[ baca juga kisah sebelumnya di : Teristimewa #3 ]
Oleh Ade Anita
Dari Celah Hingga Jalan Raya
I. Celah
Sebuah lubang yang terjadi tanpa sengaja.
Sebuah lubang tempat kesempatan bisa didapat.
Sebuah kesempatan yang terjadi hanya satu kali.
“Ibu menikah dahulu dengan bapak usia berapa?”
Aku bertanya pada perempuan yang terlihat putus asa di hadapanku ini. Mungkin ini pertanyaan yang tidak penting. Bukankah tak berguna bertanya pada daun kering yang tergeletak di atas lumpur, siapa yang menjatuhkannya dari ranting pohon? Tapi sebuah kenangan cinta yang terekam baik selalu menerbitkan seulas senyum. Dan aku melihat setitik warna merah jambu di pipi yang tirus.
“17 tahun.”
“Wah… Sweet seventen dong. Siapa naksir siapa nih?”
Sebuah senyum merekah di wajah tirus yang sumringah.
II. Pelangi
Tujuh warna fantastis yang menghiasi langit yang basah.
Merah yang membara oleh gairah.
Hijau yang khusyuk.
Jingga yang genit.
Kuning yang lembut.
Biru yang mengemban rindu.
Nila yang tegas.
Ungu yang tegar.
Semua air mata bidadari yang jatuh bersama hujan, tersapu oleh indahnya pelangi.
Lengkungannya selalu mampu membuang lara.
“Kami dahulu menikah sirri. Bawah tangan. Sudah kadung cinta mati sama bapak. Jadi nggak peduli lagi meski orang tua nggak setuju. Jadi meski hidup susah tetap saja rasanya tentrem. Tapi sama orang tua akhirnya direstui sih, jadi nikah ulang biar dapat buku nikah.”
Lalu mata yang cekung itu mulai melirik ke arah dinding yang penuh dengan bercak-bercak jamur. Hitam. Licin. Bau. Dan disanalah terdapat sebuah bingkai sederhana yang berisi sebuah potret. Seorang pemuda tampak tersenyum bahagia mendekap seorang gadis remaja yang tertawa lebar. Rona bahagia menebar. Menghalau bau tengik jamur yang menempel di dinding yang tampak lusuh. Bagai pelangi yang menghalau gerimis yang miris.
III. Atap
Sinar mentari yang perkasa tak dapat menembus atap.
Padanya kita memperoleh kenyamanan untuk berteduh dari terik.
Tapi sebuah lubang kecil tak dapat menghalau tembusan cahaya.
Pada sebuah titik terang yang tertahta di lantai semen, mataku tertuju.
Lalu menelusuri sulur cahaya yang terbentang antara noktah cahaya dan lubang di atap.
“Setelah menikah, langsung menetap di sini atau masih tinggal dengan orang tua?”
“Masih tinggal dengan orang tua saya dulu. Suami belum bekerja. Dulu orang tua suami hidup dari kontrakan. Terus bapak mertua kasi modal untuk jualan cendol, dibeliin gerobak, stoples. Ya sudah suami kerja, baru saya ngontrak di petakan. Pas orang tua suami meninggal, saya tempati rumah ini. Ini semua petak-petak punya sendiri, nggak ada yang ngontrak. Dulunya kontrakan, tapi dibagi-bagi warisan jadi dah ditempati ama anak-anaknya.”
“Berarti semua ini satu deret masih pada saudara suami semua dong?”
“Ya gitu deh. Tapi percuma sodara juga, pada nggak mau nulung.”
Angin datang berhembus. Angin musim kemarau yang membawa hawa panas. Terdengar suara berderit dari arah samping rumah. Entah berapa lama kayu-kayu galar itu bisa menopang doyongan rumah yang makin miring ini. Rumah reyot ini bisa rubuh kapan saja.
“Saya bingung mbak. Anak saya mau sekolah, yang kecil mau masuk SD, yang besar mau naik kelas dua SMP. Mereka belum beli seragam. Yang SMP bahkan belum bayaran tiga bulan padahal minggu depan sudah harus lunas biar bisa ikut evaluasi. Habis, suami saya sakit sejak tiga bulan yang lalu. Jadi nggak ada yang keliling jualan. Hutang kami dimana-mana. Semua barang sudah kami jual untuk biaya berobat bapak kemarin. Saya takut lihat para tukang pukul itu datang.”
Aku tercenung. Menatap sekeliling isi rumah yang lengang. Semua barang di rumah ini adalah barang yang dipungut dari pinggir jalan. Atau barang yang tertinggal bertahan karena memang tak ada yang sudi membelinya. Meja makan yang kakinya patah satu hingga harus diganjal dengan batu. Atau kasur springbed yang bagian tengahnya sudah melesak ke dalam. Yang tampak hangat mencerahkan hanyalah foto sederhana tentang seorang pemuda yang sedang merangkul seorang gadis muda yang tertawa penuh bahagia.
Aku termenung. Lalu kembali menatap noktah cahaya yang tertahta di atas lantai.
Menelusuri jembatan cahaya yang mengantarkan mataku pada sebuah lubang di atas atap.
III. Cendol.
Minuman dingin yang terdiri dari adonan tepung beras yang disaring dengan saringan khusus hingga membentuk pilinan mungil. Disajikan dengan pemanis gula merah dan parutan es.
Aku suka cendol. Murah meriah menyegarkan.
“Cendolnya dulu bapak bikin sendiri?”
“Iya.”
“Ibu sendiri bisa bikin cendol?”
“Bisa.”
“Berarti, setelah bapak meninggal ini, ibu masih bisa nerusin usaha bapak dong, untuk jualan cendol?”
Perempuan di depanku menggeleng. Penuh putus asa dia menatap kedua anaknya yang setelah makan nasi bungkus, kini tampak tertidur kelelahan di atas lantai.
“Saya bisa bikin cendol, tapi saya belum pernah berjualan cendol. Kaki saya reumatik, apa bisa keliling kampung menjajakan cendol?”
“Iya sih, berat memang. Biasanya, kalau reumatiknya kambuh diobati apa bu?”
“Minum sari daun bayam liar.”
“Bayam liar? Maksudnya? Beda ya dengan bayam biasa di pasar?”
“Beda. Itu loh mbak, di trotoar, di pinggir selokan, di bawah tiang listrik, biasanya suka tumbuh tanaman yang daunnya mirip bayam. Nah, itu dipetik, ambil daun pucuknya saja dan batang mudanya, cuci bersih, rebus terus diperas airnya. Airnya itu bisa untuk menghilangkan sakit reumatik.”
“Oh ya?”
Kadang, kita sering tidak menyadari bahwa nikmat dan kemudahan yang diberikan Allah sungguh amat sangat tidak terbatas jumlahnya. Tak mampu rasanya untuk dihitung satu persatu. Bahkan untuk si miskin yang tidak mampu membeli apa-apapun disediakan juga obat-obatan gratis di sepanjang jalanan yang terbentang.
“Wah, setiap hari saya selalu jalan kaki mengantar anak saya sekolah. Nanti deh saya bantu juga mengumpulkan daunnya itu agar ibu bisa segera bekerja. Jalanan yang saya tempuh cukup panjang. Setiap hari, saya bisa ganti variasi rute jalanan agar setok daunnya tidak pernah kekurangan. Ibu harus bangkit, bekerja. Berat pasti, tapi sekarang sudah tidak ada pilihan lagi. Karena segala sesuatunya memerlukan biaya. Anak sekolah, makan, bayar listrik, bayar hutang, semua memerlukan uang.”
“Tapi saya takut tidak bisa. Aduh, saya tidak bisa. Bagaimana jika saya tidak bisa membayar semua itu?”
“Pelan-pelan. Semuanya dijalani secara bertahap saja. Sementara saya hanya bisa membantu mengumpulkan daun dulu mungkin. Yang penting, ibu yakin dulu ibu bisa dan Allah pasti akan memberi bantuan. Tuhan tidak pernah menelantarkan hambaNya begitu saja. Coba saja lihat, bayam-bayam liar Allah tumbuhkan dengan cepat dimana saja. Sama seperti Mengkudu yang bisa ada dimana saja.”
“Bagaimana jika saya tidak bisa?
“Tapi mereka berdua yakin ibu bisa. Ibu amat berarti bagi mereka berdua.” Aku menunjuk dua kepala mungil yang sedang tertidur pulas.
IV. Jalan Raya
Ada pepatah yang mengatakan kasih ibu sepanjang jalan. Panjang tak terputus.
Sejauh kaki melangkah.
Berderap dengan gagah atau meniti dengan tertatih. Masih ingatkah kita semua kapan pertama kali kedua kaki kita menjamah jalanan?
Tidak. Tidak ada yang ingat bagaimana rasanya ketika pertama kali kaki kita menjamah jalanan. Tapi seorang ibu akan selalu ingat kapan anaknya pertama kali menjejakkan kaki. Karena segala sesuatu ada tahapannya. Dimulai dari hal yang paling mudah dahulu. Bukankah pertama kali kita tidak pernah langsung berjalan dengan dua kaki? Ada kedua tangan yang membantu menopang untuk merangkak.
Terjerembab beberapa kali.
Menangis sakit karena dahi yang terbentur.
Atau lutut yang lecet karena tergores jalanan.
Barulah setelah itu bisa berdiri sambil tersenyum bangga.
Semua ibu akan tertawa lebar ketika melihat anaknya akhirnya bisa berdiri sendiri. Makin bangga ketika anaknya bisa berjalan. Berlari kencang. Lalu tiba-tiba memanggil penuh nada khawatir ketika laju lari anaknya menjauh dari pandangan.
“Hei, jangan jauh-jauh perginya nak, nanti kamu tersesat atau hilang.”
Hmm…. Aku rindu almarhumah ibuku.
Rindu dengan tegurannya yang dulu sering kuabaikan karena aku merasa sudah lebih pandai.
[]
Catatan penulis :
- Hal-hal yang harus dilakukan ketika ada anggota keluarga atau tetangga yang kekurangan tidak dapat melanjutkan sekolah karena mendadak menjadi yatim.
- Minta surat pengantar keterangan tidak mampu ke RT atau rw.
- Pergi ke sekolah untuk mengajukan keringanan dengan membawa: surat pengantar keterangan kematian orang tua, surat keterangan tidak mampu dari rt/rw, akte kelahiran.
- Jika surat-surat itu belum ada, beri keterangan secara verbal pada pihak sekolah tentang kondisi yang terjadi dan ajukan keringanan. Bukti administrasi menyusul.
- Ajukan diri anak untuk masuk dalam daftar mereka yang menjadi tanggungan sekolah. Semua sekolah negeri (sd, smp, sma, dan beberapa Perguruan Tinggi Negeri) akan membebaskan anak yatim dari keluarga miskin dari pungutan sekolah dan memasukkan mereka dalam daftar beasiswa dari hasil subsidi silang yang ada di komite sekolah. Tentu ada prosedur khusus yang akan dilalui seperti pengecekan langsung kondisi rumah, pekerjaan orang tua, jumlah penghasilan dan pengeluaran perbulannya, jumlah anggota keluarga. Semua semata agar pemberian bantuan tidak salah alamat atau disalah gunakan oleh mereka yang tidak berhak. Sedangkan untuk sekolah swasta, kebijaksanaan yang diterapkan umumnya bervariasi tergantung kondisi sekolah yang bersangkutan.
- “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.“.
- (al Quran:Al Baqarah: 155-157)