Oleh Mappajarungi Manan (Cape Town)
Seandainya orang Eropa, macam Belanda dan Portugis tidak menjajah Indonesia, mungkin saja kota Cape Town dan The Cape of Good Hope alias Tanjung Harapan tak pernah ada. Kalaupun di ujung selatan Benua Afrika itu terbentuk kota, pastilah diberi nama yang lain, dan tak jauh beda dengan kota lain di Afrika seperti Luanda, Sierra Leon, Conakry, dan Mogadishu.
***
Cape Town sungguh berbeda. Kota yang kini dihuni sekitar 3 juta jiwa itu sebagian penduduknya berkulit putih keturunan Eropa. Karena, kota yang dulunya bernama Kaapstad itu didirikan oleh Belanda pada 1625. Kemudian berganti nama menjadi Cape Town setelah diambil alih Inggris pada tahun 1806.
Awalnya, Cape Town dijadikan sebagai gudang atau tempat persinggahan Belanda dalam pelayaran ke Indonesia. Belanda mengendalikan Cape Town alias Kapstaad dari Batavia. Karena itulah, Cape Town punya hubungan historis yang demikian erat dengan Indonesia. Bahkan, banyak pejuang dari Indonesia yang menentang kolonialisme Balanda diasingkan di Kaapstad.
Salah satu tokoh pejuang muslim legendaris yang bermukim di Kaapstad adalah Syeikh Yusuf asal Makassar. Tak mengherankan, di kota modern perpaduan tiga benua—yakni Asia, Afrika, dan Eropa—itu ada sebuah tempat yang sangat populer disebut sebagai Kampoeng Macassar. Ia terletak di Distrik Stellenbosch, kawasan perkebunan anggur yang indah, sekitar 40 kilometer dari jantung kota Cape Town.
Kampoeng Macassar itu dibangun oleh Syeikh Yusuf dan pengikutnya saat pertama tiba tanggal 2 April 1694. Dalam pengasingan, ia bersama 49 pengikut dan keluarganya menggunakan kapal layar Fluyt de Voetboog. Ia gencar menyampaikan pesan-pesan Islam, kendati dalam pengawasan ketat oleh pihak Belanda.
Dalam usia 73 tahun, Syeikh Yusuf mengembuskan napas terakhir. Walau ia hanya empat tahun di Macassar, pengaruh ajarannya cukup kuat dan dilanjutkan oleh para pengikutnya. Hingga kini, turunan Syeikh Yusuf masih banyak dijumpai di Cape Town.
Puncak ziarah ke makamnya dilakukan pada Hari Paskah pada bulan April, yakni saat liburan umat Kristiani. Menurut Fatih, 45 tahun, yang mengaku masih keturunan Makassar, kegiatan itu dilakukan karena sejak zaman dulu para pekerja di perkebunan Belanda hanya libur pada pada Hari Paskah. Nah, pada saat itulah mereka berkumpul. Lalu, Syeikh Yusuf Tuanta Salamaka menyampaikan pesan-pesan Islam.
Sampai sekarang berkumpul dan berkemah serta bazar diadakan setiap bulan April setiap tahun. Sumber di KJRI Cape Town menyebutkan, sejumlah pejabat Indonesia pernah berziarah ke makam Syeikh Yusuf. Beberapa bulan sebelum lengser, Presiden Soeharto berziarah ke makam Syeikh Yusuf. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh Presiden Megawati dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Ajaran Syeikh Yusuf menjadi inspirasi untuk menentang pemerintahan apartheid di Afrika Selatan. Karena itu, ia diangkat sebagai pahlawan Afrika Selatan. Ketika menjatuhkan pemerintah apartheid, April 1994, Nelson Mandela menyatakan bahwa ia mendapat inspirasi dari Syeikh Yusuf untuk menentang politik perbedaaan warna kulit di Afrika Selatan.
Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki juga memuji kepahlawanan Syeikh Yusuf. Pada 2005, Syeikh Yusuf dianugerahi Oliver Thambo Gold Award, penghargaan tertinggi yang diberikan Pemerintah Afrika Selatan untuk tokoh yang berjasa besar.
***
Keindahan Cape Town memang mengagumkan. Kota ini mendapat julukan City Bowl (kota mangkuk), karena bentuknya seperti mangkuk bila dilihat dari udara. Dari jantung kota dapat dilihat dari puncak Table Mountain dengan menumpang cableway. Tapi itu hanya bisa dilakukan pada saat cuaca cerah.
Karena cuaca di Cape Town tidak menentu akibat pengaruh angin Samudra Atlantik dan Hindia. Table Mountain merupakan ikon Cape Town. Objek wisata di kota ini terdapat 21 titik. Tapi bagi umat Islam atau yang datang dari Indonesia, maknanya lebih dari itu, karena banyaknya makam syuhada di Cape Town. Selain Syeikh Yusuf ada pula Daeng Mangenang, Jan van Boegis dari Sulawesi, ulama dari Minangkabau, Tuan Guru dari Tidore, serta ulama dari Madura.
Menikmati kota yang punya empat musim ini memang bisa menghabiskan waktu seminggu. Bayangkan saja, terdapat 21 objek wisata yang masing-masing memakan waktu minimal tiga jam. Paling sehari bisa mengunjungi empat objek wisata dengan agen perjalanan. Tapi ada objek wisata yang membutuhkan sehari penuh. Infrastruktur kota hampir sama dengan kota-kota di Eropa.
Nuansa Eropa sangat kental, orang kulit putih terdiri dari keturunan Inggris dan Belanda, karena itu mereka menggunakan bahasa Inggris dan Africaan. Bahasa Africaan ini pada intinya adalah bahasa Belanda campur-campur Africa Melayu dan Inggris, mereka menyebutnya bahasa “Belanda rusak”.
Dan jangan lupa berkunjung ke The Cape of Good Hope alias Tanjung Harapan. Konon, mengunjungi itu bisa mendapat berkah, atau harapan-harapan yang diinginkan bakal tercapai. Karena di situlah letak pertemuan dua samudra, yakni Samudra Atlantik dan Hindia. Dalam perjalanan ke Tanjung Harapan melewati Simon’s Town, saya teringat rumah-rumah panggung di Sulawesi Selatan.
Di sisi bukit di Simon’s Town terlihat perumahannya penduduk mirip di Sulawesi Selatan, tapi rumah di pinggiran Cape Town itu sudah tersentuh gaya Eropa dan lebih modern. Sepanjang jalan menuju The Cape of Good Hope, menyusuri pantai menjorok ke Samudra Hindia, sekitar 20 menit sampailah kami di Boulders Beach, pantai berpasir putih yang dihuni oleh gerombolan penguin Afrika.
Binatang laut yang terbilang setia itu bertingkah menggemaskan. Mereka selalu terlihat berduaan dengan pasangannya. Selain penguin bermain dan bercengkrama di pantai berpasir putih itu, juga dengan jarak yang dekat, banyak pelancong yang mandi.
Dari Boulders Beach, kami melanjutkan perjalanan ke Cape Point yang lebih dikenal dengan nama The Cape of Good Hope. Di sisi kiri adalah pantai Samudra Hindia, sedangkan bagian kanan terdapat bukit-bukit terjal. Beberapa saat meninggalkan Boulders Beach, Saleem, seorang pemandu wisata yang mengaku keturunan Makassar, memperlambat laju kendaraan.
Kami dikejutkan dengan segerombolan babun yang memanjat mobil. “Don’t give some food!” ujar Saleem setengah teriak. Karena bila memberi makan, maka kami akan dikeroyok gerombolan babun. Setelah melewati kerumunan babun, Saleem menghentikan mobilnya, dan meminta saya turun.
Ia menunjuk ke arah laut, karena seekor ikan paus besar sedang berenang sambil memuncratkan air. “Di daerah False Bay ini, pada bulan Oktober banyak paus yang menampakkan diri, tapi sekarang paling satu dua saja,” Saleem menjelaskan. Tempat itu juga dikenal sebagai daerah Vasco da Gama yang kapalnya karam pada 1497.
Di kawasan Table Mountain National Park, pemandangan menuju Cape Point paling ujung benua Afrika itu mengundang decak kagum. Setelah melalui Plateau Road dan Cape Point Road, sampailah kami di palataran parkir yang nyaman. Untuk menuju puncak, pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih satu jam. Tapi yang tak mampu, disediakan kereta tarik dengan biaya 60 rand atau setara dengan US$ 5.
Di puncak Cape Point, kita bisa menyaksikan pertemuan Samudra Atlantik dan Hindia. Di situ pula terletak jarak ke semua kota-kota besar, misalnya dari The Cape of Good Hope ke Singapura jaraknya 9.967 kilometer. Dengan berdoa di puncak dan paling ujung benua Afrika itu, konon, semua harapan kita bisa terpenuhi.
Karena itu, tempat ini dinamai The Cape of Good Hope alias Tanjung Harapan. Jangan lupa beli satu botol kecil air laut yang berisi air dua samudra: Atlantik dan Hindia. Di sana juga ada bangunan menara suar setinggi 240 meter, dibuat pada abad XVI, yang penerangannya menggunakan 2.000 lilin.
Dari Cape itu, kami pulang, perjalanan tidak melewati jalan semula, yaitu M4, melainkan berbelok ke M6 atau melewati jalan yang cukup mengasikkan, yakni Chapman Peak Drive atau M6. Sepanjang perjalanan cukup mengundang jantung berdegup, di sisi kanan bukit batu yang menjulang. Di sisi kiri jurang karang yang terjal. Tapi jangan khawatir, semua ruas jalannya mulus, menyusuri tepian laut Atlantik menuju Hout Bay.
Hout Bay merupakan kawasan perumahan elite. Banyak orang kaya Eropa dan Amerika membeli perumahan di kawasan Hout Bay. Di Hout Bay terdapat restoran seafood bergaya Inggris dan Portugis. Salah satu restoran yang disesaki pengunjung adalah Fish on the Rock. Menu yang tersedia menggunakan bahan cumi-cumi, udang, ikan, dan kentang goreng. Harganya tidak terlalu mahal, cuma 80 rand atau sekitar Rp 110.000.
Usai menikmati makan makanan laut, saya diajak untuk menyaksikan gerombolan anjing laut (seal) di Seal Island dengan menggunakan boat. Pelayaran menuju Seal Island membutuhkan waktu 30 menit. Sesuai dengan namanya, pulau berbatu yang terletak di laut Atlantik ini dihuni oleh ribuan anjing laut.
***
Selain keindahan laut, alam pegunungan yang indah juga menjanjikan untuk dikunjungi. Hamparan perkebunan anggur bertebaran di kaki-kaki bukit, demikian pula dengan stroberi dan ceri. Selain hasil tambang seperti emas dan berlian, andalan ekspor Afrika Selatan adalah wine hasil pusat perkebunan anggur di Cape Town.
Stellenbosch merupakan jantung dari industri wine di Afrika Selatan. Jaraknya sekitar 15 kilometar dari makam Syeikh Yusuf. Tempat itu merupakan perpaduan alam yang indah dan budaya Afrika Selatan. Banyak bangunan indah dengan gaya arsitektur Belanda, Georgia, dan Victoria modern.
Sepanjang jalan berdiri pohon oak, yang membuat suasana begitu indah lantaran pohon itu menghadap tembok-tembok putih gedung tua. Pohon ini, pada musim panas, menyerap hawa panas serta menaungi jalanan. Distrik Stellenbosch terletak di tepian Sungai Eerste di daerah lembah Jonkershoek inilah lahan anggur terbesar di Afrika Selatan.
“Jangan lupa mencicipi wine dari tempatnya tumbuh, sangat nikmat,” kata Saleem sambil tersenyum. Di Stellenbosch terdapat lebih dari 300 perusahaan pembuat wine berbagai macam merek. Semuanya terbuka untuk turis. Menikmati segelas wine segar di alam terbuka yang penuh dengan hamparan kebun anggur merupakan kenikmatan sendiri.
Kendati Stellenbosch terlihat tidak begitu sibuk, karena dipenuhi kebun anggur dan stroberi dan ceri, di distrik itu terdapat Universitas Stellenbosch. Perguruan tinggi yang didirikan pada 1866 itu merupakan universitas tertua di Afrika Selatan. Semasa pemerintahan apartheid, mereka hanya menerima mahasiswa kulit putih. Tapi kini keturunan Indonesia dan kulit hitam berbaur belajar di kampus yang kini jumlah mahasiswanya 18.000 orang itu.
Di daerah itu pula terdapat kegiatan outdoor seperti sepeda gunung, juga terdapat lapangan golf. Di Stellenbosch saja terdapat enam padang golf, karena olahraga golf sangat populer di Afrika Selatan. Dari negara inilah muncul pe-golf profesional tingkat dunia seperti Gary Player, Ernie Els, Rori Sabbatini, dan Imelman.
Sebagai amatir yang telah menyandang handicap 12, saya tertantang juga mencoba lapangan golf di Stellenbosch. Menariknya, bunker yang ada cukup dalam pasirnya sehingga mengunakan club sand kadang bola sulit terangkat ke green. Tapi kendati demikian, bagi yang punya gelar handicap 12 cukup puas kalau berhasil menyelesaikan 18 hole memperoleh 7 hole par, walaupun selebihnya double boogie.
Bagi pemusik, jangan kecewa. Di Stellenbosch, ada sekolah musik yang tertua. Juga melakukan festival musik klasik setiap tahun. Para pemusik klasik dari berbagai dataran dunia setahun sekali kumpul di Stellenbocsh. Sambil bermusik ria, diadakan festival wine pada bulan Oktober. Para pengunjung bebas mencicipi ratusan jenis wine.
***
Cape Town di musim panas di bulan Desember dipadati turis mancanegara, terutama dari Eropa. Di sebuah cafe di Water Front, bisa menikmati life musik yang mengalun indah. Aktivitas malam di Water Front sungguh bergairah. Sejumlah pemusik ternama dari Cape Town tampil di Water Front. Hiburan musik ini gratis bagi pengunjung.
Di situ berbagai hiburan malam tersedia, sebab Water Front adalah campuran kosmopolitan antara budaya, bisnis, industri, hiburan, sejarah, dan inovasi. Selain sebagai tempat hiburan malam, juga terdapat tempat konferensi tingkat dunia, restoran, dan akomodasi hotel berbintang lima.
Di kawasan patung Nelson Mandela dan Desmon Tutu serta De Kleer, terdapat akuarium dua benua. Beberapa jenis ikan hiu yang putih dan hitam, serta ratusan jenis ikan dari dua samudra, dapat disaksikan di akuarium dua benua itu. Di depan pintu masuk terdapat sebuah showroom hasil kerajinan tangan Afrika yang cukup menarik. Semua menggoda untuk dimiliki.
Sebagai kota internasional, Cape Town juga dilengkapi dengan kasino. Letaknya terpisah dengan Water Front. Pusat judi yang yang baru dibangun dua tahun itu tidak kalah megahnya dibandingkan dengan Macao. Terlambatnya pembangunan pusat perjudian itu karena ditentang keras oleh komunitas muslim di Cape Town. Maklum, di Cape Town bertebaran masjid yang jumlahnya mencapai 200 bangunan.
Kini, pembangunan Cape Town berlomba dengan beberapa kota lainnya, seperti Pretoria, Johannesburg, Sun City, Durban, Pietersburg, yang akan mejadi tuan rumah Piala Dunia 2010. Stadion yang semula kecil dirombak total untuk dapat menampung 100.000 penonton yang terletak di Greenpoint. Bandara internasional Cape Town dipercantik.
Sebagai orang Indonesia, tidak lengkap rasanya kalau tidak mengunjungi kawasan Boo Kaap. Orang menyebutnya Kampoeng Malay. Di sinilah Jan van Boegis mendirikan masjid pada tahun 1808. Juga terdapat makam Tuan Guru dari Tidore. Disebut unik, karena budaya Melayu-nya sangat kental.
Berbelanja menjadi kegiatan yang mengasyikkan di kota ini. Sebagaimana di Eropa, pusat perbelanjaan di mal-mal besar juga tersedia di sini. Dari daerah Boo Kaap, yang memiliki kantong tebal juga bisa membeli permata berlian yang bertebaran di berbagai tempat di Cape Town.
Tapi pusat penjualan berlian yang cukup besar ada di Long Street. Dari ukuran karat yang terkecil hingga yang terbesar tersedia. Kualitas pemotongan cukup memuaskan, sehingga menghasilkan berlian jernih yang berkualitas. Harganya dari US$ 100 hingga puluhan ribu dolar. Sedangkan untuk membeli berlian yang harganya agak miring bisa memilih tempat di Canal Walk, St. George, yang memajang barang lokal dan berbagai merek terkenal mancanegara.
Satu lagi tempat menarik yang berlokasi tak jauh dari Cape Town, yakni Robben Island. Di pulau ini terdapat bangunan penjara legendaris tempat Nelson Mandela dijebloskan selama 27 tahun. Di sini pula sejumlah pejuang Indonesia pernah ditahan oleh pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, seorang pejuang muslim dari Madura meninggal di dalam sel tahanan penjara itu. Kini Robben Island menjadi cagar budaya yang dilindungi Unesco. []
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Perjalanan, Gatra, Nomor 9. Kamis, 10 Januari 2008.