Tag Archives: pricing

Opini: Berpolitik Ala Wartawan Amplop

Oleh Iwan Piliang

Di dalam buku, The Element of Journalism, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, menuliskan salah satu elemen jurnalisme itu adalah: Wartawan diperkenankan mengikuti hati nurani personalnya. Agaknya, karena itulah wartawan harus menjernihkan nurani, membersihkan segenap jelaga hati. Mengharamkan amplop – – baca menerima uang dari sumber berita – – syarat utama. Jika ranah politik insannya menerima gelontoran uang dari pengusaha bermasalah, nurani sang politikus dipastikan kusut, tumpul membela kepentingan rakyat. Inilah langgam berpolitik di Indonesia kini terindikasi nyata!

MENJELANG Kongres Partai Demokrat (PD) pada 21-23 Mei 2010, Billboard berukuran setengah lapangan volley sosok Andi Malarangeng (AM), salah satu calon ketua umum PD berterbaran di titik sentral pandang mata di kawasan kota Bandung. Mulai dari pintu keluar tol Jl. Pasteur, ujung Jl Asia Afrika, dan beberapa ruas jalan lain. Suasana mengingatkan kepada pemilihan presiden.

Ketika awal pekan ini melintas di Bandara Soekarno-Hatta, saya melihat sebuah mobil yang segenap badannya bervisual AM. Billboard; mobil bercorak sosok kandidat; iklan televisi bervariasi ; iklan di Koran; lobby ke segenap media, berapakah biayanya?

Menyimak biaya kampanye seorang calon Gubernur di Kalimantan yang menggunakan jasa perusahaan komunikasi yang juga konon dipakai oleh AM, sang Cagub membelanjakan hingga Rp 150 miliar untuk media. Agaknya di rentang hitungan angka itu pulalah, bisa jadi, AM membeli ruang iklan media.

Dan hal itu sah saja, tentu!

Ada uang, ada kekuatan, mengapa tidak melakukan kampnye jor-joran? Tidak ada yang salah.

Menjadi pertanyaan, dari mana sumber uang tersebut?

Jika sumber uang tersebut berasal dari pengusaha yang terindikasi kelompok usahanya bermasalah dengan pajak, lalu AM kelak katakanlah menang, memimpin partai pemenang pemilu, Anda, Pembaca, bisa menilai sendiri bagaimana keadaan itu.

Langgam demikian ini bukan rahasia lagi sudah terbukti terindikasi tajam menumpulkan banyak kader partai politik yang masuk ke DPR. Mereka seakan sakit gigi bila dituntut berpihak kepada kepentingan publik, rakyat. Sama halnya tumpulnya para jurnalis penerima amplop menuliskan penggelapan melalui transfer pricing kelompok usaha pemilik medianya sendiri.

Karenanya akan sangat naïf, PD sebagai partai pemenang pemilu, jika masih dililit langgam kuno dalam perebutan kekuasaannya. Sebuah partai modern, sedianyalah memiliki basis ke segenap daerah.

Para anggota partai di dearah seyogyanya paham pemimpin yang mengakar di ranah kepartaiannya. Dan di partai yang modern itu, pengurus mulai dari tingkat DPC, DPD, para pemilik suara, tentulah sosok yang tak bisa dibeli dengan uang. Inilah sebuah pertaruhan bagi PD di kongresnya mendatang.

PD partai modern atau kadung uzur sebelum bertambah umur?

PADA penghujung April 2010 lalu, pendukung AM yang juga anggota DPR RI, Komisi I, Ramadhan Pohan kepada media, meminta mundur saja kandidat Caketum PD lainnya, Anas Urbaningrum.

Catatan saya menjadi bertambah, persoalan sumber uang jor-joran membeli ruang media, plus pula kini keangkuhan anggota dewan pendukung yang main perintah. Apakah ini sebuah tabiat baik? Belum lama saya teringat dari ceita sumber DPR. Dalam sebuah rapat fraksi PD, Bung Ramadhan pernah dipersalahkan dalam kasusnya dengan George Junus, soal buku Cikeas. Adalah Anas membela Ramadhan.

Saya pun mencoba membalik-balik catatan. Sosok AM dulu pernah bergabung bersama PDIP, lalu mendirikan partai bersama Riyas Rasyid, lalu meloncat lagi ke PD. Salah? Tidak ada yang salah.

Inilah dunia politik.

Banyak orang bilang bahwa dunia politik itu kotor. Namun jika disadari bahwa misinya bagi kepentingan rakyat, politik itu tak ubahnya jurnalisme, urusan hati juga di sana. Jika berbagai kooptasi dan laku kotor menyelimuti hati para kader partai politik, janganlah berharap misi murni bagi kepentingan rakyat berwujud.

Saya juga mencatat, jika seorang kandidat Ketua Umum Partai terindikasi tak pernah datang ke kantor pusatnya, tak tahu ruang kantor Ketua Umum serkarang ada: apakah layak sang calon berkata sangat mengerti dan paham organisasi yang akan ia pimpin?

Dalam kerangka paparan di ataslah, saya secara pribadi melakukan gerakan Rp 1.000 mendukung Anas Urbaningrum di Facebook, sebagai perlawanan dari luar terhadap politik uang dan politik menjelagakan hati nurani menuju berpolitik santun dan pro rakyat.

Untuk meperbaiki bangsa ini, jurnalisme harus bersih dari amplop, sehingga ia bisa menjadi kekuatan keempat dalam demokrasi. Untuk meperbaiki bangsa ini, di dalam berpolitik, manusianya yang akan menjadi konten trias politika, tidak boleh latah mencontoh laku wartawan amplop. []

Tulisan ini dapat pula dibaca di: http://www.blog-presstalk.com


Sketsa: Merampok Ribuan Triliun Melalui Transfer Pricing Pajak (I)

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Seksi Transfer Pricing di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baru dibentuk pada 2007. Cikal bakalnya, pada 2005 ditemukan 750 PMA, mengaku merugi hari-hari. Di negeri jiran Singapura, ada aturan PMA setelah 5 tahun kudu untung. Boleh jadi pemerintah telmi. Pengadilan Pajak, di lantai 9 , Dhanapala, Depkeu, sepi jurnalis. Pada 2009 saja, Rp 1.300 triliun indikasi transfer pricing, para pelaku perusahaan besar. Ironisnya, negara bangga peroleh Rp 59,5 triliun dari TKI, sebagian besar dari TKW bercitra babu mudah digauli, sebagaimana Sketsa Persatuan Emirat Arab (PEA). Pun, negara berela hati mengisap candu rokok, menargetkan cukai Rp 59 triliun pada 2010 ini. Nun, di balik lain beribu-ribu triliun dana terhormat rakyat lenyap? Gayus, sih, urusan kecap.

HARI-HARI ini, urusan pajak berkibar-kibar. Gayus Tambunan, karyawan golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bisa membeli rumah miliaran, memiliki rekening bank berisi miliaran. Khalayak mafhum, orang pajak demikian, banyak. Adalah Susno Duadji, polisi bintang tiga, mantan Kabareskrim, Polri, mengungkap masalah ini. Berita mencuat hangat. DJP dan polisi dihujat.

Sebelum kasus pajak Gayus membuncah, dua kali sudah, saya hadir di Pengadilan Pajak, di Gedung Dhanapala, Depkeu Latai 9, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada penghujung Februari dan awal Maret 2010.

Keluar dari lift di lantai pengadilan pajak itu, 30-an kursi biru berjejer tersedia di kanan kiri. Di dua kali ke sana, tampak selalu disesaki tamu. Beberapa orang berdasi, satu dua berjas, membawa koper beroda. Tas besar berisi dokumen keuangan perusahaan itu, tampaknya diperlukan nanti di dalam ruang persidangan.

Saya bertanya ke seorang di seksi transfer pricing DJP, mengapa pengadilan pajak itu seakan sepi jurnalis, sepi liputan media?

“Media mungkin lebih tertarik dengan kasus di KPK, juga di pengadilan Tipikor yang meriah itu.”

Tipikor adalah tindak pidana korupsi.

Bukankah di pengadilan tindak pidana korupsi yang diadili urusan ratusan miliar, di sini kasus ribuan triliun?

“Itulah makanya, kami ajak Anda dari media alternatif ke sini,” tutur Simarmata, sebut saja demikian nama staf DJP itu.

Saya melongok ke bagian tengah ruangan di lantai itu. Ada seonggok pedagang koran dan majalah menepi ke dinding bagaikan tukang koran mojok di pinggir jalanan. Di sebelahnya penjual makanan ringan lengkap dengan aneka minuman. Pemandangan ini bagaikan sebuah warung kecil macam di kantin di belakang sebuah perkantoran. Bukan macam di lantai sembilan sebuah gedung. Agak tidak percaya, bahwa di gedung mentereng, berwibawa, berona kaki lima.

Di pojok lain sebuah lemari es berpendingin sesak dengan aneka minuman, mulai Pocari, Coca Cola hingga Teh botol, di jual di sana. Ada juga di meja pedagang beberapa biscuit dan kue kecil. Salah satu merek biskuit dijual di lantai sembilan di pengadilan pajak itu, produsennya, sedang disidang hari itu, entah untuk yang ke berapa kali.

Aneh memang kelakuan produsen makanan terkenal itu. Pendapatan ekspor mereka tak sampai netto 6%. Akan tetapi penjualan lokalnya memberikan keuntungan lebih dari 40%. Kendati pendapatan lokal 40%, ke segenap income itu menggelayut beban biaya seluruh opersional: termasuk biaya selisih kurs, bunga pinjaman di luar negeri, ekspatriat di luar negeri dan komponen lainnya. Judul PMA, mereka membawa uang sebagai modal investasi, lazim dari mereka menempatkan investasi itu sebagai modal pinjaman. Langgam beginilah yang kebanyakan yang disebut investor ke negeri ini.

Tak terkecuali produsen makan tadi. Di sisi lain, mereka jor-joran juga berpromosi di televisi. Dalam sehari di rentang mempromosikan produknya mencapai 20 spot iklan teve sehari, masing-masing satu spot 30 detik sekitar Rp 17 juta, kalikan 6 jika promosi itu cumja di 6 teve nasional?

Sejenak seakan terjawab pertanyaan di dalam benak saya, mengapa media mainstream enggan menuliskan ini?

“Mereka takut tak kebagian iklan dari produsen makanan ini. Iklan tevenya banyak”

Maka ketika pukul 11.00, di penghujung Februari 2010 itu, saya terkesima di ruang sidang pengadilan, yang mengadili perusahaan KI, sebut saja begitu. Di ruang persidangan, direktur keuangan dan konsultan keuangan terkenal dari perusahaan itu hadir. Mereka duduk di sebelah kiri. Di bagian kanan para pejabat dan staf dari seksi transfer pricing DJP. Kursi di ruangan tersedia untuk sekitar 20 orang, tampak kurang. Saya duduk di bagian kelompok DJP. Hakim di depan bertiga.

Ruangan pengadilan pajak itu, tak sampai seluas lapangan basket. Wakil KI menjabarkan beragam teori bagaimana bisa urusan pembebanan biaya itu terjadi. Mereka berteori ini dan itu, kiri-kanan, mengacu ke adab perdagangan global dengan kalimat ilmiah sulit dicerna.

Padahal secara logika awami saya, segenap makanan yang diekspor KI, dipikul bebannya oleh bangsa Indonesia, oleh belulang konsumen Indonesia. Bisa Anda bayangkan dengan logika ini, makanan yang dilahap konsumen mereka di Eropa, atau bangsa lainnya, yang menjadi tujuan negara produknya, disubsidi biaya pembuatannya oleh orang Indonesia?

“Ini dilakukan sebagai akal-akalan membuat berimbangnya neraca, muaranya mengecilkan pajak, jika perlu minus, tidak bayar pajak,” ujar Simarmata.

Dan anehnya produk makanan KI dijual juga kepada pengunjung pengadilan pajak nan sesak. Tentulah sang pedagang di lantai sembilan gedung Depkeu itu tak paham, toh cuma berdagang memanfaatkan peluang, persis macam industri besar yang memanfaatkan peluang mengakali pajak seumur bangsa ini.

“Itu belum begitu kontras, ada minuman yang dipajang dijual di pojok sana, juga terindikasi perusahaannya melakukan praktek transfer pricing.”

Maksudnya minuman yang dijual oleh pedagang bagaikan warung kaki lima di lantai sembilan di pengadilan pajak itu. Saya terkesima. Ingin lebih jauh mengerti soal transfer pricing.

Mekanisme transfer pricing melalui pembentukan badan hukum Special Purpose Company (SPC) yg didirikan di tax heaven country atau negara bebas pajak. SPC berguna untuk memiliki dan atau menguasai saham badan hukum yang melakukan usaha di Indonesia.

Salah satu modus operandi transfer pricing menjual ke perusahaan afiliasi di luar negeri di negara bebas pajak tadi dengan harga di bawah harga pasar dalam negeri. Nah kelakuan menjual murah ke perusahaan afiliasi itu, sebagai contoh produk batubara. Batubara kalori 6000, satu ton di pasaran Rp 500 ribu, tetapi dijual ke perusahaan afiliasi Rp 200 ribu.

Perusahaan afiliasi itu tentu masih satu pemiliknya. Otomatis perusahaan mendapatkan titipan uang atau untung bersembunyi Rp 300 ribu. Secara faktual dagangan mereka merambah ke pasar bebas, dengan harga pasar. Belum pula pembebanan gaji ekspatriat yang ditempatkan di luar negeri sebagai biaya dalam negeri Indonesia.

Sakti bukan?

“Adakalanya melalui perusahaan afiliasi di luar negeri, menagih ke perusahaan induk di dalam negeri Indonesia, melalui invoice untuk sebuah transaksi yg tak pernah ada. Namun dilakukan pembayaran oleh perusahaan dari Indonesia,” ujar Simarmata.

Masih terkait ke dalam kelompok laku membuat neraca keuangan berimbang antara debet dan kredit itu, maka ada pula kelakuan perusahaan multinasional di sini yang untuk sebuah merek susu saja, harus mengeluarkan royalti lebih Rp 100 miliar setahun.

“Bagi kami ini juga sebuah temuan yang dibuat-buat angkanya. Ngono ya ngono, sing ngono ya ojo ngono,” ujar Simarmata.

Hari itu, menjadi pengalaman luar biasa bagi saya: membuka mata, betapa selama ini bangsa ini telah ditipu oleh Perusahaan Modal Asing (PMA), perusahaan multinasional, dan banyak lainnya, mengangkangi hak-hak publik di mana bangsa memiliki darah pembangunan untuk publik mendapatkan pelayanan lebih baik. Laku menghisap darah pembangunan melalui transfer pricing sudah macam air bah nan digerus dari sumber Indonesia, untuk dihisap hingga kering kerontang.

“Bisa Anda bayangkan pada 2009 saja indikasi praktek transfer pricing mencapai seribu tiga ratus triliun rupiah,” tutur Simarmata.

Maka melihat angka setahun demikian, tidak berlebihan bila saya menulis lema bahwa perampokan akan bangsa ini memang terjadi hingga sumsum dan belulang rakyat, melalui praktek penggelapan pajak.

Maka ketika saya mengetahui di undang-undang pajak, ada pasal yang mengatur bahwa penggelapan pajak bisa diselesaikan di luar pengadilan dengan denda maksimal 400% dari pajak yang digelapkan, maka saya menuliskan: inilah lagi produk melukai belulang rakyat, yang pernah dihasilkan anggota DPR dan pemerintah, sejak reformasi ini. UU yang menjadi satu-satunya di dunia menempatkan bahwa penggelapan pajak bukan kejahatan besar.

Secara terang-terangan, ketika memandu topik transfer pricing di Presstalk QTV, saya tanyakan kepada Achsanul Kosasi, anggota Komisi XI DPR RI, apakah pembuat UU di DPR punya nurani?

“Memang undang-undang soal penyelesain penggelapan pajak itu melukai rasa keadilan. Kita akan coba merevisi undang-undang itu. Namun mungkin baru masuk dalam agenda di 2011,” jawab Achsanul Kosasi.

Bagaimana permainan pajak, terutama transfer pricing tak kian menggila.

Kalaupun ada yang diliput media, hingga terbukti praktek transfer pricing macam yang dilakukan PT Asian Agri mencapai lebih Rp 1,3 triliun, sebagaimana pernah dimuat di laporan utama Tempo, hingga kini proses penyelesaian pengadilannya adem ayem. Wartawan yang menuliskan seperti Metta Dhamasaputra, sempat berurusan dengan aparat kepolisian. Ketika saya menjabat Ketua Umum PWI-Reformasi, kami memberikan perhargaan bagi Metta sebagai journalist of the year pada 2007.

Karenanya bagi saya, urusan transfer pricing dan undang-undang pajak, macam satu kesatuan paket. Ada indikasi kuat bahwa undang-undang itu dibuat karena intervensi tangan-tangan tambun yang selalu berbisnis bermodal minim, jika perlu modal nol bebek dibukukan, tetapi mengeruk laba tambun-menambun dari bangsa ini..

Urusan keuntungan sebesar-besarnya itu, secara massif dapat pula ditemui di pengadilan pajak terhadap sebuah perusahaan otomotif mapan. Pada kasusnya di 2005, misalnya. Selama ini mereka selalu membuai bertameng menampung ribuan bahkan puluhan ribu karyawan. Tetapi tameng kemuliaan itu antara bumi dan langit jika Anda simak di pengadilan pajaknya.

HARI ITU, saya datang ke Depkeu untuk melihat pengadilan pajak sebuah perusahaan otomotif itu. Sembari menunggu waktu, saya bertemu dengan beberapa orang dari seksi transfer pricing DJP, di kantin di bawah gedung. Secangkir kopi pahit menemani.

“Sebagaimana hari-hari lalu, sidang jarang ontime,” ujar Simarmata.

“Lebih parah, bukan saja tidak tepat waktu, wajib pajak kini seakan mengatur jadwal.”

“Kami ini padahal bagian dari Depkeu, tetapi kini sejak reformasi sudah macam tamu di Departemen sendiri.”

Maka ketika saya masuk ke ruangan sidang, seperti biasa, ruangan tak sampai seukuran lapangan basket itu, sesak. Kursi untuk tim DJP pun kurang. Harus ada tiga kursi tambahan dari luar, termasuk satu untuk saya.

Perusahaan otomotif itu pada 2005 laba kotor untuk salah satu produk terkenalnya sebut saja mobil V untuk lokal 2, 91 % saja. Sementara laba kotor penjualan ekspor – 7,98%. Untuk produk mobil Z, laba kotor lokal, 2, 58%, ekspor -14,36%. Melihat angka ini, agaknya timbul pertanyaan di benak Anda?

Pertama, jika ekspor hanya untuk mendapatkan laba bruto minus, dan minusnya tak berkira, untuk apa melakukan ekspor?

Kedua, jika memproduksi mobil hanya untuk untung bruto di 2% lebih, buat apa memproduksi dan menjual mobil di negeri ini, toh nanti jika di-netto-kan, pastilah minus juga keuntungannya. Padahal entah karena lobby produsen otomotif di negeri ini, sejak era 80-an hingga saya mengetikkan tulisan ini, program utama Departemen Perindustrian, menjual mobil dan motor sebanyak-banyak, tanpa peduli partumbuhan sarana jalan stagnan.

Dan hari itu, bagi saya membuncah lagi pertanyaan aneh lainnya. Bagaimana bisa kelompok usaha perusahaan otomotif itu, sebagaimana berita di koran, bahwa untung mereka pada 2009 mencapai Rp 20 triliun lebih, tetapi unit usaha produksi berminusan pendapatannya?

Nah, akhirnya saya menduga, bahwa jika untuk keperluan citra dan pasar di bursa saham, maka produsen merilis untung tentang kelompok usaha. Tetapi jika mengahadapi pajak, unit-unit usaha sekan tercerai berai mempermainkan angka pembukuan, termasuk melakukan indikasi praktek transfer pricing, macam laku yang sedang disidangkan untuk kelakuan mereka pada 2005 itu.

Jika seksi transfer pricing baru ada 2007 di DJP, Anda bisa bayangkan beribu-ribu triliun telah mengalir bagaikan bah bandang mengalir ke luar negeri, dilakukan banyak perusahaan di Indonesia. Di tahun 2005 juga, sebagaimana pernah di tulis detik.com, 750 PMA mengaku rugi berbisnis di Indonesia. Dan anehnya dari 750 PMA itu hingga kini masih saja bercokol di sini. Bukankah mereka ahirnya layak disebut penghisap belulang anak bangsa? Bukan guma daging yang mereka gigit, tetapi hingga sum-sum bangsa ini.

Dan jika pemimpin, opembuat undang-undang di bangsa ini, seakan ikut melegalkan proses penggelapan pajak tambun menambun tahun-menahun, maka saya tak punya lema lain selain menyebut mereka: biadab! Atau Anda punya diksi yang lebih halus?

Sebagai penutup tulisan pertama tentang transfer pricing ini, ketika, di televisi saya simak bahwa Satgas mafia peradilan meminta mengawasi pengadilan pajak: saya pribadi menuliskan: kudu, waqjib hukumnya! Mumpung sudah pula menggelinding masalahnya. Namun, urusan Gayus sih receh. Di sana lebih utama urusan ribuan triliun yang selama ini seakan menguap-uap, good bye dari bangsa ini. [] (bersambung)

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa II: Pengadilan Congkak, Tamak Transfer Pricing di Pajak

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Sketsa kedua tentang ribuan triliun hak rakyat menguap di laku transfer pricing pajak. Beribu perusahaan melakukan tahun-menahun menambun. Pada 2009 saja indikasi transfer pricing Rp 1.300 triliun. Sejak Sketsa pertama saya luncurkan, Senin pagi pekan ini, di siang hari sudah mulai ada wartawan teve datang ke Pengadilan Pajak. Selasa, foto di kompas.com tentang pengadilan pajak berisi meja kosong front office, bukan ruang sidang pengadilan? Saatnya belalak-luak mata menyigi perampokan massif ini. Kembali, liputan kahadiran saya di ruang pengadilan pajak dengan hakim terindikasi congkak. Plus di tengah anggota DPR protes akan lema saya, untuk diksi biadab karena laku memproduksi UU 36 2008 di pasal 44; membolehkan penyelesian penggelapan pajak dilakukan di luar pengadilan dengan denda maksimum – – ingat ada kata maksimum – – 400% dari pajak yang digelapkan. Melalui Sketsa ini, kepada wakil rakyat terhormat, tunjukkanlah lema lain, mana padanan versi Anda?

SEJAK menabalkan berbagai liputan ke medium blog di dunia online di lima tahun terakhir, baru kali inilah, sebagai Citizen Reporter, saya meliput urusan angka rupiah menggunung raib dari jazirah bangsa ini. Saya sedang memverifikasi indikasi kembalinya monopoli pengadaan BBM Pertamina ke Petral Oil Co., Singapura, namun pusaran angka rupiah dikongkalingkong di migas itu kalah tambun, di kisaran puluhan triliun saja. Ya, saja!? Di transfer pricing (TP) beribu triliun-miliun.

Jadi, jika tak jauh dari Medan, Sumut, saya menemui bangunan SD cuma tiga lokal, pelajar duduk berdua satu kursi, papan tulis abu-abu bercak buram bolong, satu ruang untuk dua kelas, di tahun ini, bukan di jaman Belanda. Maka,ini contoh dampak perampokan uang negara itu.

Di medium sosial Facebook, internet, beragam kawan dari Sabang sampai Merauke, hari-hari ini mengeluhkan kepada saya soal listrik; kadang-kadang saja nyalanya.

“Di Simeulue, Aceh sehari mati sepuluh jam,” tutur Amidin Rihad.

“Di Sumbawa Besar, NTB, juga sama, sepuluh jam mati sehari.”

Hanya di negara ini pula benak seakan pindah ke ujung kaki; publik seakan dipaksa menyimak iklan perusahaan penyedia listrik dan departemen membawahinya: Mengimbau menghemat listrik. Sebuah keadaan perginya logika, semisal di saat dompet Anda kecopetan, panik, sontak menghilang akal. Seperti keadaan itulah akhirnya iklan listrik digadang-gadang.

Tak pelak, listrik berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Ketidak-warasan negara mengurus infrastruktur, bak analogi orang kecopetan tadi, di situasi uang tandas kantung terkuras. Tergagap berjalan. Begitulah saya menempatkan Indonesia, negara kaya raya dirampok tahun-menahun melalui transfer pricing pajak oleh para pengusaha, termasuk para PMA, yang di 2005 saja 750 PMA besar mengaku rugi seumur-umur di sini.. Anggaran, hak rakyat dari pajak, nan seyogyanya dapat membangun infrastruktur, layanan publik lainnya raib.

Maka di Selasa, 30 Maret 2010 di sekitar pukul 10.30, langkah entah mengapa, tanpa rencana menggerakkan saya kembali berda di Departemen Keuangan, Jl. Dr. Wahidin Raya No1, Jakarta Pusat. Saya ingin kembali menyimak, menghadiri, pengadilan pajak, melihat perkembangan yang ada.

Saya menuju bangunan bersebelahan dengan gedung Dhanapala. Di Sketsa lalu saya menyebutkan nama gedung Dhanapala lantai 9, lokasi pengadilan pajak. Namun siang itu, suasana lantai dasar sudah berubah. Sebelum menuju masuk lift seluruh tamu tanpa terkecuali harus menarok tanda pengenal dan diberi tag visitor bertali biru. Di kartu tamu itu saya membaca bahwa kantor di mana pengadilan pajak digelar itu, bernama gedung Sutikno Slamet.

Di pintu lift, seorang crew TV One muncul. Kami bertegur sapa. Dalam hati saya berkata, beruntunglah kini media mainstream mulai melirik datang ke pengadilan pajak. Sebelumnya sepi jurnalis. Kasus Gayus Tambunan, karyawan di bagian banding pajak, terindikasi menilap Rp 24 miliar itu, agaknya, telah memicu animo wartawan datang.

Di dalam lift saya menduga, kini akan ada meja petugas siap menghadang. Namun sebagaimana hari sebelumnya, keluar lift di lantai 9 itu pengunjung bisa langsung masuk, tidak berubah seperti di lantai dasar. Di kiri kanan, saya perhatikan kursi biru tamu, sudah lebih banyak tersedia.. Di bagian tengah, tempat pedagang makanan, yang bagaikan kantin kecil di lantai dasar perkatoran, antara lain menjual mie instant dalam cup, minuman serta kue. Rak kacanya sudah lebih bening dari hari sebelumnya.

Saya tanya ke penjual, apakah wartawan sejak Senin siang sudah lebih banyak datang?

“Benar Mas, mulai ada Kompas, Tv One, RCTI, Antv,” jawab sang pedagang.

“Ini tanda-tanda baik, semoga akan ada perubahan di sini.”

Saya perhatikan satu produk minuman dengan kaleng berornamen biru putih. Satu lagi, saya pastikan kepada Anda sidang pembaca, bahwa sang penjual tak paham jika produsen dagangannya itu juga bermasalah dengan urusan TP di pengadilan pajak.

Minuman ringan itu sontak mengingatkan saya kepada seorang kenalan, Alif Mustakim, namanya. Ia pengurus LSM GMN3 (Gerakan Menuju Masyarakat Madani). Ia pernah bertanya “Bagaimana bisa manusia membuat kandungan air kelapa murni dalam kemasan instan?”

Sesungguhnya dugaan Alif itu bisa keliru. Minuman itu hanya berusaha menirukan kandungan ion yang ada di buah kelapa. Kepada saya Alif pernah menggerutu: bagaimana negara ini merendahkan nilai asset tangible sendiri. Sosok berasal dari Kalimantan Timur, daerah penghasil kandungan mineral besar itu, pernah sesumbar lalu bilang ke saya, “Suruh Bill Gates dengan semua uangnya, bisa tidak dia bikin batubara sekilogram saja, sesuai dengan kandungan alami yang diciptakan Tuhan?”

“Anehnya negara tak melakukan pemetaan asset mineral tertakar tak yang tak terhingga nilainya. Kita tunduk dengan lembaran kertas yang dicetak diberi angka kepada asing,” ujarnya.

“Akibatnya lahan batubara dan mineral lain, kini beralih ke asing kepemilikannya.”

Kicauan Alif itu mendadak terngiang-ngiang di kuping saya di pengadilan pajak itu. Di ranah berbeda, Indonesia di mana negeri nyiur melambai-lambai. Pohon kelapa tumbuh di mana-mana. Menggalakkan meminum air kelapa mengandung ion alami, anugerah Tuhan, tentu lebih sehat dari pada meminum-minuman ringan tiruan ion air kelapa. Apatah pula, tidak berasa air kelapa. Iklan mereka membuai memulih stamina, ion tubuh. Produsennya terindikasi menenggak dahaga rakyat, menghisap hingga ion-ion tubuh rakyat lewat TP, demi menambun keuntungan.

Secara kebetulan saya melihat seorang staf dari seksi TP, Derektorat Jenderal Pajak (DJP), Depkeu.. Saya tanyakan soal urusan pengadilan produk minuman soft drink berkaleng biru putih itu.

“Wah itulah anehnya, sudah hampir setahun, hakim belum juga memutus perkara ini, padahal persidangan sudah selesai, ” tutur Sutikno, bukan nama sebenarnya.

Mak, kok bisa, tidur panjang sang hakim?

“Kami yakin kami di posisi kuat dan secara logika negara dimenangkan. Entah mengapa hakim seakan menggantung perkaranya.”

Bukankah hakim itu juga bekerja untuk negara, logikanya dengan menunda keputusan berarti merugikan negara?

“Itulah macam dibilang kolega saya minggu lalu kepada mas, kami di sini sudah merasa macam tamu.”

Tanpa saya duga Sutikno, akan mendampingi rekannya segera masuk ke sidang pengadilan, juga berkait ke urusan transfer priccing (TP).

Sutrikno bergegas.

“Nih lihat tahu-tahu tanpa pengumuman, sidang sudah mau mulai saja,” ujarnya.

Saya mengekor Sutikno dari belakang, ikutan masuk. Sebuah langkah tanpa rencana, tanpa saya duga. Dan ketika mengehempaskan pantat di salah satu kursi kosong, merindinglah saya: Tuhan telah membuat saya lancar di ruang pengadilan pajak itu.

RUANG-RUANG sidang di pengadilan pajak itu luasnya dua pertiga lapangan volley. Saya hitung setidaknya ada sembilan ruang. Di setiap bagian depan ada satu meja agak panjang dangan tiga kursi hakim. Di samping kiri dua orang panitera. Di kanan ada sebuah white board. Menghadap ke hakim, di sebelah kiri ada lima kursi bagi termohon banding, Di kanannya lima kursi untruk terbanding.

Hakim ketua SB, sosok perempuan, mengenakan jubah hitam dengan kain biru muda dengan lis lebar di dada kiri dan kanan, begitu juga pakaian dua hakim anggota J dan M. Mereka di Selasa 30 Maret itu menyidangkan antara lain kasus TP sebuah jaringan internasional. Sebut saja HtY peruasahaan jasa layanan jaringan hotel itu.

Perusahaan jasa perhotelan itu, merek prinsipnya dipakai oleh delapan hotel bintang lima di Indonesia. Ceritanya sebelum 1997, ketika mereka beroperasi di Indonesia, menggunakan bendera perusahaan langsung, dari Amerika Serikat dan Hongkong. Namun sejak keluar keputusan Menteri Pariwisata pada 1997, perusahan yang melayani jasa perhotelan itu harus memiliki perusahan, badan hukum PT di Indonesia. Maka HtY mendirikan PT HtY Indonedia.

Untuk menjalankan operasional dan mengelola jaringan 8 hotel yang menggunakan bendera HtY, induk usaha mereka di Amerika Serikat, meminta PT HtY Indonesia membeli saja prospek bisnisnya ke depan. Penawaran HtY pusat sebesar US $ 22 juta lebih. Padahal pemilik PT HtY Indonesia, 99% sahamnya tetap dimiliki dimiliki oleh AS dan 1 % Hongkong. Saham Hongkong 1% juga milik AS. Jadi sederhananya penjual dan pembeli , faktanya dia-dia juga.

Nah, digelindingkanlah di buku, setoran awal di Oktober 1997 sebesar US $ 16 juta lebih, ke PT. HtY Indonesia, anehnya kiriman dari USA, di hari sama ditransfer balik ke HtY Hongkong. Dengan enteng, wakil dari PT HtY Indonesia mengatakan di ruang sidang siang itu, “Uang yang US $ 16 juta itu, tak bisa dipersoalkan, kalau sudah di Hongkong, menjadi hak perusahaan di sana memakai untuk apapun.”

Selanjutnya untuk menggenapi kekurangan uang untuk PT HtY Indonesia, dikirimlah setiap bulan sekitar UD $ 1 juta lebih, hingga mencapai US 22 juta lebih. Nominal US $ 22 juta ini, menjadi nilai prospek usaha yang harus dibayar ke induk perusahaan afiliasi. Di sinilah benang merah TP terjadi.

Di pembukuan PT HtY Indonesia lalu menempatkan angka US $ 22 juta sebagai hutang. Akibatnya secara keseluruhan di operasional perusahaan berjalan, beban biaya bunga pinjaman, termasuk royalty pemakaian merek hotel, setiap tahun dalam jumlah besar harus dibayar. Padahal secara riil, bisnis prospek usaha itu sudah dibeli oleh PT HtY Indonesia.

“Singkat kata, dengan pola demikian perusahaan PT HtY Indonesia seumur-umur dibuat merugi terus, keuntungan lari keluar,” ujar Sutikno. Kalimat itu ia sampaikan kepada Hakim ketua SB, seorang wanita, dan anggota J dan M.

Namun seperti sidang di kasus perusahaan makanan dan otomotif yang saya hadiri, sebagaimana sudah sata tulis di Sketsa I, suara di ruang persidangan itu saya amati terlalu banyak mengupas istilah pembukuan, istilah peraturan ini dan itu, untuk menyisati kesalahan untuk dilegalkan, kendati pun sulit dicerna logika sehat.

Bahkan ketika Sutikno menjabarkan dengan sederhana pola TP terjadi, sehingga PT HtY Indonesia akan terus merugi, nada suara hakim meninggi.

“Iya, pahamlah aku itu! Tapi di kasus PPH, di tahun lama perkaranya sudah inkrah, tuntas. Kamu jangan bahas-bahas lagi perkara yang sudah inkrah, kecuali ada novum baru,” ujar SB, Hakim Ketua dengan nada tinggi.

Dalam hati saya, kok congkak kali?

Bukankah sang hakim wakil negara, mewakili rasa keadilan, demi negara memiliki tambahan pendapatan, menambah darah pembangunan?

Jika dipikir dengan logika umum saja, paparan Sutikno lebih masuk akal.

Tepat di saat nada congkak keluar dari mulut hakim SB, tamparan hujan berkuprakan menghantam kaca dinding luar Lantai 9 Gedung Sutikno Slamet itu. Cuaca Jakarta menangis.Rintik deras tetesan hujan seakan turut meradang berang.

Saya pun sedih. Jika demikian langgam hakim pengadilan pajak, esensi pengadilan menegakkan kebenaran dan keadilan, menjadi tanda tanya?

Pengadilan siang itu berjalan hingga 12.30, dan masih akan berlanjut pada 27 April 2010 mendatang. Saya bermimpi, sidang-sidang mendatang, bisa pula disiarkan langsung televisi, agar khalayak dapat melihat laku para hakim pengadilan pajak. Para hakim itu umumnya mantan pegawai DJP, terindikasi pula umumnya kotor dalam menjalankan pekerjaan ketika menjadi staff DJP.

Saya lalu keluar ruang sidang. Di daftar sidang hari itu di sebuah papan dinding, tertera setidaknya ada 50 perusahaan dari pagi hingga petang bersidang. Mereka di antaranya, salah satu produsen mobil Jepang lainnya dan Perusahaan elektronik Jepang yang pernah menjadikan Dian Sastro model.

Sekelebat mata jahil saya teringat akan kecantikan Dian Sastro melenggok. Ia mengucapkan tag line iklan produk elektronik perusahaan itu. Perusahaan itu juga terindikasi ratusan miliar melakukan TP, mengangkangi pembayaran pajak untuk negeri ini, yang berguna bagi rakyat mendapatkan pelayanan publik lebih dari negaranya.

Hakkul yakin: pastilah sosok Dian Sastro tak tahu-menahu. [] (bersambung)

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa III: Tambun Raib di Transfer Pricing Pajak, Tambunan Kecil!

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Setelah Senin dan Selasa pekan ini saya menulis Sketsa soal transfer pricing (TP) dan pengadilan pajak, Rabu 31 Maret, pintu-pintu di ruang pengadilan pajak sudah mulai dibuka, tidak tertutup seperti sebelumnya. Sayang, sebagaimna biasa, wartawan, televisi, tak ada meliput ke dalam ruang sidang. Almarhum Budiman S Hartoyo, wartawan senior, pernah bilang, “Kini jurnalisme kita, jurnalisme ludah.” Bagi saya bukan saja liur, tetapi jurnalisme TSM ( trend sekejap mencuat). Gayus Tambunan diuber bak artis terkenal. Ribuan triliun penggelapan pajak tambun di proses pengadilan pajak, sepi wartawan. Sketsa ketiga, soal penggelapan pajak, oleh UU, boleh diselesaikan di luar pengadilan. Hanya di Indonesia kejahatan besar menggelapkan pajak, damai di UU!

RABU 31 Maret 2010 saya tidak ke Pengadilan Pajak di Gedung Sutikno Slamet, Departemen Keuangan, Jl Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat. Cuaca Jakarta dibalut mendung. Beberapa area hujan. Saya menghubungi Haryono, sebut saja namanya begitu, staf bagian Transfer Pricing (TP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ia mengatakan sudah ada lagi perubahan situasi ruang persidangan pajak: Pintu-pintu masuknya kini terbuka di saat sidang berlangsung. Berbeda dari hari sebelumnya: tertutup.

Pembaca Sketsa ini di kompasiana.com, Ary Bustami, mengaku datang ke pengadilan pajak Rabu. Ia menuliskan di Sketsa II, di bagian komentar “ Di beberapa sidang tampak orang boleh nonton, hadir dan keluar masuk.”

“Salah satu sidang sampai penontonnya luber.”

“Saya longok dari luar karena tidak kebagian tempat duduk. Ada presentasi pake proyektor. Ada konsultan pajak ke luar dari ruangan itu dengan beberapa stafnya dengan tas-tas besar bertuliskan TRANSFER PRICING. Jangan-jangan itu sidang KI?” tulis Ary.

Setelah saya cek ke DJP, sidang yang dimaksud Ary, memang sidang KI, sebagaimana yang telah saya tulis pada Sketsa I, Senin lalu.

“Ada bapak-bapak berambut putih dan gondrong nanya aku terus, ini sidang apaan sih, kok presentasinya bahasa Inggris semua?” tulis Ary.

Adakalanya memang bahasan TP karena menyangkut perdagangan internasional mengutip apa yang dikeluarkan oleh Organization for Economic Co-operation an Development (OECD Tranfer Pricing Guidelines: Contohnya guideline paragraph 7.33:

“Depending on the method being use to establish an arms’ length charge for intra-groups services, the issue may arise whether it is necessary that the charge be such that it result in a profit for the service provider. In an arms length transaction, on independent enterprise normally would seek to charge for services in such a way as to generate profit, rather than providing the services merely at cost”

Begitulah, hal demikian dibacakan dalam persidangan.

Sebagaimana sudah saya deskripsikan di dua Sketsa sebelumnya, di dalam persidangan itu pengunjung akan disuguhi dengan beragam istilah dari para konsultan keuangan pajak, perusahaan bermasalah. Semua itu rona-ramanya bermuara ke silat-lidah mengakali dengan berbagai teori; bahwa laku terindikasi merampok hak negara dengan jalan TP dapat dibenarkan. Pokoknya wajib pajak seakan mulia benar!

”Emang sidang pengadilan pajak sekarang terbuka ya?” tanya Ary.

“Sidang memang terbuka untuk umum berdasarkan pasal 50 ayat (1) UU NO 14 tahun 2002, “ tulis Sebastian Napitupulu, masih di Kompasiana menjawab pertanyaan Ary Bustami.

Setelah saya verifikasi, memang demikianlah adanya. Maka sangatlah aneh, mengapa DJP, khususnya Depertemen Keuangan, membuat suasana dirinya tertutup, bangunan dan ruang pengadilan sempit. Padahal mereka bisa saja menganggarkan menggelar persidangan di ruang terbuka, lebar.

Lebih jauh lagi, karena adanya UU 14, 2002 itu, bagi saya tidak ada lagi ketentuan secara etika jurnalisme tidak boleh menulis lengkap nama perusahaan yang disidangkan, karena memang harus dibuka bagi publik. Jurnalisme bekerja bagi publik.

Dari dialog yang saya kutipkan di atas, inilah keunikan blogging, media alternatif, yang dapat saling melengkapi tambahan info, bahkan termasuk untuk mengoreksi seketika. Ini sebuah nilai tambah.

Maka ketika seorang pembaca di blog apakabar.ws (Super Koran), menulis untuk saya: Mengapa tulisan yang komprehensif macam saya tulis ini tidak dikirim saja ke media mainstream agar dapat disimak lebih banyak?

Saya menjawab ringan.

Sketsa ini panjang. Acuannya kata, acap kali ditulis di atas 2.000 kata. Sementara koran mengandalkan jumlah karakter. Plus pula media mainstream mempunyai sudut pandang tentang sebuah isu. Di era kini kuat dugaan indikasi keberpihakan kepentingan. Bagaimana mereka dengan enteng memuat sebuah produsen makanan bermasalah, jika iklan produsen itu berjibun di media mereka.

Simaklah ini: Demi keterbukaan itu, tiga perusahaan yang pernah saya tulis dan hadiri persidanganya di dua Sketsa sebelumnya dengan inisial: KI, Otomotif Terkenal dan HtY Indonesia, ketiga secara faktual adalah: PT Kraft Indonesia, PT Toyota Manufacturing Indonesia, dan PT Hyatt Indonesia. Ketiganya terindikasi bermasalah dengan praktek Transfer Pricing (TP). Dan tentu bukan tiga perusahaan ini saja yang tersangkut kasus TP. Ada ribuan lain kini mengantri sidang.

Bisa Anda bayangkan, apa mau teve M, menayangkan pengadilan pajak PT Kraft Indonesia, sementara mereka mendapatkan iklan Oreo dan Keju Kraft? Dan atau apa mau teve O menayangkan indikasi pengangkangan hak rakyat dari pajak melalui TP yang dilakukan Toyota Manufactur Indonesia di mana pendapatan ekspor mereka di bruto dari menjual Kijang Innova pada 2005 : -7,98% (minus) dan dari melego Avanza: -14,36% (minus), sementara untung bruto lokal Innova hanya 2,91% dan Avanza hanya saja 2,58%. Logikanya pendapatan lokal jika di-netto-kan bisa-bisa nol.Di sinilah tampak jelas indikasi ketidak-warasan urusan setoran perpajakan itu.

Jika Anda semua hadir di pengadilan pajak, dan UU sudah mengatakan terbuka untuk umum, betapa, darah Anda akan mendidih. Khusus mobil, misalnya, sudahlah program Departemen Perindustrian seumur-umur utamanya menjual mobil dan motor sebanyak-banyaknya, plus pula diberikan kemudahan dan dukungan negara sebanyak-banyaknya, tetapi balasan dari produsen semacam itu?

Lalu apa yang mereka berikan untuk negeri ini? Bisa jadi hanya hembusan angin surga menampung puluhan ribu tenaga kerja. Dan puluhan ribu tenaga kerja itu kini, sebagian besar sudah pula di-out-sourcing-kan. Beda dengan di Amerika Serikat segenap SDM out-sourcing memiliki jaminan sosial memadai. Di sini langgam out-sourcing diadopsi, tetapi layanan sosial pah-poh.

Di tengah minimnya layanan sosial itu, dimana negara sesak nafas pula menghimpun dana bagi pembangunan infrastruktur dan sosial lainya, sang pengusaha yang kadung menikmati enaknya pasar tambun negeri ini, seakan mencekik lagi hak rakyat bangsa ini hingga mata mendelik, maaf – pantat mengeluarkan kotoran kering.

Di tengah keadaan demikian – – ingat 750 PMA pada 2005 mengaku rugi terus – – pantaskah para PMA, pantaskah multinasional company, perusahaan besar tambun masih mengaku ada high cost economy terjadi di bangsa ini?

Lebih naïf ada di antara multi nasional company yang masuk ke sini, terindikasi turut membiayai lembaga NGO asing untuik memperingkatkan: bahwa Indonesia negara terkorup. Maka atas laku ini keluarlah lema saya: biadab! Dan lebih biadab dari laku-laku itu pembuat UU tentang pajak, membolehkan penggelapan pajak, selesaikan dengan di luar pengadilan dan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.

Sesungguhnyalah surga dunia bisnis itu, bukan saja alamnya, adalah Indonesia di muka bumi ini, karena anggota Dewan-nya pun terindikasi tajam bisa dibeli dalam membuat UU untuk mengibuli rakyatnya sendiri!

SELASA, 3 Maret 2010. Usai dari Pengadilan Pajak, saya berusaha menemui beberapa staf DJP. Saya ke gedung DJP menjelang pojokan Patung Tani dari arah Gambir, Jakarta Pusat. Bangunan bersebelahan dengan Gedung Departemen Perdagangan itu, di bagian lobbynya tampak ramai dengan tamu yang hendak melaporkan SPT pribadi. Kursi tamu dan suasana interior macam di bank moderen kebanyakan.

Saya menuju le kantai mezanin di lantai tiga. Saya melewati sebuah aula, yang siang itu dibiarkan gelap. Lantai aula itu jika tak ada kegiatan, seperti saat saya lewat tampak menghampar ambal tipis hijau, penanda bagi lapangan bulu tangkis.

Naik tangga ke bagian samping, ada celah bagi para pedagang kecil menjual aneka makanan. Tetapi betapa terkejutnya saya, lantai di ruang kecil itu basah. Rupanya atapnya bocor. Beberapa hamparan plastik di atas kepala saya duduk mengelayut menampung air hujan. Setiap saat air menggayut itu bisa menghempas kepala. Bagi saya ini aneh lagi, di gedung mentereng, ada niat menampung pedagang kecil makanan, namun upaya memberikan atap memadai tak ada. Padahal yang makan di sana umumnya juga karyawan DJP. Bentuk lain kontrasnya kehidupan.

Dalam suasana demikianlah saya bertemu dengan beberapa staf DJP. Kami ngalor- ngidul membicarakan media teve. Bukan rahasa lagi misalnya teve M akan bersemangat membicarakan urusan pajak kelompok usaha Bakrie, tapi sebaliknya mereka akan menghindar membicarakan praktek transfer pricing yang dilakukan oleh PT Asian Agri, milik kelompok usaha Soekanto Tanoto. Kini RAPP, kelompok usaha Soekanto Tanoto lainnya, sedang akan disidang pula urusan indikasi TP mereka mencapai Rp 4 triliun.

Lalu teve O, terindikasi akan lebih bersemangat untuk menghantam Menteri Keuangan Sri Mulyani. Termasuk agaknya, mungkin mikir mengundang saya lagi jika topik yang akan mereka angkat soal TP, sebab bisa pula saya menyenggol indikasi TP kelompok usaha Bakrie yang juga triliunan, dimana di teve O, Bakrie ikut memiliki saham.

Kepada para staf di DJP di saat hujan rinai-rinai, saya katakan, pada penghujung 2007, Bill Kovach, penulis buku The Elemen of Jounalism, memiliki optimisme terhadap dunia Citizen Reporter di medium blog di internet di dunia.

Satu saja kekuatiran Kovach, “Bagaimana blogger atau Citizen Reporter dapat memiliki pendapatan independen. Sehingga tidak terpengaruh macam media mainstream oleh kepentingan kekuasaan dan atau uang?”

Di saat itu pula saya lalu teringat akan wajah Kovach. Ia pada penghujung 2002 pernah bertandang ke Indonesia. Ia berharap dunia jurnalisme kian berkualitas, terutama berpihak kepada publik, kepada verifikasi mencari kebenaran, tiada lain.

Untuk itu, biarlah kita bersama, bahkan siapa saja Anda dari pembaca Sketsa ini, sudilah berkenan bahu membahu mengungkap aib yang membuat anak bangsa ini kekurangan darah. Timbunan darah yang dihisap melalui mengakali pajak di TP, mengakibatkan pembangunan berbagai kepentingan publik buyar. [] (bersambung)

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa IV: Miliun Triliun Raib di Pajak & Uang Negara di Rekening Liar Pejabat

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Sketsa ke-4 tentang pajak urusan kewajaran atau Transfer Pricing (TP), jumlah menambun lenyap menguap. Pada 2009 terindikasi Rp 1.300 triliun bermasalah. Uang siluman di rekening pribadi pejabat dan mantan pejabat juga ratusan triliun? Pengadilan Pajak terindikasi diatur Panitera & Hakim. Hakim selain mantan pegawai Ditjen Pajak, juga ada pengurus Kadin Indonesia. Mereka umumnya pro memenangkan kalangan usaha, kendati pun bersalah. Pada 2008, saya pernah menanyakan di Presstalk, QTV, kepada Fuad Bawazier, mantan Dirjen Pajak dan Menkeu: Bagaimana soal rekening Pajak Bumi dan Bangunan, sebelum masuk ke kas negara, mampir dulu ke rekening pribadi Fuad di BBD, kini Mandiri? Ia berkelit. Di era Gusdur, Fuad mengaku menghimbau membereskan rekening liar. Majalah Wartaekonomi pada Maret 2010 sekilas menyinggung soal uang negara di rekening liar pejabat. “Jika mau membereskan pajak, tangkap dulu pejabat dan mantan Dirjen,” ujar Burhanudin, di Facebook saya.

SENIN, Rabu dan Kamis pekan lalu, saya menuliskan Sketsa, mereportase keadaan di pengadilan pajak. Sketsa pertama, tidak berlebihan bila saya katakan membawa perubahan bagi mulai munculnya wartawan media mainstream ke pengadilan pajak. Sketsa kedua, membuka pintu – – pintu ruang sidang dalam arti riil – – di pengadilan pajak, yang selama ini tertutup, sebagaimana dilihat dilaporkan Ary Bustami, pembaca Sketsa di Kompasiana.com. Ia sangaja datang ke Pengadilan Pajak, pada Selasa 30 Merat 2010.

Senin 5 April 2010. Sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada media di Jakarta mengatakan, “Mengakui banyak kelemahan di Pengadilan Pajak.”

Jika saja telunjuk layak ditudingkan maka alamat tepat kening Menkeu. Bagaimana seorang Menteri Keuangan tidak pernah mengontrol secara fisik Pengadilan Pajak?

Sebagaimana sudah saya deskripsikan, ruang Pengadilan Pajak itu sekitar sepertiga lapangan basket saja. Kursi untuk wajib pajak, tergugat, atau terbanding tersedia masing-masing lima, termasuk untuk wakil Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hadirin pengunjung lain sulit kebagian kursi. Jika tak ada tempat duduk, otomatis Anda di luar, dan atau cari-cari kursi menambahnya, itu pun harus orang DJP melakukan. Tamu yang baru sekali datang pasti kebingungan.

Pintu ruang sidang, seperti ruang dokter kandungan di sebuah klinik ditutup rapat. Padahal menurut pasal 50 ayat (1) UU NO 14 tahun 2002, Pengadilan Pajak terbuka untuk umum. Nah di urusan ini saja Menkeu tak tahu menahu. Setelah media alternatif menuliskan maka tekuaklah.

Pelanggaran UU sudah terjadi.

Ary Bustami, di blog Kompasiana.com, mengomentari Sketsa I, menambahkan pengamatannya di Pengadilan Pajak. “Saya baru ngeh. tukang koran yang bung Iwan lihat di sebelah penjual makanan di lantai 9 pengadilan pajak, juga menjual kumpulan putusan pengadilan pajak tahun-tahun silam.”

“Sayangnya, harganya mahal sekali., “ tulis Ary Bustami.

Riuh-rendah urusan oknum pejabat bermain di Pengadilan Pajak. Mulai dari panitera yang mengatur perkara, konsultan pajak, hingga hakim. Perihal ini terlihat tajam pada kasus Gayus Tambunan.

Pada urusan hakim, di saaat mengikuti persidangan PT Toyota Motor Manufactur Indonesia (TMMI), yang terindikasi tajam mengakali penjualan ekspornya minus tak berkira pada penjualan Innova dan Avanza. Mereka mencatatkan laba penjualan lokal minim di 2% persen saja menjadi akal-akalan pengurangan pajak, menginjak logika kewajaran, mengindikasikan permainan praktek apa yang disebut Transfer Pricing (TP).

Lebih terperanjat saya, bahwa ketika saya menemui secara informal staf TP di DJP, mengabarkan bahwa sidang TP Pengadilan Pajak TMMI, sudah berlangsung untuk terakhir kalinya pelan lalu.

“Kami hadir ke persidangan, namun pihak TMMI sudah merasa cukup persidangan. Mereka hanya menyerahkan keputusan kepada hakim,” ujar Sutarno, sebut saja begitu, pejabat di seksi TP, DJP.

Senin, 5 April 2010, di siang hari di saat Jakarta mendung menjelang hujan, seorang pejabat TP DJP, sengaja datang ke kediaman saya. Ia mengambil undangan wawancara untuk program teve saya Presstalk, QTV, yang kami rencanakan bersama anggota konisi XI DPR, Achsanul Kosasi, akan dilakukan pada Selasa pukul 16.00. Kala itulah Ahmad buka kartu.

“Itu hakim ketua yang mengadili TMMI, adalah pengurus Kadin Indonesia,” ujarnya.

“Bisa dibayangkan, bagaimana keputusan hakim nanti, padahal jelas-jelas angka yang dimainkan TMMI, tak ketulangan akalan-akalannya.”

“Jika Kadin suaranya sumbang terhadap pengadilan pajak, jelas mereka menyuarakan kepentingan penguasaha besar itu.”

Sudah demikian parahkah Kadin Indonesia kini? Bukankah misinya menumbuhkan pengusaha sebanyak-banyaknya, bukan melindungi laku kriminil pengusaha?

Sebagai sosok yang pernah menjadi pengurus di Kadin Indonesia itu, saya tak terlalu kaget mendengar permainan pengusaha anggota Kadin Indonesia mengakali pajak. Namun yang membuat saya terperanjat, Hakim Ketua yang mengadili TMMI, adalah: Pengurus Kadin Indonesia.

Mengapa bisa?

Apa tidak terjadi konflik kepentingan nanti, tanya saya?

“Yah begitulah Pak, ini info saja, sebab selain pejabat mantan pegawai Ditjen Pajak, hakim itu juga bersal dari pengurus Kadin, atau direkomendasikan Kadin,” tutur Ahmad.

Tidak cukup satu konflik kepentingan rupanya. Konflik kepentingan kedua di kasus kelompok Toyota Astra di mana TMMI ada. Konon unit uasaha Toyota Astra, Tonny Soemarsono, sebagai salah satu komisaris. Fakta ini sulit dikonfirmasi secara tertulis. Namun, menurut kenalan di Bursa Efek Jakarta, nama Tonny memang ada dalam jajaran unit usaha sebagai komisaris. Tonny adalah suami Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Kalau sudah begini keadaan, di satu kasus saja, pah-poh-lah suasana.

“Wah kalau Ibu Menteri dengan suaminya ketat, sampai pakai fasilitas kantor saja, ngga boleh,” ujar Ahmad membela sang Menteri.

Ia kuatir soal urusan keluarga ini disangkut pautkan.

Tetapi ini kan urusan logika saja kata saya.

Sama dengan logisnya Ahmad menghubungkan logika Pengurus Kadin Indonesia, dominan mememangkan pengusaha, merugikan negara.

Bisa Anda bayangkan Sidang Pembaca. Jika satu saja kasus, sudah demikian berpilinnya temali kepantingan. Beragam “pawang’ menjaga. “Pawang” bukan pawang anak bawang. Mereka duduk dalam struktur, bahkan menjadi hakim pengadilan.

Maka ketika saya saya mengamati di ruang sidang body language wakil dari TMMI, pandangannya sisnis ke staf TP DJP. Ketika hakim menegur bahan yang diajukan staf DJP, dua staf perempuan wakil TMMI yang duduk di barisan belakang bertepuk tangan pelan. Saya artikan, itulah tepuk tangan mengakali hak negara; tepuk tangan bagi sekolah rubuh; anak-anak kurang gizi; infrastruktur tak terurus.

Tameng sejarah dan kekuatan kelompok usaha Toyota Astra di Indonesia, juga membuat gengsi yang bertepuk tangan pede.. Seakan mereka balik logika, mereka Goliath, negara cecere.

Faktanya di negara inilah mereka mendapatkan profit. Pada 2009 mencapai Rp 20 triliun, sesuai yang diumumkan ke publik. Tapi anehnya unit-unit usaha rugi, dan atau impas-impas.

Mereka mencengkram bangsa ini melalui Departemen Perindustrian untuk selalu menempatkan program utama menjual mobil dan motor sebanyak-banyaknya. Jika diteruskan paparan saya, sudah sejak lama saya menduaa, matinya kemampuan industri otomotif hebat seperti di PT Perkasa Engineering, yang berkemampuan membuat mobil setara Astra, bahkan lebih – – terbukti mampu membuat truk 4 x 4 bagus, kini dipakai TNI – – bahkan panser sekalpiun, akhirnya tenggelam karena indikasi tekanan tangan industri Jepang.

Maka tidak berlebihan, jika hampir semua PMA Jepang di Indonesia melakukan praktek transaksi ketidakwajaran atau Transfer Pricing (TP). Dari 750 PMA yang seumur-umur mengku rugi pada 2005, sebagian besar dari Jepang: berdagang, bertransaksi tidak dalam kewajaran.

Sosok Ahmad yang naik motor ke kediman saya, menikmati gaji dan remunerasi memadai. Dugaan saya, ia mengantungi hampir Rp 20 juta sebulan. Karenanya ia dan tim kepada saya mengatakan, “Kami ingin bekerja serius buat negara. Tapi jika keadaan demikian, bagaimana hasil kerja kami,?”

“Acapkali kami seakan tamu di Pengadilan Pajak?” tutur Ahmad.

Saya lepas kepergian Ahmad dari kediaman saya di siang hari di saat hujan mulai rintik. Mendung menggayut, udara berkabut. Alam seakan paham betapa gundah hati ini melihat kasus pajak di Pengadilan Pajak.

Di dalam benak saya, tentulah tidak adil jika kenyatan ini menyalahkan Menkeu semata. Semua orang tak ingin hidup melarat. Namun jika segenap pejabat menjadi bagian menghisap hak rakyat, kehidupan menjadi kualat.

Biang kerok kekualatan itu, akan tajam Anda baca bila menyimak UU Nomor 36 2008 tentang pajak. Di pasal 44 jelas dikatakan penggelapan pajak boleh diselesaikan di luar pengadilan dengan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.

Pasal inilah rupanya menjadi landasan penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, bahkan pengadilan pajak sendiri, melihat celah resmi negosiasi. Maka ketika DPR mengusulkan membuat Pansus Pajak, saya hanya bertanya, apa tak keblinger, bukankah lebih baik mereka merevisi secepatnya UU, agar keadaan tak kian parah?

Seorang kawan di Facebook saya mengatakan: UU pajak menciptakan para drakula.

Apakah anggota DPR kini tak menyadari mereka menjadi bagian kedrakulaan itu?

SEORANG kawan lain di Facebook sengaja menitip kan pesan. Sosoknya pernah bekerja di mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier. Ia banyak tahu sepak terjang mantan pejabat satu ini. “Maka untuk membongkar kebobrokan di pajak, seharusnya tangkap semua pejabat Dirjen pajak, termasuk mantannya” ujar Burhanudin, sebut saja begitu.

Kalimat kawan itu mengingatkan saya kepada suatu petang di Gedung DPR RI. Baru saja sebulan anggota DPR yang sekarang ini dilantik. Sore itu kawan aktifis ini menyambut saya dengan jabat tangan erat.

“Akhirnya kita berkantor juga di sini,” ujarnya.

Kita?

Anda, kata saya.

Wajah kawan itu kini banyak tampil di televisi di saat kasus Bank Century. Ia anggota Tim 9.

Dalam obrolan ringan, tak lama kemudian masuk satu rekannya se-fraksi dari Komisi XI, yang membawahi keuangan. Ia dulu bekerja sebagai kepala kantor wilayah pajak. Saya tanyakan soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang lama saya verifikasi. Bagaimana sebuah rekening PBB, uang negara masuk dulu ke rekening Fuad Bawazier?

“Dulu itu sebelum PBB gabung ke direktorat pajak, kebetulan saya berasal dari PBB, ada yang namanya upah pungut (UP).”

“UP itu semacam dana non bujeter, terakhir sebelum digabung ke direktorat jumlahnya besar sekali,” ujar Sunan, sebut saja demikian anggota Komisi XI itu.

Jika ranah perpolitikan kini semuanya harus dibeli dibeli dengan uang, bukan mustahil masuknya Sunan menjadi anggota dewan, karena asupan gizi ke pemilih nyata.

Dari Sunan pulalah saya mendapatkan gambaran bahwa wewenang pejabat memang sangat sakti di pajak.

Maka kembali saya teringat akan wajah Fuad Bawazier saat saya wawancarai di Presstalk. Ia sempat kaget soal rekening liar yang saya tanyakan. “Ia saya bongkar itu di era Gusdur, agar rekening liar ditertibkan,” ujar Fuad berdalih kala itu.

Dalam verifikasi di lapangan, laporan kekayaan Fuad Bawazier, sebagai contoh. Ia pernah membuat laporan kekayaan ke KPK: property dan uang sebagai hibah Rp 40 miliar.

Entah siapa yang menghibahkan?

Dari verifikasi saya di lapangan, setidaknya ada puluhan unit property miliknya berupa rumah mewah di Kemang, Jakarta Selatan, rumah Mewah di Menteng, Jakarta Pusat, juga apartment, juga kawasan tanmah yang belum dibangun, serta resort di luar kota. Termasuk rumah di dekat Sunda Kelapa, Menteng, yang dijadikan kantor KAHMI versi Fuad. Dari beberapa property itu, memang tidak semuanya atas namanya. Fuad tercatat mendanai banyak pendirian partai di awal. PAN, PKS, diantaranya. Kini ia juga tokoh penting pendana Hanura.

Ichsanudin Noorsy, di Metro TV Senin, 5 April malam, “Makin tinggi jabatan seseorang di pajak, makin tinggi pula wewenang angkanya dalam membuat keputusan negosiasi tentang pajak.”

Begitulah sebagai contoh, Sidang pembaca.

Jika semua ranah politik kita memang mahal, dan harus dibiayai dengan sumber dana yang tak jelas, dan setiap orang berlomba-lomba mempertebal pundi demi bargaining politik sakti, ke depan tenggorokan terasa akan kian sakit jadinya: ranah abu-abu, politik nego, dagang sapi, menjadi-jadi!

Dan hari-hari ke depan, suguhan media hanya akan berada di ranah kulit, apatah pula beberapa media mainstream, pemiliknya terindikasi tajam dalam permainan mengemplang pajak. Apa yang hendak dikata?

Hingga pada kenyataan inilah lahir kalimat saya, agar para para kufur di umur uzur untuk mundur. Sebagai rakyat biasa saya bertanya, apa yang kalian ingin cari, toh jika mati, hanya tulang tanah berkalang.

Revolusi di ranah pajak, adalah merevolusi diri sebagai pemimpin, yang di dalam lubuk bangsa ini sesungguhnya ada tauladan, seperti berkaca ke Muhammad Hatta.

Karena cermin yang selama ini ditutupi, maka tak malu-malu diri para pejabat menampung sekitar 50.000 rekening uang negara ke rekening pribadinya. Wartaekonomi edisi Maret 2010 ini, sekilas menulis soal ini.

Inti soal maukah ranah jagad para pemimpin ini kembali melirik ceruk yang selama ini mereka tutupi sendiri, padahal di lubuk kemuliaan, berlian kehidupan nyata adanya. []

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa V: Cigin Indikasi Toyota Transfer Pricing, Pocari Pun Terindikasi Hisap Negeri

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Rabu , 7 April 2010, azan subuh berkumandang, gempa di Simeuleu, Aceh, berdentang. Musibah lagi datang: Nun di Mamuju, Sulawesi Barat, sudah dua kejadian, anak miskin tak terawat ber-ulat. Di Topik Siang ANTV, bayi 14 bulan luka berbelatung kepala tak bisa berobat. Andai saja sudah sejak 20 tahun lalu bangsa ini memiliki negarawan; Presiden Negarawan; Menteri Keuangan Negarawan, segenap warga Depkeu negarawan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mafhum, maka perampokan bangsa melalui Transfer Pricing (TP), tidak sampai menghisap belulang, pemandangan bayi berulat tak terawat lewat; segenap musibah bantuan ada melimpah; kecerdasan generasi meningkat. Kini? Negarawan oh negarawan ke mana Anda? Kian keblinger DPR berapat dengan DJP,mengusulkan out sourcing orang pajak. Padahal salah satu inidikasi korupsi tajam di sistem teknologi informasi DJP, akibat di-outsoucing. Mengapa anggota DPR tidak instropeksi diri, laku membuat UU, pengemplangan pajak bisa dinego?

SELASA petang di studio QTV, Citra Graha, Lantai 11, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Pusat.. Sebuah kehormatan bagi saya sebagai pemandu talkshow indie Presstalk, Achsanul Kosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR, berkenan tampil. Sejak sebulan lalu, saya memintanya bergabung membicarakan urusan pajak, jauh sebelum kasus Gayus Tambunan membuncah. Topik kami fokus ke urusan Transfer Pricing (TP); sebuah urusan kewajaran dalam bertransaksi, yang dibuat menjadi sangat tidak wajar untuk menghindari pajak. Premis jernih TP.

TP itu, dilakukan para perusahaan besar, PMA, perusahaan lokal, yang seharusnya wajar menjadi tampak tidak wajar. Saya juga sedang melakukan verifikasi, BUMN pun latah melakukan, lalu jika BUMN melakukan, dikemanakan untung yang “ditipkan” ke perusahaan afioliasi itu?

Siapa yang menikmati, sipa yang makan?

Untuk memudahkan pemahaman TP. Contoh harga gula sekilogram Rp 5.000, tapi oleh sang perusahaan dijual ke perusahan dalam group afiliasi ke luar negeri Rp 2.500, di pembukuan. Perusahaan afiliasi itu umumnya di negara bebas pajak, seperti Mauritius, Cayman Island. Produk gulanya secara riil masuk ke pasaran bebas di harga Rp 5.000. Untung sudah disembunyikan Rp 2.500.

Corak permainan pat-gulipat di TP ini manca ragam. Urusan membebankan biaya di luar negeri dipikul perusahaan lokal Indonesia, misalnya. Untuk contoh ini sudah saya tuliskan pada Sketsa sebelumnya, seperti indikasi dilakukan oleh; PT Toyota Motor Manufaktur Indonesia (TMMI), PT Kraft Indonesia, PT Hyatt Indonesia, di antara ribuan perusahaan kini bersidang banding di Pangadilan Pajak.

“Jujur selama ini kami tidak mengamati soal transfer pricing. Yang kami lihat Rp 600 triliun APBN dari pajak, lalu peningkatan jumlah wajib pajak mencapai sepuluh juta, sebuah prestasi,” ujar Achsanul.

Tranfer pricing (TP) memang cuma istilah. Pengertiannya, sesungguhnyalah urusan kewajaran bertransaksi. Masing-masing perusahaan membuat neracanya rugi. Untung disembunyikan. Biaya diperbesar. Impor harga ditinggikan.

Komponen biaya tak masuk akal, termasuk membebankan royalti hak cipta dalam sebuah angka tambun; Pada kasus royalti, misalnya, indikasi tajam pada merek Susu Bendera, bangsa harus membayar Rp 100 miliar setahun setidaknya ke luar negeri.

Pada kasus royalti ini, Australia pernah palak kepada kelakuan Toyota. Tercatat archive di google, sebagaimana diingatkan pembaca Sketsa di Kompasiana.com. Modus transfer pricing ini bukan hal baru bagi Toyota. Pada 2004, diberitakan di media Australia kalau Toyota sedang berselisih dengan kantor pajak Australia. Kantor pajak menagih sampai satu miliar dolar Australia. Dan hal yang sama terjadi juga awal 90-an. Lihat: <http://www.theage.com.au/articles/2004/06/18/1087245116983.html.&gt;

Jika saja Grup Toyota Astra melakukan TP di Indonesia tahun-menahun tambun, bukan isapan jempol jika puluhan bahkan ratusan triliun hak penerimaan negara terindikasi telah mereka hub-balahap-kan. Pembaca Sketsa lain mengatakan, “Jika hal itu memang sudah terjadi, betapa kejamnya, bagaimana negara ini telah memberikan banyak fasilitas dan kemudahan di sektor otomotif. Sebuah penghianatan.”

Bahkan sosok Amin Appa, pembaca Sketsa di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab menuliskan, “Kendati sudah ada AFTA sekalipun anehnya harga mobil tetap saja dua kali lipat di Indonesia dibanding di sini.”

Amin Appa, yang beristerikan sosok wanita Bosnia, lebih lanjut menuturkan:

“Mengingat sumber kemiskinan rakyat Indonesia adalah karena banyaknya uang pajak yang menguap, maka belajarlah ke Bosnia yang baru saja porak poranda akibat perang saudara, “ tulis Amin pula, “Bosnis kini bangkit dan bukan hanya membangun tapi juga telah berhasil membebaskan pembayaran sekolah dan kulliah dari semua tingkatan dan memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi warganya. Sumber dananya hanya mengandalkan pembayaran pajak sebesar 17% bagi pajak penjualan dan produksi.”

“Bosnia tidak punya kekayaan alam seperti Indonesia. Tetapi rakyatnya bisa sejahtera walau belum sampai ke taraf negara-negara maju di Eropa. Bosnia berhasil karena adanya pengawasan dan kesadaran tinggi untuk kesejahteraan bersama.”

Sumber utama pemiskinan Indonesia, memang, saya indikasikan dominant dari pajak yang kabur di TP. Soal volume besarannya yang terindikasi TP pada 2009 mencapai Rp 1.300 triliun, jernih dan jelas perhitungannya.

Bukan isapan jempol.

Mengkalkulasinya gampang saja, jumlah transaksi perdagangan pada 2009 mencapai Rp 2.400 triliun, menurut pejabat di DJP, sebanyak 60% di lingkup masalah TP.

Mengapa TP menjadi-jadi terjadi?

“Jujur, kami alpa mengamati,” kata Achsanul.

Kenyataan di lapangan baru ada seksi TP di DJP pada 2007. Padahal laku TP sudah membumi di negeri ini sejak 20 tahun. Atas dasar inilah saya mengatakan, volume uang yang diributkan di kasus Gayus Tambunan, hanyalah urusan di receh, masalah kulit ari. Di banyak urusan, bangsa ini acap membunyikan urusan remah. Padahal uang negara raib menambun di soal TP.

“Berarti uang pajak untuk APBN selama ini masih berkutat penerimaan dari pajak publik, dari dunia usaha besar-besar itu belum optimal dan atau tak dioptimal oleh sang pengusaha yang telah mendapatkan pasar dan berbagai kemudahan?” ujar Achsanul heran.

Tepat!

Menjadi tidak tepat adalah ada dua hal. Setidaknya, UU perpajakan bermasalah. Pertama UU 28 tahun 2007, pasal 36A; pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Pasal ini telah membuat semangat kerja staf DJP kecut.

“Bener-bener bikin males, sudah capek menghitung, jika salah, kena sanksi lagi,” ujar Sanusi, staf di kantor pusat DJP.

Kedua soal UU 36, 2008, pasal 44, yang membolehkan penggelapan pajak dapat diselesaikan di luar pengadilan, dengan denda maksimum mencapai 400% dari pajak yang digelapkan. UU demikian membuat kejadian macam Gayus Tambunan, menjadi kekuatan para pihak; mulai wajib pajak, konsultan pajak, pengadilan pajak, hakim, kepolisian, dapat bermain.

Wong, edan tenan, boleh nego!

Sudah seharusnya kedua UU itu menjadi topik perhatian. Namun ketika Rabu petang saya lihat di televisi: Komisi XI DPR ketika memnggil Dirjen Pajak, seorang anggota dewan dengan entengnya mengusulkan langkah ou- sourcing SDM pajak. Fakta di lapangan kasus komputerasi, teknologi informasi dan data baase DJP, yang dilakukan tender nya di era Darmin Nasution menjadi Dirjen Pajak, terindikasi kuat bermasalah.

Apatah pula kini semua urusan pajak di out-sourcing?

“Kami untuk mengubah atau menambah satu entri data saja, untuk kepentingan formulir, pihak ketiga yang menjalankan system IT Pajak, menolak,” kata Sanusi, karyawan kantor pusat DJP.

Itu artinya kontrol terhadap data segenap wajib pajak ada di tangan pihak ketiga.

Mak!

Kenyataan ini mitrip pula dengan ap yang terjadi Depertemen Tenaga Karja RI. Siluruha input data base diserahkan kepada pihak ketiga. Sehingga semua data TKI, dimiliki oleh pihak ketiga.

Sekarang urusan data uang penerimaan negara dari pajak, ada pula digenggaman pihak out-sourcing.

Tidak salah, memang.

Tetapi jika pihak DJP, dibuat macam menumpang di mana haknya sendiri seakan ditutup demi perbaikan, menjadi tanya, mengapa negara kemudian dikebiri?

Di pengadilan bagaikan tamu, di urusan teknologi informasi, menjadi penumpangh, di undang-undang dikebiri, bisa Anda bayangkan, kini betapa muaknya sesungguhnya menjadi karyawan DJP.

Kemuakan itu, saya dapat pahami, apalagi kini sejak kasus Gayus Tambunan, sebagaimana diungkap Dirjen pajak di depan Komisi XI DPR Rabu petang, “Staf kami di jalanan lupa mencopot tanda pengenal, lalu diteriaki maling.”

Padahal maling besarnya di ranah dunia usaha.

Di Apa kabar Indonesia malam, lain lagi diperdebatkan, soal kerahasiaan wajib pajak yang harus dilindungi melalui UU 34. Pembicara antara lain Fuad Bawazier, yang di Sketsa sebelumnya saya singgung soal kiprahnya, juga Ichsanodin Noorsy, mantan anggota DPR.

Mereka lupa jika wajib pajak, berani mengugat ke pengadilan, dan pengadilan adalah ranah publik, maka di saat itulah dia juga siap membuka diri. Kudu! Apalagi pasal 50 ayat (1) UU No 14 tahun 2002, jelas mengatakan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik.

Logikanya, jika berani berperkara, maka berani buka-bukaan ke masyarakat umum. Jika enggan buka-bukaan, bayar pajak dengan benar, hak rakyat jangan ditelap.

Begitulah Sidang Pembaca, sebagaimana pesan yang disampaikan seorang pejabat di Menko Perekonomian kepada saya, Sketsa TP dan DJP ini, jika saya tuliskan dalam lima tahun tak aka nada habisnya.

Karena, memang, esensi soal lari ke mana-mana. Upaya anggota DPR membuat UU melenceng, bak lain angguk lain ilalang. Kepada Achsanul saya tanyakan, apa karena 2/3 anggota DPR pengusaha?

Dan atau yang belum menjadi pengusaha kini juga merangkap jadi pengusaha?

Lain lagi menkeu Sri Mulyani.

Sejak kasus Gayus, Menkeu terindikasi tajam reaktif. Maka segenap staf yang harus memperjuangkan hak negara, hak rakyat di pengadilan pajak, kini menjadi tidak tersedia. Contohanya untuk staf banding semacam Gayus, dibebas-tugaskan tanpa terkecuali. “Sementara persidangan harus berjalan, setiap hari,” ujar Sanusi, staf DJP.

Sampai pada kalimat Sanusi tadi, maka Rabu, 7 April 2010 pagi saya ke pengadilan pajak lagi.

JALANAN di Rabu pagi di menjelang pukul 10.00 tidak terlalu macet. Seperti biasa di Gedung Sutikno Slamet, Depkeu, bak sudah saya tulis di Sketsa terdahulu, tamu harus mendaftar dulu, meninggalkan KTP.

Kali ini, pertanyaan dua gadis penerima tamu lebih rinci. Di samping dua petugas keamanan bersafari hitam mengamati saya.

“Mau ke mana Pak?”

Lantai Sembilan, jawab saya.

“Bapak dari PT apa?”

Modus baru rupanya.

Bertanya asal perusahaan sang tamu.

Apakah jika bukan berkepentingan, bukan peserta sidang pajak tidak boleh naik?

Apa Depertemen Keuangan tidak membaca UU, seorang jelata pun asal rakyat Indonesia boleh masuk ke sana. Gedung itu dibiayai rakyat, mereka digaji rakyat, dan urusan di pengadilan pajak bagi kepentingan rakyat!

Dari pada saya mengaku sebagai Citizen Reporter, anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia, blogger blog-presstalk.com, mantan ketua Umum PWI-Reformasi, akan panjang urusan. Secepat kilat saya sebut saja berasal dari salah satu grup sebuah perusahaan. Asal ingat, asal ucap.

Mereka memberikan tanda pengenal tamu.

Ada saja improvisasi baru, untuk “menghambat” kalangan media masuk ke Pangadilan Pajak.

Di lantai 9 saya amati, kursi tamu masih ada tersisa kosong. Biasanya selalu penuh.. Pintu-pintu ruang sidang, yang persidangannya sedang berjalan memang kini masih terus tampak dibuka. Kenyataan ini jangan sampai hangat-hangat tai ayam. Bila bulan depan ditutup lagi, akan menjadi laku basi.

Hendak naik lift saja kini filter sudah bertambah.

Saya lihat di papan dinding, ada daftar hampir 40 perusahaan bersidang. Mereka di antaranya: PT Bakrie Pasaman Plantation, PT Sinar Mas Air, Halliburton Indonesia, Toshiba Visual Media, dan banyak lainnya.

Di saat duduk mengamati daftar sidang hari itu, seorang wartawan Media Indonesia masuk. Menyandang ransel hitam, ragu-ragu. Saya mendengar pertanyaannya ke seorang di belakang saya. Saya berdiri menghampiri. Saya perkenalan diri.

Wartawan itu mengaku membaca Sketsa saya di milis jurnalisme di Yahoogroups. Saya minta ia yakin saja masuk ke salah satu ruang sidang mengikuti acara persidangan. Ia masuk ke ruang sidang IV. Saya menguping di ruang sidang II. Di ruang sidang dua, saya melihat bukti implementasi kebijakan reaktif Menkeu Sri Mulyani. Wajib pajak ada. Namun wakil petugas banding dari DJP tak ada. Bagaimana mereka bisa datang, wong Menteri-nya telah menon-aktifkan mereka semua?

Seketika geleng-geleng kepala saya.

Saya tak mengerti masalah aturan dan materi persidangan. Namun hakim saya perhatikan di ruang II itu, terus saja melanjutkan persidangan. Agak aneh bagi saya, sidang boleh terus berjalan walaupun petugas dari DJP, wakili negara, mewakili rakyat, bangsa, tiada.

Ketidak terwakilan rakyat itu, negara itu, terindikasi karena kebijakan menon-aktifkan segenap petugas banding pajak di DJB. Tidak berlebihan bila saya katakan, betapa naifnya sang pengambil kebijakan.

Inilah yang saya sebutkan sebagai reaktif tadi itu.

Entah mengapa kerongkongan saya seketika di Pengadilan Pajak itu kering. Saya bergerak ke ruang tengah ke warung yang sekarang kaca-kaca raknya tampak bening, bersih, dibanding pertama saya ke sana. Pada Sketsa I, saya menulis soal minuman berkaleng biru putih, maka di Sketsa ini saya sebut namanya, Pocari. Produsen Pocari kini juga salah satu perusahaan yang proses persidangan TP-nya sedang berjalan.

Kelakuannya sama. Beban biaya, dari segenap penjulan ekspor teindikasi semuanya dibebankan lokal. Sehingga Pocari yang ditenggak orang Singapura, misalnya, disubsidi oleh belulang anak negeri ini: untuk sebuah minuman yang katanya mengandung ion, meniru kandungan ada di buah kelapa. Padahal di bangsa ini di mana nyiur melambai-lambai.

Maka dengan kemasan botol plastik yang pendek dengan harga Rp 7.000, saya pun menghisap, turut menanggak “darah” rakyat sendiri.

Kejam kalimat saya?

Para produsen pengemplang pajak itu apa tidak lebih kejam terhadap bangsa ini? Anda semua dapat menjawab.

Dan jawaban panjang saya, akan bergulir terus di Sketsa ihwal transfer pricing. Dan bengaknya kita berbangsa, selama ini, segenap komponen bangsa seakan tertutup matanya soal TP ini.

Akhirnya, saya pahami pula bahwa kendati di media alternatif tulisan beredar, tampaknya disimak juga oleh pejabat di Depkeu khususnya DJP. Kalian di dalam Departemen janganlah menyalahkan pihak-pihak yang memberikan info, keterangan dan atau data atau masukan kepada saya.

Jaman sudah berganti. Keterbukaan kepada publik bukan basa-basi. Jika banyak media mainstream takut kepentingan iklannya terganggu, karena memberitakan Pocari, misalnya, peluang hilang.

Mereka di DJP kebanyakan orang baik, pekerja serius. Tak perlulah disalahkan mereka, di level staf, berpikirlah demi kepentingan publik. Mending intropeksi diri, baik sebagai Menteri, sebagai Dirjen, lebih-lebih sebagai anggota DPR, termasuk saya sendiri sebagai penulis, saking instrpeksinya, saya jamin berpuluh Sketsa TP ini pasti akan terus saya tuliskan. []

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa VI: Transfer Pricing: Di Pengadilan Pajak Cincai-Cincai

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu, 14 April ke media di Jakarta, mengatakan telah memecat seluruh Satpam di Pengadilan Pajak. Depkeu memasang CCTV baru. Sebelumnya seluruh staf untuk posisi Banding di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dibebas-tugaskan. Sebagaimana Sketsa V, sebuah sidang kasus pajak, tetap berjalan, kendati pihak terbanding; wakil DJP; wakil negara; wakil rakyat tepatnya; tak hadir di ruangan sidang, persidangan terus melenggang. Esensi kian lari, ibarat jauh panggang dari api: potensi peneriman negara Rp 1.300 triliun dari indikasi Transfer Pricing (TP), pada 2009 tak terurus, pupus. Isu kulit di meng-gayus, remah di men-satpam malah membuncah. Kekayaan dan kesejahteraan bangsa terlanjur menguap di tangan 48 hakim di Pengadilan Pajak (PP) di 17 majelis terindikasi korup; kusut akut. Sudah lebih setahun PP hanya memiliki ketua hanya pejabat sementara. 13.000 perkara masih antri di sana. Ada apa?

PAGI di kawasan parkir Depkeu, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat. Matahari cerah, pagi bergairah. Awal Januari 2010. Sebuah SUV Toyota Land Cruiser Cygnus, keluaran anyar, parkir. Supirnya seorang staf eselon empat di Pangadilan Pajak (PP). Di hari itu ia menyetir Cygnus, di hari lain, sosok mobil buildup-nya Mercedes Benz limited. Ganti-ganti. Masing-masing mendekati Rp 2 miliar.

Sosok pengendara Cygnus itu karyawan Pengadilan Pajak (PP) “cemerlang”. Bagaimana tak ‘kinclong’, gajinya sebagai karyawan eselon empat, setelah remunirasi di Depkeu, paling top cuma Rp 8 juta saja sebulan. Angka itu di bawah gaji Gayus Tambunan, kini dihebohkan. Mobil-mobil mewah bisa menjadi mainan karyawan eselon empat PP.

Wani tenan digawa nang kantor?

Menurut koleganya di PP, rumah staf eselon empat itu, juga lebih dari empat.

“Sosok pemilik mobil mewah itu nyantai saja, karena mengelola dana taktis dari wajib pajak berperkara,” ujar Sutikno, sebut saja begitu, staf di PP itu.

Sutikno buka-bukaan kepada saya setelah lima Sketsa saya meluncur ke publik online khususnya.

Jadi, setelah angka TP tambun-menambun tahun-menahun saya verifikasi bercerabutan dari bangsa ini, amblas di PP – – tepatnya dominan “legal” menguap – – kini cerita meng-gayus lain tersaji pula ke hadapan Anda.

Parah membuncah-buncah?

“Benar Mas!” kata Sutikno pula,”Reformasi birokrasi hanya ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Tetapi pengadilan pajak, tidak berlaku apa itu reformasi.”

“Bahkan, sudah hal lazim, kalau staf direktorat pajak menghimbau ke wajib pajak: kita teruskan saja urusan ke pengadilan pajak, di sana segalanya lebih mudah baku atur.”

Secara adminsitratif PP berada di bawah Depkeu dan konten hukumnya berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Maka boleh dong, saya tulis PP memang tidak diurus dengan baik oleh Menteri Keuangan, juga seakan alpa dikontrol MA.

Kekisruhan di PP bisa berawal sejak masuknya kasus. “Di sekretariat tata usaha pengadilan pajak, kasus sudah diperebutkan. Kasus puluhan triliun, diperebutkan oleh majelis hakim, bukan isu baru,” tutur Sutikno.

Cerita berlanjut.

Begitu peristiwa Gayus Tambunan di awal menghangat, suasana gerah gundah menyesak-pengak di PP. Menurut Sutikno dan diamini oleh dua koleganya, mesin penghancur kertas merek Secure di sekretariat PP bekerja keras. Bahkan penghancur kertas lebih besar di lantai 5 Gedung Sutikno Slamet, Depkeu itu, di mana PP bermarkas, bekerja lebih ekstra banyak melumat berbagai dokumen. Dan anehnya hari ini Kamis, 15 April, pelumat kertas di lantai 5 itu sudah pula dipindah.

Ibarat orang dikejar macan, kertas berita acara persidangan pun ikut terbirit dihancurkan mesin penghancur kertas. “Dokumen mencurigakan dilebur. Suasana memang menjadi tak kondusif,” ujar Sutikno.

Dua rekan Sutikno yang menjadi staf di PP menambahkan. “Pimpinan saya, ada yang langsung membawa tas besar, saya duga uang yang pernah saya lihat di sebuah lemari kecil,” ujar Andri Nuh, bukan nama sebenarnya, kolega Sutikno di PP.

Bila sudah begitu, memang bolehlah siapapun bertanya, di PP telah berkeliaran sosok makhluk berbadan manusia, tetapi sesungguhnya berperilaku “drakula”? Drakula lakunya dalam memenangkan wajib pajak, kendati secara akal sehat pengemplangan pajak terus-terusan di pelupuk mata terjadi.

Maka untuk mengetahui kedrakulaan itu; beginilah konten PP:

PP memiliki 48 hakim. Mereka dominan berasal dari pensiunan pegawai DJP. Beberapa di antaranya pihak swasta berlatar pendididkan hukum, wakil dari Pengurus Kadin Indonesia. Anda tentu mafhum, bahwa Kadin wadah para pengusaha, keberpihakannya ke mana.

Ke-48 hakim itu berada dalam 17 majelis; 15 majelis mengadili pajak dan dua majelis mengadili urusan bea cukai, kepabeanan. Sedangkan satu mejelis terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim pendamping. Wewenang para hakim ini, berada langsung di bawah Mahkamah Agung.

Majelis juga dilengkapi panitera pengganti sebanyak dua orang (eselon tiga) dan pembantu panitera pengganti (PPP) sebanyak empat orang (eselon empat). Di bawah para PPP inilah berderet para pelaksana; mereka umumnya baru berkerja satu dua tahun sebagai tamatan Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN).

Ke-17 majelis itulah bersidang di sepuluh ruangan sidang berukuran ¾ lapangan basket; Sembilan ruang sidang di lantai sembilan dan dua ruang berada di lantai sepuluh. Untuk yang di lantai sepuluh, pengadilan, umumnya, bagi urusan bea cukai.

Perubahan mencolok lain di Pengadilan Pajak (PP), sebelum dan sesudah kasus Gayus:

Sebelum saya menulis Sketsa satu, pintu-pintu ruang sidang tertutup. Kendati UU menabalkan bahwa pengadilan pajak terbnuka untuk umum, namun terlihat jelas, memang ditutup. Keadaan eksklusif itu diciptakan PP. Menurut mereka wajib pajak kerahasiaan juga layak di lindungi.

Akan tetapi hakim PP maupun wajib pajak lupa. Begitu seseorang atau perusahaan berani maju banding ke pengadilan pajak, seketika itu pula, ia berani berjibaku ke ranah publik, membuka diri bagi publik. “Seharusnya demikian, jika tak mau dibuka datanya ke publik, bayar dong pajak dengan benar,” tutur Sutikno.

“Sebelumnya wajib pajak gampang menemui panitera pengganti. Begitu ada kasus Gayus, tidak mudah lagi, bahkan di pintu dipasang tulisan, bukan karyawan dilarang masuk,” ujar Sutikno.

“Bukan suatu yang aneh jika hakim di persidangan malah memarahi atau merendahkan staf dari Ditjen Pajak.”

Sebagaimana saya simak di pengadilan kasus PT Toyota Manufacturing Motor Indonesia (TMMI), seperti saya tulis di Sketsa terdahulu, hakim terlihat menegur pihak DJP, bahkan ketika wajib pajak sebagai pemohon banding menyerahkan saja keputusan ke hakim – – hakim ketuanya pengurus Kadin Indonesia – – staf DJP melongo dibuatnya.

Padahal indikasi transfer pricing (TP) perusahaan itu triliunan.

Indikasi kejahatan melalui ketidakwajaran itu meyembilu belulang. Bayangkan selama ini kelompok usaha perusahaan melimpah ruah kemudahan berusaha; hamparan pasar besar, menikmati keuntungan tambun di rentang panjang, namun terindikasi terus mengemplang.

KETIKA di tol Cipularang dalam perjalanan ke Bandung pada 12 April di saat saya hendak menjadi pembicara untuk urusan Jurnalisme Radio 2.0 dalam seminar diadakan oleh eBI dan ITB, Bandung, di kilometer 73, sebuah Toyota Kijang SGX, di kecepatan lebih 100 km di depan saya, tampak tak dapat menghindari sebuah truk kontainer mendadak mengambil jalur kanan. Toyota Kijang itu menabrak bagian belakang. Truk mempercepat lari. Bagian kiri Kijang terseret. Semua atap terkopek, bagian belakang remuk bagaikan sehelai kertas diremuk.

Untung saja tidak ada penumpang di bagian kiri. Jika saja ada anak atau isteri sosok pria korban yang menyetir, pastilah remuk redam bergedibam. Supir sosok pria setengah baya, saya perhatikan masih bisa bergerak dengan kepala berdarah-darah.

Sudah sejak lama saya bertanya urusan kualitas dan keselamatan mobil-mobil beredar di pasar Indonesia. Bisa Anda bayangkan, jika industrinya terindikasi mengemplang pajak tambun melalui TP, melalui transaki tak wajar, seperti yang sudah saya tuliskan di Sketsa sebelumnya, pasar besar di Indonesia ini seakan manut sak karep industri: Kualitas barang layak dipertanyakan; komponen besi bak kerupuk.

Urusan menjadi alang kepalang. Dan ini, tentu, bukan dominant di domain otomotif saja. Hampir di semua industri, termasuk consumer good, pengemplangan pajak, tahun-menahun, tambun-menambun terjadi, khusus di transfer pricing.

Sosok Amin Appa, pembaca Sketsa V, di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab, berkomentar. Ia menuliskan perihal industri consumer good:

Selama ini rakyat banyak ditipu oleh pemilik pabrik industri besar karena subsidi dan proteksi. Contoh kecil gandum bahan baku mie instant yang banyak di konsumsi rakyat Indonesia. Biji gandumnya dimpor dari AS atau Australia, pemerintah mensubsidi biji gandum impor sekitar US $ 50 dollar per ton – – perusahaan importir biji gandum didominasi kelompok satu konglomerat.

Untuk memenuhi kebutuhan pabrik gandum di Indonesia, biji gandum olahan di Indonesia, bukannya disebarkan memenuhi kebutuhan rakyat banyak, tapi hanya beberapa persen saja dilempar ke pasar untuk kebutuhan kue roti rakyat. Dominan gandum tersebut dimasukkan langsung ke pabrik olahan; bagi kepentingan pembuatan mie instant atau biskuit – – pemiliknya juga konglomerat pengimpor biji gandum.

Akibatnya harga gandum tetap mahal.

Setelah produk jadi tersebut siap santap, produk jadinya bukan bukan dipasarkan murni ke dalam negeri, tetapi sebagian besar malah diekspor. Akibatnya yang timbul:

1. Harga gandum, terigu di Indonesia lebih mahal karena sebagian besar dijadikan bahan baku produk-produk jadi seperti mie instan.

2. Hasil ekspor produk-produk jadi seperti mei instan, pembukaan LC -nya banyak dilakukan di negara tetangga sehingga uang dari hasil penjualan disimpan dan didepositokan di sana, maka yang menikmati kesejahteraan adalah negara tetangga bukan rakyat Indonesia.

3. Untuk menjamin kesinambungan produksi, berkolusilah pejabat dengan pengusaha, izin impor biji gandum hanya diberikan kepada beberapa perusahaan dalam satu atap dan untuk mencegah harga gandum dalam negeri jadi murah proteksi dilakukan, pajak impor tinggi.

Saya pernah sempat geleng-geleng kepala ketika bertemu dengan salah seorang sales menager pabrik gandum Persatuan Emirat Arab (PEA) di Dubai International Trade Fair. Sempat sosok itu bercerita bahwa impor gandumnya terhambat masuk di Indonesia karena di kenai UU dumping.

Ketika itu saya bertanya dalam hati mengapa pemerintah RI tidak menginginkan jika produk gandum lain dari luar negeri masuk ke pasaran Indonesia?

Padalah jika hal itu membuka pasar, membuat murahnya harga gandum lokal. Tapi kebijakan, malah sebaliknya mensubsidi impor biji gandum untuk memenuhi kebutuhan pabrik gandum di dalam negeri yang nota bene sebagian besar produknya di ekspor.

Jika gandum di PEA atau di Oman, Qatar, masuk ke pasaran Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Priok dan Surabaya, jika tanpa dikenai pajak impor akan jauh lebih murah harganya produksi pabrik Bogosari.

Jadi untuk apa uang rakyat dihambur-hamburkan mensubsidi impor biji gandum jika kita bisa memperoleh gandum dari luar negeri lebih murah dibanding produksi dalam negeri? Apakah tidak lebih bermanfaat kalau subsidi tersebut dicabut dan dialihkan mesubsidi pendidikan atau kesehatan rakyat?

Di Sketsa V, Amin Appa, telah pula mengingatkan betapa harga mobil di Indonesia, dua kali lipat harganya dibandingkan dengan di Abu Dhabi, PEA.

BEGITULAH sidang pembaca!

Kamis pagi, 15 April 2010, saya mengkonfirmasi kepada seorang staf DJP bagian transfer pricing, apakah di kelompok usaha terigu dan produk jadi, juga ada indikasi pengemplangan pajak melalui transfer pricing? Sosok itu mengamini.

Maka, jika semua perusahaan besar menikmati pasar dan segenap kemudahan subsidi dari negeri ini, masih mengatakan di Indonesia high cost economy? Yang membuat cost itu high, adalah diri mereka sendiri, dominan pula menjual produksi ke perusahaan afiliasi dengan harga separuh harga pasar. Itu artinya separuh keuntungan disembunyikan dulu, barang dagangan masuk ke pasaran bebas dengan harga riil pasar.

Di negeri inilah saya verifikasi, bahwa prinsip ekonomi itu secara taat kaedah dilakukan para pengusaha: modal sekecil-kecilnya, untung setambun-tambunnya, jika nol modal, bahkan dimodali bangsa dan rakyat ini, kemudian hisap lagi darahnya dari mengakali pajak.

Undang-Undang pun kompromis, penggelapan pajak boleh diselesaikan di luar pengadilan. Sebagaimana sudah saya ulang-ulang tulis di Sketsa terdahulu.

Di Bandung di saat Seminar Inovasi Radio 2.0, pada 13 April 2010, di mana penemuan aplikasi RISE sebagai konten otomasi radio, telah memungkinkan jurnalisme radio 2.0, di mana perilaku User Create Content (UCC), ke depan alan enajam naik.

Maka di Aula Barat, ITB itu, saya pun menyampaikan ke peserta seminar yang umumnya kalangan radio dari seluruh Indonesia, ihwal komunitas warga Indonesia di Houston dan Amerika Serikat umumnya, mengajak melakukan seminar melalui aplikasi web di Webinar.

Mereka ingin tahu urusan penggelapan pajak, urusan transaksi kewajaran, urusan transfer pricing (TP) menambun. Seminar online dengan saya sebagai pembicara dari Indonesia, peserta kalangan warga Indonesia di AS; merupakan bentuk implimentasi UCC itu. Maka jurnalisme blog atau web 2.0, di dalam rangkaian Sketsa soal pajak ini, menjadi santapan Anda.

Maka ketika seorang pemrakarsa dari Houston, AS, menelpon saya, untuk membincangkan teknis kegiatan yang akan dilakukan, SMS ke mobile phone saya masuk, mengabarkan Pengadilan Pajak dipanggil oleh komisi XI DPR pada Kamis, 15 April 2010, pukul 22.00.

Saya menghubungi Achsanul Qosasi. anggota DPR Ko,isdi XI, yang secara jujur mengatakan berterimakasih telah membukakan TP di saat ia hadir di Presstalk, QTV, talkshow indie yang saya pandu. “Selama ini kami tak paham bahwa transfer pricing itu luar biasa besar,” ujarnya pula, “Berarti uang pajak selama ini, dominan hanya dari publik, bukan dari perusahaan besar-besar itu?”

Sayangnya, ketika saya hendak menghidangkan tulisan ini ke hadapan Anda, saya mendapatkan kabar, pertemuan Komisi XI DPR yang mebawahi keuangan, perbankan, dengan PP ditunda.

Bagi saya, ada atau tiada pertemuan itu, kewajiban citizen reporter membuka kenyataan ini kepada publik sebagaimana adanya menjadi premis utama. []

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa VII: Pajak: Pengadilan Pajak Reaktif Kiri-Kanan

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Setelah enam Sketsa ihwal pajak, soal Tansfer Pricing (TP) mengalir saya tuliskan, laku reaktif di Depkeu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), juga di Pengadilan Pajak (PP), seakan tertayang bagaikan sinetron televisi. Saya sebagai sosok penonton melaporkan sang tayangan kepada Anda. Setelah lantai PP dan berbagai ruangan diberi CCTV, seluruh satpam diganti, kini adalagi sistem pengamanan baru, pengunjung kudu melewati pintu ber-Xray. Kian hari kian ada-ada saja. Mereka lupa mengelola kekayaan negara, uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Apakah termasuk bagi mempersulit rakyat datang bertandang?

MINGGU, 18 April 2010, pukul 8 pagi waktu Indonesia, saya mencoba melayani kawan-kawan asal Indonesia di Houston, AS, menjadi pembicara seminar melalui aplikasi di Webinar. Baru pertama saya memakai software Webinar. Situasi sampai tiga kali putus koneksi. Di dua jam pembicaraan utama, menyangkut Transfer Pricing (TP). Selebihnya topik umum Indonesia ke depan.

Seorang peserta seminar online, menanyakan, bagaimana jika kelak saya menjadi bagian kekuasaan, logikanya acap kali seseorang berada di luar lingkaran kekuasaan bicaranya lain. Setelah di dalam pemerintahan lain pula? Termasuk bila mantan pejabat setelah di luar kekuasaan, bersuara sumbang?

Pertanyaan peserta seminar online lintas benua itu mengingat saya akan staf Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menangani PMA. Ia kini sudah berbisnis. Suatu hari sosok mantan staf DJP itu bertanya kepada saya.

“Jika sebuah dus teve berukuran 29 inci, lalu dihidangkan ke Anda berisi penuh lembaran Rp 50 ribu? “ Kala itu lembaran tertinggi Rp 50 ribu, belum muncul lembaran Rp 100 ribu.

Sosok mantan staf DJP itu tanpa menunggu saya menjawab.

“Pasti Anda ambil!” ujarnya.

“Ingat bukan sekadar omongan atau janji lho, uang tunai di depan Anda!”

Kalimat tadi seakan bersahutan hadir di telinga. Nada berbeda, konteks sama dengan penanya di Webinar.

Peserta seminar Webinar mengultimatum:

“Saya rekam jawaban Anda sekarang, nanti akan kami ingat omongan ini.”

Saya mejawab: Paradigma terhadap uang harus dibalik. Uang sebagai value, nilai, bukan volume. Jika nilai yang dikedepankan, seseorang di Depkeu, contohnya, menulis komentar di Sketsa VI di Kompasiana.com, mengatakan setelah remunerasi di departemennya, uang gajinya cukup untuk layak hidup.

Ke depan kita butuh pemimpin siap “miskin”. Sejarah sudah memberikan tauladan seperti Muhammad Hatta, misalnya. Tanpa membalik paradigma terhadap uang, tidak akan pernah terjadi perbaikan kemajuan Indonesia.

Sabtu malam sehari sebelumnya, saya mendengar percakapan Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, dengan Farhan, pembawa acara di TV One. Mahfud menyebutkan sistem rekrut anggota DPR, pejabat di pemerintahan. Mahfud menyebut para menteri, banyak tidak pada tempatnya. “Mereka didudukkan lebih bagi kompromi politik, menampung aspirasi partai politik, bukan aspirasi rakyat, “ ujar Mahfud.

Dalam kenyataan itu, keadan diperparah langgam uang menjadi tuan. Untuk menjadi anggota parlemen kudu membeli, naik jabatan di pemerintahan dengan fulus, agar mulus.

Atas logika itulah, agaknya, uang kudu diraih dengan menghalalkan segala cara; merampas hak orang lain, jika perlu membunuh sesama biasa. Dalam tatanan inilah saya mengatakan kepada banyak komunitas anak muda, bahwa bukan saja kebudayaan kita tidak bergerak maju, tetapi peradaban mundur.

Laku memuluskan segala langkah itu pulalah yang dilakukan oleh oknum di Pengadilan Pajak (PP), yang di Sketsa VI saya deskripsikan terindikasi ada yang pernah memiliki SUV Toyota Cygnus, kendati gajinya sebulan tak sampai Rp 8 juta. Sosoknya dan pejabat di atasnya, ditengarai telah memainkan peran menghimpun uang bagi kepentingan kelompok kerja, bagi kepentingan kantung masing-masing.

Dan sebagaimana departemennya bekerja, sikap personalnya pun reaktif. Ia melacak saya sebagai penulis, dan bersama seorang koleganya menemukan kontak saya, yang katanya mengajar di Ukrida, Jakarta.

Itulah perbincangan sang oknum bersama koleganya di ruangan kerjanya. Padahal sosok yang diperbincangkannya itu adalah Indra Piliang, mantan staf peneliti CSIS, yang kini terjun ke ranah politik praktis, secara kebetulan memang bersuku Piliang, sekampung, sesama Piliang, otomatis kami bersaudara.

Jika sang oknum punya rencana “sesuatu” terhadap saya, jangan pulalah nanti kalian salah sasar ya?!

Akan halnya saya, data lengkap ada di dunia online, menganga adanya.

Pekerjaan Rumah kalian, bukan “mengurus” saya. PR kalian adalah mengembalikan segalanya berjalan sesuai aturan, bukan sebaliknya membentengi diri, atau jika perlu menyerang orang. Laku demikian usang. Era keterbukaan, publik kini mudah memantau fakta yang ada.

Tanpa punya CCTV, macam proyek yang kalian lakukan di Depkeu untuk PP, saya dengan rendah hati dapat menerawang oknum yang pernah ber-Cygnus, mendengar percakapannya sehari-hari. Termasuk materi dan strategi para hakim PP menghadapi Sketsa-Sketsa ini.

Saya sudah mafhum, sekadar contoh, kalau mobil Cygnus, sang oknum, sudah berganti ke Mitsubishi Pajero Sport – – tetap terbilang mobil mewah. Dan saya yakinkan kalian, esensi urusan bukan personal, tak hanya kelembagaan PP, tetapi indikasi tumpah ruah bocornya penerimaan negara.

Dan yang bersangkutan tak usah berkecil hati bahwa keliru memperbincangkan saya. Sekadar contoh, Eddy Satriya, kawan di komunitas oneline, staf Deputy Menkoperekonomian RI, dalam membuka seminar nasional Teknologi Inovasi Radio 2.0 di ITB, Bandung, pada Selasa, 15 April, di mana kebetulan saya salah satu pembicara, setidaknya 3 kali menyebut nama Indra Piliang, sambil menujuk ke arah saya.

Nah jika menyasar seseorang saja salah, laku oknum di PP itu, saran saya, ia dan genk-nya introspeksi diri saja. Tidak perlu kuatiar akan Sketsa-Sketsa ini, apalagi membahas serius di dalam rapat resmi PP. Yang pasti, publik, siapapun Anda, terutama media, kontrol-lah PP.

PP kudu terbuka bagi umum. Undang-undang menabalkan demikian. Termasuk para wajib pajak tambun yang minta dirahasiakan namanya juga keliru. Undang-undang menjaga kerahasiaannya, jika ia membayar pajak benar.

Tetapi jika wajib pajak berani menggugat ke PP, otomatis mereka siap buka-bukaan ke ranah publik. Dan umumnya mereka yang terbuka dan bisa menang di PP, adalah yang berusaha memang benar, sepantasnya dibenarkan.

MINGGU, 18 April malam, saya mencoba meyakinkan seorang konsultan pajak untuk bertemu. Sosoknya acap bersidang di PP. Sudah 6 tahun ia bekerja di perusahaan yang cukup bunyi namanya bagi perusahaan besar bermasalah pajak. Namun ia agak keberatan untuk jumpa.

Kami berbincang melalui telepon.

“Situasi sekarang serasa tak kondusif, termasuk di pengadilan pajak, kecurigaan tinggi,” ujar Sam Adi Mulyo, sebut saja namanya begitu.

Dari enam Sketsa yang saya tulis, Sam Mulyo mengamini sebagian besar narasi yang ada. Ia hanya memberikan catatan, dari satu dua perusahaan yang maju banding ke PP, adalah mereka benar-benar seharusnya menang. “Karena memang ada kalanya pejabat pajak salah hitung, atau salah membaca data dan lampiran laporan pajak,” ujarnya.

“Saya tak sepakat kalau seratus persen yang maju ke pengadilan pajak, perusahaan pengemplang.”

Logika Sam Mulyo, tentu bisa diterima. Satu dua perusahaan, sama halnya dengan satu dua orang di PP. Mereka yang mau bekerja dengan benar dengan hati tentu ada. Karena adanya hati bening nan tersisa itulah, dari sana saya bisa mendapatkan info ketidak-beresan itu, jadi bukan dari siapa-siapa, apalagi dari sumber dikarang, sama sekali jauh lah yauw

Termasuk saya mengetahui adanya mesin penghancur kertas di lantai V PP, yang berukuran besar dan sempat dipekerjakan maksimal dan hari ini sudah pula dipindahkan?

Sam Mulyo secara hati nurani mengatakan, “Memang benar kami acap kali melakukan hal-hal yang terkadang bertentangan dengan hati nurani. Laporan audit untuk klien, harus kami stel. Bahkan mencarikan konsultan hukum, pakar, yang paham perpajakan, untuk memberikan opini legal demi memenangkan perkara di persidangan.”

“Yah, seperti di persidangan pada umumnya, pendekatan kepada panitera, kepada hakim kami lakukan dengan berbagai cara. Dengan kondisi pengadilan pajak yang selama ini eksklusif, kami merasa aman. Tetapi sejak Anda menulis Sketsa ini, keadaan benar-benar berubah. Bagi kami ini bisa berkah juga bisa musibah”

Atas dasar adanya perubahan itulah, Sam Mulyo yang sesungguhnya cukup lama saya kenal, merasa “takut’ berjumpa. Kuatir ada pihak-pihak yang melihatnya bertemu saya. Lalu ia akan mengalami kesulitan bekerja di PP, dan itu akan merugikan operasional perusahaannya sebagai konsultan pajak.

Karenanya saya menjadi teringat kepada seorang pejabat di seksi Tranfer Pricing.

“Berbicara ke media ini, juga resiko bagi kami. Tetapi demi kepentingan lebih luas, hal ini kami lakukan.”

Dan benar saja, setelah Sketsa IV meluncur saya tuliskan, kini sang pejabat itu, malah “dinaikkan” jabatannya.

Ia kini tak lagi berada dalam Seksi Transfer Pricing. Padahal sosoknya paling peduli, dan paham akan “kebohongan” tambun selama ini.

Demi penghargaan kepada pejabat yang bersangkutan , Senin, 19 April 2010 ini, siaran Presstalk, QTV, talkshow indie sejam saya pandu, pukul 12.00, kembali mengulang penampilannya bersama Achsanul Qosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR.

Barusan di akhir menulis Sketsa ini, Achsanul mengirim SMS, bahwa pertemuan DPR dengan Pengadilan Pajak, kemungkinan baru akan dilakukan pada Kamis pekan ini. Tentu agenda yang sudah tertunda itu, kian cepat dilakukan kian baik.

Esok Sketsa lanjutan akan hadir lagi, dengan reportase dan bahan indikasi pah-poh DJP di berbagai daerah!

Pengadilan Pajak?

Tentu! []

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com