Oleh Dwi Klik Santosa
Aku iki prasasat lara tan antuk jampi
Koyo ngenteni thukuling jamur ing mangsa ketiga …
Aku ini bagai sakit yang tak dapat obat
Seperti menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau …
//
Hai, bidadari
Pernah kubaca buku bagus berjudul Musashi. Kukenangkan kupahami jalan hidup si Takezo yang merana. “Aku ini bagai ronin yang mengembara. Sunyi dan sepi temanku. Aku rindukan rumah yang teduh untuk berlindung. Tapi selalu saja panas dan hujan menjadi atapku. Aku telantar. Aku telanjang. Aku telentang.”
Hai, bidadari
Aku tahu, kau ini tidak nyata berwujud perempuan yang cantik-cantik, agung dan penuh warna. Tapi ketika biasmu itu menggurat di cakrawala, hanya saja mengingatkan sebuah lagu lawas Catch The Rainbow. Entahlah kenapa si Ritchie Blackmore memetik-metik gitarnya senada itu. Apakah hatinya risau dan gundah akan fatamorgana?
Hai, bidadari
Datang dan pergi. Begitulah, seperti saja menjilma kamusnya para petualang. Menjejaki perjalanan yang terjal ini, ingin selalu kutanyakan. Kenapa harus ada menang dan kalah. Kenapa harus untung dan rugi. Bukankah manusia itu lentur, ditakdirkan tidak bersiku?
Hai, bidadari
Setiap kali kuhitung jumlah bintang-bintang itu, angin malam rajin saja menggodaku. Jadi sejatinya berapa jumlahnya di sebidang luas langit itu? Kenapa satu saja yang nyata gemilang memancarkan cerlang? Betapa semangat manusia pijar sekerlap kejora?
Hai, bidadari
Betapa kacau pikirku malam ini. Di bumiku tinggal, tak sudah-sudah jerit tangis manusia menandai kefanaannya. Di lautan doa di setiap pagi, siang, sore dan malam, betapa bencana menari-nari, tertawa-tawa. Marahkah Tuhan kepada kami?
Hai, bidadari
Suara lamat-lamat di radio itu kudengarkan, kurenungkan. Sesyahdu curahan cipta dan rasa mengalir dari irama orkes campursari. Serak-serak berat, begitu lagu dinyanyikan Kang Manthous, salah satu favoritku. Mbok ojo amung lamis … (mbok jangan basa-basi) …. Begitu, syair itu sederhana menyisipkan hiburan. Ya, ya .. Ojo lamis, manusia! Hai, ojo lamis. Bencana bukan kutukan! Barangkali begitulah sarana untuk menguji sejauh mana nilai-nilai kemanusiaan kita sebagai insan dan umat Tuhan.
[]
Pondokaren
3 Agustus 2009 : 23.o2