Sajak Satu ( Sembilan Sajak )

Oleh Syaiful Alim

Sajak Kesatu: Lelaki dengan Lika Liku Luka

Aku lelaki dengan lika liku luka.

Aku suka jika air mataku kauseka.

Tubuhku penuh jejak peluh

sungai yang mengeluh.

Kemarau meranjau hijau

burung-burung urung berkicau.

Maukah kau jadi Kekasih

basuh basah resah, sisihkan rusuh perih?

Darah lutut netes tanpa kain pembalut

angin hilang arah, angan terbuang di surut laut.

Ingin tangan raih putih Cahaya

tapi aku cuma sahaya.

Masihkah ada dada

bisa terima trauma

yang berputar bagai reroda?

Jujur, nasibku kurang mujur.

Pernah berlayar, mencintai pantai

tapi perahu dengkleh oleh leleh badai

kesal sesal ngucur dari sekujur usia

yang sia-sia menangisi sisa air mata.

Oh! Aku lelaki dengan lika liku luka

betapa hidup sulit diterka!

Sajak Kedua: Matamu Mendung, Air Mata tak Kuasa Kubendung

Matamu mendung

air mata tak kuasa kubendung.

Entah tangan angin lelah

atau bebuah awan mentah

hingga bebutir air urung jatuh

ditadah gundah, gigih tagih jatah

bermusim-musim kemarau latah

melukai rahim mawar dan janin-janin sajak

yang mukim di makam jejak.

Kunamai matamu mendung

air mata tak kuasa kubendung.

“Ayolah menangis. Menangisi air mataku

yang sebentar lagi beku, sebenar rindu padamu.”

Pepohonan kaku, menahan kelu.

Kemarau dibakukan di buku-buku

kabarkan petani yang sunyi

meratapi pipi kian keriput dan tanaman padi

yang tak pernah luput dari rerumput

hama yang lama jadi piyama

senang dan kenyang sebatas umpama.

Oh! Hidup sehangat peluk mama

dingin takluk disengat kutuk nama: Mata!

Sajak Ketiga: Surga tak Terduga

“Eva, mungkin ini Surga sebenarnya

pohon khuldi tumbuh di mana-mana?”

“Adam, ini Bumi?

atau hmm, aku belum mengerti”

“Hmm, sebentar, apakah masuk akal

cuma karena memakan Khuldi

kita diungsikan ke Bumi?”

“Seharusnya kita sangsi”

“Hmm,Tuhan itu otoriter

daripada darah tercecer

lebih baik bumi kita isi dengan puisi.”

“Hmm, bertani, bernyanyi

berpuisi, dan melukis sunyi.”

Sajak Keempat: Ular Liar dalam Dada

“Adam, ada ular liar dalam dada

berbisik, hai Eva, kenapa kau

masih di sisi Adam, cari cara curi

rusuk kanannya. Lalu ajukan surat cuti

lari dari diri menari bersama matahari”

“Eva, juga pada dadaku. Seolah ditusuki paku

berbisik, hai Adam, kenapa tak kau

ambil lagi rusuk kirimu. Supaya kau

kian lelaki.”

Semua bermula dari bisik

lalu luka karma serupa sisik

laku ular menebar kobar berisik.

Ah! Alangkah asyik!

Ah! Alangkah cabik!

Sajak Kelima: Benda dan Beda

Lalu Tuhan berfirman tengah malam:

Kuajarkan kepadamu, Adam, nama-nama benda

manusia suka dendam karena beda.

Iya. Begitulah manusia senantiasa sia-sia

saling duga paling tafsir tanpa pikir ragam makna.

Tak.Tak ingin kautergelincir retak

belajarlah pada sajak, setiap jejak

lahir sejuta berita derita dan cerita cinta.

Sajak!

Sajak Keenam: Kupahat Namamu di Paha Liat Laut

Jangan kauduga cintaku surga berjelaga.

Adalah lega menerima jelaga juga telaga

ada kalah dan menang yang lelah

sayap seolah sebelah, ah!

Aku berjaga di batas getas dan cadas

bertahan dalam laju dan kandas

tersebab cinta menderas

dan rindu tajam menebas.

Karena namamu berurat denyut

maka kupahat namamu di paha liat laut.

Cinta sekuat maut, tak satu pun luput

jemari rindu merebut serabut laut

menghindar dari surut

memudar kalut.

Kemarau gontai bantai pantai

habis badai

habis ombak

jejak tak terlacak

oh! Hidup redup dalam degup tangis

jemari melantai

mengemis gerimis.

Tidak! Demi namamu

aku ikhlas melepas segala

mengemas bianglala.

Tidak! Demi namamu berurat denyut

aku berjibaku dengan pasang dan surut.

: Namamu!

Sajak Ketujuh: Surau Suram

Surau suram

walau cahaya lampu

kilau bikin silau

mampu menggalaukan

ikan-ikan di danau.

Jamaah memamah zikir

tapi kikir pikir.

Ulama berlama-lama seteru

dengan tanda seru dan saru.

Oh! Haru!

Inikah deru juru Bisik

bikin segala penjuru berisik?

Oh! Mata bagai cadik

bidik pelangi di sore yang wangi!

aku saksikan surau suram

hakikat kemarau diikat temaram.

Sajak Kedelapan: Mencintai Rasa Sakit, Menggapai Asa dengan Rakit

Sakit karena rindu adalah niscaya

sedikit jumpa adalah cahaya.

Sejak kau jadi sajak

aku tak hendak beranjak dari kenduri duri

dan mawar penawar hambar hari-hari.

Kita tahu, cinta adalah nama lain dari air mata

maka aku mencintai rasa sakit

menggapai asa dengan rakit

yang terbuat dari seikat bambu kata.

Bisa sebab biasa

kutulis tangis senantiasa

bukan mengemis gerimis

pada pagi yang magis dan amis

darah menjarah segala arah

burung terbang luka parah

paruh tak utuh

peluh luruh

keluh jatuh

di nada nadi tak utuh.

Duh! Adalah mata air kuseduh.

Duh! Adakah pohon teduh.

Duh! Ada yang kuunduh.

Aku mencintai rasa sakit

seperti aku mencintaimu

sebab di balik kesakitan-kesakitan

tumbuh subuh dan embun berkilau bagai intan.

Sajak Kesembilan: Sembahyang Tanpa Asin Sembah, Yasin Mewabah Bagai Air Bah

Aku datang kepadamu, Sayang

membawa sekantung air mata

dan kata yang sulit ditata

jadi puisi. Bayang-bayang

gelita meronta.

Aku sepi, mimpi api.

Aku kerdil, harap kandil.

Aku sahaya, pinta cahaya.

Aduhai! wajahmu yang dihijab seribu tabir

kubuka dengan takbir hingga bibir terkilir.

Aduhai! tubuhmu yang diutuhkan subuh dan pasir

kulabuhkan sentuh yang ngalir.

Lihatlah luka subuh yang tak kunjung sembuh

kambuh rubuhkan tubuh bersimbah

sembahyang tanpa asin sembah

yasin mewabah bagai air bah

mungkin nangisi negeri setengah tiang

dan para bedebah yang tertawa riang

seraya khutbah di masjid raya

serta minta doa kian jaya.

Lampu yang lampau di surau itu

tak mampu memancarkan getar sinar

cuma terdengar suara parau

atau suara muadzin meracau

bau tembakau

bikin kacau

istri dan anak risau

tungku beku tak tanak nasi

perut terisi igau

dan kicau murung burung gagak

lapar yang kaku bagai cagak.

Oh! Bagaimana aku mencintaimu

kalau kilaumu raib dalam gemerlap lampu maghrib

kota-kota ajaib berjibaku dengan aib.

Oh! Ilalang tumbuh di kening

angin lalu lalang goyangkan hening

dedaun beringin pada kemuning

Oh butuh utuh embun bening!

Basah subuh belum kubasuh

sembahyang tanpa asin sembah

yasin mewabah bagai air bah

ah!

Khartoum, Sudan, 2010.

[][][]

TELAH BEREDAR NOVEL ‘KIDUNG CINTA POHON KURMA’ DI TOKO BUKU. BISA PESAN-BELI VIA INBOX SAYA. HARGA CUMA Rp. 60.000. SUDAH TERMASUK ONGKOS KIRIM.

“Tanggal 19 Agustus lalu aku bertemu Joko Pinurbo dan Acep Zamzam Noor. Kami berbincang tentang novel Syaiful Alim, KIDUNG CINTA POHON KURMA. Menurut Jokpin, novel itu ditulis oleh orang yang cerdas. Isinya mengurai tentang pentingnya toleransi, sehingga perlu dibaca tidak hanya oleh orang Islam tapi juga para pemeluk agama lain. Menurut Acep, novel itu sangat bagus untuk mengimbangi kelemahan yang terdapat pada “Ayat-Ayat Cinta”.

( Sitok Srengenge, Penyair )


Puisi, Pisau, Puasa

Oleh Syaiful Alim

Manakah yang lebih tujah:

Puisi menikam kejam penguasa, sang penyair disalib di tiang nasib,

Pisau menusuk rusuk Adam, dengan meminjam tangan dendam,

Puasa meremuk redam ingin, lapuk jadi angin?

Ah, alangkah tujah, alangkah ludah, lidahku pedih ditagih pilih.

Pernah ada penyair tua, hampir punah, dipanah kata, bersabda:

Puisikan pisaumu sebelum menikam kelam.

Pisaukan puasamu sebelum lapar keram karam.

Puasakan puisimu sebelum mekar kata jadi makar kita.

Ah, alangkah parah sabdamu menjarah.

Ah, alangkah patah jemariku menatah.

Kekasih, lekaslah tunjukkan jantungmu,

Supaya kutusuk khusyuk detak hitungmu.

Puisiku pisau, puasaku puisi, puas aku didera derita diri.

Puisiku pisau, puasaku puisi, sepi pasi aku dirindu duri.

[]

Khartoum, Sudan, 2010.


Sketsa Puasa 3 : Indonesia Kehilangan Animator Terbaik

Oleh Iwan Piliang

Denny Alaudsyah Djoenaid, animator, Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI)—organisasi yang ikut saya bidani—berpulang, Selasa, 17 Agustus, pukul 14.50 di RS Medistra, Jakarta. Baru Senin saya menulis sketsa dunia industri film animasi, kabar duka pun mengiringi. Memorium saya tentang sosok Denny, pernah magang di studio animasi Yotsuya, Tokyo. Ia satu-satunya orang Indonesia pernah bekerja di Richard William Studio, London dengan Art Babitts, Senior Animator Disney. Selain animasi, Denny, suhu bela diri Shirorinji Kempo dengan—tak tanggung-tanggung—ENAM DAN, itu.

HUJAN lebat jatuh ketika saya pas turun di halte Busway di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Menunggu hujan rinai, saya duduk di bangku stainless steel, menyimak lalu lintas kendaraan, menatap ke arah air mancur Bundaran Hotel Indonesia menjadi pengalaman tersendiri.

Di menjelang berbuka puasa, 17 Agustus 2010, itu saya menerima sebuah SMS diteruskan oleh Rio Sasongko, animator, yang saya kenal karena menanggapi tulisan Sketsa Puasa 2 : Berpuasa Berserial Animasi Malaysia, Senin, 16 Agustus 2010, melalui medium sosial Facebook.

“Telah berpulang Bapak Denny Djoenaid, Ketua AINAKI…”

Sambil menikmat mie lamien di sebuah restoran, ketika berbuka puasa dengan seorang kawan, di Plaza Indonesia, ingatan saya tertuju penuh ke almarhum Denny. Bahkan ketika kami shalat Magrib berjamaah di lantai tiga di Mushalla terbaik yang pernah saya temui di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta itu, doa terus saya panjatkan bagi almarhum.

Saya menelepon Rio. Saya menyampaikan penyeselan. Baru semalam saya berkeinginan menjenguknya, tetapi kini mendapatkan kabar duka.

Denny terserang kanker usus, berkomplikasi dengan diabetes. Sebelumnya Agung Sanjaya, animator di Bali yang banyak mengerjakan bagian proses animasi serial Jepang, seperti Dora Emon, pernah pula mengabari ihwal penyakit Denny. Namun menetap di Jakarta terkadang membuat jarak silaturrahim, laksana jarak Sabang-Merauke. Sehingga kaki belum juga tergerak bertemu, dan tahu-tahu sudah kabar duka.

DENNY Djoenaid, begitu ia akrab disapa. Ia saya kenal di komunitas kecil animator. Pertemuan saya medio 90-an, ketika usaha yang saya bangun diambang gagal mengindustrikan animasi. Satu hal yang saya keluhkan ke Denny, kala itu mengapa kemampuan dasar menggambar sosok mengaku animator di Indonesia, begitu lemah, khususnya dalam membuat dan memahami anatomi.

Akibat tak memahami anatomi, orang berjalan, digerakkan dengan begitu kakunya. Anatomi kucing dan macan, yang tampaknya sama, tetapi tarikan kaki dan lompatan beda, begitu seterusnya.

“Karenanya seorang animator yang baik, yang bisa menggambar anatomi dengan benar, tahu persis, bahwa tumit kaki sebelum maju ke depan ada tempo sekitar 3 frame gambar, dimana tumit kaki belakang seakan mundur,” ujar Denny memberi petuah.

“Animator juga pengamat gerak yang paling baik.”

Ia lalu memfotokopikan buku teknik gerakan animasi yang dikeluarkan oleh Richard William Studio, London, tempat di mana ia pernah bekerja. Studio yang berafiliasi dengan Disney itu, telah menjadikan hanya Denny-lah satu-satunya orang Indonesia, yang mampu membuat gerakan gambar animasi persis dengan kemampuan animator Disney. Kalau gambar latar yang sesuai dengan kemampuan Disney, kawan-kawan di Bali banyak yang mumpuni.

Pada 8 Juni 2004, saya bersama Achmad Hirawan, berinisiatif menemui Denny. Kami mengajak kawan-kawan lain, untuk mau mendirikan Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI). Sebab organisasi lama, ANIMA, Asosiasi Animasi Indonesia, tidak berjalan. Maka dengan pemahaman dasar benar dan baik, Denny, kami daulat berkenan memimpin organisasi itu.

Pada medio 2006, Direktorat Pendidikan Kejuruan, Diknas, pernah mengongkosi saya berdua Denny berkeliling Jawa-Bali. Kami diminta Diknas menilai kemampuan menggambar anatomi guru-guru kesenian se-Jawa dan Bali. Dalam perjalanan ke ibu kota propinsi itulah dialog saya dengan almarhum instens.

Di Jogja kami tertawa terpingkal di luar ruang kelas SMK, di mana kami menemui bahwa guru kesenian mengajarkan siswa menggambar anatomi dengan memfoto kopi anatomi tubuh manusia. Lalu foto kopian itu di-trace di kertas menggunakan light box, alias macam orang menjiplak di kertas. Dengan cara ini, bisa dibayangkan, bukanlah pemahaman benar didapat siswa, apatah lagi keahlian.

Saya lalu teringat ketika pernah ke Paris 1994, sempat berkunjung ke Museum Luvre. Saya bertemu dengan beberapa seniman yang menjelaskan, jika ingin mengambil studi seni lukis, di perguruan tinggi di sana, dua tahun pertama pasti digojlok membuat anatomi; orang maupun hewan. Ibarat belajar musik, belajar musik klasik dari membaca not balok, dari tingkat dasar.

“Dan membuat anatomi yang benar itu memang dengan melihat, langsung menggoreskan di kertas,” ujar Denny pula, “Karenanya, untuk menentukan seseorang itu animator atau tidak, lihat saja tarikan garisnya dalam membuat lingkaran sekali tarik.”

Hal hasil, dari lebih 1.000 guru kesenian yang kami temui se-Jawa dan Bali, tak sampai hitungan lima jari yang mampu membuat anatomi dengan benar. Jika pun ada lima orang, semuanya dengan catatan khusus.

Atas dasar petuah lingkaran itu pulalah, saya membuat logo AINAKI dengan goresan tangan sendiri membentuk lingkaran, sebagai dasar mapping wajah. Filosofisnya, agar masyarakat industri animasi, punya pondasi skill kuat, lalu tidak sekadar berkesenian. Animasi juga dominan merambah industri. Dan hingga hari ini kami masih merasa gagal mengindustrikan animasi. Lalu Denny pun sudah duluan pergi di usia setengah abad.

PUKUL dua puluh satu 17 Agustus 2010. Bulan di langit masih setengah. Saya melangkah pulang dari rumah nomor 8 Jalan Hidup Baru, Gandaria Utara, Jakarta Selatan. Di kediaman orangtuanya itu, jasad Denny di semayamkan sejak petang di mana hujan lebat mengguyur datang. Di rumah bersahaja, dengan teras kecil langsung ke tepian jalan itu, para tamu tampak menumpuk. Namun saya tak menemukan kawan-kawan yang pernah bergerak di bidang animasi.

Di seberang jalan saya melihat ada lima orang anak muda yang tampak celingukan.

Saya tanyakan apa kalian dari komunitas animasi?

“Iya Pak, kami murid Pak Denny di Bina Nusantara.”

Mereka seakan serantak menjawab pertanyaan saya.

Rupanya apa yang kami jajaki di awal mendirikan organisasi animasi, antara lain mengajak perguruan tinggi bekerjasama untuk menumbuhkan minat dan meningkatkan jumlah SDM animator berkembang sudah mulai menggelinding. Bagi saya ini sebuah kabar menggembirakan.

Itu artinya kebanyakan kawula muda kini yang mengoprek aplikasi animasi seperti 3D Studio Max, paling tidak di tingkat Bina Nusantara, sudah mulai diberi pemahaman oleh Denny, harus mampu menggambar dasar, antara lain anatomi.

Sebab acap kini, mereka yang mengaku animator, dengan hanya menguasai aplikasi atau software sudah kadung mengaku animator. Padahal sosok animator itu adalah insan yang bisa membuat key drawing, kunci gerakan sebuah objek, manusia, atau hewan. Dan di 3D, kompetensi visual itu bukan hanya animator, di kompetensi animasi ada yang namanya modeller, tukang buat karakter, dan pembuat latar lingkungan, arsitektur dan sejenis: objek tiga dimensi tapi tak bergerak. Lebih jauh, kalau bicara film, baik seri maupun layar lebar ada lagi kompetensi menulis skenario yang tak kalah sangat penting.

SAYA kemudian pamit ke kawan-kawan mahasiswa dari Bina Nusantara itu. Kaki saya melangkah di jalan aspal basah. Bulan di lingkaran masih setengah. Leher saya menengadah: …Ya Allah Denny telah merdeka, setidaknya ia terhindar dari azab kubur, menghadap-Mu di Ramadan mulia, semoga Surga baginya.

Kekhusyuan saya berdoa terganggu sejenak. Sebuah SUV Range Rover hitam melintas di jalan menurun yang tak lebar itu. Di atasnya Kusumo A Martoredjo, Ketua Umum Pengurus Besar Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia (PB. Perkemi) periode 2010-2014, sosok yang saya temui di ruang tamu kediaman orang tua Denny. Almarhum Denny juga seorang atlit langka Kempo. Prestasinya luar biasa, meraih gelar DAN VI—tak banyak orang Indonesia bisa punya.

Dalam beberapa pertemuan di Kadin Indonesia, wajah Kusumo, pengurus Kempo itu, tidak asing bagi saya. Ia komisaris Bumi Resouces, kelompok usaha Bakrie, bergerak di tambang batu bara. Membayangkan kemewahan mobil Kusumo, ingatan saya melayang ke sebuah BMW putih pernah saya beli dengan keringat sendiri awal 1990, dan mobil itu pun sudah lama ludes demi industri animasi. Di Jepang animator kaliber Denny, jangankan sebuah Range Rover, membeli Gulf Stream G-5, pesawat pribadi, hal biasa.

Seketika saya tertawa berjalan terus menuju jalan Radio Dalam, mencari kendaraan umum yang ada. Saya lalu nyengir membayangkan kelucuan Denny memainkan gambar ketika membuat kartun iklan animasi untuk Puddle Pop, dan banyak materi iklan lain. Ia memang belum berhasil membuat serial, macam enam serial animasi wayang yang pernah saya produksi, itupun gagal masuk ke pasaran karena tak mampu menjadi 52 episode, tak bisa masuk ke pasar global.

Denny fokus bekerja untuk sesuatu yang dibayar di muka.

Seingat saya, Dwi Koendoro, pembuat Panji Koming di Kompas, kemudian pandai membuat animasi, dan kini mengaku pakar animasi, belajar animasi dari Denny Djoenaid.

Semoga kepergiannya membukakan hati dan mata pengelola bangsa ini, bahwa selain memperbanyak SDM animator, pendirian Venture Capital riil betul-betul riil menyalurkan pendanaan bagi industri animasi nasional mutlak adanya. Karena inilah ranah credential asset sangat bernilai ekonomi. Kalimat ini pasti diamini Denny. Selamat jalan dunsanak! []

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com


Diproteksi: Sebunyi Sunyi Sembunyi Sepi [17]

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:


Diproteksi: Sebunyi Sunyi Sembunyi Sepi [16]

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini: