Tag Archives: deadline

Doa yang Berkelok ke Timur # 2

Oleh Adhy Rical

Siang itu, tanggal 25 Juli 2005, kau jelas sekali mendengar semua amarahku di ruang rias. Sebenarnya bukan padamu amarah itu. Aku hanya marah pada keadaan. Kenapa keteledoran masih ada dalam tim. Bukankah kau tahu, semenit pun tak boleh ada kata terlambat di sini? Kami telah sepakat sejak lama bahwa sebuah keberhasilan -paling tidak melawan dalam diri- adalah tidak terlambat waktu.

Persoalan sepele sebenarnya tapi mug bercorak hijau yang sudah kami siapkan dari Kendari tak sempat terbawa. Pentas dua jam lagi dimulai. Ini yang pertama membawa tim dengan jumlah yang besar dan pertama pentas di Jakarta. Kami merasa makin kecil di sini. Tentu sangat mendebarkan bukan?

“Dhy, kami sudah cari di pasar Minggu. Benda itu tidak ada. Gimana dong?”
Yaa bagaimana lagi. Benda itu wajib. Judulnya aja Mug, kok ga bisa dapat?”

Tak lama Ahid menelpon lagi. “Dhy, ada solusi gak? Mungkin bisa ganti dengan benda lain?”

“Ada. Nanti aku yang cari!”

Sepertinya, emosi siang itu cukup panas.

“Cari gimana maksudnya? Kamu kan sutradara, gimana ada waktu nyarinya?”
“Tenang saja. Selalu ada waktu yang baik jika kita tenang.”

Aku membayangkan masalah besar di sana. Kalian pasti mengoceh atau mengumpat padaku. Situasi memang tak pantas. Benar-benar tak pantas. Begitulah waktu selalu baik ketika tenang. Bukan secara kebetulan kalau saat itu aku lebih mengandalkan Udin, kawan dari Kendari yang baru tiga bulan di Jakarta kumintai untuk mencari mug. Ia berhasil.

Ada peristiwa yang membahagiakan selain pertunjukan itu.

Pertama, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan lomba mengakhiri cerita tingkat remaja. Sesuatu yang tak terbayangkan bagi kami sebab salah satu peserta dari timku berhasil memperoleh juara 1. “Saya suka Eva dalam menjalin kisah seperti itu, Dhy”, kata Ratna Sarumpaet. Ya ya. Terima kasih telah memilih Eva. Ia perempuan yang berbeda dari yang lain, kelakarku sedikit promosi. Hahahay.

Kedua, setelah Mug-Mug tampil, Slamet Gundono meminta kami untuk berkolaborasi. Wayang Suket yang menarik dengan lakon Gatot Kaca. Wuih! Tambah seru. Ini pengalaman berharga bisa bermain bersama “raksasa” dari Solo. Tentu saja TIM saat itu makin ramai dan riuh dengan dialek yang berbeda. Sesekali mas Slamet celetuk ala Kendari Mug dan TAM pun membalasnya ala Solo.

Doa yang Berkelok ke Timur. Ini judul kedua dari catatan yang kutulis. Katakanlah doa yang tak sampai atau belum sampai tapi kutujukan padamu. Beberapa kali pembicaraanku berkelok-kelok tapi belum menemuimu. Aku selalu berdebar menyebut namamu sebab percakapan sederhana kita lalu menginap tiga hari di tempatmu adalah sesuatu yang lain. Kangen? Iya barangkali.

“Kang, boleh tanya?”

Ini pertanyaan awal yang tak pernah aku lupa ketika kau mengajak bermalam di Horison.

“Bukan mug lagi kan? Haha…” Tawa yang ringan. Kukira itulah jawaban paling akrab dan dalam. Kami sebenarnya pernah bertemu di Kendari. Ketika itu ia ke Raha tapi aku tak sampai Raha.

Kok, Kaki Langit, Horison edisi lalu itu memuat lagu Iwan Fals utuh dan diulas sebagai sajak yang bagus sih? Itukan jiplakan!”

“Mungkin editornya penggemar lagu dangdut, Dhy.” Jawaban kelakar itu sudah cukup bagiku. Aku tak perlu bertanya lagi sebab sudah jelas. Tidak semua sajak dan lirik lagu itu dikuasai oleh editor kan?

“Tapi Iwan kan tak sama dengan….”

“Ini yang kedua, Dhy. Kayaknya kita diskusi di rumah saja. Sambil main badminton. Mau?”

Haha… boleh! Sudah lama tak berkeringat dengan badminton.”

***

Horison.

Memasuki ruang tengah, ada banyak foto terpampang. Kukira tak perlu kusebutkan siapa saja foto yang ada di situ. Aku merasakan damai. Ya. Sesuatu yang berbeda. Mungkin karena saat itu tak ada rapat redaksi atau pertemuan lain yang sifatnya urgen maka kesunyian itu menjadi keberuntungan tersendiri buat kami. Hemm… Aku langsung menuju lantai paling atas sebab katamu ruangan di sana paling cocok untuk kami. Pas untuk latihan. Lumayan, ruangnya cukup luas dengan beberapa jemuran di sekitar tembok.

Mulailah kau bercerita lebar tentang kesibukan awak Horison jelang deadline sampai motif cover yang pertama kali kubilang monoton. Tentu saja itu yang pertama kubilang sebab pengalaman kerja sebagai layouter di koran lokal cukuplah alasan untuk menolak. Apakah cover itu sebuah pencitraan atau hal lain? Diskusi malam hingga larut itu menarik sekali. Malam itu pula kali pertama melihatmu memakai sarung setelah beberapa hari sebelumnya, penampilanmu kebapakan dengan motif kemeja abu-abu lengan panjang dan celana kain jatuh abu-abu tua. Bukankah aku mengetahui semua jenis kain karena bekerja lima belas tahun sebagai desainer tekstil orangtuaku?

Mendadak kau mengeluh sakit ketika kita bermain badminton. “Dhy, udah dulu ya!” Cuma itu katamu. Tak ada bicara lagi lalu masuk kamar menyendiri.

Sayang sekali kita harus berpisah. Terlalu banyak hal yang kami dapatkan darimu tapi kami harus berangkat ke Yogyakarta. Tampil di Teater Garasi pada tanggal 28 Juli 2005.

“Hubungi kalau sudah sampai Jogja ya, Dhy. Tentu saja, kabar dari Kendari kutunggu selalu.”

“Siap, Kang!”

Sebuah sms dari Ahid masuk pada tanggal 23 November 2009, “Dhy, Akang berpulang ke rahmatullah.”

Aku hanya diam lalu menulis puisi pendek: Tuhan Mencintaimu. Sajak ini termuat dalam antologi puisi “Berjalan ke Utara”.

[]

Kendari, 2005-2010