Tag Archives: hari

Satu Hari Ku Hidup Untukmu

Oleh : Julia Napitupulu

Setelah 5 hari ‘mati suri’, belum pernah tekadku begitu kuat untuk hidup dengan sikap seolah-olah besok aku mati…jadi, hari ini sangat berharga.

Kupegang lengannya lembut: “Mau makan apa..?”

“Terserah…yang kau suka…” jawabmu termangu.

“Ya jangan dong…kan aku yang mau traktir…pengen apa?” desakku (duh, besok aku tak hidup lagi…katakan, mau makan apa?? Apa pun…aku siap..maksudku, perutku siap, dompet lumayan siap..)

“Yah..ga usah yang mahal-mahal lah, kasian duitmu abis nanti…”

Aduh, aku terharu banget…Rasanya ada magma yang siap meledak dari pusat jantungku. Melebur dengan mata air yang sudah menggantung sejak tadi di pelupuk mataku. Kok masih sempet-sempetnya kau mikirin aku…kan aku udah kerja, udah bisa lah kalau traktir-traktir makan aja.

Sebenarnya acara makan-makan ini juga sesuatu yang ‘ditularkan’ dari mu. Kuingat dirimu dulu…selalu menutup hari yang ‘berat’ dengan makanan terbaik, meski tidak harus dari restoran terbaik. Kau memperlakukan acara makan bersama layaknya seorang Ibu yang menjamu putranya yang kembali dari medan perang. Sehabis berselisih, makan bersama. Kelar kerja bakti seharian, makan bersama. Sehabis bertangis-tangisan, makan bersama. Untuk mu makan bersama, seperti berpelukan di momentum terpenting, di mana setiap orang akan mengenang masing-masing seperti saat mereka sedang berpelukan damai.

“Dulu kan suka gado-gado? Atau gudeg? Inget gudeg yang di Benhil…manis kan? Aku juga ga suka…kalau yang ini kayak yang di pramuka…gurih, asin, selera kita banget deh…” desakku penuh harap, sambil kucari gairah berpelisir makanan itu di matanya.

Tapi entah kapan sudah menguap rupanya excitement itu. Matanya bertemu dengan mataku…mengerti bahwa aku ingin membahagiakannya, seolah-olah besok aku beneran bakal mati. Tuturku dalam hati, ”aku menyesal, saat kau masih doyan banget makan di luar, aku jarang traktir makan…malah suka kelayapan.”

Kau mampu ‘membaca’ tutur hatiku, hanya lewat tatapan sesal mataku. Lalu senyummu hadir, dikembangkan semata-mata untuk membesarkan hatiku…“Saya pengen (pizza) aja…” Tuturmu dengan lafal yang udah agak kacau karena darah keparat itu membuat ‘sumbatan’ kecil lagi untuk yang kesekian kalinya di otakmu.

Aku tak mampu menangkap kata ‘pizza’ yang kau sebutkan, karena pengucapanmu yang sudah tak jelas. Setengah mati aku berpikir keras, agar tak perlu menyinggung harga dirimu. Mataku jelalatan memelototi deretan restoran yang kau maksud. Apa sih katanya…bihaaa??? Bisaa…??

“Ooooo PIZZAAAAA ya…?” kejarku nyaris teriak. Ujung matamu yang turun seperti ujung mataku yang turun mengedip gembira. Kegembiraan yang sedikit direkayasa, yang ku tahu hanya untuk membesarkan hatiku. Tapi aku ga peduli, karena aku sudah ambil sikap seolah-olah ini hari terakhirku. Jangankan Pizza, Menara Pisa sekali pun kalau perlu kuboyong ke hadapanmu sekarang.

Lalu kita menaiki tangga itu, dan betapa bangganya aku…tubuhmu yang memang tak terbilang tinggi namun selalu terasa menjulang itu, sudah agak membungkuk, bahkan kakimu mengkerut. Tapi otot-otot dilenganmu selalu berdenyut gagah. Tanganmu bersih tapi besar jari-jarinya, layaknya tangan lelaki. Selalu membuatku aman.

Interupsi datang dari empat orang pria yang dengan gaya melecehkan seolah-olah aku ini bukan manusia, terang-terangan melirik kakiku yang telanjang penuh gairah. Yang satu wajahnya ganteng banget, satu kayak kurang umur, dua lagi ancur jijay(ihh…masi inget lhoh gw!!). Menangkap basah ‘teman sejati’nya dilecehkan, rahangmu yang maskulin langsung mengeras…dan balas menatap mereka dengan garang. “APAA LIAT-LiAT?”

Whuih…power seorang marinir sejati. Sesaat, tiba-tiba dampak stroke-mu seperti tak punya kuasa. Adduhhhhhh, dalam hatiku, sudahlah, mubazir sekali kalau tekanan darahmu sampai bergolak lagi hanya karena empat mahkluk ga penting yang nepsong karena ngeliat betis perempuan. Tapi meskipun peristiwa heorik ini sudah ga ke-itung berkali-kali kualami, mau ga mau dadaku tetap tergetar juga…

Wouwww…moment of truth…I’m saved again by my Hero.

Tiba-tiba…tubuhmu seperti tegak dan menaungi tubuhku yang jauh lebih sehat. Pemuda-pemuda malang itu pun mengkerut, kayak cacing tanah disiram air mendidih. Tadinya aku mau berkata padamu, “sudahlah…ga perlu ribut karena hal-hal sepele…ga worth it”, tapi berhubung besok aku mati, aku memutuskan untuk mengakuimu sebagai pahlawanku, the only one hero.

“Makasi ya…keparat-keparat pengecut itu mengkeret semua cuman karena digituin aja…” Kau cuma menanggapi dengan mengangkat dagumu dengan anggun bak bangsawan…dadaku sesak, dan membatin—aduhh, siapa lagi yang bakal membelaku nanti..?? 

 

In my childhood, I cant think of any other need as strong as the need for your protection…

Lalu kita pun duduk, muka bertemu muka, masing-masing tahu, bukan acara makan bersama ini yang menjadi agenda utama. Aku memberanikan diri mengangkat wajahku dan menatap langsung ke matanya…sedetik, dua detik. Fenomena ‘flashback’ itu terjadi lagi. Kita memang seperti cermin ya…

Semua orang bilang begitu. Masing-masing kita pun meyakini begitu, dari dulu. Bedanya, dulu dua cermin ini kerap saling menyilaukan dan memantulkan sinar mematikan ke sesamanya. Sekarang tidak, kini dua cermin ini bekerja dengan seharusnya. Menjawab sebelum yang satunya bertanya, menangis sebelum yang satunya mengadu. Mengangguk paham sebelum yang satunya berujar.

Gemetar tanganmu mengambil kertas dan pulpen. Keringatmu menetes untuk memerintahkan jemari-jemarimu agar patuh kepada instruksi dari otak. (dasar stroke keparat!!! kalau kamu manusia, sudah habis kau kuinjak-injak!!)

Tulisanmu untukku sungguh-sungguh menjadi pondasi untuk ku melanjutkan perjalanan hidupku selanjutnya…dan entah mengapa, detik itu aku tahu, bahwa secarik kertas itu adalah pemberianmu yang terakhir. Mungkin ini yang namanya bisikan jiwa. “Sayangku…saya tidak tahu apa yang mau kita bicarakan…(isakku dalam hati saat membaca kalimat pertamamu…bahkan kau pun tahu ya, kita ke sini emang bukan mau makan).

Lalu mataku menelusuri tulisan indah yang kentara ditulis oleh tangan yang gemetar. Tangan maskulin tercinta yang sudah ga nyambung antara mata dan tangan, kubaca hampir tanpa bernapas; but I do love you…You sphere the air of our home…like a sun in my heart, shining all the time…be shining wherever U are…i love you so much, my Sunshine…”dan bait-bait berikutnya mengabur karena tetes di pelupukku.

Sempurna

Bila benar ku mati besok, kematianku akan sempurna. Karena di hari terakhirku, aku mendengar pernyataan yang paling jujur dari jiwa…betapa indah maknaku bagimu.

Jadi aku mataharimu ya? Karena itukah kau betah berjam-jam bicara denganku, meski hari sudah gelap? Karena itukah kau betah berdansa bernyanyi lama-lama denganku, meski pesta sudah lama usai? Karena bersama ‘matahari’, hari selalu saja terasa seperti baru dimulai.

Tak tahan dengan keterharuan yang sangat, setengah melompat aku membenamkan kepalaku di dadamu yang aman, dan merasakan tanganmu membelai rambutku, tapi kali itu bukan Kau Pa, yang bicara seperti biasa. Mungkin bibirmu terlalu letih, aku tersedu meratap…“aku sayang Papa…cinta sekali…sayaaannngggg sekaliii. Trima kasih sudah memaknaiku sebagai Mataharimu. Aku tak kan mati suri lagi…doakan ku untuk menemukan Matahariku…dan juga memanggilnya SunShine ku ya Pa…”

Kurekam semua detil di hari itu, Pa. Setiap tarikan nafas, setiap tatapan mata, setiap sentuhan, setiap kata, yang terucap…dan yang tak sanggup terucap. Kurekam dan kuabadikan di jiwa…seperti Papa mengabadikan aku di jiwa mu…

Satu hari…dimana ku sungguh benar-benar hidup, hanya untukmu…

Jakarta, Sabtu, 25 Juni 2010, 02.20 Wib

Penuh bangga, haru & cinta, mengenang Dia, 8 tahun yang silam..

[]

Julia Napitupulu

Lahir di Jakarta, 8 April 1974. Ibu dari Willi (putra, 7 tahun), dan Abel (putri, 6 tahun). Misi terbesarnya adalah menjadi pengajar. Setelah resign sebagai pelatih (psychology) di HR Consultant, Julia kini aktif bekerja sebagai pelatih di bidang Soft Competence dan Assessor Recruiting & Assesment karyawan, serta Konselor tes minat-bakat anak. Julia juga punya bejubel aktivitas, yakni Singing Pianist, Presenter Radio, MC. Menulis baginya adalah bentuk theraphy baginya untuk bisa melihat lebih jernih, dunia di luar dan dalam dirinya. Sebagai trainer, Julia kerap menggunakan metode menulis dalam proses kepelatihan; dalam bentuk studi kasus, kuis, skrip roleplay.


Malam Tidak Sedang Menangis, Dik…

Oleh Afrilia Utami

Adikku…

bayang gulita masih meredup tak menyisakan

menanti hari-hari diburu mati dinisankan sepi

laku elegi bluri yang hilang lagu

kini hanya kaku membisu bak hilang suara merdu

Lihatlah, sayang…

Purnama itu hilang setengah layang

Langit sana terlalu hitam menajam dan legam

Hanya selimut malam yang kian surut

Dingin dalam raut yang semakin larut…

Dengan bekas-bekas nikotin berkata pelan

Jangan menangis, manis

airmatamu tak mengenal tandus menghumus

kedua matamu masih menghijau dan memukau

sejumlah mendung, tak terbendung

yang mungkin tutupi, setengah serak

jingga dan biru pada gordin kelabu

kau jadikan irama berbisik terbang bahkan menyelam

di meja malammalam yang bermalam pada malam

maka,

cepatlah tertidur…

terpejamlah…

sebelum malam berikutnya menceritakan malam-malam lainnya.

20 Agustus 2010

[]


Opini: Mencairkan Beku Hati di Hari Mandela I

Oleh Iwan Piliang

Ada 18 Juli 2010 ini ditetapkan sebagai Hari Nelson Mendela I. Panitianya mengajak warga dunia untuk 67 menit saja minimal, berbuat bagi mereka tertindas, bagi mereka miskin, bagi mereka papa. Data BPS menyebutkan 32 juta orang Indonesia miskin. PBB bilang masih lebih 50% penduduk kita miskin – – jika acuan pendapatan minimal US $ 2 per hari. Saya berusaha belajar rendah hati dan, siapa tahu Anda, mencoba pula berkaca membeningkan hati: jernih bertutur jujur, demi berbuat bagi meningkatnya mutu peradaban.

ANAK saya yang kedua, ketika masih di usia 3 tahun – – kini delapan tahun – – suka menyanyikan lagu yang acap didendangkan Ustad Aa Gim, ”Jagalah hati jangan kau nodai, dan seterusnya.” Sayangnya sang ustad itu kini seakan tenggelam karena menikah lagi. Kini Aa lebih banyak ditanggap berceramah di Singapura, Malaysia, Filipina.

Kita di Indonesia, belum ”sehebat” Argentina, membuka diri mampu bijak bestari. Masyarakat Argentina memisahkan urusan pribadi dengan kodrat hati memimpin kehidupan. Kita belum semenerima bagaikan Argentina menghargai Carlos Menem, membungkus ranah pribadi, lalu mengedepankan prestasi diri.

Sebaliknya justeru prestasi kita di tahun ini paling sakti. Tak ada duanya di muka jagad kini. Prestasi itu menularkan penyakit latah ke media besar dunia mengabarkan aib pribadi.

Di negara besar – – AS dan Inggris – – nan terlanjur latah memberitakan aib video porno Ariel, film porno bahkan dibuat dengan tata pencahayaan prima; artis bohai, bahkan lengkap adegan, maaf, hingga burung terkulai. Negaranya santai-santai.

Kita, media di Indonesia, tak peduli lagi berapa devisa yang telah dicetak Ariel, Peterpan, dari segenap albumnya nan laris manis di Malaysia, Singapura, hingga Suriname, Belanda. Semua seakan tiada, sama seakan lenyapnya segenap kebaikan yang pernah disiarkan Ustad Aa Gim

Dalam kerangka inilah saya melihat bahwa bangsa Indonesia kini berpenyakit hati: dari kena virus busuk, memang sudah busuk, hingga membeku hati.

Apatah pula, macam kalimat saya menganjurkan negara mengirim grup band potensial pergi sembilan bulan belajar bahasa Inggris ke Inggris. Agar mereka bertutur bercengkok native Inggris, lalu membuat album barat, berpeluang besar meraih devisa. Sebuah ide yang akan ditertawakan saja. Bisa saja dianggap gila.

Tak banyak pihak mafhum, bahwa Argentina, devisa keduanya datang dari Polo; mulai dari ekspor kuda polo, piranti olah raga polo, hingga mengekspor tenaga pengajar pelatih Polo. Pelatih Nusantara Polo-nya Prabowo Subianto, di Jagorawi, Bogor, Jawa Barat, Indonesia, juga berasal dari Argentina.

Hal ini saya tuliskan, sebagai contoh tabiat pikir, jika kita membuka hati, tidak macam kodok dalam batok, kunci otak mengalirkan isi cemerlang bahwa banyak sisi lain, khususnya ranah positif, membawa kehidupan terang benderang.

KETIKApertama menjadi jurnalis yunior pada medio 1980-an, lagak saya luar biasa. Luar biasa angkuhnya.

Jika saya ingat kini, bah, sok kali!

Bayangkan sebagai reporter di kelompok media Tempo, saya dengan mudah berjumpa pejabat, bertemu direksi papan atas perusahaan besar. Alamnya kala itu, acap ketemu pula sumber berita nan ongeh – – setingkat di atas congkak – – ikut pula mewarnai ketinggi-hatian diri sebagai reporter.

Kala itu acap saya bertemu pejabat didampingi ajudan, map, buku, data, dan tas lain lagi ajudan yang membawakan. Kini setelah tak menjadi wartawan di media mainstream, corak langgam demikain tidak kian punah. Bahakn ketika ke Papua, ada oknum Bupati di sana yang lakunya bak raja di raja.

Laku pasukan pengawal presiden, yang menggebrak kap mobil, mengancam, bukan terjadi kali ini. Sejak di era Soeharto juga acap nian. Tapi dulu mana ada yang berani memuat menuliskan?

Poin saya, kejadian demikian, sesungguhnya, titik utamanya di urusan permasalahan hati. Hati yang tak kunjung rendah. Hati yang kotor. Hati yang kian meninggi bahkan masih ingin tinggi lagi menggapai langit tinggi-tinggi.

Padahal jazirah alam dari sananya di ketinggian langit berhawa minus derajat. Maka tak heran, bila Anda di sana pasti bekulah hatinya.

Bila hati sudah beku, maka data kemiskinan pun bisa dibulak-balikkan. Membuat UU pun bisa-bisa TERTEGA di dunia, misal dalam penggelapan pajak, UU yang dibuat DPR, bunyinya boleh diselesaikan dengan cara di luar pengadilan dengan membayar denda MAKSIMUM 400% dari pajak yang dihasilkan. Ini salah sastu contoh saja produk yang dihasilkan dari kebekuan hati.

Urusan tertega di jagad ini, juga tampak misalnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sudah jelas indikasi bobol Rp 1.300 triliun di Transfer Pricing, maka seksi yang menangani 5 orang saja dari 32.000 jumlah karyawan. Dan lantas jika uang pembangunan kurang, karena hati beku, yang kemudian tampaknya hanya menaikkan harga gas, BBM, listrik dan kemudian semua harga melambung. Jalan tol, tanpa pengembangan jalan alternatif pun, ikut-ikutan naik. Kita seakan hidup di negara berbekuan hati.

Begitulah bila segala kebijakan diambil oleh insan berhati beku.

Hati beku tidak menggerakkan otak mengalirkan pikiran kreatif, apalagi terobosan jitu. Maka tantangan ke depan carilah pemimpin yang tidak beku hatinya. Sebab yang kemudian kental ada di pasaran adalah gaya pemimpin bak kodok di dalam batok.

MAKA ketika saya di awal 2000-an berjumpa dengan sosok jurnalis senior AS di Jakarta, Bill Kovach, yang menuliskan buku The Element of Journalism, secara nyata ia tegaskan, bahwa kunci utama verifikasi, adalah kerendahan hati.

Dan setelah aktif terus menulis, mencoba mengedepankan hati, termasuk membasuh kisi-kisi hati yang kotor karena congkak dulu, saya menemukan jawaban bahwa: memang tak perlu tinggi hati, apalagi kian meninggi, toh di cakrawala sana, di ketinggian 10.000 kaki, misalnya, beku nyatalah hati Anda.

Dan, jika kehidupan di Indonesia kita bukan kian enak rasanya, tak perlu lagi saya jabarkan karena ulah apa?

Sehingga jika di teve Anda menyimak berita rakyat miskin dibagikan beras dan mie instan, itulah fakta nyata, betapa bekunya hati yang membuat program.

Beras karbohidrat. Mie instan isinya? Dua bungkus saja dimakan, tanpa asupan makanan bergizi lain, saya jamin yang memakan pada sulit buang air besar. Bahkan kakek-nenek, bisa-bisa mengeluarkan darah duburnya.

Tak ada bantuan ke orang miskin membagikan pisang, buah segar, apalagi susu segar. Semuanya sudah terjangkit beku hati, otak dan nalar menjadi seragam: bantuan, ya, beras, ya, mie instan.

Itulah hasil kebekuan hati yang terkadang datang menyerang secara instan!

Karenanya di hari ini, di mana panitia Hari Nelson Mandela yang jatuh hari ini, saya meneruskan ajakan, 67 menit saja Anda berbuat bagi kemiskinan. Dan jika Anda enggan mengeluarkan uang bantuan – – dalam pengelaman saya di lapangan kini, kuat dugaan makin kaya seseorang makin pelit dan kian berhitung mengeluarkan uang – – cukup 6,7 detik saja tafakur.

Bertanyalah ke lubuk hati yang dalam: apakah hati saya sudah latah kena penyakit beku hati?

Anda sendirilah menjawabnya! Siapa tahu hari ini Anda mampu mencairkan kebekuan hati. Dan jika berhasil, saya yakin besok, jika Anda pejabat, akan lain lagak-langgamnya, juga kebijakannya. Dan jika tetap sama, maka, bukan saja beku, tapi Anda telah mati hati! ***

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com


Tiga Hari

Oleh Adhy Rical

tiga hari lalu,
kau bersumpah akan menemani seekor buaya
menaiki punggung dan menghitung gigi depannya
mungkin lorong air selanjutnya, kau mengajak petugas hutan
menunggu timbangan yang entah berapa

tiga hari sebelumnya,
kita nyaris berdekap
menyusuri sungai
bau tubuhmu tiba-tiba meluap
rasanya lucu melihat keringatku jatuh di mulutmu
membayangkan kematian dengan tubuh telanjang
lebih jenjang sebab gairah tak bisa usang

kemarin,
aku selalu membayangkan maut
mengapa ia tak menjemput?
mungkin biaya kontrakan tak perlu kuributkan
sekadar belajar korup pada keadaan
bukankah pekarangan hatimu lebih berbunga
ketika tak bisa membisikkan kata-kata indah?

baiklah,
kau boleh mencopot kemunafikanku
sebab mengejar reptil itu lebih penting
daripada mengejar rindumu
atau kau boleh bermain dengan sepi
yang diam-diam mencubit pakaian dalammu:
aku bugil berkata-kata

hari ini,
aku masih terbata-bata
tak ada bahasa ucap yang masuk akal
hanya menyusun rencana sederhana
mungkin kita tak bisa bertemu
sebab tiga hari masih menganga

Walalindu, 2010

[]


Doa-Doa Manusia Teraniaya ( Lima Sajak )

Oleh Syaiful Alim

Sajak Kesatu: Doa Petani

Tuhan yang Maha Kaya
ini doa terakhir kami yang teraniaya:

Beri kami beras setakar
yang mengenyangkan bermusim-musim lapar.
Kau tahu, kami tak punya sawah lagi
sudah ditanami bangunan-bangunan mewah tanpa hati.

Perut negeri kami latah
lebih gagah mengunyah beras impor
daripada beras sendiri
yang dimasak di kompor dan bau minyak tanah.

Para koruptor mencuri padi dari lumbung kami
lalu ditimbun di lambung-lambung busung mereka
dengan perut hamil lima bulan, entah beratnya berapa.

Kami pupuk tanaman padi
dengan air mata dan keringat
tapi sepi tak kunjung menepi
panen gagal, harga padi dijegal
politik ekonomi yang tak pernah
memihak rakyat.

Kami selalu melarat
Padahal kamilah yang punya sawah, tomat,
gandum, buah-buah berpipi langsat.

Anak-anak kami sekarat
di meja makan, karena menunggu
Ibu masak batu di tungku.

Masa depan kami bagai besi berkarat
hidup tanpa sumur pembasuh peluh
tanpa pohon langit berteduh
tanpa bunga mawar penawar penat.

Tuhan yang Maha Adil
doa kami cuma kecil!

Beri Kami Beras Setakar.

[]

Sajak Kedua: Doa Pelacur

Tuhan,
aku masih fasih menyebutmu ternyata
aku melulu tersisih dari mereka
yang melirikku dengan risih dosa.
Beberapa hari lalu aku ke mushola
sembahyang dan berdoa
tapi tiba-tiba bekas sujudku disiram karena
disangka najis
aku nangis berjalan menuju jalan raya
tanpa busana
tapi tiba-tiba mereka menyeretku
ke sebuah rumah ramah sarang laba-laba

: aku diperkosa.

Mereka bagai anjing
menyantap daging
dengan liur kering
dan lolong nyaring.

: akulah surga sebenarnya.

Tuhan,
Jika mereka kau masukkan surga
aku tidak terima
mereka sudah mengunyah surga
dari tubuhku
sementara aku ditujah neraka
dalam segala gerakku.

“Tuhan, hakikat surga dan neraka itu apa
jika yang saleh dan pendosa tak ada beda
mereka yang mengaku suci ternyata
mengkhayalkanku melucuti pakaianku
satu persatu, dan diam-diam mereka
meniduriku tanpa menyelipkan sehelai
rupiah di bra atau celana dalamku.”

Ah, Tuhan, apakah aku masih boleh meminta?

[]

Sajak Ketiga: Doa Anak Tukang Becak

Tuhan yang Maha Kaya
Bapakku tukang becak
beri ia uang yang banyak
dari keringat yang terbuang
di jalan sepanjang kota.

Tuhan yang Maha Karunia
becak bapakku masuk penjara
karena dituntut undang-undang jalan raya
bapakku tak bisa kerja
ibu butuh biaya belanja
adik sakit malaria
bagaimana?
minjam uang tetangga, malah dihina
minta kepala negara, pasti digertak penjaga istana.

Aku baca kitab suci dan dengar ujar kiai
bahwa Kau Maha Pemberi Rizki
tapi kini tiada bukti
Kau biarkan kami mati.

Oh barangkali aku harus nulis sajak
supaya derit derita sedikit reda
melupa sakit yang sejak lama.

[]

Sajak Keempat: Doa Anak Tukang Bakso

Tuhan
Gerobak bapakku rusak ditabrak mobil
barang jualan berserak di jalan
tulang-tulang bapak retak.

Kini aku jadi tukang bakso
mengganti bapak yang masih loyo
mendorong gerobak dari toko ke toko
dan gang ke gang
tapi tiba-tiba banyak anak geng
yang menggandeng botol dan pisau:

“Ayo beri kami pentol, jika tak, kupukul botol”

Bagaimana aku memberi
baru terjual satu dua mangkuk
lalu mereka ngamuk
menekuk
menusuk
aku ambruk
remuk.

Polisi tiba
kami semua diciduk.

Tuhan!

[]

Sajak Kelima: Hari Buruh, Haru Luruh

Kami berkumpul di lapangan pinggiran kota
aspal mengepul terik matahari
merapal kata, menghapal luka-luka
yang tak henti.

Kami ingat ketika demo
naik bemo depan istana negara
kami dipukuli sekompi polisi
banyak yang mati
dengan perut tak terisi sebiji nasi.

“Sampai kapan kami tidur tanpa dipan
kapan kami bisa hidup mapan”

Cuma itu yang kami teriakkan
sampai serak
berak peluh dan air mata.

Oh, sungguh mahal perihal hidup layak
kami mati dikoyak kehendak.
Oh, sungguh kental bantal ombak
kami mati disentak tombak.

Oh, apakah hari masih mampu menampung pedih
jika kami risih tersisih.
Oh, apakah matahari masih menampang perih
jika suara kami tinggal lirih.

Oh!
Hari Buruh
Haru luruh!

[] Khartoum, Sudan, 2010.