Daily Archives: September 18, 2010

ACFTA : Pemerintah Indonesia “Baru” Mulai Berbenah.

Seri Tolak ACFTA (V)

Oleh Ilham Q Moehiddin

Sangkaan bahwa pemerintah Indonesia hanya memberi berat timbangan perhatiannya pada skema-skema perdagangan dalam panel ACFTA, agaknya, perlahan-lahan mulai dikikis. Tetapi, apa karena itu, kawalan ini akan berhenti? Mungkin saja. Namun, kawalan macam ini, belum akan surut sampai pemerintah Indonesia benar-benar memberatkan timbangan keputusannya untuk rakyat kecil.

****

Dalam beberapa artikel terdahulu, tergambar jelas sejumlah kekhawatiran perihal dampak keras keikutisertaan Indonesia, dari perberlakuan ACFTA terhadap rakyat Indonesia. Dampak keras seperti itu, sudah pasti akan terjadi, jika para komponen peserta pasar bebas kawasan, khususnya Indonesia, tidak melihatnya sebagai hal serius.

Maka, saya pun berharap lebih terhadap keputusan terakhir dari kedua pihak; Indonesia dan China, untuk membentuk sebuah kelompok kerja untuk mengatasi dampak ACFTA. Tetapi, saya masih saja tetap khawatir, jika putusan dengan bunyi macam itu. Sebab, kedua pemerintah, terlebih Indonesia, sebenarnya akan lebih baik meminimalisir—dan sebaiknya menghilangkan—potensi munculnya dampak negatif dari mekanisme pasar bebas. Jadi, bukan menunggu munculnya dampak, lalu kemudian “diatasi”—atau mungkin itu adalah sebutan halus untuk “direhabilitasi”?

Selain bekerjasama untuk mengatasi dampak ACFTA, pemerintah China bahkan sudah lebih dulu mengajukan diri untuk beberapa pola pendukung, untuk memperlancar sejumlah skema dalam panel pasar bebas kedua negara. Pemerintah China bahkan sudah menyatakan kesiapannya untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan sistem transportasi, dan menyatakan kesiapannya terkait pembangunan sejumlah proyek infrastuktur lain.

Tetapi, kemudian masalahnya tidak berhenti sampai disitu saja. Sebab, keseriusan pemerintah Indonesia terus dinanti-nanti. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bahkan menyambut sejumlah variabel pos tarif yang akan berlaku, jika Juli 2010 nanti Indonesia menghilangkan sekat proteksi secara permanen. Maka, Kadin pun mendesak pemerintah untuk menunda 228 pos tarif dalam panel ACFTA. Tentu saja ada alasan penting bagi Kadin untuk meminta penundaan pemberlakuan sejumlah pos tarif dalam panel ACFTA itu.

***

Di tengah kegelisahan sejumlah pelaku pasar domestik perihal kekurangan Indonesia dalam hal sektor energi, seperti yang terekam dalam siaran televisi “Flatform Ekonomi” di TVOne (pada artikel: Batalkan Perjanjian Free Trade; Indonesia Tak Perlu Malu), kalangan serikat buruh itu mempersoalkan pemerintah yang tidak bisa tegas soal energi dan sumbernya. Terlalu banyak sumber daya energi dan mineral Indonesia—menurut mereka—yang kini dikelola asing atau yang sementara ditawarkan ke pemodal asing. Kemudian diperparah dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) industri dan harga beli gas untuk industri. Berlanjut, ke rencana pemerintah Indonesia menaikkan TDL untuk masyarakat pemakai listrik 450 – 900 kwh (dengan beban diatas 30 kwh).

Rupanya, pemerintah tidak terusik dengan sejumlah keluhan ini, dan tetap jalan dengan rencananya; menawarkan 35 wilayah kerja sektor minyak dan gas kepada pihak swasta nasional (dan asing?).

Menurut Hatta Rajasa, jika pun pemerintah tetap akan bernegosiasi perihal tindak lanjut ACFTA, maka sebisa mungkin tidak merubah skema. Apa mungkin ada skema yang tidak berubah sama sekali, ketika keputusan dari proses negosiasi diambil, apalagi…jika keputusan negosiasi itu berbuntut pada kembalinya dukungan pemerintah terhadap model proteksi masyarakat dan sejumlah industri besar-menangah-kecil di Indonesia?

Saya kira, skema manapun harus berubah (jika perlu) untuk memenangkan statuta rakyat Indonesia, terhadap dampak ACFTA. Jangan sampai, dengan mempertahankan skema, Indonesia lantas benar-benar jatuh ke dalam “kuasa asing”. Setelah kuasa asing “merebut” sistem pasar Indonesia, pada gilirannya energi dan sumbernya akan ikut tergadai. Pun, tidakkah Anda miris dengan sejumlah pulau yang sudah dikuasai asing itu?

***

Benar saja, rupanya, pemerintah Indonesia “sudah terprovokasi” dengan sejumlah penolakan dari masyarakat Indonesia. Provokasi positif itu, baru memberi sedikit harapan dari banyak kehendak terhadap model perlindungan negara untuk rakyat Indonesia.

Perihal, proteksi terhadap kebutuhan pokok masyarakat yang berhubungan dengan pangan, kemarin, pemerintah mulai 1 April 2010, sudah mengumumkan pencabutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk lima (5) kebutuhan pokok.

Sebaiknya, penghapusan PPN ini, tidak berhenti terhadap lima kebutuhan pokok saja. Sebisa mungkin pemerintah terus memantapkan proteksi pangan terhadap rakyat kecil Indonesia, dengan ikut menghapuskan PPN untuk semua kebutuhan pokok lainnya, sekaligus juga menghapuskan 50% komponen tarif lainnya, yang masih tersisa dari komponen penentu harga barang-barang kebutuhan pokok itu.

Jika pemerintah masih tetap hendak melindungi sejumlah korporasi yang bermain, silahkan saja. Tetapi, cukuplah bagi pemerintah untuk menghapuskan komponen tarif yang “tidak penting” terhadap kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Pantas saja, jika selama ini, kebutuhan pokok itu masih kerap tidak terjangkau masyarakat Indonesia, sebab PPN menyumbang 30% dari harga barang.

Silahkan ber-Pasar Bebas…asal rakyat Indonesia tak perlu risau dengan kebutuhan pangan mereka, bukan?

***

Pemerintah, akhirnya terprovokasi dengan sejumlah isu penting seputar pelaksanaan pasar bebas kawasan. Isu-isu penting itu memang bukan sekadar rumor, justru segera menjelma menjadi ancaman serius, jika pemerintah tidak sigap membendungnya.

Yang juga paling serius dan mendasar, salah satunya adalah ancaman kejahatan transnasional. Dalam artikel saya sebelumnya, “Free Trade Area: Ketika Indonesia Berperang Tanpa Tameng”, dengan terang dijelaskan bahwa “Perdagangan bebas juga akan mendorong pasar gelap, sebagai efek samping. Pasar gelap akan mendorong perdagangan barang-barang ilegal; perdagangan senjata antar negara, perdagangan obat terlarang trans-internasional, perdagangan perempuan dan anak, perbudakan gaya baru, dan transfer konflik dari sebuah wilayah perang ke wilayah lainnya. Pasar bebas dan segala aturan dalam panelnya adalah rencana besar yang sesungguhnya mengarah pada penguasaan semua sumber daya alam, pangsa pasar, human irritations, dan kebijakan negara-negara yang terlibat”.

Itulah imbas yang tercipta dari hal yang saya istilahkan sebagai “capital cracking out”.

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya khawatir dengan side effect pasar bebas kawasan ini. Kejahatan transnasional akan mudah menyusup dalam panel pasar, sebab banyak fundamen pasar terbatas yang kemudian terganggu, dengan lahirnya kebijakan pasar bebas.

Makanya, pemerintah Indonesia mengangkat isu kejahatan transnasional pada KTT ASEAN di Hanoi 8-9 April 2010. Sebelumnya, sekitar “43 tenaga ahli dari 10 negara di Asia bertemu di Bali, untuk membahas perdagangan gelap senjata. Sebab, dengan pembatasan yang ketat selama ini pun, sindikat penjualan senjata antar negara, sukses mendistribusikan senjata ke berbagai area konflik di seluruh dunia, bahkan sampai ke Aceh dan Papua”. (Baca kembali artikel: “Batalkan Perjanjian Free Trade; Indonesia Tak Perlu Malu”)

Kekhawatiran itu beralasan, jika membaca laporan United Nations perihal satu milyar penduduk dunia saat ini, memiliki senjata ringan.

***

Optimisme pemerintah Indonesia terhadap panel ACFTA, rupanya tidak bisa pupus begitu saja, walau pemerintah harus melihat sejumlah masalah serius berkenaan dengan kondisi rakyat Indonesia secara umum, dan kondisi sektor riil serta industri dari beragam basis.

Optimisme itu makin kuat melihat laporan perdagangan yang dilansir per Februari 2010; yang menyebut nilai ekspor Indonesia mencapai nominal US$ 11,2 Milyar. Dan, nilai impor Indonesia mencapai angka US$ 9,5 Milyar. Sehingga neraca perdagangan Indonesia pun surplus pada nilai US$ 1,71 Milyar. Neraca perdagangan ini untuk tiga negara utama tujuan ekspor Indonesia, yakni Jepang, China, dan USA.

Tetapi, saya tidak seoptimis pemerintah (walau nilai pesimisme saya tidak penting bagi pemerintah…bhahahaha) melihat neraca perdagangan yang cuma “terpaut” sedikit itu.

Bagaimana menurut Anda dengan skema ini: Tinggikan nilai ekspor, lalu minimkan nilai impor (dengan lebih banyak menggunakan produk dalam negeri), untuk mendapatkan surplus neraca perdagangan yang tinggi? Lebih bagus begini, kan?

Sebab untuk ACFTA, semua nilai yang dilaporkan baru sebatas prediksi, yang sungguh masih sumir terdengar. Semisal, ACFTA diprediksi akan meningkatkan nilai perdagangan Indonesia dan China senilai US$ 50 Milyar. Lalu, Menteri Perdagangan yang optimis, ekspor Indonesia ke China tumbuh di atas 10%. Kemudian, melalui ACFTA, Indonesia berpeluang meningkatkan ekspor sepatu ke China.

Angka prosentase dan prediksi-prediksi itu masih sulit diraih jika nilai impor Indonesia tidak bisa diminimalisir. Lantas, dari mana optimisme Indonesia akan berpeluang meningkatkan ekspor sepatu ke China, jika mata kita masih bersirobok pandang dengan sepatu-sepatu buatan China yang dipajang di sejumlah toko besar sekelas Mall, dan lods kecil di pasar-pasar tradisional, di sejumlah kota di Indonesia?

Mungkinkah, keyakinan saya soal retensi dan resistensi terhadap panel pasar bebas akan dibuat melayang begitu saja? Entahlah. []

(Sumber photo: http://img.m.kompas.com)


Batalkan Perjanjian Free Trade : Indonesia Tak Perlu Malu

Seri Tolak ACFTA (IV)

(Ketika Ekonomi Indonesia Mencoba Menari Di Lantai Pasar Bebas Yang Licin)

Oleh Ilham Q Moehiddin

Indonesia tidak saja akan “berdansa” di lantai licin…tetapi juga akan mendengar musik yang sama sekali asing bagi tarian ekonomi-nya. Sebab soalnya; bukan berlomba membangun kekuatan ekonomi negara agar terlihat prestisius di mata dunia, tetapi berusaha sekeras mungkin agar tingkat ekonomi dan taraf hidup seluruh masyarakat Indonesia terjamin dan terbangun…

***

Pasar bebas atau populer dengan Free Trade Area, adalah bentuk terbatas dari liberalisasi ekonomi yang sesungguhnya. Bentuk ekonomi semacam ini, sejatinya, adalah sekadar penerapan konsep ekonomi yang sifatnya alternatif saja. Jadi bukan bentuk satu-satunya, atau versus dari konsep ekonomi lainnya. Selain ekonomi liberal (ekonomi demokratis, atau rupa lain dari ekonomi kapitalis), dunia mengenal bentuk sistem ekonomi sosialis (dahulu, umumnya berlaku di negara-negara Eropa Timur), ekonomi Islam (syariah), ekonomi pasar terbatas (model ekonomi sosialis terapan yang berlaku di China), dan bahkan, Indonesia mengenal dan pernah menerapkan bentuk ekonominya sendiri, ekonomi Pancasila.

Tetapi, mari kita tengok dulu popularitas sistem ekonomi liberal, yang digadang-gadang pelaku ekonomi dunia saat ini dalam bentuk—yang menurut saya terlalu ekstrim—dengan nama kawasan pasar bebas.

Dalam tiga seri tulisan saya terdahulu perihal pasar bebas dan penolakan saya terhadap pemberlakuan sistem ini di Indonesia, khususnya, saya berusaha menekankan pentingnya sistem ini dihapus sama sekali dari naskah-naskah perjanjian ekonomi Indonesia dengan komponen ekonomi dunia lainnya. Jadi…bukan ditunda. Mengapa harus ditunda…jika kita bisa menolaknya sama sekali.

Saya tidak menampik pola penundaan, jika pemerintah Indonesia memang tak bisa mundur lagi. Tetapi, tekanan saya tetap berada pada titik yang sama, yakni menolak sistem liberalisasi ekonomi dalam sebuah kawasan. Sebab, saya menyebutnya dengan tegas, sebagai bentuk penjajahan gaya baru, yang saya diskreditkan dalam istilah The New Road Map of Imperialism.

Maksud saya…dengan benar-benar…mendiskreditkan sistem ini, sekaligus menolak meletakkan kepercayaan saya pada pendapat bahwa sistem ini akan membantu negara-negara dalam kawasan keluar dari tekanan krisis ekonomi. Sebab saya tetap berprinsip bahwa kawasan pasar bebas hanya akan menjadikan manusia bukan hanya semata-mata konsumen, tetapi manusia adalah wilayah jajahan produk. Lalu krisis ekonomi yang mana yang dimaksudkan itu? Bukankah krisis ekonomi yang selama ini dialami dunia, justru disebabkan kerakusan para industrialis-kapitalis Eropa dan Amerika dalam meraup gain keuntungan sebesar-besarnya. Dan, krisis itu makin diperparah dengan pemberlakuan berbagai sistem baru dalam kerangka uji-coba. Akibatnya, 118 bank di Amerika Serikat baru saja berhenti beroperasi. Syukurlah…masyarakat dan otoritas moneter Indonesia segera bereaksi…hingga Indonesia selamat, dapat lolos, dan sejarah penutupan sejumlah bank tidak tidak terulang seperti di tahun 2007.

Wajah Dunia yang Berangsur Berubah

Mereka—negara-negara pelaku ekonomi kapitalis—menolak percaya dan mengikuti trend ekonomi yang berlaku di setiap negara. Sistem kapitalis (pasar bebas) ini begitu semena-mena didesakkan, sebagai kendaraan untuk menancapkan hegemoni mereka terhadap dominasi kekuatan dunia yang mulai bergeser perlahan-lahan dalam formatnya, dan wilayahnya, menuju Asia.

Mereka menolak dan setengah tidak percaya bahwa wajah dunia sekarang ini telah berubah, dari bentuknya yang kerap mengerikan—berwajah perang dan pembunuhan—berangsur ke bentuk yang sedikit lebih ramah; dominasi kekuatan dunia kini bergeser pada kekuatan ekonomi.

Penolakan Eropa dan Amerika Serikat ini, terhadap visi kehancuran popularitas dominasi mereka di dunia yang sekian lama itu, memaksa mereka untuk mensejajarkan langkah mengikuti keinginan mayoritas masyarakat dunia. Perang tak populer lagi; bahwa pergerakan dunia bukan semata-mata penguasaan sumber-sumber daya alam seperti minyak di Semenanjung Arabia, Afrika dan Amerika Selatan.

Demikian pula dengan ideologi; bahwa siklusitas dunia tidak lagi melihat apakah Anda memiliki pemahaman dan ideologi yang berbeda selain demokratis. Jika dahulu, dunia pernah terpecah menjadi tiga blok besar—yang dasar perpecahan itu adalah perbedaan ideologis—maka kondisi dan pola pergaulan sosial dunia memaksa mereka menyingkirkan perbedaan ideologis itu, kembali bersatu untuk meraih superioritas yang nyaris hilang; Amerika Serikat makin tak dilihat sebagai kekuatan ekonomi dunia lagi, Rusia melemah dengan kondisi terpecah-belah, kalimat “Made in Jerman” bahkan bukan lagi menjadi perujuk sebuah produk akan laku dijual. Maka buru-buru, Barack Obama sang presiden Amerika Serikat itu, membuka dialog dengan Rusia, yang dianggap mampu wakili negara-negara skandinavia. Padahal, Amerika Serikat-lah yang dahulu memporak-poranda Rusia hingga memperoleh bentuknya yang sekarang, konfederasi

Tidak lagi. Perangkat ekonomi negara-negara yang disebutkan itu seperti tidak berdaya melawan kartel pembajakan produk yang dilakukan usahawan China (dan China sendiri lebih cenderung terlihat tak peduli dan protektif), atau sama tidak berdayanya memaksa India melupakan semangat swadesi-nya.

Maka tak perlu heran jika kini, negara berhaluan demokrasi berusaha menghilangkan sekat ideologis yang menghambat mereka dengan negara berhaluan sosialis-demokratis, untuk bersama-sama membentuk kekuatan dunia baru dalam bidang ekonomi. Mereka merasa harus kembali bersatu dalam bendera persamaan kepentingan, menggerakkan penjajahan gaya baru yang mereka format melalui WTO.

Jangan dikira, baik Amerika Serikat, Rusia, Negara-Negara Eropa Barat, saat ini tidak ketar-ketir menghadapi isu lajunya ekonomi Asia yang dipimpin China dan India; berkembangnya ekonomi Amerika Selatan yang dipimpin Brasil; licinnya gerak maju ekonomi Asia Timur yang dipimpin Dubai; dan naiknya potensi ekonomi Afrika yang dimotori Afrika Selatan.

Eropa dan Amerika Serikat pun sama takutnya, sama khawatirnya, jika tidak segera merealisasikan kawasan-kawasan bebas ekonomi itu, maka keinginan terus menancapkan kuku hegemoni kekuasaan mereka akan terhambat dan segera pupus. Soalnya sekarang; negara-negara yang sedang berkembang ekonominya itu tidak segera percaya—bahkan kini menolak sama sekali—dengan “bualan” mereka soal kemajuan yang akan diperoleh bersama dalam kawasan pasar bebas.

Bualan Eropa dan Amerika Serikat itu segera makin menjadi omong kosong, jika China tidak berhenti memberikan contoh kemajuan ekonominya dengan tetap menggunakan sistem ekonomi pasar terbatas-nya. Artinya, bahwa sistem ekonomi kapitalis dan sistem pasar kawasan, hanyalah sekadar jalan belaka, dan bukan solusi tunggal untuk mencegah dunia dari krisis, seperti yang mereka heboh-hebohkan selama ini. China ternyata lebih berdaya, lebih hebat, dengan sistem ekonomi ekslusifnya itu.

Sejumlah negara di kawasan Amerika Selatan, yang dimotori Venezuela, Chile, dan Cuba bersama-sama menentang kawasan pasar bebas Amerika Selatan dan Latin (SAFTA). Lalu, Senegal dan Republik Afrika Tengah juga segera menolak kawasan pasar bebas Afrika. Iran terus menggembosi kampanye pasar bebas kawasan yang masif dilakukan Israel dan Mesir—penolakan serupa juga diikuti Jordania dan Lebanon. Bagaimana kabar Indonesia dan Malaysia? Apakah penentangan yang kita lakukan akan segera membuhul keras menjadi penolakan permanen yang akan didukung negara? Kita belum tahu.

Sebab, pemerintah Indonesia sedang bersiap-siap melakukan re-negosiasi dengan sejumlah komponen pendukung kesiapan pasar bebas kawasan ACFTA. Negosiasi itu mulai berjalan April tahun 2010 ini, melalui kementrian perdagangan. Padahal, kementerian yang digawangi Marie Elka Pengestu itu, sedikit memberi harapan, ketika memberikan suara positif untuk tidak segera membahas FTA dengan pihak Australia.

Apa yang terjadi dengan pemerintah Indonesia sesungguhnya. Pada Kamis, 1 April 2010, Badan Pusat Statistik, mengeluarkan laporan yang tidak berdasar sama sekali, yang menyebut bahwa panel ACFTA sama sekali tidak mempengaruhi atau berdampak terhadap perdagangan Indonesia. Laporan ini juga persis dirilis bersamaan dengan kebijakan baru perihal tarif baru bea keluar barang eskpor yang mulai diberlakukan pada tanggal yang sama.

Apa yang membuat dua lembaga ini begitu yakin dengan data-data mereka, ketimbang melihat dengan jelas duduk masalah dari protes yang deras menentang pemberlakuan panel pasar bebas kawasan Asean-China oleh berbagai stakeholder? Pernahkan pemerintah duduk bersama dengan para pelaku bisnis kecil dan menengah yang akan terkena dampak paling keras dari pemberlakuan panel pasar bebas itu? Pernahkah kita mendengar apa tanggapan pemerintah setelah mendengar penolakan 19 asosiasi usaha kecil dan menengah? Tidakkah terlihat jelas, bahwa 15 usaha kreatif, yang didaulat pemerintah sebagai “benteng pertahanan” Indonesia dalam tarung pasar bebas itu, ternyata tidak ada apa-apanya. (Baca kembali seri tulisan penolakan pasar bebas dalam Free Trade Area: Ketika Indonesia Berperang Tanpa Tameng).

Belt Protections versus Side Effect

Padahal, ke 19 asosiasi itu, sesungguhnya tidak sedang berusaha berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Mereka hanya meminta pemerintah menunda panel itu sementara waktu, hingga pemerintah selesai menyiapkan proteksi permanen bagi dunia usaha Indonesia. Bahkan, sampai batas waktu pemberlakuan ACFTA, Juli tahun 2010 ini, pemerintah dan DPR belum terlihat menciptakan “belt protections” terhadap sedemikian banyaknya sulur ancaman yang mengintai dari panel pasar bebas tersebut.

Seperti yang sudah saya gambarkan dalam artikel-artikel sebelumnya, bahwa pasar bebas membawa side effect yang sangat meresahkan. Perdagangan bebas akan mendorong pasar gelap. Pasar gelap akan mendorong perdagangan barang-barang ilegal; perdagangan senjata antar negara; perdagangan obat terlarang trans-nasional; perdagangan perempuan dan anak; perbudakan gaya baru, dan transfer konflik dari sebuah wilayah perang ke wilayah lainnya. Pasar bebas dan segala aturan dalam panelnya adalah rencana besar yang sesungguhnya mengarah pada penguasaan semua sumber daya alam, pangsa pasar, human irritations, dan kebijakan negara-negara yang terlibat.

Pasar bebas akan membubarkan pasar gelap, yang selama ini berjalan bersisian dengan sistem pasar secara umum. Para pelaku pasar di kawasan Asia harus bersiap-siap dengan strategi baru yang akan dilancarkan para pelaku pasar gelap yang bisnisnya terganggu itu. Seruan untuk menghilangkan pasar gelap tidak segampang jika diserukan. Pasar gelap Asia yang telah lama dikuasai sindikat mafia akan bergolak, dan ini dampaknya

akan membahayakan kawasan. Hilangnya mata pencaharian mereka, akan memaksa

mereka mencari lahan operasi baru (perdagangan manusia, obat terlarang, prostitusi, dan terorisme), atau mereka akan mengacaukan pasar dengan tetap mensuplai barang-barang murah—lebih murah, atau semakin murah dari barang yang ada di pasaran resmi—sehingga menambah kerasnya persaingan.

Sebab, dalam pasar bebas, tidak saja lalu lintas perdagangan yang terbuka, namun semua

efek samping dari pola hidup hedonis-materialisme, seperti kehancuran moral, obat

terlarang, gaya hidup bebas, akan ikut terbawa-bawa. Dan, Indonesia sama sekali tidak siap

menerima semua efek samping itu.

Soal bebasnya perdagangan senjata ini, yang akan makin terbuka dengan berlakunya kawasan pasar bebas nanti, apa iya tidak membuat risau Indonesia? Tentu saja merisaukan. Bersama Indonesia, 43 tenaga ahli dari 10 negara di Asia bertemu di Bali, untuk membahas perdagangan gelap senjata. Dengan pembatasan yang ketat selama ini pun, sindikat penjualan senjata antar negara, sukses mendistribusikan senjata ke berbagai area konflik di seluruh dunia, bahkan sampai ke Aceh dan Papua.

United Nations baru saja melansir laporannya berkaitan dengan kepemilikan senjata ini; bahwa ada 1 miliaran penduduk dunia saat ini, memiliki senjata api ringan. Apa lembaga ini berani melansir laporan terkait perihal organisasi mana saja di seluruh dunia yang memiliki persediaan senjata berkaliber besar dan pemusnah massal?

Pemerintah Indonesia sendiri, sebenarnya, sudah masif melakukan pembicaraan soal ACFTA ini sejak tahun 2000. Karena menyadari diri belum siap, maka pemerintah Indonesia baru akan bersedia menandatangani perjanjian yang sifatnya mengikat pada tahun 2004. Nah, perjanjian 2004 itu sesungguhnya sengaja dilakukan untuk memberi ruang gerak yang demikian terbuka bagi pemerintah Indonesia untuk membangun sistem dan semua perangkat pendukung ekonomi dalam negeri, termasuk ekonomi mikro dan makro, sektor riil, perlindungan konsumen, dan lain sebagainya. Jenjang waktu itu diberikan ke Indonesia sampai Juli 2010. Tetapi seperti apa yang kita lihat dan dengar, pemerintah dan DPR bahkan belum menyediakan perlindungan terhadap segenap pelaku ekonominya, semacam menyediakan tameng perlindungan dari gempuran.

Apa ini murni kesalahan pemerintah dan DPR? Menyalahkan ke pemerintah dan parlemen yang ada sekarang ini, untuk semua alat pelindung ekonomi Indonesia itu, pun rasanya kurang pas. Kita harus memaklumi, bahwa untuk menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan ekonomi lokal, bagi pemerintah waktunya sangat sempit. Tetapi, pemerintah dan parlemen juga salah besar, ketika tidak “terburu-buru” menyiapkan kebijakan perlindungan terhadap konsumen tradisional menyangkut harga dan kesempatan masyarakat memperoleh kebutuhan dasar.

Sumatera Utara saja barusan mengimpor 8.700 ton garam dari India. Lihatlah, persoalan kebutuhan garam masyarakat yang selama ini mampu dipasok oleh produsen garam dalam negeri—bahkan diekspor ke beberapa negara tetangga—ternyata tak bisa lagi terpenuhi. Garam India ini akan memenuhi kebutuhan masyarakat Sumatera Utara, perlahan kemudian ke seluruh masyarakat Sumatera, lalu ke seluruh provinsi di Indonesia. Itu baru persoalan garam, komoditas yang rasanya asin dan berbahan dasar air laut itu. Lantas bagaimana dengan persoalan lainnya? Semacam, tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, pun baru saja merilis fakta soal sektor UKM tekstil dan produk tekstil, sebagai sektor yang akan terpukul cukup berat oleh dampak ACFTA. Sektor ini memang kasat mata terlihat tidak mampu membendung lajunya impor tekstil asal China.

Wushhhh...inikan urusan pemerintah. Soal bendung-membendung lajunya produk asing masuk ke Indonesia sesungguhnya adalah domain pemerintah saja. Lantas, kenapa pernyataan Kementerian Koperasi-UKM seperti membangun kesan pemerintah lepas tangan?

Asosiasi penerbangan Indonesia yang tergabung dalam Inaca, juga membangun desakan terhadap pemerintah perihal kerisauan mereka akan derasnya kepemilikan modal asing di maskapai penerbangan nasional. Inaca pantas risau. Derasnya kepemilikan modal asing di maskapai nasional akan membangun ketergantungan tenaga kerja nasional di bidang ini terhadap para pemain asing itu. Tanpa beleid baku yang bertujuan menghambat itu, tidak kunjung ada.

Maskapai nasional akan dikuasai oleh modal asing, dan sebagaimana biasanya pemodal asing akan lepas tanggungjawab jika terjadi hal-hal yang menyangkut konsumen. Sesungguhnya penguasaan modal oleh asing itu mulai tampak ketika sejumlah negara di Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap sejumlah maskapai nasional, dengan alasan bahwa maskapai Indonesia tidak professional dan tidak aman. Lantas, apakah keamanan penerbangan kemudian diukur dengan kepemilikan modal asing Eropa di maskapai nasional yang dilarang tadi? Bukankah ini terlihat hanya akal-akalan semata? Agar modal asing Eropa bisa bebas melakukan penawaran kepemilikan itu, lebih dulu, mereka membangun opini tentang ketidak-amanan penerbangan dengan menggunakan maskapai Indonesia. Agar aman harus dikelola profesional, dan pengelolaan profesional itu hanya bisa dilakukan jika pengusaha asing memiliki modalnya dan ikut mengelola.

Akal-akalan model usahawan asing begini..adalah bentuk penghinaan kepada Indonesia. Sudah sepantasnya jika Indonesia membalas perlakuan itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah menyerukan memboikotan serupa terhadap maskapai asing di wilayah terbang Indonesia. Makanya saya pun setuju-setuju saja dengan desakan Inaca itu, agar pemerintah membentuk aturan baku soal kepemilikan modal asing di maskapai nasional.

Apakah imbauan (eks) Menteri Keuangan Sri Mulyani—sebelum beliau mundur dari posnya—agar jangan terlena dengan masuknya arus modal, tidak memiliki alasan kuat? Tentunya, menteri keuangan yang pandai ini, punya alasan kritis mengapa Indonesia harus mengerem masuknya modal asing. Saya tak akan mengulas soal ini…biar ini urusan para menteri itu saja.

Tetapi, kelihatannya pemerintah bersikap ambigu dalam persoalan ini. Menanggapi penolakan kalangan usahawan, pemerintah justru menolak—untuk sementara—proses negosiasi FTA dengan Australia. Kemudian Menteri Keuangan memperingati kalangan bisnis Indonesia dan pemerintah daerah untuk tidak terlena dengan sejumlah inisiatif masuknya arus modal asing. Bahkan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan segera membatasi tenaga kerja asing di Indonesia. Ini pernyataan beberapa bulan lalu. Tetapi, pada bulan berikutnya, pemerintah sudah kembali berencana membahas FTA ini dengan pemerintah Australia.

Sikap ambigu pemerintah ini seharusnya jangan tampak…mengingat derasnya resistensisme masyarakat ekonomi Indonesia yang kian kritis itu. Kalangan usaha Indonesia yang kian paham bahaya pasar bebas segera menyadari bahwa panel itu sebaiknya tidak diteruskan, jika memang Indonesia belum siap sama sekali.

Sikap macam itu terekam jelas di programa “Flatform Ekonomi” yang ditayangkan di TVOne pada Rabu dini hari, 31 Maret 2010. Pada programa yang bertopik “Ketika Pasar Bebas Mengancam” itu, Menteri Koperasi dan UKM, Syarif Hasan tampil sebagai pembela pasar bebas. Dalam panel itu, kata beliau, Indonesia akan sangat diuntungkan dengan peluang perdagangan yang besar. Dan jika mundur dari panel ini, Indonesia akan dipermalukan di mata internasional karena dianggap tidak bisa tegas dalam perjanjian yang telah disepakati.

Saya kira, pandangan menteri itu, tidak akan datar begitu, dan—seharusnya—memilih kecenderungan melihat gejala yang berlaku kolosal; bahwa peluang perdagangan yang besar masih bisa diperoleh kendati tidak melalui panel pasar bebas. Apakah selama ini peluang perdagangan negara lain terhadap Indonesia—atau sebaliknya—dianggap kecil? Lalu, bapak menteri itu, pun tidak berusaha menjelaskan seperti apa besarnya peluang perdagangan yang dia maksud. Mungkin pak menteri itu lupa, bahwa jika pemerintah tak membangun hambatan khusus dan membuat aturan yang jelas, maka bisa dipastikan sektor UKM dan sejumlah perangkat ekonomi lokal akan mangrak di negeri sendiri, mati karena hempasan investor.

Mengapa pula harus malu? Perjanjian itu kan, kendati sifatnya mengikat pun, tidak akan mengubah pendirian WTO jika suatu saat ada negara yang menarik diri hanya karena terlambat melihat berbagai kelemahan dari panel yang ditawarkan. Bagaimana mungkin Anda menghindari mendapat malu dari organisasi dunia yang kekuatannya tidak solid itu, dan malu dengan negara-negara lain? Sedangkan Anda tak berusaha menghindari malu saat Anda gagal melindungi nasib masyarakat pasar tradisional, nasib industri rumahan yang tak padat modal, nasib industri menengah—yang bahkan kini sedang bertarung dengan sejumlah industri asal Tiongkok yang beroperasi di Jawa Tengah sana—dan khususnya nasib ribuan petani dan pekebun yang akan kesulitan menghindari gempuran komoditas serupa yang mereka hasilkan dengan harga yang lebih murah?

Bahkan isu penting yang dibangun kalangan serikat buruh dalam dialog singkat itu tidak berusaha dijawab tuntas oleh pemerintah dan anggota parlemen yang hadir ketika itu. Wakil serikat buruh itu mempersoalkan pemerintah yang tidak bisa tegas soal energi dan sumbernya. Terlalu banyak sumber daya energi dan mineral Indonesia yang kini dikelola asing atau yang sementara ditawarkan ke pemodal asing.

Pemahaman itu persis sekali dengan kekhawatiran saya mengenai masalah keterbatasan energi yang masih terus membelit Indonesia. Kemudian diperparah dengan rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik industri dan harga beli gas untuk industri. Langkah pemerintah itu sungguh…sungguh membingungkan…

Anggota parlemen yang hadir pada acara itu pun, ternyata pemahamannya soal hambatan pasar bebas, tidak lebih baik dari si menteri. Dia dengan tegas menyatakan bahwa pasar bebas itu hanya bisa ditunda, tapi tidak bisa dibatalkan.

Ini jelas keliru. Pasar bebas itu panel yang dapat diikuti oleh negara mana saja dalam kawasan pasar yang dimaksud, dan keikutsertaannya dapat dianulir. Artinya, Indonesia bisa kapan saja menyuarakan kehendaknya untuk keluar—baik sementara atau permanen—dari panel pasar bebas kawasan. Memangnya ada apa dengan pasar bebas ini? Mengapa pemerintah dan parlemen sebegitu menggebu-gebunya untuk ikut serta tanpa peduli dengan kondisi riil ekonomi di dalam negeri? Apa sebenarnya yang dijanjikan negara deklarator pasar bebas seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, jika Indonesia menyerahkan sepenuhnya sistem pasarnya kepada liberalisasi pasar bebas? Menyerahkan sepenuhnya pasar Indonesia pada kehancuran…

Sebaiknya, siapapun yang sedang berurusan dengan panel ini jangan terburu-buru menanggapi agitasi WTO terhadap perkiraan mereka atas pertumbuhan perdagangan dunia, yang dikatakan organisasi itu akan tumbuh 9,5% pada tahun 2010. Yeah…namanya juga agitasi…tak perlu heran jika lembaga perdagangan dunia itu memiliki maksud dari setiap data yang dilemparkannya ke publik.

Hanya saja cukup mengherankan, jika WTO menyebut perkiraan pertumbuhan perdagangan dunia pada 2010 akan tumbuh sedemikian tinggi seperti itu, sementara beberapa data perdagangan yang berlaku antar negara di beberapa kawasan berbeda justru berlawanan dengan data WTO. Lihat saja, China sudah sukses menggeser Jerman sebagai eksportir terbesar dunia; dengan nilai ekspor barangnya pada 2009 yang mencapai angka fantastis; US$ 1,20 Triliun. Data ini menunjukkan, bahwa China sudah berhasil mengambil posisi pemimpin ekonomi dunia pada kwartal pertama tahun 2010. Sedangkan data WTO menyebut China hanya…”hanya” akan memimpin pertumbuhan ekonomi Asia saja.

Bukankah menteri dan anggota parlemen Indonesia yang berpandapat tadi itu jelas-jelas keliru. Jika China, bahkan India—kemudian data menyebut Indonesia pada urutan ketiga pada papan pertumbuhan ekonomi—mampu bergerak tanpa dukungan pasar bebas, maka apa bedanya jika ekonomi Indonesia tidak diserahkan pada liberalisasi pasar bernama pasar bebas itu? Ekonomi Indonesia akan tetap bisa tumbuh jika pemerintah Indonesia memiliki capacity to building for economic…dan perangkat ekonomi Indonesia memiliki capasity to willingness to economic progressive.

Tak perlu-lah terburu-buru dengan “menyeret-nyeret” langkah kaki sendiri ke pasar bebas itu. Tidak ada faedahnya…

Coba perhatikan paralelitas kenyataan perdagangan Indonesia jika “terburu-buru” dibenturkan dengan kekuatan ekonomi yang jelas-jelas besar itu. Indonesia tidak saja akan “berdansa” di lantai yang licin…tetapi juga akan mendengar musik yang sama sekali asing bagi tarian ekonomi-nya.

Sebab soalnya; bukan berlomba membangun kekuatan ekonomi negara agar terlihat prestisius di mata dunia, tetapi berusaha sekeras mungkin agar tingkat ekonomi dan taraf hidup seluruh masyarakat Indonesia terjamin dan terbangun…bukan begitu?

Maka, sikap saya masih tetap: TOLAK PASAR BEBAS!!! []

Sumber tulisan: http://ilhamqmoehiddin.wordpress.com

Sumber Photo: 4.bp.blogspot.com


Diproteksi: Sebunyi Sunyi Sembunyi Sepi [18]

Konten berikut dilindungi dengan kata sandi. Untuk melihatnya silakan masukkan kata sandi Anda di bawah ini:


Sebuah Petang Di Rimba Jakarta

Oleh Hera Naimahh

langit menjingga

Monas merona

hanya singkat

sesaat

mendadak suasana berubah warna

angin menggemuruh

cuaca menjadi gaduh

puisi pun mengalir menerjemahkan bahasa hujan ke dalam ayat-ayat Tuhan.

lampu-lampu kota berpendaran

menerangi langkah kaki

menegaskan bimbang

mengekalkan keterasingan

kupetik hikmah ketabahan dan ketegaran

lewat lembar-lembar potret buram pengamen jalanan

peristiwa demi peristiwa yang tak semua kupahami pun berkelebat dari balik gedung-gedung pencakar langit yang menjulang sepanjang thamrin-sudirman

dalam hidup banyak jalan menuju Tuhan

banyak cara untuk mencapai-Nya

banyak cara untuk menggapai-Nya

dan banyak cara untuk memahami hikmah dan bukti keberadaan-Nya

gemuruh zikir  membelah langit

membakar amarah

menaklukkan keinginan

dan memadamkan bara dendam yang

masih bersemayam dalam jiwa-jiwa yang tiada

lailaahailallah…..

dengan segenap doa dan air mata

kusingkap tabir kegelapan

kumasuki dunia terang benderang

dunia penuh cahaya

dunia keindahan-Nya

***

hera

16 Ramadhan 1431 H


Sepucuk Surat Kepada Cinta

Oleh Hera Naimahh

aku mengenalnya lewat lembar-lembar catatan yang memuat tentang riwayat cinta abadi sepasang kekasih yang membuat penglihatanku terpaku di kedalaman setiap kalimatnya

aku menjumpainya di penghujung senja saat kenangan dan kenyataan berbaur dan mengabur dari penglihatan

Aku memahaminya lewat percakapan demi percakapan yang membuat langit jiwaku berpendar-pendar oleh cahaya jingga hingga aku mengira dialah kekasih jiwa yang akan menemaniku menjemput malam

(Aku mohon maaf padamu untuk semua hal yang tak kumengerti, untuk semua kebimbangan dan ketidakpastian, dan untuk keterasingan yang membentang di antara kita)

mampukah aku berlari meninggalkannya demi ketenteraman lain yang tak sepenuhnya kupahami? haruskah kuingkari panggilan jiwa dan lari menuju lorong tanpa cahaya menuju negeri tak bermusim?

wahai cinta peluklah aku dan berikan kesejukan pada setiap tarikan nafasku yang tak henti meneriakkan asmaMu

wahai jiwa yang dikepung rindu tak berkesudahan. kupasrahkan segenap hasrat menjelma kesejatian dan tunduk patuh pada kehendakMu

sungguh, Tuhanlah yang berkuasa memberi keajaiban kepada siapa saja yang dikehendakiNya, dan memberi cinta kepada orang-orang yang tak henti menjumpaiNya

aku akan di sini. setia menanti hujan datang menghalau kemarau dan membasahi hati dengan kehangatan tak terduga, lalu kita bersama-sama lagi menulis dan membaca puisi, merenda hari dengan rangkaian huruf demi huruf, kemudian melengkapinya menjadi sebait simfoni dan kita nyanyikan berdua hingga akhir usia

***

hera
19 Ramadan 1431 H
29 Agustus 2010


Mudik Lebaran : Aku Pulang, Ibu

Oleh Dwi Klik Santosa

MUDIK lebaran. Tak dipungkiri, ini peristiwa besar. Betapa tidak. Coba kita simak dan teliti dari pemberitaan-pemberitaan dan fakta, betapa penuh, padat, berhimpitan, seruas jalan dari lajur utama ibukota menuju jalur selatan dan utara Jawa. Dari sejak setidaknya seminggu menjelang lebaran. Pesawat-pesawat terbang, Kereta-kereta Api, Bus-bus penuh penumpang. Mobil-mobil pribadi beriringan sesak oleh penumpang dan barang. Sepeda motor-sepeda motor, bahkan berduyun-duyun, bersemangat, ibaratnya iklan KB saja. Berisi bapak, ibu dan dua anak. Juga truk-truk bak terbuka. Sepenuh-penuh, sesesak-sesak. Begitupun bajay dan metromini serta kendaraan apa saja, asal dapat mengantar diri sampai ke tujuan. Sampai ke asal dulu kami pernah diadakan.

Ada apa dengan lebaran? Kenapa harus mudik? Adakah bangsa lain mengenal adab seperti ini?

Lebaran adalah kosa kata nusantara, yang bisa dimaknakan pengenyahan atau penghancuran dari sampah-sampah, sisa-sisa atau jelaga-jelaga. Lebar, lebarlah. Enyah, enyahlah. Hancur, hancurlah. Maka, kami menandang nelangsa selama 30 hari lamanya. Menahan lapar dan dahaga. Mengendapkan nafsu-nafsu dan melatih sabar. Tapi diri yang kreatif inilah intuisi untuk produktif. Puasa kami tidak kenal malas dan stagnasi. Hanya semoga kalbu kami disucikan dari kotoran dan pamrih-pamrih yang menyesatkan. Semoga kreatifitas kami mampu menembus batas yang multi guna. Menghadirkan manfaat yang nyata, mengalirkan kasih sayang bagi sesama.

Di kedalaman sanubari yang fitri. Ibulah pernah mengandung, mengasuh dan melindungi. Di gua garbanya yang suci dan teduh, disitulah pertapaan kedap oleh perdu-perdu. Kampung halaman adalah fitrah dulu kita pernah merasakan hawa dan musim, ketika lalu sang pencipta menitahkan kita terlahir sebagai bayi kehidupan. “Oa .. oaa .. oaaaaa …..” begitu bunyi tangis kita. Keras, pekak dan membahana. Di haribaan udik lah dulu tangis pertama itu menandai. Lahir, besar dan njenggureng sebagai insan. Sebagai umat bagi Penciptanya. Sebagai makhluk sempurna bernama manusia. Sebagai patria bagi nusa dan bangsanya, agama dan lingkungannya. Mudik, menuju udiklah kami. Sujud dan sungkem kami di hakekat telapak kakimu, Ibu. Putra-putrimu yang ingin selalu merindumu. Ingin senantiasa mensyukuri berkah lahir, besar dan mulia. Atas segala sakit dan nestapa ketika dulu kami engkau kandung. Engkau asuh, engkau pintakan nafas kepada sang maha. Terimalah dera kami, tangis kami, sungkem kami.

Tuhan maha Akbar … Tuhan Maha Segala … Tuhan maha suci ….
Semoga Kau-murnikan harkat dan martabat juang kami dari khianat, bangsat dan laknat.

Sukoharjo
11 September 2010
: 06.41

[]


Bunga-Bunga Mekar Di Sukoharjo

Oleh Dwi Klik Santosa

INGIN saya katakan sejujurnya. Selama sepertiga abad lebih usia mengantarkan saya kini dalam sebutan : laki-laki dewasa dan mendekati tua. Be-ribu bahkan berjuta wajah manusia barangkali saya kenali, baik secara dekat hingga lekat saya baui dan hirup-hirup bau nafasnya, maupun yang hanya sekedar saya lihat dari layar-layar monitor elektronik atau juga dari ratusan, atau bahkan ribuan buku yang sudah pernah saya baca hingga detik kini. Banyak sudah sosok-sosok itu menjilmakan ikatan sebagai bahan-bahan. Pemahaman, pengertian yang kadang bisa memanifestasi atau lebih menjadikan sebagai benih-benih yang menjatuhkan airmata-airmata, dan juga pernah putusasa-putusasa begitupun marah-marah yang lalu melahirkan kebencian. Saya harus akui. Saya harus katakan, inilah proses itu bernama.

Saya laki-laki yang dilahirkan di haribaan harkat ruang bernama Sukoharjo. Masa bocah saya, tak terasa saya kenali kini …… pada akhirnya, harus berani saya akukan: inilah percik-percik keindahan itu pernah saya kenal.

Begitupun ketika memasuki remaja. Ya, Tuhan …. banyak sekali kenangan itu menjilmakan pengertian-pengertian. Pemahaman yang mendalam. Yang selama ini acapkali menjejali harkat dari perjalanan untuk mengenali diri. Apa itu kampung lahir? Apa itu teman? Apa itu sahabat? Siapa itu guru? Dan untuk apa orang harus belajar, harus berlatih? Untuk apa harus rela jatuh bangun, demi apakah?

Tentang sebuah harkat dan nilai-nilai. Setiap orang memiliki proses dan kisahnya masing-masing. Saya tidak mencoba mengelak atau bahkan hendak meniru atau memplagiat karena memang harus saya akui, sungguh-sungguh saya tertarik atau tergelitik oleh apa yang telah dirakitkan Ernest Hemmingway dalam serial-serial novelnya. Atau mahakarya-mahakarya Walt Disney dengan istana kreatifnya yang segar dan impresif. Karl May dengan serial petualangan Old Shaterhand yang cadas dan ’gentle’ di ranah Amerikanya atau seri-seri fantasi cerdas nan gurih Charles Dickens, Jules Verne dan Hans Christian Andersen yang demikian memesona perhatian dan lalu sepertinya memengaruhi arus pemikiran saya.

Tapi kiranya, endapan akan sejarah hidup saya sendiri. Bersama sekian jalinan, larutan, genangan, senyawa-senyawaan yang berkandung: jatuh, bangun, selalu terjatuh dan senantiasa bangkit terbangun. Mulai lagi kini rintik-rintik itu bagaikan rinai-rinai berjatuhan dari langit, menitik-nitik merekatkan, menyatukan sebuah alur dan pengukuhan bangunan sebuah risalah bersebut : in-memorium romantika, dan atau, re-impresiva historika.

“Bunga-bunga Mekar di Sukoharjo.”

Hmmm … semoga ada energi dan sinergi yang cukup bagi saya untuk mewujudkannya nanti menjadi sesuatu.

Sukoharjo
14 September 2010
: 09.25

[]


Rembulan Di Atas Suramadu

Oleh Dwi Klik Santosa

(Photo: galunggung99.files.wordpress.com)

SORE di atas kemungkinan, begitulah ceritaku ini kali. Yah, sebelum diri masuk kembali ke rutinitas ibukota, kunikmati sesuka-suka, sisa-sisa waktu di Surabaya.

Jembatan itu panjang. Megah, karena terbuat dari beton yang ditanam di dasar laut. Ini bukan sekedar fantasi. Ya, inilah mega proyek. 15 tahun dikerjakan dan dikabar-kabarkan hebat. Dan nyatanya begitu usai dan resmi dibuka, berbondong-bondong orang pingin jalan di atas lajurnya. Bahkan belum tiga bulan jalan, berita-berita pun lantas santar menghembuskan; jalur motornya ditutup, karena sekrup dan besi-besi hilang dari tempatnya. Sangat membahayakan si pemakai jalan…Hwaradakah!

Di atas punggung jembatan Suramadu, kukabarkan lewat sms kepada seseorang. Kuceritakan kepadanya: “Heiii…aku sekarang di atas Suramadu!” Dan tapi jawabnya kemudian; “jangan bunuh diri disitu, ya!”… Haooouuww…teganya, teganya. Pikiran ini entah kemana lagi. Sepertinya terus berlari dan memasuki ingatan adegan-adegan romantis film Hollywood. Bercengkrama dan bercinta di atas jembatan Manhattan. WaaooouAutumn in New York… Angin di atas Suramadu wuiih galaknya. Dan si pak sopir taksi ini betapa cerewetnya. Bercerita kepada seluruh penumpang taksinya, tentang riwayat orang-orang. Orang Surabaya, orang Madura, orang Jember… Dan lalu, welcome Madura!…gersang. Garing. Tandus. Hahahayah, di tanah yang keras, sifat manusia jadi keras. Bagaikan gelombang watak bangsa Viking pada dongengan legenda Skandinavia mencari tanah pengharapan. Mengembara mereka dengan gagah berani dan lalu buas mencari lahan untuk beranak pinak.

Di atas jembatan Suramadu. Terdengar suara dengkur tiba-tiba. Dua sohib perjalananku tumbang bersender di bangku belakang. Dan si Pak Tua cerewet itu pun menikmati setirnya sambil berjula-juli dengan asyiknya. Ah, jembatan ini membelah laut, menghubungkan daratan. 15 tahun mengerjakannya betapa lama. Lha itu Sri Rama dalam dongengan Ramayana, hanya dengan sepekan saja mampu mewujudkan maha karya; Jembatan Situbanda. Bendungan megah itu dibangun dengan gotong royong dan segenap juang para prajurit kera, si putra-putra kahyangan dan ikan-ikan perkasa keturunan Dewa Baruna. Mereka bekerja tak kenal korupsi. Apalagi manipulasi. Puih! Mainan apa itu. Gunung digempur jadi batu. Batu ditendangi para kera perkasa melayang-layang di angkasa, ditangkapi kera lainnya, dan lalu diletak, diatur ikan-ikan pesut dan lumba yang cerdas. Ribuan, jutaan batu-batu melayang dan amblas menumpuki memanjang. Kokoh kuat ditambal dengan tanah liat ajaib ramuan sang Anoman yang jago membangun cagar monumen. Gunung pun tebas dipindah ratakan untuk membelah laut Mangliawan. Dan begitulah, nyanyi-nyanyi para kera yang tiada lelah bekerja, mewujudkan asa, menjembatani juang Sri Rama merebut kembali Sinta dari culik si laki-laki maha jahat Rahwana.

Ah, Sintaku. Jangan engkau mati sebelum aku menemukanmu.” …Jembatan itu pun kokoh terbentang. Menghubung dua daratan yang mustahil sepertinya disatukan. Gilang gemilang segenap pasukan kera menyanyikan orkestra perang. “Jangan sedih Paduka Rama, aku anakmu siap menabur darah, demi keadilan, demi kembalinya ibuku ke pangkuanmu,” teriak Anoman.  …Waooow… Berduyun-duyun bagai semut berbaris. Para kera sigap menembus perisai maut pertahanan para dajal bengis. Alengka si kerajaan besi yang dihuni selaksa raksasa dan raksasi ditaklukkan bahayanya dengan langkah mantap. “Hei, Rahwana akan kutampar sepuluh mukamu. Kuhilangkan sifat jahatmu untuk selama-lamanya. Supaya kau tahu dan kiranya semuanya saja tahu, bahwa jembatan itu dibangun dengan susah payah. Dengan keperihan. Dengan perjuangan. Hanya demi sebuah cinta. Sebuah tanggungjawab kepada isteri terkasih yang hendak kau rebut dengan licik dan pengecut.”

Di ujung jembatan Suramadu. Taksi ini kembali memasuki rahim Surabaya. Sungguh kota yang bagus. Lebih bagus menurutku ketimbang ibukota jalur hidupku sehari-hari. “Yang tadi itu, jalan yang menuju Kamal.”…

”Kamal? Jadi Kamal itu masuk wilayah Madura, ya Pak.” …

”Inggih, ngaten, mas!”…

Woouuuw… Bukankah di kamal, dulu Anggraini kekasih tercinta Panji Inu Kertapati sang Kameswara perkasa itu lenyap bagai terbang ke langit. Di tempat itu dulu, sang dewi harus mati di atas keris jagal Jenggala. Hanya demi cinta. Demi menghormati perasaan sang mertua, yang telah dulu, bahkan sejak dalam kandungan telah menahbiskan sang suami berjodoh dengan si jelita Sekartaji, putri Kediri…

”Anggrainiku … tidak akan ada lagi perempuan lain di hatiku, kecuali dikau.”…dan ksatria perkasa itu pun gila. Edan, karena dipisahkan dengan yayangnya…

Thet! Thet! Thet! Brungg … Bruuung … bruuung! …

“Wong edan!” sumpah pak Tua. Memang gila laki-laki itu, jalanan seperti milik simbahnya saja. Sak udele dewe! …”jangan kencang-kencang, Pak,” seru sohib di jok belakang, “pesawat berangkat masih jam Sembilan.” Dan taksi pun alon-alon waton kelakon. Dan terdengarlah lagi dengkur itu.

Di atas rahim Surabaya, tak pernah aku ditinggali kenangan. Sama sekali tak ada memori yang menghubungkan sebagai jejak-jejak menuju sejarahku. Baru kali ini kiranya, kaki ini benar-benar mendarat dan menapaknya. 4 hari yang melelahkan. Demi sebuah tuntutan profesionalisme pekerjaan. Dan, serba asyik saja, menjalaninya selama ini. 4 hari di kota arek-arek bonek ini, semua orang yang kujumpai penuh sapa, penuh senyum. Hingga Pak Wagub Surabaya si Gus yang mantan menteri itu dan pula Pak Wali dan tokoh lainnya dapat tertawa-tawa, berbagi-bagi kegembiraan dengan semua orang di ruangan itu. “Tak dongakno kabeh maju. Suroboyo maju, Indonesia maju. Sarwo nyenengke kabeh, ora ono sing nggrantes,” inilah kelakar sang Wagub yang merakyat itu.

Di koridor-koridor ini, dalam bingkai fragmen kali ini begitu lengang. Wira-wiri orang entahlah, siapa mereka. Kemana tujuan mereka. Disini, duduk di kursi ini, kuabaikan saja, kuacuhkan saja lenggak lenggok pramugari yang hmm … hmmm … jari-jari tangan ini asyik saja ngutak-utik laptop mungil ini. Tapi sungguh mati. Demi Tutatis dan sejuta topan badai … hahaha … kubayangkan rembulan muncul malam ini. Sehingga kuharapkan laju terbangku nanti ke ibukota tenang teduh, tanpa was-was dan kalis dari bencana.

Dan di atas jembatan Suramadu, pernah tertinggal sepercik asaku disana. Seketil lamunan, soal rembulan. Ah, kenapa tak ada waktu untuk sejenak menikmati rembulan bundar di atas Suramadu? Aku tak mabuk keindahan Manhattan. Tak juga ingin berakting sebagai Sri Rama yang kesepian ditinggal Sinta. Atau sang kelana, Panji Inu Kertapati yang gila ditinggal Anggraini. Tapi dengarlah sepiku, wahai, malam dan juga kau, rembulan di atas Suramadu. Setidaknya ini harapku. Aku ingin mencari jejakku sendiri, tanpa bayangan dan romantisme masa lalu. Hanya sedikit asa. Jikasaja kelak itu mungkin. Aku ingin sekali mengenali apa itu bahagia. Tanpa merasa kesepian. Tanpa gila. Tanpa merasa kehilangan suatu apa. Tidakkah boleh berharap pada mungkin?

Bandara Juanda Sidoarjo

12 November 2009

20:34

[]


Ciptaning

Oleh Dwi Klik Santosa

Kutinggalkan keluhku, rengekku

Atas nama kepedihan, atas nama nestapa

Kerna serba ningrat muasal dan gelarku

Pada hening garba asuhan sunyi

Aku menepi, aku telanjang

Untuk menjelang nanti datangnya cahaya

Ciptaning, alam memberiku nama

Embun pagi minumku, daun yang dijatuhkan angin makanku

Cinta yang menjadikan nyala asaku

Cita yang mengalirkan kasih harapku

Ya, yang menguasai segala

Jagai tekadku dari kefanaan

Pondokaren

05 September 2010

: 07.44

[]


Abilawa

Oleh Dwi Klik Santosa

Alam raya adalah teman mainku yang asyik. Aku belajar gesit dan gagah berlari dari singa. Gajah mengajari bagaimana menggunakan kekuatan guna merobohkan pohon besar yang liar. Kera lincah mendidikku mengatasi tebing tinggi yang terjal. Ikan-ikan pesut yang lentur dan bernafas panjang melatihku menjajagi dan menari-nari di dalam seluasnya samodera. Dari rajawali yang kokoh, aku ditanamkan semangat untuk berwawasan luas mengarungi petualangan.

Abilawa namaku. Tidak ada sesuatu pun kebohongan dari cara alam mendidikku. Serba liar, ganas, cepat dan urakan, kuakui inilah adabku. Tapi semua itu kulakukan semata demi hidup. Demi menjalani siklus kewajaran. Demi sebuah keyakinan : tidak ada kekuatan angkara yang tidak dapat ditundukkan!

Zentha 30 Juli 2009 : 14.2o

[]