Tag Archives: arang

Terimakasih Pak Her…

Oleh Afrilia Utami

 

“Terimakasih pak Her, tuk kesekian kalinya. Kau kembali mempertahankan degup jantung ini…“

Sudah biasa menjadi ritual dalam daftar rutin bulanan. Ya, kembali menikmati rehat yang terlalu panjang dan bermalasan di atas ranjang termewah. Kanan kiri tangan, jarum-jarum menembus. Aku berjenis mamalia darat, namun terkadang ada skala pengaturan sulitnya tuk bebas bernafas… Mungkin hanya ini yang bisa menjadi waktu istirahatku.

Antara sadar dan mati saraf sudah tiada membeda.

Aku lumpuh tadi waktu.

Wajah-wajah beragam dan suara-suara memanggil laku terus membelai,

serupa selimut hangat tapi sulit kudekap lebih dekat.

Yang kurasakan bingung dan tertekan, itu saja.

“Non…!! Non sudah sadar?! Alhamdulillah…“ Pertama suara pak Her yang terdengar. Dan di susul dengan beberapa orang, di antaranya dua rekanku dan mbo’ Surtih.

“Sudah… Berapa… Lama… Kaka di sini pak Her..?“ Ujarku dengan suara terputus-putus.

Aku melihat samar senyum pak Her. Semua tampak buram dalam penglihatanku.

“Aku cukup terlalu tua untuk melihat lagi…” Kataku dalam benak.

Tiba-tiba dua orang dokter menghampiri ditemani tiga suster (jika tak salah kuberhitung).

Saat terbangun, hanya ada pak Her. Sedang tertidur di atas sofa samping lemari pendingin makanan.

 

Pukul menunjukan 23.11 wib.

Aku mencoba untuk melepaskan semua alat pembantu yang menjadi baju, tadi waktu. Tapi, apa dayaku? Aku terlalu lemah untuk menjadi makhluk yang lemah. Bahkan nafaspun masih dibantu tabung-tabung berdiri mematung. Aku mati, tadi waktu. Paling tidak, aku masih menjadi saksi nadi yang berdetak dalam perhitungan detiknya.

“Non..! Sudah sadar! Ini pak Her, Non..!” Ya untuk kedua kalinya, pertama suara pak Her yang kudengar dalam setiap awal sadarku kembali.

Aku mencoba untuk tersenyum. “Ya…Kaka masih mendengar… Suaramu, pak Her?”

“Tentu, Non…Alhamdulillah… Maaf, pak Her yang terlambat menjemput. Hingga menyebabkan Non begini…” Kata pak Her, sedikit memurung.

“Kaka berterimakasih…“ Menarik nafas, “ini bukan kesalahan… Ini jadwal kembali, Kaka…di sini pak Her.”

“Maaf pak Her ya, Non? Bapak selalu lalai menjaga Non… Bapak selalu…“

“Kaka sudah besar pak Her… Bukan anak 5 tahun. Bukan remaja 17 tahun. Mungkin nenek 46 tahun. Pak Her…sudah menjaga Kaka dengan sangat baik…“ potong pembicaraanku dengan pak Her.

“Sebaiknya, Non jangan dulu terlalu banyak berbicara atau bergerak, Ya. Banyaklah dulu istirahat. Di sini ada pak Her yang akan menjaga.“

“Sebentar lagi… Kita lewati hari ini bersama, ya pak Her? Kaka…sudah…sehat. Lihatlah…“

“Sehat? Suara Non masih lemah… Mata Non masih sayup…”

“Tapi nafas Kaka masih terdengar… Walau suara memang semakin pelan…“ Aku mencoba melihat jauh tatap dua matanya. Antara merah menahan tangis ataukah suntuk menahan kantuk, “tolong berceritalah… Malam ini…untuk fajarku, Pak…Her…”

“Apa yang harus pak Her ceritakan. Pikiran pak Her sedang semerawut. Memikirkan keadaan Non…” Jawab pak Her, dengan cenderung memilih untuk menyembunyikan kesedihannya.

Aku mencoba tersenyum… “Apa saja… Yang kau lihat… Dalam… Kehidupan…” Aku menarik nafas, “sebelum mereka mati… Terpisah antara… Jiwa… Dan… Jasad…”

Ah, kau ini Non… Paling sering buat bapak harus berpikir dalam.” Pak Her mulai bercerita, “bapak melihat mereka ‘terlalu’ ‘sibuk’…“

Sementara pak Her bercerita tentang perspektifnya, ia memandang kehidupan. Dalam kata ‘terlalu’ dan ‘sibuk’ aku kembali berpikir. Aku merenungkan kembali: “…begitu banyak orang menjalani hidup mereka tanpa makna sama sekali. Mereka seperti separuh terlelap, bahkan meskipun mereka sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting. Ini karena mereka memburu sasaran-sasaran yang salah. Satu-satunya agar cara hidup ini lebih baik menjadi bermakna adalah mengabdikan diri untuk menyayangi orang lain, mengabdikan diri bagi masyarakat sekitar kita, dan mengabdikan diri untuk menciptakan sesuatu yang memberikan kita tujuan serta makna.”

“Nah…begitu menurut bapak, Non. Nenurut Non sendiri bagaimana..?” Penutup kata ceritanya yang cukup membuatkan kaget.

“Hari ini, Kaka masih… Terbata… Untuk… Berbi…cara… Pak…Her“ Jawabku yang semakin tertatih.

“Pak Her…“ Panggilku.

“Apa, Non?”

“Kakak boleh mohon sesuatu?”

“Apa itu, pasti akan bapak turuti.“

“Jika mereka bertanya, bilang saja hanya menjenguk sahabatku yang sedang dirawat, di sini ya?”

“Bapak tak bisa berbohong, seperti itu, Non…”

“Ini untuk kebaikan pak Her… Pak Her mau aku di rujuk di bawa ke negara sebrang?”

“Sampai kapanpun, pak Her ingin menjaga Non… Sampai ada seseorang yang akan menggantikan posisi pak Her…“ Pak Her berpikir, “…baiklah, Non… Jika itu mau Non… Tapi Non harus janji, enggak akan memaksakan diri lagi ya, untuk sebuah kesibukan yang melampaui kepentingan diri Non sendiri, gimana?”

Mekar senyumku.

 

“Pak Her…“ Aku menarik nafas panjang, “…maaf Kaka enggak bisa berjanji. Kakak takut… Kaka ingkar dari janji itu. Tapi…percayalah… Kaka tahu diri Kaka sendiri. Terimakasih, pak Her. Sudah berpuluh tahun… Gadis tua ini merepotkanmu…”

Aku melihat pak Her saat itu, usai ucapku. Matanya sedikit berkaca, beberapa kali ia mencoba palingkan wajahnya, kemudian erat mengenggam tanganku. Dan akhirnya, aku melihat setetes airmata pak Her jatuh melewati wajahnya yang sinar itu. Aku ingin sekali menghapus airmatanya dengan saputangan kotak yang selalu kubawa disetiap waktuku.

“Ya, sudah. Sudah larut menuju pagi. Ada baiknya Non tidur dulu, ya?” Senyumnya merayu ‘persetujuan’ kalahku.

“Baiklah… Kaka hanya mencoba nikmati malam terakhir di sini… Pagi hari…Kaka… Sudah… Berada… Di rumah…“ Kembali jawabku.

“Itupun jika dokter memperbolehkan, ya?”

“Yang tahu… Sehat… Tidaknya… Diri… Kaka… Sendiri…“ Aku tersenyum, “…besok, kita harus… Hadiri… Bebera…pa acara… Yang sudah… Terdaftar… Dalam agenda…”

“Sudah… Berhentilah Non memikirkan itu dulu. Masih sempatnya untuk memikirkan itu. Bapak mohon. Tiga hari sebelum hari ini sudah bapak hubungi mereka semua. Memberitahu permohonan maaf atas ketidakhadiran dalam beberapa waktu yang tidak di tentunkan…“

“Semua itu… Sudah… Tanggung… Jawab Kaka, pak Her… Besoklah… Waktu terakhir Kaka berada di sini. Kembali… Melanjutkan kewajiban… Di…luar sana.”

Pak Her, setidaknya aku tahu jika hari ini kembali namaku terdaftar menjadi pasien selamat hari ini. Sementara organ-organku semakin di acak-acak, oleh sang ahli pengacak. Semakin banyaklah asupan kimia-kimia yang menjadi makanan harian pokok. Coba kauhitung ada berapa pelangi warna di sana? Berapa bentuk dan berapa banyak?

 

Selama di dalam matiku

Aku berhitung

Aku membaca

Aku berpikir

Tapi aku lupa tuk membawa nyala

Di genggam arang yang kubawa

Lupa.

 

Ya, hari ini aku… Masih bisa bernafas…

 

[]

RS, 27 September 2010


Coretan edisi 26 Juni 2010

Oleh Afrilia Utami

/1/

Seribu hari aku membingkai
Gundah Gulana yang kerap lalai
Mengambang pada detik ketiak
yang Kental dan hambar serupa dahak-dahak

/2/

3726 Menit melumat danau bibir
Bibir-bibir tiada tepi hulu arus mengalir
diantara Bianglala riang memutar liar
Basahan merenung di sudut sokong kamar

/3/

Sembilan Bulan wanita itu mengandung
Nurani yang berasal dari dalamnya nafsu menyelendang
Sayang, Terbunuh oleh api yang melengking
Hingga jasad ronta kelana mengering

/4/

Dua Ribu Sepuluh langkah meratap hilang
Dua Ribu Sepuluh genggam hanya menoreh bayang
Dua Ribu Sepuluh Tatap menjari melukis siluet mati melayang
Dua Ribu Sepuluh Sentuh panas membakar dingin baraArang

RuangCoret, 26 Juni 2010
: 15.35 WIB

[]