Oleh Syaiful Alim
“Eva, khuldi tak hanya tumbuh di dadamu, tapi seluruh tubuh
aku mau unduh untuk remukkan kecamuk aduh”
“Adam, kau nyidam dendam atau demam?
bukankah ini terlarang, Sayang?”
“Ah! Bukan urusan. Aku harap tubuhmu jadi sepohon khuldi rindang
teduh, gaduh ular berkelakar, juga iblis yang nangis dan tertawa riang”
“Apa? Inilah kelak kau atau aku tertuduh
kita tak kuasa mengelak, air mata terseduh”
“Eva, aku bosan hidup dibonsai Surga
aku juga khawatir dosa yang berdansa bersama ular berbisa”
“Ayolah kalau begitu, naik dan petik khuldi di sekujur tubuhku
jangan panik, Cintaku, raihlah pernak-pernik unik walau perih ngilu”
“Duh! Berkati berahi kami yang tak berakhir ini
Oh, mantra ranjang goyang yang beku tersimpan di
saku campur darah luka siku, sikut rasa takutku
jangan sekadar angan, tangan angin berpilin ingin”
“Adam! Jangan berdoa, kita tak berdosa.”
[]
Khartoum, Sudan, 7 Juli 2010.
Tinggalkan Balasan