Tag Archives: hutang

Teristimewa #4

[ baca juga kisah sebelumnya di : Teristimewa #3 ]

Oleh Ade Anita

Dari Celah Hingga Jalan Raya

I. Celah

Sebuah lubang yang terjadi tanpa sengaja.

Sebuah lubang tempat kesempatan bisa didapat.

Sebuah kesempatan yang terjadi hanya satu kali.

“Ibu menikah dahulu dengan bapak usia berapa?”

Aku bertanya pada perempuan yang terlihat putus asa di hadapanku ini. Mungkin ini pertanyaan yang tidak penting. Bukankah tak berguna bertanya pada daun kering yang tergeletak di atas lumpur, siapa yang menjatuhkannya dari ranting pohon? Tapi sebuah kenangan cinta yang terekam baik selalu menerbitkan seulas senyum. Dan aku melihat setitik warna merah jambu di pipi yang tirus.

“17 tahun.”

Wah… Sweet seventen dong. Siapa naksir siapa nih?”

Sebuah senyum merekah di wajah tirus yang sumringah.

II. Pelangi

Tujuh warna fantastis yang menghiasi langit yang basah.

Merah yang membara oleh gairah.

Hijau yang khusyuk.

Jingga yang genit.

Kuning yang lembut.

Biru yang mengemban rindu.

Nila yang tegas.

Ungu yang tegar.

Semua air mata bidadari yang jatuh bersama hujan, tersapu oleh indahnya pelangi.

Lengkungannya selalu mampu membuang lara.

“Kami dahulu menikah sirri. Bawah tangan. Sudah kadung cinta mati sama bapak. Jadi nggak peduli lagi meski orang tua nggak setuju. Jadi meski hidup susah tetap saja rasanya tentrem. Tapi sama orang tua akhirnya direstui sih, jadi nikah ulang biar dapat buku nikah.”

Lalu mata yang cekung itu mulai melirik ke arah dinding yang penuh dengan bercak-bercak jamur. Hitam. Licin. Bau. Dan disanalah terdapat sebuah bingkai sederhana yang berisi sebuah potret. Seorang pemuda tampak tersenyum bahagia mendekap seorang gadis remaja yang tertawa lebar. Rona bahagia menebar. Menghalau bau tengik jamur yang menempel di dinding yang tampak lusuh. Bagai pelangi yang menghalau gerimis yang miris.

III. Atap

Sinar mentari yang perkasa tak dapat menembus atap.

Padanya kita memperoleh kenyamanan untuk berteduh dari terik.

Tapi sebuah lubang kecil tak dapat menghalau tembusan cahaya.

Pada sebuah titik terang yang tertahta di lantai semen, mataku tertuju.

Lalu menelusuri sulur cahaya yang terbentang antara noktah cahaya dan lubang di atap.

“Setelah menikah, langsung menetap di sini atau masih tinggal dengan orang tua?”

“Masih tinggal dengan orang tua saya dulu. Suami belum bekerja. Dulu orang tua suami hidup dari kontrakan. Terus bapak mertua kasi modal untuk jualan cendol, dibeliin gerobak, stoples. Ya sudah suami kerja, baru saya ngontrak di petakan. Pas orang tua suami meninggal, saya tempati rumah ini. Ini semua petak-petak punya sendiri, nggak ada yang ngontrak. Dulunya kontrakan, tapi dibagi-bagi warisan jadi dah ditempati ama anak-anaknya.”

“Berarti semua ini satu deret masih pada saudara suami semua dong?”

“Ya gitu deh. Tapi percuma sodara juga, pada nggak mau nulung.”

Angin datang berhembus. Angin musim kemarau yang membawa hawa panas. Terdengar suara berderit dari arah samping rumah. Entah berapa lama kayu-kayu galar itu bisa menopang doyongan rumah yang makin miring ini. Rumah reyot ini bisa rubuh kapan saja.

“Saya bingung mbak. Anak saya mau sekolah, yang kecil mau masuk SD, yang besar mau naik kelas dua SMP. Mereka belum beli seragam. Yang SMP bahkan belum bayaran tiga bulan padahal minggu depan sudah harus lunas biar bisa ikut evaluasi. Habis, suami saya sakit sejak tiga bulan yang lalu. Jadi nggak ada yang keliling jualan. Hutang kami dimana-mana. Semua barang sudah kami jual untuk biaya berobat bapak kemarin. Saya takut lihat para tukang pukul itu datang.”

Aku tercenung. Menatap sekeliling isi rumah yang lengang. Semua barang di rumah ini adalah barang yang dipungut dari pinggir jalan. Atau barang yang tertinggal bertahan karena memang tak ada yang sudi membelinya. Meja makan yang kakinya patah satu hingga harus diganjal dengan batu. Atau kasur springbed yang bagian tengahnya sudah melesak ke dalam. Yang tampak hangat mencerahkan hanyalah foto sederhana tentang seorang pemuda yang sedang merangkul seorang gadis muda yang tertawa penuh bahagia.

Aku termenung. Lalu kembali menatap noktah cahaya yang tertahta di atas lantai.

Menelusuri jembatan cahaya yang mengantarkan mataku pada sebuah lubang di atas atap.

III. Cendol.

Minuman dingin yang terdiri dari adonan tepung beras yang disaring dengan saringan khusus hingga membentuk pilinan mungil. Disajikan dengan pemanis gula merah dan parutan es.

Aku suka cendol. Murah meriah menyegarkan.

“Cendolnya dulu bapak bikin sendiri?”

“Iya.”

“Ibu sendiri bisa bikin cendol?”

“Bisa.”

“Berarti, setelah bapak meninggal ini, ibu masih bisa nerusin usaha bapak dong, untuk jualan cendol?”

Perempuan di depanku menggeleng. Penuh putus asa dia menatap kedua anaknya yang setelah makan nasi bungkus, kini tampak tertidur kelelahan di atas lantai.

“Saya bisa bikin cendol, tapi saya belum pernah berjualan cendol. Kaki saya reumatik, apa bisa keliling kampung menjajakan cendol?”

“Iya sih, berat memang. Biasanya, kalau reumatiknya kambuh diobati apa bu?”

“Minum sari daun bayam liar.”

“Bayam liar? Maksudnya? Beda ya dengan bayam biasa di pasar?”

“Beda. Itu loh mbak, di trotoar, di pinggir selokan, di bawah tiang listrik, biasanya suka tumbuh tanaman yang daunnya mirip bayam. Nah, itu dipetik, ambil daun pucuknya saja dan batang mudanya, cuci bersih, rebus terus diperas airnya. Airnya itu bisa untuk menghilangkan sakit reumatik.”

“Oh ya?”

Kadang, kita sering tidak menyadari bahwa nikmat dan kemudahan yang diberikan Allah sungguh amat sangat tidak terbatas jumlahnya. Tak mampu rasanya untuk dihitung satu persatu. Bahkan untuk si miskin yang tidak mampu membeli apa-apapun disediakan juga obat-obatan gratis di sepanjang jalanan yang terbentang.

“Wah, setiap hari saya selalu jalan kaki mengantar anak saya sekolah. Nanti deh saya bantu juga mengumpulkan daunnya itu agar ibu bisa segera bekerja. Jalanan yang saya tempuh cukup panjang. Setiap hari, saya bisa ganti variasi rute jalanan agar setok daunnya tidak pernah kekurangan. Ibu harus bangkit, bekerja. Berat pasti, tapi sekarang sudah tidak ada pilihan lagi. Karena segala sesuatunya memerlukan biaya. Anak sekolah, makan, bayar listrik, bayar hutang, semua memerlukan uang.”

“Tapi saya takut tidak bisa. Aduh, saya tidak bisa. Bagaimana jika saya tidak bisa membayar semua itu?”

“Pelan-pelan. Semuanya dijalani secara bertahap saja. Sementara saya hanya bisa membantu mengumpulkan daun dulu mungkin. Yang penting, ibu yakin dulu ibu bisa dan Allah pasti akan memberi bantuan. Tuhan tidak pernah menelantarkan hambaNya begitu saja. Coba saja lihat, bayam-bayam liar Allah tumbuhkan dengan cepat dimana saja. Sama seperti Mengkudu yang bisa ada dimana saja.”

“Bagaimana jika saya tidak bisa?

“Tapi mereka berdua yakin ibu bisa. Ibu amat berarti bagi mereka berdua.” Aku menunjuk dua kepala mungil yang sedang tertidur pulas.

IV. Jalan Raya

Ada pepatah yang mengatakan kasih ibu sepanjang jalan. Panjang tak terputus.

Sejauh kaki melangkah.

Berderap dengan gagah atau meniti dengan tertatih. Masih ingatkah kita semua kapan pertama kali kedua kaki kita menjamah jalanan?

Tidak. Tidak ada yang ingat bagaimana rasanya ketika pertama kali kaki kita menjamah jalanan. Tapi seorang ibu akan selalu ingat kapan anaknya pertama kali menjejakkan kaki. Karena segala sesuatu ada tahapannya. Dimulai dari hal yang paling mudah dahulu. Bukankah pertama kali kita tidak pernah langsung berjalan dengan dua kaki? Ada kedua tangan yang membantu menopang untuk merangkak.

Terjerembab beberapa kali.

Menangis sakit karena dahi yang terbentur.

Atau lutut yang lecet karena tergores jalanan.

Barulah setelah itu bisa berdiri sambil tersenyum bangga.

Semua ibu akan tertawa lebar ketika melihat anaknya akhirnya bisa berdiri sendiri. Makin bangga ketika anaknya bisa berjalan. Berlari kencang. Lalu tiba-tiba memanggil penuh nada khawatir ketika laju lari anaknya menjauh dari pandangan.

“Hei, jangan jauh-jauh perginya nak, nanti kamu tersesat atau hilang.”

Hmm…. Aku rindu almarhumah ibuku.

Rindu dengan tegurannya yang dulu sering kuabaikan karena aku merasa sudah lebih pandai.

[]

Catatan penulis :

  1. Hal-hal yang harus dilakukan ketika ada anggota keluarga atau tetangga yang kekurangan tidak dapat melanjutkan sekolah karena mendadak menjadi yatim.
    1. Minta surat pengantar keterangan tidak mampu ke RT atau rw.
    2. Pergi ke sekolah untuk mengajukan keringanan dengan membawa: surat pengantar keterangan kematian orang tua, surat keterangan tidak mampu dari rt/rw, akte kelahiran.
    3. Jika surat-surat itu belum ada, beri keterangan secara verbal pada pihak sekolah tentang kondisi yang terjadi dan ajukan keringanan. Bukti administrasi menyusul.
    4. Ajukan diri anak untuk masuk dalam daftar mereka yang menjadi tanggungan sekolah. Semua sekolah negeri (sd, smp, sma, dan beberapa Perguruan Tinggi Negeri) akan membebaskan anak yatim dari keluarga miskin dari pungutan sekolah dan memasukkan mereka dalam daftar beasiswa dari hasil subsidi silang yang ada di komite sekolah. Tentu ada prosedur khusus yang akan dilalui seperti pengecekan langsung kondisi rumah, pekerjaan orang tua, jumlah penghasilan dan pengeluaran perbulannya, jumlah anggota keluarga. Semua semata agar pemberian bantuan tidak salah alamat atau disalah gunakan oleh mereka yang tidak berhak. Sedangkan untuk sekolah swasta, kebijaksanaan yang diterapkan umumnya bervariasi tergantung kondisi sekolah yang bersangkutan.
  1. Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.“.
  2. (al Quran:Al Baqarah: 155-157)

Teristimewa #3

[ baca juga kisah sebelumnya di : Teristimewa #2 ]

Oleh Ade Anita

APA yang disisakan oleh sinar mentari di sore hari? Mungkin hanya bayang-bayang sepanjang badan. Atau guratan kuning di kaki langit. Tapi bisa juga sebongkah senyum di wajah yang tidak lagi nestapa.

Hati manusia memang tidak dapat disangka. Tak cukup hanya menilai seseorang dari seulas senyum yang menghiasi wajahnya. Dan jangan pernah tertipu oleh seraut wajah manis nan menawan. Terlebih jika wajah itu dimiliki oleh seorang penipu.

Bertemu dengan penipu adalah hal yang paling menyesakkan. Rusak binasa bangunan rasa percaya. Kacau balau hubungan timbal balik yang telah terbina. Lalu siapa yang harus dipercaya jika rasa percaya sudah dikhianati? Dan siang itu, tujuh tahun yang lalu, aku tertipu oleh pandangan mataku sendiri.

“Jadi, usia bapak berapa?”

“32 tahun.”

“Ah, masih muda. Lalu, ibu sendiri, berapa usianya?”

“29 tahun.”

Perempuan dengan tubuh gemetar itu, ternyata memiliki usia yang jauh lebih muda dariku. Aku nyaris salah sangka, menyandangkan cap sebagai perempuan tua di pundaknya.

“Anak menyangka saya sudah tua ya?”

Aku terkejut, amat khawatir bila isi kepalaku terbaca. “Tidak.”

“Berapa usia anak sendiri?”

Aku menggeleng, enggan menjawab.

“Anak-anaknya sudah besar, pasti sudah lumayan berumur?”

“Sudah lapor rt setempat, bu…untuk memberitahu kematian bapak?”

“Apakah anak eh…mbak sudah mencapai kepala tiga seperti saya?”

“Ah, mungkin lebih baik saya minta tolong seseorang untuk memberitahu pengurus masjid terdekat perihal kematian bapak.”

“Ataukah jangan-jangan sudah mencapai kepala empat?”

Lalu tiba-tiba tangan kurus yang terlihat lemah itu mencengkeram lenganku.

“Berapa usiamu nak?”

“Nggak penting bu berapa usia saya.”

“Tapi ibu ingin tahu nak. Berapa usiamu?”

Cengkeraman itu kian kuat. Dagingku mulai terasa dibenami sesuatu yang menyakitkan. Aku gelisah, bagaimana ini?

“Bu, itu tidak penting. Bapak harus dikuburkan, itu fokus kita hari ini bukan?”

“Bapak sudah mati. Apa lagi pentingnya hal itu? Masa muda saya sudah terlewati olehnya. Kecantikan saya tersedot oleh kesengsaraan yang terlalui bersamanya. Jika dia mati, apa lagi yang bisa saya lakukan? Hidup saya sudah tidak berarti lagi. Masa depan saya sudah terenggut oleh kematian suami saya. Saya tidak punya harapan. Jadi, saya ingin tahu usia mbak sebelum hidup saya berakhir?”

Aku tergugu. Gelisah menggantang galau.

Gamang.

Kehidupan sering terkotak-kotak dalam berbagai perbedaan yang menggelisahkan. Muda dan tua. Cantik dan jelek. Pintar dan bodoh. Kaya dan miskin. Sholeh dan kafir. Terpuji dan terhina. Gendut dan kurus.

“Berapa usiamu?”

Senang dan sedih. Terpilih dan tersingkir. Kalah dan menang. Kecil dan besar. Muda dan dewasa. Laki-laki dan perempuan. Tinggi dan pendek. Modern dan kuno. Baik dan buruk.

“Saya, …ngg…33 tahun.”

Lalu aura di wajah itu pun berubah layu. Perempuan gemetar di depanku mulai menjambak rambutnya sendiri. Tak lama kemudian dia menunduk lalu menangis tersedu. Meraung.

“Tuhan amat sangat tidak adil pada saya. Semua keburukan ditimpakannya pada saya. Lalu lihat apa yang dia berikan pada mbak. Saya hanya menerima sisa. Saya benar-benar sampah, saya benar-benar sampah.”

Aku kian galau. Merasa bersalah dengan kejujuran yang baru saja aku ucapkan.

“Sstt… Jangan bergerak bu. Ada nyamuk di wajah ibu.”

Tangan gemetar itu mengusir dengan sekali kibas. “Bahkan nyamuk pun menginginkan kematian saya lebih cepat.”

PLOK!

Nyamuk mati terpukul. Darahnya muncrat di pipi. Aku tersenyum.

“Bukan bu, nyamuk itu utusan Tuhan yang teristimewa untuk ibu.”

“Kenapa?”

“Berarti ibu amat berarti, hingga darahnya dicari-cari. Sudah, jangan terus-menerus menyalahkan Tuhan. Jika tidak ada nyamuk, mungkin tidak akan berguna semua pemikiran manusia untuk mengusir nyamuk, dan pil kina tidak ada artinya sama sekali.”

Perempuan gemetar itu menatapku lamat-lamat. Tatapannya  terasa mencoba untuk menembus ke dalam kepalaku. Perlahan, aku mendaratkan tanganku di atas telapak tangannya dan mencoba untuk menepuknya secara perlahan. Berharap rasa hangat yang kumiliki bisa sedikit memberinya ketenangan.

Jadi…apa yang disisakan oleh sinar Mentari di sore hari? Rasa sedih karena kehilangan hari yang ceria. Berlalunya waktu dalam kesia-siaan sepanjang hari. Rasa pilu menyambut gelap malam dalam gaun hitam yang muram.

Tidak. Itu bukan gambaran senja yang aku suka.

Baik, sekarang, tanya aku sekali lagi. Apa yang disisakan oleh sinar mentari di sore hari? Keindahan senja yang jingga. Semburat lembayung yang syahdu. Serta keteduhan angin yang berbisik lembut di telinga.

Aku menyukai senja. Apakah kau juga menyukainya?

[]

Catatan kaki Ade Anita :

Hal-hal yang harus dilakukan ketika ada tetangga terdekat atau anggota keluarga kita meninggal dunia.

  1. Lapor Rukun Tetangga setempat. Petugas RT akan memberikan pada kita surat pengantar keterangan kematian resmi hingga tingkat kecamatan. Adapun biaya yang mungkin dikeluarkan di kelurahan dan kecamatan berkisar antara Rp100.000 s.d. Rp500.000 (tiap-tiap lokasi berbeda-beda kisarannya, dan biasanya tidak diberikan kuitansi).
  2. Lapor pengurus masjid terdekat untuk yang beragama Islam. Tiap-tiap masjid setempat, memiliki dana khusus untuk yang tertimpa kematian. Dana ini dipakai untuk membantu; honorarium sekedarnya bagi petugas memandikan jenazah, memberikan kain kaffan gratis bagi keluarga miskin (tentu saja harus ada surat keterangan kematian resmi dari RT setempat dan surat keterangan tidak mampu, juga dari RT setempat), dan menyediakan peminjaman gratis tenda sederhana sebesar 2 x 3 meter bagi pelayat di rumah duka dan meminjamkan kursi sebanyak 10 buah kursi lipat bagi pelayat. Juga penyediaan satu kotak minuman gelas kemasan, dan membantu memberitahu perihal kematian lewat pengeras suara. Termasuk disini peminjaman keranda mayat gratis.

Mengapa dua hal ini harus dilakukan (terutama jika yang tertimpa musibah adalah keluarga miskin)? Karena siar pemberitahuan lewat pengeras suara tersebut bisa menghimpn dana tambahan dari masyarakat guna keringankan beban yang harus ditanggung oleh yang tertimpa musibah.

Untuk menguburkan mayat, di DKI Jakarta, ada sewa kuburan untuk tiga tahun yang dibayar di muka dengan kisaran sebesar Rp150.000 s.d. Rp300.000 (untuk tanah pemakaman umum di DKI Jakarta, memang diberlakukan sewa lahan kavling, tidak ada hak pemilikan kavling, dimana sewa tersebut berlaku untuk tiga tahun. Setiap tiga tahun sekali, harus dilakukan pembayaran sewa lahan jika tidak maka kavling dianggap terlantar dan berhak untuk dialihkan kepada pihak lain tanpa pemberitahuan sebelumnya).

Biaya membuka kavling kuburan berkisar antara Rp300.000 s.d .Rp2.000.000 (tergantung apakah itu kavling pavorit atau tidak dan tergantung apakah itu termasuk tanah kuburan pavorit atau tidak. Yang dimaksud dengan kavling pavorit yaitu letaknya yang tidak terlalu jauh dari jalan raya, letaknya yang eksklusif seperti di hook atau tempat yang mudah diingat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan tanah kuburan pavorit, yaitu tanah kuburan yang menjadi incaran banyak orang karena letaknya yang terkenal dan mudah dijangkau dari berbagai arah. Misalnya, areal pemakaman Karet Bivak, Menteng Pulo, dan sebagainya.

[ kisah selanjutnya : Teristimewa #4 ]


Teristimewa #2

[ baca juga kisah sebelumnya di : Teristimewa #1 ]

Oleh Ade Anita

TUJUH tahun itu bermula di hari ini.

Hari dimana matahari bersinar amat terik. Laksana pedang yang menghunus hingga menembus ke dalam kulit. Tulang-tulang pun terasa bergemeretak terpanggang kering. Kulit terasa sakit bagai tercubit-cubit.

Semua orang merasa gerah. Semua orang  juga merasa cemas. Sebilah pisau terhunus tampak sudah bersiap-siap di depan nadi lengan kurus yang gemetar.

Aku mau mati…lebih baik aku mati saja.”

Jangan bu, jangan lakukan itu, ingat Tuhan…Ingat Tuhan.”

Pisau itu pun tertahan karena ada kata Tuhan disebut. Lalu mata cekung itu menatap si pencetus kalimat dengan tatapan nanar.

Siapa Tuhan? Di mana Dia saat ini? Suami saya mati meninggalkan saya dan anak-anak begitu saja. Ada orang yang siap menghabisi nyawa kami karena kami punya hutang dimana-mana? Di mana Tuhan saat ini? Mengapa Tuhan membiarkan semua kesengsaraan ini terjadi pada kami? Mengapa? MENGAPA???”

Lalu kaki gemetar yang menopang tubuh kurus itu pun lunglai kehilangan daya topang. Bagai daun yang kering terjatuh dari ranting . Tak berdaya. Juga kehilangan segala. Diam pasrah pada desakan angin yang perkasa.

Cepat. Ambil pisaunya sebelum nadi terlanjur diputus.”

[]

Tujuh tahun itu bermula di hari ini.

Di siang yang panas terik. Hingga tenggorokan terasa kerontang. Perempuan itu kini sudah ada di hadapanku. Duduk bersimpuh di atas bangku yang busanya sudah menyembul keluar dimana-mana. Mungkin tergerogoti oleh cakar yang kelaparan dan ingin menyulap busa agar berubah menjadi makanan pengganjal perut.

Sayangnya, telah tertebar bolong dan keropos di banyak tempat di atas bangku. Makanan tidak juga terwujud begitu saja. Yang ada sekarang adalah wajah tirus dengan air mata yang sudah mengering.

Alhamdulillah, akhirnya mayat suaminya yang terkapar di depan rumah bisa juga dikuburkan . Dan mungkin kini sudah telentang berhimpit dengan tanah dan sebilah papan.

Jadi, apa yang akan ibu lakukan sekarang?”

Perempuan itu pun menatapku dengan tatapan yang nanar. Kedua bola matanya berwarna abu-abu. Pertanda air mata sudah mulai mengering di dalam danau yang dulu pernah ada di kedua bola mata tersebut. Tak ada sepatah katapun yang terucap . Yang aku temui hanya dua buah bibir kering yang gemetar.

Tangan yang gemetar. Bibir yang gemetar. Kaki yang gemetar. Mata yang nanar. Air mata yang kering.

Bu, ibu sudah makan belum?”

Tak ada jawaban. Hanya ada sebuah kepala yang menunduk kian dalam.

Bu, kapan terakhir ibu makan?”

Kepala tertunduk itu menoleh ke arah dua kepala mungil yang bersimpuh di mulut pintu. Astaga!

Cerita ini bukan cerita tentang perempuan kurus yang memiliki sepasang kaki yang gemetar. Karena di samping perempuan ini ada dua buah kepala yang masih menjadi satu rangkaian tak terpisahkan.

Dik, kalian sudah makan belum?”

Wajah-wajah polos itu saling menatap satu sama lain. Lalu kompak menunduk menekuri lantai. “Dik, kapan terakhir kalian makan?”

Salah seorang anak akhirnya mengangkat dua buah jarinya dengan rasa ragu. Kedua jari yang gemetar. Dari dua buah tangan kecil nan kurus yang juga gemetar.

Dua hari yang lalu, sebelum bapak meninggal.”

Lalu tiba-tiba seekor cicak menjatuhkan serpihan cat yang mengelupas dari langit-langit yang sudah amat rapuh…PLUK.

Tujuh Tahun  itu bermula di hari ini.

[]

Catatan kaki Ade Anita :

Ini bukan cerita fiksi, juga bukan juga cerita rekayasa. Ini cerita fakta. Atas permintaan banyak teman, mereka minta versi lengkap jalan ceritanya, jadi aku nulis lagi deh bagian berikutnya. Semua cerita benar terjadi, cuma nama tokohnya saja yang diganti masih bersambung terus ya…

[ kisah selanjutnya : Teristimewa #3 ]


Teristimewa #1

Oleh Ade Anita

Tujuh tahun lalu aku pertama kali bertemu dengannya. Seorang perempuan biasa.

Rumahnya biasa, rumah sederhana dengan satu buah pintu dan empat buah jendela yang terbuat dari kayu yang sudah rapuh. Beberapa atap rumahnya tampak sudah lenyap. Hingga memberi celah bagi mentari untuk menggantikan bohlam lampu di malam hari. Sebuah bohlam lampu yang ada di tengah ruang tamu adalah satu-satunya bohlam lampu yang ada di rumah tersebut. Jangan pernah pergi ke samping rumah. Karena rumah ini adalah rumah yang istimewa. Empat buah tonggak bambu telah menopang salah satu dindingnya, agar rumah ini bisa tetap berdiri kokoh meski doyong ke samping.

Kedua anaknya juga anak biasa. Punya kulit setengah terbakar karena terlalu banyak terbakar sinar matahari karena kegiatan mereka yang memang banyak dilakukan di luar rumah. Membantu bapaknya keluar masuk kampung berdagang cendol. Atau membantu ibu mengambil daun pisang untuk dijual ke pasar tradisional.

Yang teristimewa justru peristiwa ketika aku pertama kali bertemu dengan perempuan biasa ini.

Ketika itu, dia menatapku dengan  bola mata yang nanar. Bola mata yang cekung. Rupanya seluruh danau air mata yang pernah ada di sana telah habis terkuras hingga kini hanya meninggalkan sebuah cekungan yang amat dalam. Sedalam jurang yang terjal. Bahkan kita bisa melihat isi perut bumi di dalamnya.

Kedua kakinya tampak gemetar. Tak kuat menahan beban tubuhnya yang hanya tersisa sekelingking saja. Lalu bibirnya yang kering kerontang gemetar menyampaikan keinginan kuatnya padaku, “Aku ingin mati saja.”

Dan tiba-tiba dia pun luruh di hadapanku. Berusaha untuk menangis tapi tak dapat mengeluarkan air mata lagi. Bahkan kemudian jemarinya mengais-ngais tanah, berharap tanah akan terbuka dan menguburkan dirinya hidup-hidup. Sebuah pisau sudah siap memutuskan urat nadi di tangannya.

Dia tidak main-main, dia memang ingin bunuh diri sejak tadi.”

Beberapa orang yang berkerumun mengelilingi perempuan itu mulai berbisik padaku.

Ya. Tujuh tahun yang lalu, suami perempuan ini meninggal karena penyakit yang cukup parah. Meninggalkan dua orang anak yang masih kecil, istri yang kurus kerontang, dan hutang yang bertumpuk-tumpuk amat gemuk. Semua orang memburunya agar segera melunasi hutang yang terus berbunga setiap harinya, lalu berbuah dan bertunas dengan amat suburnya. Tiap-tiap putik sarinya memiliki taring yang menancap kian dalam di daging tubuh lalu ganas menghisap darah. Sementara semua saudara menutup pintu mencoba membersihkan diri dari silsilah keluarga.

Sedangkan suaminya…terkapar di atas lantai dalam keadaan sudah menjadi mayat. Tidak ada uang, bahkan untuk mengurus jenazah dan menguburkannya secara layak. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang biasa.

Berapa memangnya biaya yang dibutuhkan untuk mengurus dan menguburkan jenazah?”

“Rp500.000.

Beberapa mulut mulai bergumam dengan kepala bergeleng tanda menyesali sesuatu, “Ah, sudah tahu miskin, kenapa harus mati? Sakit saja dilarang, apalagi mati? Kalau begini, mau dikubur dimana coba?”

Ingin rasanya aku memeluk tubuh ringkih itu erat-erat. Agar kehangatan bisa aku kirim secepatnya, dan gemetar pilu itu pun pergi terhalau. Tapi yang bisa kuberikan ternyata hanya dua buah gumpalan kapas.

Sumbat telingamu, bayangkan saja dari gumpalan kapas itu sedang diputar irama merdu dari gemericik air sungai nan bening di surga.

Dunia ini mungkin memang hanya milik mereka yang luar biasa, tapi Tuhan tahu, dimana orang biasa bisa memperoleh penghiburan.

Lalu kemarin, aku bertemu lagi dengan perempuan biasa ini. Dan kembali dia meluruhkan dirinya di hadapanku. Sesenggukkan menahan tangis yang berkepanjangan.

Saya amat bahagia sekarang. Bahagia sekali. Anak saya yang besar sudah bekerja jadi OB di supermarket. Yang kecil masih terus bersekolah. Rumah saya juga tidak lagi mau rubuh. Ternyata benar, di balik kesulitan ada kemudahan. Setelah rasa pahit habis, saya bisa menemukan rasa  manis yang sangat manis.”

Tanpa terasa aku langsung meraih tubuh kurusnya yang mulai menua dalam pelukanku. Sejak dulu aku memang  ingin sekali memeluknya erat-erat. Tapi dulu aku takut tulangnya yang rapuh akan patah berderak. Dengan rasa yang meluap terbawa arus bahagia yang digantangnya, aku mencoba mencari bola matanya. Bola mata yang tidak lagi cekung. Bahkan rona merah jambu telah mengalir di pipinya yang tidak lagi tirus.

Dunia ini mungkin hanya milik mereka yang luar biasa, Tapi Tuhan selalu tahu siapa yang istimewa. Ibu adalah salah satu yang teristimewa, kebangkitan ibu melawan keterpurukan itu amat sangat luar biasa. Bahkan melebihi orang yang luar biasa. Terima kasih ya bu, karena sudah mengajarkan pada saya, apa arti bangkit berdiri.”

[]

Catatan kaki Ade Anita :

Dalam keterpanaan karena untuk kesekian kalinya melihat campur tangan Allah pada mereka yang terpilih. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar !!!

[ kisah selanjutnya : Teristimewa #2 ]