Tag Archives: tki

Opini: Lolongan Pajak di Siang Bolong

Oleh Iwan Piliang (Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com, Pemred Dmagz, tedas peradaban, free magazine)

Ranah perpajakan di negeri ini mengalirkan laku histeria bak orang kaya mabuk menampar-nampar muka sendiri. Isi koceknya tambun. Dari baju hingga celana bahkan seluruh tubuhnya penuh uang, tetapi berserak, berhamburan digerogoti pencoleng. Sosok tenggen itu tak sadar- sadar. Dalam keadaan mabuk ia “membakar” uang, menguapkan peraturan melalui asap mengepul.

***

SULIT mencari lema pas satu dua kata menyampaikan premis soal pajak di negeri ini. Saya hanya bisa menggambarkan melalui kalimat pemikat, sebagaimana dapat Anda baca di atas.

Sebelum kasus penggelapan pajak dan mafia kongkolingkong pajak di sosok Gayus membuncah, saya lebih awal telah menulis rangkaian Sketsa, hasil reportase di Pengadilan Pajak; di mana pada 2009 saja penggelapan pajak melalui laku transfer pricing (kewajaran), terindikasi mencapai Rp 1.300 triliun. Ini setahun tok. Laku transfer pricing berjalan tiap tahun, tak terkecuali tahun ini yang baru memasuki bulan kedua.

Angka tambun itu, tak pernah mendapat perhatian serius Direkltorat Jenderal pajak. Bentuk  cueknya, dari 38.000 orang karyawannya, hanya 5 orang saja yang mngurus menggunggung-gunung uang hilang tiap tahun itu. Secara organisasi hanya dalam bentuk sastu seksi yang mengurus transfer pricing.

Belum lagi ranah Pengadilan Pajak, dikuasai oleh hakim pajak yang sebanyak 48 orang dominan, mencapai 95%, mereka juga pernah bekerja di Dirjen Pajak. Sosok mereka terindikasi  bermasalah menegakkkan keadilan pajak. Sisa 5% pun —kendati ditolak mentah-mentah oleh pihak Pengadilan Pajak— terindikasi pula membawa-bawa nama sebagai wakil Kadin Indonesia, yang keberpihakannya Anda pastilah paham.

Pembaca rutin Sketsa saya, tentu masih ingat, bagaimana di awal Sketsa saya menulis, pintu Pengadilan Pajak saja tertutup rapat. Lalu pembatasan wartawan masuk dilakukan sejak di lantai bawah di Depkeu itu. Kendati secara UU Pengadilan Pajak, tegas menyatakan bahwa mereka kudu terbuka kepada publik, termasuk perusahaan yang berani menggugat soal pajaknya, berarti mau membuka diri ke publik. Akan tetapi logika dan UU itu tinggal di kalimat.

Kemudian sontak berita media mainstream fokus ke Gayus. Media, terutama televisi perlu sosok digadang-gadang untuk menambah rating. Nama Gayus dijual berhari, berbulan-bulan. Gayus paham bahwa ia menjadi tontonan utama pun tak kalah pintar melempar lembing. Ia ngelunjak setelah menjadi perhatian utama, dan puncaknya meminta menjadi tenaga ahli Kapolri segala.

Saya di Facebook, di Twitter, selalu mengingatkan bahwa Gayus itu bak kotoran manusia, yang dihidangkan di piring, pyrex, di tarok ke meja makan kristal, lalu sang kotoran di tarok di lemari kaca, disimpan, dihidangkankan kembali dengan terlebih dahulu dipanaskan di microwave staintless steel. Sangat terhormat. Tampak seakan-akan bermartabat. Padahal sesungguhnya ia adalah kotoran yang amat menjijikkan.

Tetapi itulah kenyataan. Kita seakan “dipaksa” menikmati hidangan itu oleh televisi, media online dan media mainstream lain.

Di lain sisi, entah untuk kesekian ribu kali, saya mengatakan penggelapan pajak di negeri ini tidak pernah akan beres, tidak akan pernah menyelamatkan uang rakyat, tidak akan pernah memberi rasa keadilan bagi publik, selagi masih ada kalimat: Penggelapan pajak boleh diselesaikan dengan cara di luar pengadilan dengan membayar denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan: diterakan  dalam ketentuan Undang-Undang (UU) penggelapan pajak di negeri ini.

Anda baca kalimat itu lamat-lamat. Anda akan paham betapa bogem mentah seakan bertubi datang ke muka sendiri. UU sejenis, setelah saya verifikasi tak ada duanya di dunia ini.

Bandingkan angka devisa yang dapat dari TKI, TKW, juga pada 2009, hanya mencapai Rp 59 triliun. Citra bangsa di luar, terlalu pahit untuk saya tuliskan. Namun demikian tetap saya tuliskan karena memang saya temui di  Emirat Arab apada 2010, sebuah citra: babu yang gampang digauli. Itulah kita. Di cukai rokok, di tahun sama, uang masuk juga di kisaran Rp 59 triliun. Jumlah dua angka ini, bandingkan dengan Rp 1.300 triliun yang tak diurus?

Pekan ini kita heboh lagi dengan pajak film impor.Silang pendapat terjadi. Sosok Noorca Massardi yang mewakili pihak importir film asing menyampaikan sikap produsen. Mereka merasa aneh terhadap kebijakan baru perpajakan bangsa kita.

Mira Lesmana, produser film lokal pun mengaku film Indonesia pun dipajaki dengan cara tak fair. Dan saya sangat yakin dari pajak film impor setahun tak sampai Rp 59 triliun kita dapati. Itu artinya tak sampai 10% dari Rp 1.300 triliun yang menguap pada 2009 saja.

Film padahal produk kebudayaan. Film menjadi salah satu oase menambah wawasan.

Di lain sisi, bangsa-bangsa yang beradab, selalu menempatkan pajak sebagai “pinjaman” negara terhadap rakyat, dengan tanpa bunga. Uang pajak itu dikembalikan kepada publik banyak, ke dalam bentuk layanan publik maksi. Bahkan ada negara yang mengembalikan dana cash di setiap akhir tahun.

Maka, di urusan pajak di negeri ini, saya kehabisan kata, tak mampu lagi mencari diksi, untuk mendeskripsikannya lagi.

Saya ini serasa bagaikan seekor anjing yang terus melolong sendiri, di tengah hiruk pikuk berita media yang bermain di ranah kulit dan rating; saya melolong bak anjing yang mungkin saja dilindas di tengah jalan, digiling-giling roda-roda gila. Jalanan, lalu lenyap menguap, bagaikan orang mabuk yang membakar-bakar uang bak di pemikat tulisan ini.

Tinggallah asap yang terus menguap-menguap mengalirkan bau terus-menerus mengalir ke setiap rumah tangga kita. ***

(ditulis pada 21 Februari 2011) 


Minggu Pagi Di Victoria Park

Oleh Very Barus

Tadi malam, gue dan 4 orang teman nonton film Minggu Pagi di Victoria Park, di BSM Cinema. Sempat pesimis dan berat hati masuk ke dalam bioskop. Bayangin aja, waktu masuk ke dalam bioskop tidak satu pun ada penonton—bukan karena kami kecepatan masuk. Tapi emang bener-bener nggak ada penonton. Jadi saat nonton gue dan teman-teman clingak-clinguk. Sempat melontarkan kalimat.

Wadoh, kita salah beli tiket nih! Gila! Menontonnya aja cuma kita doang. Pasti filmnya jelek dan membosankan!”
Alaaa….itung-itung nonton film serasa di rumah sendiri aja..” ucap teman menghibur kegundahan kami. Oke lah kalo begitu……

Film pun dimulai….

Opening screen-nya menampilkan kemegahan kota Hongkong dengan gedung-gedung pencakar langit dan juga hiruk pikuk manusia berlalu lalang. Ciri khas kota Hongkong yang never sleep
Gue senyum-senyum sendiri melihat ke indahnya Hongkong. Lamunan gue langsung terbang ke Hongkong saat tutup tahun kemaren gue dan teman-temen menghabiskan tahun 2009 di Hongkong dengan segala hiruk pikuknya.

Film terus berputar…. cerita bergulir bak sedang menyaksikan kisah yang sesungguhnya. Gue terus memantengin tuh pelem serasa nggak berkedip. Konflik di film ini “sangat dapat” dan natural. Semua pemain memerankan tokoh mereka dengan natural. Logat jawa nan medok membuat gue senyum-senyum sendiri (lagi). Teringat (lagi) saat gue interview beberapa TKI di sana saat mereka sedang nongkrong di Victoria Park. Dandanan boleh mirip artis Hongkong. Tapi logat tetap JAWA MEDOK.

Pada film itu juga digambarkan bagaimana hubungan sesama jenis (lesbian) menjadi hal yang sangat biasa. Bahkan mereka tidak sungkan berciuman di depan umum dan juga tinggal serumah bareng. Begitu juga konflik terlilit hutang yang juga banyak dikeluhkan oleh TKI di sana. Hubungan percintaan dengan pria BANGLADES yang tukang morotin…semua benar-benar dikisahkan, layaknya apa yang diceritakan para TKI saat gue wawancara mereka tempo hari itu…

Akhirnya gue puas… dari awal film hingga sampai pamungkasnya, tidak ada rasa jenuh menontonnya. Gue suka film ini… gue suka SEKAR (Titi Sjuman). Gue suka Mayang (Lola Amaria) dan gue suka semua pemain-pemainnya. Sangat berkarakter dan sangat menjiwai peran mereka sebagai TKI.

Titi Sjuman yang logat jawanya begitu medok. Dengan umpatan “J****KKKK…!!!!” saat marah pada temannya. Membuat aku tertawa geli. Lola yang sebagai kakak di film ini juga sangat pas memerankan Mayang. Kalem dan lembut namun gigih.

Gue bener-bener memuji penulis skenario cerita ini (Titien Watimena) yang mampu mengemas kisah yang juga bisa membuat emosi kita up and down. Dan memuji kenekatan Noe Letto memproduseri film ini. Dan ternyata menurut aku SUKSES!

Banyak kisah-kisah menarik di film itu yang dikemas “pas” oleh Pic(k)lock Production ini. Sehingga tidak menimbulkan kejenuhan, over acting dan juga terlalu diulur-ulur seperti kebanyakan film-film lokal yang beredar…untuk menghabiskan durasi, alur cerita terlalu dipanjang-panjangkan…berliku-liku tapi tidak jelas… tapi film ini BEDA!

Saran gue nonton deh film ini…. Cukup recomended sebagai tontonan di akhir pekan ini….

Ada sepenggal kisah saat gue nonton film ini :

Sepulang gue dari Hongkong Januari kemaren, gue sebenarnya tengah mempersiapkan novel terbaru gue ber-setting kota Hongkong yang mengisahkan tentang TKI yang bekerja di sana. Gue tertarik dengan kehidupan para TKI yang ternyata banyak banget yang menjadi LESBIAN dengan latar belakang masalah yang beraneka ragam. Sehingga gue pikir menarik juga untuk di angkat ke dalam novel. Itu sebabnya gue mewawancarai beberapa TKI yang lesbian lengkap dengan pacar-pacar mereka (perempuan). Juga tempat-tempat mangkal mereka gue jabani….

Tapi anehnya, hampir 40 persen imajinasi gue sama dengan imajinasi penulis skenario film ini… dan mereka memvisualisasikannya ke dalam film ini……padahal gue sama sekali tidak kenal sama penulis film ini…tidak tau mereka bikin film ini dan juga tidak terbesit untuk meniru kisah-kisah di dalam film ini. Meski ada 60 persen cerita yang berbeda dalam bukuku kelak…

Sementara imajinasi gue sedang MANDEG menulis novel tentang TKI di Hongkong. Karena gue belum mendapatkan FEEL kota Hongkong lagi… teman gue menyarankan agar gue tinggal sebulan di Hongkong untuk bisa mendapatkan FEEL kisah TKI Hongkong…

Hmmm…….. semoga saja bisa..!!!

Resensi MPdVP gue kutip dari Detik.com (www.detik.com)

Film produksi Pic[k]lock Production ini berfokus pada Mayang, anak pertama dari pasangan Sukardi dan Lastri yang disuruh ke Hong Kong untuk mencari tahu keadaan adiknya, Sekar (Titi Sjuman yang bermain ciamik) yang tidak lagi mengabarkan kondisinya selama beberapa bulan.

Sebenarnya, antara Mayang dan Sekar ada hubungan ‘sibling rivalry’ alias permusuhan antar saudara. Sang ayah selalu memuji Sekar yang selalu mengirim uang dari jauh, sembari merendahkan Mayang yang masih menumpang dan cuma seorang petani tebu.

Hubungan keduanya, yang terasa sekali relasi kimiawinya, inilah plot utamanya. Dan dari sini kita mengetahui sisi-sisi lain dari kehidupan TKW. Proses pembuatan yang memakan waktu dua tahun itu juga menjadi keuntungan tersendiri dalam menyelami para TKW. Dari segi skenario, Titien Wattimena menulis bagus dan menebus kekurangannya di ‘Menebus Impian’.

‘Realitas’ lain adalah betapa banyak para TKW yang terjebak untuk berutang pada lintah darat bernama Super Kredit. Salah satunya adalah Sekar, yang luntang lantung dan kerja serabutan untuk menyambung hidup plus menyicil utang dengan cara apapun.

Judul film yang awalnya bertajuk ‘Hong Kong Rhapsody’ ini terinspirasi dengan ritual para pekerja ini yang hobi berkumpul lengkap dengan dandanan dan telepon genggam layaknya anak gaul di Victoria Park tiap Minggu Pagi. Di tengah film, ada poster sayembara via sms untuk memboyong band favorit dari tanah air. Siapakah itu, hayooo?.

Film ini juga diperkuat oleh Donny Damara, Imelda Soraya, Permata Sari Harahap, dan Donny Alamsyah. Para pemain bekerja ekstra untuk berdialek Jawa Timuran, walau satu dua aktor masih terdengar seperti cengkok Jawa Tengah. Dan bintang yang paling bersinar sesungguhnya adalah Yadhi Sugandhi yang benar-benar menjadikan kota Hong Kong sebagai panggung.

Sang penata kamera itu bekerja sama dengan Art Director Rico Marpaung–berhasil menyajikan sudut-sudut kota dan memberikan identitas yang kuat.

Dan jangan bayangkan film ini seperti ‘Betina’ yang terkesan “art”, garapan Lola sebelumnya. Film ini cukup komunikatif dan beberapa adegannya mampu mengusap tombol emosi kita.

[]


Sketsa PEA I: Perjalanan Kemanusiaan: Ziad di Tanah Syeh Zayed

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Sebulan saya di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA), sejak medio Januari 2010 hingga Februari. Perjalanan membawa pulang Ziad Salim Zimah, 44 tahun, yang semula bermasalah keluarga di Abu Dhabi, tertahan urusan legal, tak bisa balik sejak 2002. Adalah Wahid Supriyadi, Dubes RI di PAE, memfasilitasi saya memediasi masalah, sehingga Ziad dapat pulang bersama saya, bertemu kembali dengan ibunya sakit tua, pernah menangis darah merindukan anaknya. Sebuah literair pembelajaran kesabaran, jejak hukum dan kemanusiaan.

PADA 28 Januari 2010 pagi pukul 9.00 waktu Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA) Di meja makan Dubes RI di Wisma Duta, di kawasan Villa, pemukiman baru, Muhammad bin Zayed City, sudah terhidang ayam, tempe dan tahu goreng, tumis pare dirajang tipis dengan cabe hijau. Kerupuk udang di dalam toples. Sarapan pagi itu, kali kedua saya ke sana Setelah sepekan di Abu Dhabi, saya sempat pulang dulu ke Jakarta seminggu. Pagi itu dengan Wahid Supriyadi, Dubes, kembali kami sarapan bersama.

Saya melihat ke kanan ke luar jendela. Di halaman samping, makin hijau tanaman sawi – – campuran mie ayam seperti di Jakarta – – daun singkong, tiga batang pepaya, tumbuh sepinggang. Daun bawang sup dan serai juga menghijau. Udara di luar 19 derajat celcius, mengingatkan saya akan kawasan Puncak, Jawa Barat.

Cabe rawit di meja di piring kecil, berikut pare yang ditumis, sedang saya lahap, juga hasil kebun samping, tidak begitu pahit. Justeru rasa pedas menyengat. Saya berkeringat.

“Syukurlah, Anda kembali, bisa menjembatani solusi, membantu Ziad bisa pulang, tinggal proses hukumnya diurus,” ujar Wahid.

Ziad yang dimaksud Wahid adalah sosok pria Indonesia sebaya saya. Ia pada medio 2002 ke Abu Dhabi menemui adiknya Firza, yang telah menikah dengan Saleh Alkatiri, warga negara PEA. Kehadiran Ziad ke sana, untuk mencoba mendamaikan keluarga sang adik. Di mana Firza menyatakan sudah tak kuat mepertahankan rumah tangga, karena acap menerima kekerasan fisik di rumah tangganya.

Berbeda dengan Manohara, ketika terjadi kekerasan fisik padanya belum memiliki keturunan. Tetapi pada kasus Firza, telah diperoleh dua pasang anak. Karenanya, atas keinginan Saleh, suami Firza, meminta Ziad berusaha membujuk adiknya melanggengkan perkawinan mereka.

Kepada saya, Ziad menuturkan, ”Firza bilang dia sudah sangat tak kuat,” kata Ziad pula mengutip Firza, “Mau saya paksakan meneruskan perkawinan, tetapi kalau nanti mendengar saya misalnya lompat tak kuat gimana?” Ada nada ancaman bunuh diri di mulut Firza ke kakaknya.

Mendengar kalimat adiknya itu, Ziad tak dapat berbuat apa-apa. Sang adik ipar, Saleh Alkatiri, salah seorang pengusaha papan atas di sana. Bisnisnya salah satunya menjadi vendor pakaian militer dan polisi PEA. Firza sebagai isteri kedua Saleh. Ia “minggat” pulang ke Indonesia, meninggalkan anaknya yang kini sudah di tingkat SMU dan SMP itu, bersama sang paman, Ziad di Abu Dhabi.

Malang tak dapat diduga, untung belum dapat diraih, Ziad kemudian diperkarakan oleh Saleh ke pengadilan di Abu Dhabi. Ia dituduh menggelapkan uang semasa perjalanan perkawinan dengan adiknya. Tidak tanggung-tunggung tuntutannya mencapai US $ 7 juta. Ziad yang sudah berpacaran serius dengan seorang dokter gigi cantik di Jakarta itu, dikenal keluarganya amanah, seketika seakan menghadapi tembok buntu. Sebab, begitu menghadapi proses hukum, seseorang menjadi tergembok meninggalkan PEA.

“Pernah saya mencoba pulang pada 2002 dari Dubai, tapi passpor saya langsung di blok,” kata Ziad.

Ia lalu berhadapan dengan setidaknya 5 kasus yang kemudian dituduhkan Saleh Alkatiri. Nun di setiap ujung kasus pengadilan, Ziad dinyatakan tidak bersalah. Tetapi begitu satu kasus menyatakannya bebas, kasus berikutnya sudah menghadang. Satu kasus memakan tempo bahkan hingga dua tahun. Lantas, keputusan akhir mahkamah pada awal 2009 – – – setelah 7 tahun berperkara – – menjatuhkan vonis kepada Firza (bukan untuk Ziad) mengganti kerugian mantan suaminya sebesar US $ 500.000.

Keputusan pengadilan itulah yang membuat Ziad seakan tersandera entah hingga kapan di PEA.

Bahkan setelah Saleh Alkatiri meninggal dunia pun pada September 2009, sebulan kemudian sang adik, Hasan Alkatiri melaporkan Ziad melakukan pidana memalsukan dokumen. Lagi-lagi kenyataan ini membuat Ziad kian menghadapi tembok baja untuk bisa ke luar dari negara penghasil minyak ketiga terbesar dunia itu.

Bila dilanjutkan setori ini, sebenarnya menceritakan ketidak nyamanan tentang diri sendiri, keluarga sendiri, bangsa sendiri. Contoh kasus, selama ini passpor Ziad tidak bisa diperpanjang. Alasannya, menurut penuturan Ziad, pernah ia datang ke KBRI, dikatakan kalau KBRI belum bisa memperpanjang karena ia masih bermasalah hukum. Keterangan demikian tentu dibantah oleh KBRI. Justeru sebaliknya, yakni, Ziad tidak muncul-muncul ke KBRI.

“Bagaimana saya datang, baru sampai di gerbang KBRI, tidak dibukakan pintu, ditolak masuk oleh petugas KBRI, ia bilang urusan kamu dengan Saleh Alkatiri belum beres,” tutur Ziad.

Laku saling menyalahkan ini tentu berlangsung di era sebelum Wahid Supriyadi sebagai Dubes.

Passpor Ziad baru dapat diperpanjang awal 2010 ini. Hal itu terjadi ketika Teguh Wardoyo, Direktur Perlindungann Warga Negara Indonesia (PWNI) di Deplu mengirim stafnya, Iskandar, awal 2010 ke Abu Dhabi. Ziad dapat ditemui Iskandar dan kala itu pula paspornya diperpanjang KBRI. Namun Iskandar tak bisa membawa pulang Ziad, karena memang urusan hukumnya belum tuntas.

Adapun Teguh, tergerak, setelah mendapatkan kontak dari Muhammad Rahmad, staf ahli Fraksi Demokrat di DPR. Rahmad saya kenal ketika saya memverifikasi kasus Pembunuhan David Hartanto Wijaya di Singapura. Rahmad kala itu salah satu staf KBRI Singapura. Saya meminta bantuan Rahmad, setelah suatu siang bertemu ibu Ziad

Sosok ibu Ziad, wanita tua, berkulit putih, dengan jalan agak membungkuk. Ia kena penyakit gula, jantung dan ginjal. Kerinduan mendalam kepada anaknya yang tak bisa ia temui selama 8 tahun, menyiratkan kepedihan mendalam. Ketika saya bertemu untuk ketiga kali ketika sempat pulang ke Jakarta sepekan, saya melihat mata kanan ibu Ziad mengeluarkan darah. Rupanya kepedihan tajam, telah mebuat pembuluh darah di matanya pecah. Seumur-umur dalam hidup saya, baru kali itulah saya menemui fakta pepatah: menangis darah! Ibarat melihat ibu kandung sendiri, mebulatkan tekad saya, Ziad pasti bisa saya bawa pulang.

Di dalam verifikasi saya di lapangan, Saleh Alkatiri, memang dekat dengan orang-orang di KBRI, bahkan mantan supir Saleh, kini juga menjadi driver KBRI. Saleh juga punya anak yang bekerja di pengadilan Abu Dhabi, punya relasi luas dengan detektif kepolisian. Kenyataan inilah tampaknya, kehadiran saya, sebagai mediator, setidaknya menjadi pemecah kristal kebuntuan.

Sebuah kejadian pernah pula menimpa Ziad. Oleh oknum kepolisian Abu Dhabi, ia pernah mendapatkan perlakuan kasar. Sejak itu ia lebih banyak “bersembunyi” mengurung diri. Rutinitasnya, sebagaimana ia paparkan: bangun pukul 3 dinihari, shalat tahajud. Lalu memanti waktu subuh, shalat, berzikir, tidur, bangun pukul 10, lalu shalat dhuha, berzikir menanti zuhur, dan seterusnya demikian di antara waktu shalat. Begitu monoton, percaya atau tidak, ini dilakoni Ziad selama 8 tahun. Rasa takut menghantui hari-harinya. Kejiwaan Ziad mengalami sindrom ketidak-percayaan kepada orang lain.

Pintu solusi kemudian seakan terbuka, setelah sepekan sebelumnya saya mara ke Abu Dhabi. Adalah dari Hasan Alkatiri, adik almarhum Saleh Alkatiri, saya mendapatkan keterangan, bahwa tuntutan Saleh terakhir kepada sebuah rumah yang dibeli untuk keluarga ayahnya, WNI, yang ada di Indonesia. Properti itu masih dikuasai keluarga Firza. Dan jika aset itu dikembalikan, ahli waris akan mencabut semua tuntutan kepada Ziad, dan Ziad boleh pulang ke Indonesia. Urusan khalas (selesai).

DI KEPOLISIAN Khalidiyah, Abu Dhabi, medio Januari 2010. Saya bersama Amin Appa, staf lokal bagian konsuler di KBRI, mencoba menelusuri kasus dan berkas Ziad. Mengingat semua berkas itu harus diurut dan dicabut di kepolisian sehingga black list-nya di imigrasi dapat dihapus dan ia bisa pulang.

Di siang mentari terik tapi udara dingin itu, kami sengaja meninggalkan Ziad di mobil Toyota Innova – – Kijang Innova di sana 2.700 cc mesinnya – – kuatir Ziad yang selama ini menghilang justeru akan ditangkap polisi. Logikanya jika di dalam mobil berpelat CD, tak bisa ditangkap siapapun, ada ranah kekebalan diplomatik.

Setelah berkas Ziad kami perlihatkan ke lima orang investigator dengan proses menunggu mencapai sejam, investigator meminta Ziad dihadapkan ke mereka. Dengan berpura-pura memutar mobil, seakan menjemput Ziad, kami kembali membawanya. Lama kami menunggu, waktu magrib tiba. Ziad rupanya dibawa ke ruang bawah di sel-kan dengan kaki dirantai. Saya begitu kuatir. Keadaan ini kian memperburuk kejiwaan Ziad.

Untunglah kala itu Hannan Hadi, staf konsuler KBRI berkenan datang. Ia mencoba berbicara dengan Hasan Alkatiri, adik Saleh. Dari dialog itu saya menangkap Hasan berkenan mencabut laporan pidana di kasus terbaru, di mana Ziad dilaporkannya memalsukan dokumen. “Nah jika ada kasus hukum demikian, membuat KBRI sulit berbuat. Satu-satunya cara, mendekati pihak yang memperkarakan, menyelesaikan,” ujar Hanan Hadi.

Al hasil, pada pukul 21 malam, Ziad dapat kami bawa pulang dengan jaminan KBRI, dan paspornya ditinggal di kepolisian. Dan mulai hari itu Ziad diminta KBRI tinggal di KBRI. Saya masih ingat hari itu Kamis malam Jumat – – hari di mana libur di PAE. Saya pulang lega ke Wisma Duta. Keesokan pagi, terjadi kejutan, Ziad menghilang.

Komunikasi dengan Ziad sirna. Agaknya, pengalaman singkat dirantai di polisi itu, sebagaimana saya duga, kian membuatnya trauma.

Padahal, dari body language Hasan Alkatiri saya menangkap kesan damai. Ketika ia pertama datang ke lantor polisi di depan saya, saya lihat Hasan yang berpakaian kandura putih panjang, duduk jongkok di kaki Ziad meminta maaf. Dalam bahasa Arab. Bahkan ketika rantai di kaki Ziad dilepas dan ia boleh pulang, Hasan merangkul, memeluk Ziad. Konon sikap demikian sebagai budaya Arab di urusan khalas. Sinyal itu yang membuat saya optimis. Tetapi kaburnya Ziad, membuat harapan pudar. Saya lemas. Saya memutuskan pulang ke Jakarta.

Selama 8 tahun ini memang Ziad merahasiakan keberadaannya, juga komunikasinya melalui mobile phone, sangat kuatir dilacak polisi. Ketika kembali ke Jakarta saya yakinkan keluarga Ziad. Alhamdulillah komunikasi akhirnya bisa terjalin kembali antara Ziad dan keluarga.

Aset properti yang diminta keluarga Saleh Alkatiri, senilai Rp 1 miliar dapat saya yakinkan ke pihak keluarga Ziad untuk diserahkan. Toh Ziad, juga atas dukungan KBRI, juga kan dapat dipulangkan, jika seluruh kasus hukum sudah dicabut pihak memperkarakan.

Di depan notaris di Jakarta, keluarga Ziad menyerahkan kunci, sertifikat tanah di bilangan Duren Sawit, untuk saya bawa kembali ke Abu Dhabi.

Dan di pagi saat sarapan bersama Wahid Supyaridi itu, saya sampaikan ihwal penyerahan asset itu sebagai adanya pintu solusi kasus yang merepotkan ini. Atas dasar itulah Wahid menyampaikan kalimat syukurnya.

Akan tetapi, lain padang lain ilalang, mencabut kasus di mahkamah pengadilan PAE, juga mencabut blac list di polisi dan imigrasi, tidaklah macam membalik telapak tangan. Pada tulisan lain tentang perjalanan ini, akan saya tuliskan dalam sesi tersendiri.

WAKTU menunjukkan pukul 09.30. Pagi 28 Januari 2010 itu, saya kembali menumpang mobil dinas Dubes, Mercedes Benz S 350. Di udara yang dingin saya amati, kendaraan kebanyakan dengan kapasitas mesin besar. Ada mobil seperti Mercedes Benz CL 65 (6.500 CC), biturbo, dua pintu, yang dipacu di jalur paling kiri – -khusus kecepatan tinggi – – dengan kecepatan 200 km perjam. Jalanan masing-masing 6 jalur, lebar beraspal kokoh massif dan rata. Satu dua Ferrari lewat di kiri kami. Bentley dua pintu, bahkan Roll Royce menjadi biasa di jalanan. Sekelabat lewat Bugatti Veyron hitam merah, persis mobil-mobilan mainan yang dibeli anak saya. Inilah salah satu negeri tempat menyimak manca ragam mobil mewah.

Abu Dhabi kota yang oleh pendirinya, Syeh Zayed, ditabalkan hijau. Adalah keinginan Zayed mengubah gurun berpasir gersang, menjadi hijau raya-raya. Untuk membuat kehijauan itu, di setiap meter tanah, membentang bermeter-meter selang air, baik berukuran besar dan kecil. Di masing-masing pipa ada cerobong air dapat diprogram menyiram otomatis. Aliran pipa air itulah kemudian memberikan kehidupan bagi rumput, bunga, pohonan, termasuk kurma tumbuh hijau di sepanjang trotoar dan pembatas jalan lebar.

Bersama Wiahid Supriyadi, Dubes, kami berdiskusi betapa peluang Indonesia besar merambah pasar PEA. Itulah titik perhatian Dubes saat ini. Di era Wahid ini pula kini sudah mulai masuk investasi langsung ke Indonesia, seperti investor untuk batubara dan jalan kereta api di kalimatan Timur senilaiUS $ 5 miliar.

“Nanti Juni, Garuda mulai lagi terbang ke Amstrerdam, dan transit di Dubai. Kita punya peluang mengirim beragam produk ke sini,” ujar Wahid.

Setiap hari tak henti-henti Wahid menjalin kontak, mencari akses bagi masuknya investasi ke Indonesia.

“Jika terfokus melayani tenaga kerja bermasalah, tidak akan ada habisnya. Sayang jam kerja diplomat habis disibukkan dengan urusan yang tak sesuai dengan kapasitasnya,”

“Lihatlah negeri ini, jangan cuma terfokus di kasus Ziad,” nasehat Wahid.

Saya sependapat dengan Dubes kita ini. Bayangkan setiap hari di banyak KBRI, kini, terutama di Timur Tengah, waktu para diplomat dan staf lokal, habis tersita mengurus TKW bermasalah di rusan yang terkadang remah-remah.

Sebagai contoh, di Abu Dhabi saya bertemua dengan anak, sebut saja Santi, TKW asal Cianjur. Ia baru bekerja 3 bulan, lalu terdampar di KBRI. Katnya ia diperkosa adik majikannya.

Ketika saya tanya, umurnya baru 18 tahun. Lebih parah ia tak mengerti apa itu diperkosa.

Saya tanya badannya diapakan?

“Dada saya diraba. Tetek saya dikenyot-kenyot,” jawab Santi polos. Maaf hal ini saya tuliskan, agar Anda mendapatkan kesan betapa lugu dan polosnya sosok Santi, contoh TKW yang dikirim oleh bangsa ini ke negeri orang.

Lalu?

“Celana saya dibuka.”

Sampai di sini tak tega saya menuliskan, Sidang Pembaca. Intinya dari deskripsi Santi, ia baru hendak dimasukkan “senjata” pria dari belakang. Konklusi, pelecehan seksual terjadi.

Tetapi apakah sudah diperkosa? Wallahuawam. KBRI menghadapi dilema; pertama jika dilaporkan polisi, negara kita pasti disalahkan, mengapa mengirim anak di bawah umur? Santi tak mau pula di otopsi, lebih parah, di benaknya yang ada pulang, minta dipulangkan. Padahal PJTKI yang mengirimnya, konon, illegal pula. Kasus demikian ribuan corak dan ragamnya. Energi diplomat kita terkuras untuk hal demikian.

“India, Pakistan, Banglades yang lebih miskin, tidak mengirim tenaga kerja wanita ke negeri orang, Filipina mengimkan tenaga terdidik seperti kasir untuk supermarket,” kata Wahid. Saya lihat kegemasan di wajahnya.

Saya katakan, tidak akan pernah sebuah bangsa bermartabat, jika memperlakukan para perempuannya, berhamburan menjadi babu di negeri orang, lalu kemudian direndahkan, diperkosa, dilecehkan.

Dalam perjalanan ke kantor KBRI, kawasan Maharba Area Street 32, di pagi hari itu, terlintas di benak saya, bahwa segala masalah TKW di luar negeri, bermula dari laku kita di dalam negeri. KBRI di luar negeri ketiban apes.

Salah satu kegundahan yang sama di benak kami adalah: bagaimana para diplomat di luar negeri waktunya habis di urusan TKW. Mulai dari isu perkosaan, pengiriman tenag kerja di bawah umur.

Setiba di KBRI, saya seakan sudah memiliki pos sendiri. Saya menuju dapur. Di lokasi ini akses wifi untuk internet berjalan cepat. Ada meja makan di mana saya dapat membuka laptop. Dan begitu senangnya saya, Ziad rupanya sudah ada di dapur. Itu artinya, kami bersama KBRI, bisa meneruskan mengurut berkas kasus Ziad, mulai dari mahkamah, polisi, investigator. Sudah saya bayangkan kerja yang melelahkan, membutuhkan kesabaran sekaligus bikin dag dig dug.

Kendati kuatir, hati saya kian mantap dapat membawa Ziad pulang, selain bekal sertifikat tanah yang sudah di tangan, sikap Wahid Supriyadi, Dubes, telah memperlakukan saya di luar dugaan. Ia meberi penginapan lebih dari memadai, makan lebih dari tiga kali sehari jika mau, menyediakan supir, mobil dan penterjemah untuk ke mahkamah. Sikap Wahid ini tentu berbeda dengan apa yang saya alami ketika memverifikasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya di Singapura – – baca di 17 Sketsa soal David dib log-presstalk.com Saya menduga sikap ini karena keterbukaan berpikir sang Dubes, toh, jika kasus Ziad selesai, artinya menyelesaikan satu dari sekian banyak masalah yang mereka hadapi.

Laku demikian, memang seharusnya diperbuat oleh KBRI di luar negeri, memberi fasilitas dan perlindungan kepada warga negaranya. Jika bukan KBRI siapa lagi?

Di Sketsa PEA berikutnya, saya bertutur lika-liku mengurus berkas Ziad, potensi negeri kita yang kaya seharusnya bisa seberkibar Persatuan Emirat Arab, yang kini telah memiliki gedung pencakar langit di Dubai, Burj Khalifah, tertinggi di dunia. [] (bersambung)

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa PEA II: Ibarat Puzzle Inilah Penggalan “Kombur” TKW & Ziad

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Tugas diplomat Indonesia di luar negeri, seperti saya simak di Persatuan Emirat Arab (PEA), juga cerita sosok Indonesia bekerja di Oman, bermuara: galebeh-tebeh urusan Tenaga Kerja Wanita (TKW); kabur dari majikan; di bawah umur; dilecehkan seksual; diperkosa; jatuh dari gedung; disetrika panas; sengaja menjual diri alasan terpaksa; bersuami seakan berpoliandri di negeri orang; panjang kata jika dilanjutkan. Jahanam kali laku lelaki – – termasuk saya – – mengirim perempuan mara ke manca negara. US $ 6, 615 miliar peneriman dari TKI, 2009, setara Rp 59, 5 Triliun, tiada arti apa-apa dibanding penggelapan pajak melalui transfer pricing pelaku usaha di Indonesia yang setahun melebihi Rp 1.000 Triliun. Buat apa mendidik, menggaji mahal para diplomat, jika pekerjaannya terguras arus mengurus TKW. Lanjutan Sketsa Ziad Salim Zimah yang “tertahan” 8 tahun di PEA, pulang bersama saya 16 Februari 2010: mencairkan rindu air mata darah sang ibu.

JARUM JAM menjelang pukul 00.00 di Villa, Wisma Duta, kawasan Muhammad bin Zayed City, Abu Dhabi.. Di ruang tamu Dubes RI, tiga cangkir teh dan toples kecil berisi korma hitam terhidang di atas meja. Saya, Ziad Salim Zimah, 44 tahun, dan Wahid Supriyadi, Dubes, berbincang hangat. Ziad mengucapkan terima kasih, atas bantuan yang diberikan KBRI. Pukul 02.00 dinihari itu, 16 Februari 2010, Ziad direncanakan dapat terbang pulang.

Walaupun tampak tersenyum, saya menangkap kekuatiran di wajah Ziad. Tiket pesawat, dokumen pencabutan seluruh berkas kasusnya di pengadilan, baik perdata dan pidana, termasuk bukti pencabutan black list di kepolisian, juga surat keterangan scanning retina mata di imigrasi Dubai, semuanya lengkap – – memakan tempo sebulan kami urut pengurusannya bersama pihak pihak KBRI.

“Ya Ziad, selamat, Anda akhirnya malam ini dapat pulang, atas upaya keras semua pihak yang membantu. Jadikanlah kasus ini sebagai pengalaman berharga, mari menyambut hari esok lebih baik, salam saya untuk keluarga “ ujar Wahid.

Kalimat Wahid bak seorang bapak, tapi tak mengubah kecut di wajah Ziad. Ziad baru sedikit terhibur, ketika kemudian datang Hannan Hadi, Sekretaris III, Protokol dan Konsuler KBRI, yang turut menemani kami ke lapangan terbang. Itu artinya, kami mendapatkan pengawalan hingga ke airport. “Untung ada Pak Hannan, kalau tidak jika nanti ada apa-apa lagi di airport bagaimana?” kata Ziad.

Sekadar menunggu waktu, pembicaraan di ruang tamu itu bergulir kembali ke soal TKW. “Coba Anda bayangkan, jika kami mengurus terus permasalahan TKW, kapan kami membangun citra baik negeri kita, kapan kami harus melakukan lobby mendatangkan investor, misalnya?” tutur Wahid.

Setiap bulan mendekati angka 100 orang TKW yang harus ditampung di KBRI. Manca ragam masalah. Urusan gaji belum dibayar majikan, dipukuli, hingga dimaki-maki. Untuk kasus dimarahi, pihak KBRI kesulitan menghadapi. Bisa jadi, majikan marah karena sang TKW memang datang dengan ke-awami-an; alias tembak langsung dari ndeso, memakai mesin cuci saja kagok, misalnya.

Lebih mengenaskan diperlakuan perkosaan.

Bila di Sketsa PEA I, saya deskripsikan soal Santi, lugu, di bawah umur, diduga tak paham arti kata: perkosa. Berbeda dan Laksmi, sebut saja namanya demikian. Saat saya temui di KBRI Abu Dhabi, mengaku sudah bersuami. Sosok wanita 35-an tahun itu, diperkosa oleh anak majikannya. Derita kemiskinan di kampungnya di Jawa Tengah, uang pendidikan mahal dan kesehatan selangit, telah “memisahkan” keluarganya. “Kadang bisa pulang sekali setahun, kadang dua tahun sekali,” ujar Laksmi.

Bisa Anda bayangkan perih luka hati sang suami, jika mengetahui derita sang isteri. Saya tentu tak perlu bertanya kepada Anda, para pria, jika isteri Anda diperkosa, adik perempuan, atau saudara diperlakukan demikian? Saya pastikan darah kalian bergelegak mendadak sontak!

Apa yang dicari mara ke negeri orang jika kenyataan hidup demikian?

Maka menjelang jarum jam berdentang 12 kali di malam itu, ingatan saya melayang ke Depnaker, ada pula badan add-hoc yang dibentuk oleh negara di era reformasi ini bertajuk BNP2TKI: kedua badan ini, plus para PJTKI, dengan bangga mengatakan perolehan devisa dari TKI, terutama TKW nomor dua setelah Migas.Pada 2009 negara menerima US $ 6,615 miliar ( Rp 59, 5 Triliun) devisa dari TKI.

TKI dikatakan pahlawan devisa. Jika fakta di lapangan berbeda dengan yang didengungkan, tidak berlebihan saya mengatakan bahwa bangsa ini menipu dirinya sendiri dengan riang gembira sengaja. Lebih tak berperi lagi, sesungguhnya penerimaan negara dari sektor lain tidak terurus, dari penggelapan pajak melalui transfer pricing, misalnya, diduga lebih Rp 1,.000 triliun setahun, dilakukan para pengusaha Indonesia, termasuk BUMN. Ke mana negara?

Terpikir juga di benak saya malam itu. Bisa jadi kepahitan hanya mendera para TKW yang di Timur Tengah saja. TKW di Hongkong, misalnya, banyak kisah sebaliknya, lebih manusiawi hidupnya?

Namun dugaan saya lebih baik para TKW di Hongkong itu di luar dugaan pula. Adalah Nova Riyanti Yusuf, akrab disapa Noriyu, sosok penulis tiga buah buku novel ini adalah anggota komisi 9 DPR, salah satu termuda di Partai Demokrat. Saya berjumpa dengan Noriyu pada 18 Februari 2010, di DPR saat Fraksi Demokrat menerima Ziad dan kaluarga di Lantai 9, Gd, Nusantara I.

“Ada tiga kelompok TKW yang saya lihat di Hongkong, “ Noriyu melanjutkan, “Pertama berpakaian tomboi, lelaki abis, kedua feminin dan seksi abis, rok mini menantang.” Laku lesbian menjadi trendi di TKW di Hongkong. Urusan laku hubungan intim itu, di Abu Dhabi saya seakan mendapatkan jawab, sekaligus menonton teater romansa hidup.

Mengiriman TKW sekaligus melawan kodrat Tuhan. Bayangkan mereka yang sudah menikah harus berpisah dengan pasangan. Bagaimana pula kebutuhan batin harus mereka penuhi? Sehingga, jika bukan diperkosa, hubungan persebadanan suka sama suka menjadi biasa.

Macam itulah para TKW kita berarakan nasibnya di luar negeri . “Suatu hari saya pernah mengunjungi penjara. Di sana saya bertemu para TKW yang berbuat susila, diantaranya. Saya tanya kok kamu begitu? “ tutur Wahid pula, “Ya gimana Pak, habis cowok itu ganteng-ganteng kayak di film India.!”

Wahid geleng-geleng kepala mendengar jawaban TKW yang dihukum karena berzina. Masih untung penjara di Abu Dhabi tak macam di Indonesia, makanan terjamin, lingkungan penjara sehat. “Mereka malah jadi gendut-gendut,” ujar Wahid.

“Kejenakaan” TKW yang ditemui Wahid itu belumlah klimaks. Suatu hari stafnya kedatangan seorang TKW melaporkan dirinya diperkosa. Karena faktor surat-suratnya lengkap, PJTKI yang mengirimnya jelas, umurnya dewasa, maka dilaporkan ke polisi dan diotopsi.

Kongklusi otopsi?

“Looks comfortable.” Artinya tidak terdapat luka vagina yang dipaksa.

Staf KBRI yang bercerita ke saya berurai air mata tawa, geli menceritakan pengalaman ini.

Ada pula TKW di KBRI yang ditanya kamu diperkosa?

“Ia Pak!”

Berapa kali?

“Ada lima kali!”

Di waktu berbeda?

“Iya Pak?!”

Lain di PEA, lain pula di Arab Saudi. Menurut Noriyu, anggota DPR kita itu, kini ada 20.000 TKI asal Indonesia yang over stay di Jedah.. “Saya ke Jeddah, melihat mereka berserakan di bawah-bawah kolong jembatan, mereka memasak di sana,” ujarnya. Kisahnya ini belum lama.

Noriyu menyaksikan di Oktober 2009. Di kelebihan masa tinggal itu, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah Arab Saudi memulangkan? Agaknya volume manusia sudah demikian besar, mereka masih di sana.. Hingga kini belum tercapai kesepakatan kedua negara bagaimana cara memulangkan ke-20.000 manusia itu. “Dalam waktu dekat akan ada agenda pembiacaraan lagi soal over stayer oleh kedua negara,” kata Noriyu.

Yang pasti, simak data ini: dari 20.000 ribu orang itu, sekitar 10% -nya adalah pernah tercatat menjadi Perkerja Seks Komersial (PSK) di tanah air. Dan saktinya lagi, hampir 1.000 dari mereka mantan narapidana. Jika mantan napi, mantan PSK, ikut berhamburan ke negeri orang, bagimana dengan pertanggung-jawaban moral mereka?

Mereka kini mengalami nasib macam Ziad, belum bisa pulang di negeri seberang, dan itu terjadi berulang-ulang, tak tahu lagi lema yang harus saya tuliskan, melihat negeri ini yang sesungguhnya kaya raya, tetapi anak negeri berjuang belang-belentang.

WAKTU SEDIKIT lagi pukul 00.00. Mengingat dokumen Ziad yang mesti diurus di bandara, kendati penerbangan Etihad yang akan membawa kami pulang take off pukul 02.00, kami pamit kepada Wahid Supriyadi, Dubes. Saya jabat tangannya, sambil mengucapkan janji, sepulang ke tanah air, sebatas bisa, minimal melalui tulisan, akan melakukan upaya agar Indonesia ini tidak lagi mengirim TKW-nya ke luar negeri, Kendati berkerja di negeri orang adalah hak, akan tetapi bila TKW yang dikirim dipastikan mudaratnya lebih tinggi dari manfaat. Maka, atas dasar itulah saya lebih hormat kepada India, Pakistan, Bangladesh bahkan Nepal, tidak mengirim perempuannya menjadi babu.

Dua hari sebelum saya pulang Tuhan sekaan mengantar contoh solusi kepada saya. Saya seakan mendapatkan jawaban. Adalah Untung Wiyono, Bupati Sragen, Jawa tengah, Ia berkunjung untuk misi dagang ke PEA. Ia melakukan presentasi di KBRI Abu Dhabi. Saya diberi kesempatan Wahid, Dubes, menyimak. Di luar dugaan saya, daerah yang bersemboyan bebas pengemis, bebas pengasong, pohon tanpa paku, tanpa ada pemboman ikan ini, sudah sejak 2003 tidak lagi mengirim TKW ke luar negeri.

Kok bisa?

Hampir setiap malam sebelum tidur di PEA, saya selalu bertanya dalam hati, bagaimana solusi lapangan kerja, agar Indonesia terbebas mengiriim TKW ke luar negeri. Eh, jalan Tuhan, telah mengantarkan saya bertemu contoh nyata di PEA.

Di kesempatan makan pagi bersama Untung dan Wahid, saya mendapatkan penjelasan, bahwa jika suatu hal memang diniatkan, pasti ada jalan. “Kami memiliki techno park untuk mendidik tenaga kerja berpengetahuan, terdidik. Kredit usaha kecil kami maksimum hingga Rp 500 juta tanpa agunan dijalankan oleh Pemda langsung,” ujar Untung. Sehingga kini, praktis tak ada warga yang menganggur.

“Bahkan pegawai negeri di luar jam kerja, saya suruh jadi pengusaha,” ujar Untung.

Entah mengapa saya terlambat tahu, dan baru dibukakan telinga setelah jauh di negeri seberang. Karenanya saya berjanji kepada Bupati Sragen itu untuk di suatu kesempatan bertandang dan dapat membuat literair untuk Anda, mengapa Sragen bisa tak lagi mengirim TKW mara ke manca negara bekerja.

TURUN dari mobil hendak memasuki terminal bandara di pukul 00.15 itu, udara terasa dingin menyapa kulit. Di mobil hingga turun bandara itu, Ziad saya perhatikan tak bicara,. Ia menjawab satu dua kata saja pertanyaan saya. Misalnya, apa surat, paspor sudah dikantung? “Sudah,” ujarnya.

Kami ditemani supir staf KBRI Syamsu Rizal, akrab disapa Jali. Sosok inilah di waktu silam yang menjadi supir pribadi, Saleh Alkatiri, adik ipar yang memperkarakan Ziad. “Jali pula dulu yang memberikan paspor saya ke Saleh, sehingga Saleh dapat menahan paspor saya,” tutur Ziad kepada saya.

Saya tegaskan ke Ziad, kaji lama tak perlu dikenang. Urusan baru, bak kata Wahid, hari esok menjadi lebih penting. Apalagi malam itu, Jali, menemani kami sudah bak pejabat RI, yang kalau bertugas ke luar negeri acap merepotkan staf KBRI, harus diantar dan ditemani hingga masuk ke ruang boarding bandara.

Benar saja, di migrasi saya dengan mudah lewat. Tidak demikian dengan Ziad. Setelah melihat surat dan paspornya., ia diminta menemui polisi di ruangan sebelah migrasi. Saya melihat Ziad dari jauh. Sebagaimana diperkirakan Ziad, untung ada Hannan Hadi. Pejabat KBRI ini kemudian berdiplomasi. Rupanya Ziad harus dicek ulang retina matanya.

Kala itu saya sudah bertekad dalam hati. Jika Ziad belum juga bisa pulang, saya akan tunda terbang, biarlah dua tiket yang sudah kami beli hangus. Rasa penasaran, senang berkecamuk kesal berurusan legal di PEA: seberapa panjang lagi urusan di negeri yang dibangun oleh Alamrhum Syeh Zayed, yang dicintai rakyat itu?

Untunglah setengah jam kemudian Ziad bisa lolos dari imigrasi.

Alhamdulillah, Puji Tuhan.

Serta merta wajah Ziad saya lihat masih tegang.

“Saya baru akan tenang kalau pesawat sudah take off,” uajr Ziad.

Saya hibur Ziad dengan mengajaknya membeli sekotak dua kotak coklat, sekadar ole-ole.

DI RUANG tempat boarding Etihad dengan penerbangan EY 472 itu, mata kami kembali tertumbuk dengan ratusan TKW. Mereka umumnya berpakaian lusuh. Satu dua ada yang rapi berjins ketat berselendang. Padanan warnanya serasa kurang pas, merah diadu hijau, selendang hitam. Bibir berggincu merah menyala.

Para TKW itu ada yang transit dari Mesir, Oman, Arab Saudi. Salah seorang tampak berjalan tertunduk seperti orang sakit. Ia ditemani oleh staf darat Etihad yang tampaknya wanita Filipina. Ia diminta duduk di ruang tunggu, tetapi begitu pendamping crew darat Etihad bergerak, sosok TKW itu pun ikut berjalan. Wajahnya ketakutan. Saya enggan bertanya.

Begitu pengumuman penumpang dipersilakan naik pesawat, mereka berebutan, tidak mengerti antri. Logika saya, setelah mereka di negeri orang, seharusnya mereka paham bahwa antri itu salah satu budaya, yang menandakan beradabnya sebuah bangsa. Saya perhatikan satu dua orang bule yang satu penerbangan dengan kami, tersenyum kecut.

Setengah jam kemudian barulah kami naik pesawat. Sambil bercanda saya minta Ziad mencubit jangat tangannya. Apa bukan mimpi pulang?

“Saya belum tenang.”

“Pengen rasanya mendorong pesawat ini agar cepat take off,” ujar Ziad.

Sambil menunggu pesawat take off saya berusaha menyapa seorang pria di kanan bangku kami. Ia rupanya bekerja di sebuah perusahan migas di Oman, tepatnya di Muscat. Di belakangnya seorang ibu paruh baya, TKW asal Karawang. Ia mengaku pulang karena tidak tahan bekerja membersihkan WC di kota Salalah, 900 km dari Muscat, ibukota Kesultanan Oman.

Kota Salalah adalah kota tua unik di tepi pantai kawasan Timur Tengah. Di sana dikenal dua musim; panas dan 4 bulan hujan gerimis. Kawasan di sana berada di ketinggian dan hijau. Di saat wilayah Timur Tengah lain didera panas hingga mencapai 50 derajat celcius, Salalah kian sejuk di bulan Juni hingga September. Di Salalah dimakankan Nabi Ayub, salah satu Nabi yang tertera untuk diimani sesuai amanat Rukun Iman Umat Muslim.

Selama di udara 8 jam itu, sepertiga waktu saya habiskan mendengar cerita soal tenaga kerja di Oman. Urusan TKW menjual diri macam yang saya temui di dua restoran Indonesia BDG dan SR di malam hari di Abu Dhabi, rupanya, di Oman lebih parah lagi.

“Para supir taksi di Oman, sudah paham kalau TKW kita itu, maaf, citranya bisa memang bisa dipakai,” ujar Burhanudin, sebut saja demikian. Sosoknya mengaku dulu pernah pula bekerja di PJTKI. Ia merasa bersyukur kini bisa hijrah dan bekerja di bagian purchasing sebuah oil company di Muscat.

“Nanti kalau ada waktu di bandara Jakarta, Mas ikuti saja, banyak dari TKW yang sudah menyiapkan uang untuk pungutan ini dan itu. Dan, maaf, ya, bahkan mereka ada juga menyiapkan bandannya.”

Masya Allah!

“Suatu hari ada kenalan saya berlibur dari Muscat ke Jakarta. Ia bingung melihat wanita Indonesia yang berbeda jauh dengan apa yang mereka lihat di Oman,” tutur Burhanudin.

Saya lalu terlelap setelah meminta segeals red wine kepada pramugari Etihad yang ramah. Film Transformer, salah satu yang saya pilih dari 73 DVD yang tersedia, saya memencet touch screen. Mata saya nanar. Mata Ziad masih terang menerawang. Entah apa yang sedang bekecamuk di dadanya?

Menjelang terlelap, tak terasa air mata saya mengalir. Dua orang wanita seakan menyapa malam di ketinggian 33 ribu kaki itu. Pertama ibuku, ia telah berpulang pada November 2009 lalu. Kedua wajah tersenyum ibu mertuaku, juga sudah meningglkan kami sejak 5 tahun silam. Keduanya sosok wanita yang kukagumi kesabarannya.

Ibu mertuaku tercatat sebagai karyawan teladan di Deppen – – kini Depkominfo – – kami anak menantunya baru tahu setelah seorang pejabat Depkominfo datang melayat, menyampaikan ucapan duka di hari berkabung, bahwa yang kami shalatkan adalah karyawan teladan, ibu teladan, wanita terhormat, bukan bak TKW yang bersebutan entah untuk apa ke negeri orang?

Untuk uangkah? “Gaji saya kecil, saya mau cari kerja di Jakarta saja, sebab kalau pulang ke Karawang malu sama tetangga,” kata ibu paruh baya di kanan saya tadi.

Ketika terbangun, sinar matahari sudah menembus jendela pesawat, persis menusuk pandang mata. Saya sapa Ziad, sebentar lagi kita mendarat. Baru siang itu saya lihat wajahnya senang. Delapan tahun lamanya ia dominan berhadapan dengan tembok: takut ke luar rumah, kuatir ditangkap polisi, karena urusan nasibnya yang diperkarakan namun tak terbukti bersalah itu.

Etihad EY 472 itu mendarat pukul 14.00. Para penunmpang bergerak berdiri mengemasi barang bawaan. Namun mendadak sontak, suara pramugari berbahasa Indonesia mengumumkan sesuatu.

“Penumpang diminta duduk kembali, untuk sekitar sepuluh menit menunggu polisi menjemput seorang penumpang!”

“Aduh Pak Iwan, pasti saya?”

Wajah Ziad pucat-pasi.

Saya duga tangannya dingin. Saya hibur Ziad: Jika sudah di Jakarta, bukan Anda yang akan ditangkap, tetapi saya – – saya menjawab sekenanya demi menenangkan Ziad.

Tak lama kemudian, 4 orang polisi bandara yang bertugas untuk Etihad berpakaian biru-biru masuk ke kabin pesawat.

Muka Ziad pucat.

Darah seakan pergi dari bibirnya!

Rupanya, polisi itu menghampiri seorang pria berwajah Arab seperti Ziad. Ia duduk tiga baris di kanan belakang kami. Ketika dalam perjalanan, pria itu merokok. Ia sempat ditegur penumpang lain, tetapi malah melawan. Sempat ditegur pramugari Etihad tapi tak terima. Begitulah, di saat mendarat, diringkus polisi bandara ganjarannya.

“Alhamdulillah, “ kata Ziad plong! [] (bersambung)

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com


Sketsa PEA III: Manusia Universal dan Masjid Monumental

Oleh Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter

Inilah Sketsa ke-3 perjalanan memfasilitasi kepulangan sosok Ziad dari Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA) ke Indonesia. Ada pembaca, mengeluhkan panjangnya tulisan ini. Satu tulisan lebih dari 2.500 kata. Konon bagi majalah sekaliber The New Yorker, tulisan 2.000 kata (edited), mereka masukkan ke kelompok rata-rata. Saya mencoba belajar ke sana, tentu spesial saya hidangkan bagi Anda yang senang membaca. Karya monumental tak boleh asal. Lihatlah bangunan Masjid Syeh Zayed di PEA.

DI KAMIS di minggu pertama Februari 2010 itu, udara berdebu halus, berpasir kuning kecoklatan, berkabut menyaput. Angin dingin masih di 20 derajat celsius. Menurut Sidin, supir Dubes KBRI, Abu Dhabi, keadaan udara begitu akan diikuti hujan esok harinya. Pertanda akan beralihnya musim dingin ke panas.

Saya menunggu. Janji siang itu menemui pejabat di mahkamah, kantor pengadilan di Abu Dhabi. Siang itu melanjutkan mengurus manca-ragam berkas kudu dicabut untuk kasus Ziad Salim Zimah, 44 tahun, yang menghadang mengakibatkan dirinya 8 tahun tak bisa pulang, Jeda waktu saya gunakan shalat zuhur ke masjid terdekat dari KBRI.

Beribadah di masjid-masjid kecil di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab (PEA), menjadi pengalaman tersendiri. Saya memperhatikan mobil-mobil datang di parkir. Anda tinggal sebut merek? Di halaman masjid, seperti Bentley dua pintu, Porche 4 pintu keluaran teranyar, pemandangan biasa. Mereka cenderung memilih kelir putih.

Tak satu pun masjid saya perhatikan menarok tromol atau kotak sumbangan uang. Urusan kebersihan masjid terjaga, termasuk kamar kecil tidak beraroma pesing. Namun menjadi tanya bagi saya, mengapa di Abu Dhabi, kebanyakan WC-nya jongkok, bukan duduk.

Saya menuju tempat wudu. Letaknya tak jauh dari sebatang pohon kurma. Tandan buah mulai mencigap. Di bawahnya deretan keran air agak ditinggikan dengan marmer. Saya membasuh tangan, muka. Begitu mengangkat kaki, seorang pekerja taman, pria asal India, menegur. Rupanya tempat wudu itu keran air minum. Tempat minum gratis bagi siapa saja.

“Hua ha ha ha,” tawa Ziad pecah.

Setelah tiga pekan di Abu Dhabi, bulak-balik ke kepolisian, ke mahkamah pengadilan, menemui beragam-langgam pejabat di PEA, mengenal karakter manusia berbagai bangsa, baru kali itulah saya melihat wajah Ziad geli kali.

Saya malah menjadi begitu senang bisa membuat tertawa. Selama ini senyum dan tawa lepas seakan pergi dari wajah Ziad. Bisa dimaklumi waktu 8 tahun yang menganjar jantung bergetar, membuat wajahnya jadi nanar. Ia dihantui beragam persoalan mendera, tak tahu awal pangkal dan akhir masalah berakhir.

“Jika kurma ini berbuah, setiap orang boleh mengambil untuk dimakan,” tutur Ziad. Sudah bisa bunyi Ziad, bagaikan Emirati – – orang Emirat .Pohon kurma memang mendominasi trotoar dan ruas jalan di seputar Abu Dhabi. Bisa dibayangkan jika semuanya matang dan harus dipanen, melimpah buah.

Di saat melangkahkan kaki kembali ke KBRI, beberapa rumah yang lahan terkecilnya seperempat lapangan bola kaki, di sebelah kanan jalan, saya amati juga menyediakan keran minum di kiri gerbang masuknya. Letaknya ditarok di bawah pohon-pohon kurma yang mereka tanam di halaman.

Seorang bapak tua tampak memacul, membuat gembur tanah ke sepokok pisang yang tumbuh hijau. Di sebelah kakinya saya perhatikan ada serumpun serai menghijau, juga daun ruku-ruku, sejenis kemangi berbatang keras, di Jakarta saja langka.Di kampung saya, Sumbar, kami menjadikan ruku-ruku bumbu memasak gulai kepala ikan. Melihat tanaman itu, tanah kelahiran serasa kental dalam kejapan.

Di dalam keadaan udara berkabut debu menyaput, pukul 14 itu, dengan ditemani oleh Amin Appa, pria asal Bugis, staf lokal bagian Konsuler, KBRI, beristerikan wanita Bosnia, sudah terbilang kali menemani kami menuju mahkamah setengah jam bermobil dari KBRI.

Bangunan mahkamah itu bundar. Dulu, konon bangunan tua, melingkar macam koloseum di kota Roma. Namun bagian tengah ada taman kosong, Segala urusan, pengadilan, digelar di ruang-ruang mengeliling.

Di saat saya di Abu Dhabi, bangunan itu dalam tahap penyelesaian akhir renovasi total. Bagian atapnya kini berkubah kaca yang diberi ornamen bak kaca pateri raksasa berbentuk melati. Seluruh lantai sudah bergranit, dinding ber-alukubon – – bahan aluminium tebal dicat duko, banyak juga dipakai untuk gedung-gedung baru, untuk mendapatkan kesan post modern. Di bagian tengah grand lobby kini sebuah air mancur indoor terus menyemburkan air.

Di grand lobby mahkamah yang macam hotel berbintang lima itu, sudah ada satu cafe. Sepekan lalu cafe itu belum siap melayani pembeli. Hari itu karena sosok yang harus kami cari belum muncul, segelas cappuccino menemani. Harganya 15 dirham, setara dengan Rp 32.500, sama dengan harga segelas kopi di mall di Jakarta. Kopi bertajuk Java Mocca, dibandrol di harga sama.

Berurusan dengan dengan pihak investigator di kepolisian, para kadi di pengadilan, bagian data dan sekretariat, kebanyakan waktu kami habis menunggu. Seperti hari itu. Ada sosok yang sudah sebelas kali kami temui. Konon di mejanya sebuah berkas kasus Ziad tertimbun.

Data perkara di lima tahun terakhir di PEA, kini semuanya sudah mengacu ke online system. Mulai dari kepolisiaan, pengadilan, imigrasi, semuanya tinggal pencet enter di komputer. Celakanya sebagian kasus yang membuat Ziad berurusan di pengadilan, terjadi pada 2002 di era manual. Sehingga harus diurut satu-satu, berkas per berkas, helai per helai.

Tersebutlah satu kadi keturunan Palestina. Sebut saja namanya Ahmad. Berkali-kali kami bulak-balik ke ruangannya, menanyakan berkas Ziad. Ia selalu bilang tak ada. Hingga datang di hitungan kunjungan ke-13, entah kebetulan atau memang angka 13 sakti, Ahmad baru terperanjat, dan mengambil map di bagian bawah lacinya.

“Iya, tapi kamu harus membayar US $ 500 ribu,” ujar Ahmad.

Wajah Ziad pucat.

Ahmad menakut-nakuti Ziad, sambil sudut mata jahilnya mengedip ke saya.

Dan di urusan mencabut berkas itu, selain harus bertemu prosecutor, bulak-balik lagi ke head prosecutor.

“Walaupun sudah dicabut pelapor, mereka masih melihat lagi apakah ada masalah hak negara yang dilanggar,” ujar Amin Appa.

Maka, tak mudah memang mengurus kasus hukum. Hal itu bukan saja di PEA, di hampir semua negara di dunia agaknya demikian. Lebih repot prosecutor yang menangani kasus Ziad, di Kamis itu masuk di petang hari.

Sang prosecutor harus menyidang banyak perkara. Mulai dari kasus pengeroyokan hingga kekerasan keluarga. Seperti petang itu, ada 9 orang pria Filipina tampak duduk dirantai kakinya menunggu. Mereka harus diinterogasi satu-satu. Maka kami harus menunggu di lobby, hingga pukul 21, malam.

Begitu berkesempatan masuk ke ruang prosecutor, kalimatnya singkat saja, tolong kembali Minggu. Padahal Jumat dan Sabtu di PEA libur. Kenyataan inilah yang membuat urusan menjadi lama di PEA. Bisa dimaklumi, bila pihak KBRI terkesan butuh waktu panjang menghadapi birokrasi demikian. Waktu mereka tersita, terutama terutama mengurus TKW.

Jika mengurus satu kasus Ziad, menghadapi kenyataan macam di atas, membubutuhkan waktu dan energi khusus. Selama ini tidak diurus fokus, apalagi penyelesaian sengketa keluarga belum ada tanda-tanda nyata, sehingga tidak pernah tuntas persoalan jadinya.

Dari pengalaman bulak-balik ke kepolisian dan mahkamah di PEA, saya menemukan premis dasar, hampir tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan dengan komunikasi.. Kami malam itu, dengan hati agak kecewa, balik ke KBRI.

USAI JUMATAN, siang keesokan harinya. Saya dan Ziad baru saja melangkah ke luar dari arah dalam masjid Syeh Zayed. Masjid ini ketiga terbesar di dunia, setelah Masjidil Haram, Mekah, dan Masjid Nabawi, Medinah. Agaknya menjadi salah satu masjid terindah di dunia. Di grand lobby dominan berbatu granit putih masif impor Italia. Seluruh ornamen ukiran berpahatan granit putih, semacam white on white. Beragam lekukan bunga, semuanya dibuat bergranit rumit. Di saat saya berceloteh ke Ziad, seorang pria menepuk pundak saya.

“Mas Iwan Piliang ya?”

Saya melongo, kok ada yang menyapa?

“Saya Hari Kurniawan. Saya bekerja di Iran, lagi liburan ke mari. Saya menonton Mas di YouTube, yang lagi berdebat sama Roy Suryo, “ ujar Hari pula, “Saya dengar suara Mas, teringat saya ke rekaman di Metro TV itu..”

Seketika bulu di lengan saya merinding. Mengingat di tengah jamaah Jumat yang lebih dari 40 ribu orang, di negeri orang, disapa orang . Ini salah satu link yang dimaksud Hari: <http://www.youtube.com/watch?v=671V7_Vm2NA&gt;

Kami berbincang sebentar tentang Iran. Saya katakan di Dubai ada Dubai Village (DB), kawasan pameran semacam Jakarta Fair. DB berlangsung tiga bulan setiap tahun – – Desember – Februari. Saya terkesima dengan produk Iran di DB. Mereka mengisi stand pameran dengan tema makanan, manisan dan aneka kue kering. Terbayang di benak saya kue kering Nastar yang berisi nenas khas Nusantara pasti laku di sana.

Satu dua toko karpet anyaman maha karya Persia mengusik mata saya. Motifnya bunga, dan siluet gadis menari perut dengan gradasi tekstur 3 dimensi berbahan wol dan katun, dijual seharga Rp 80 juta selembar, berukuran sajadah. Agak menjadi tanya di benak saya, mengapa ada lukisan siluet wanita, bukan kepercayaan Iran tak mengenal orang divisualkan. Saya teringat akan penulis Jeffry Archer di buku novelnya, secara gamblang bilang bahwa permadani buatan tangan asli, hanyalah berornamen bunga, macam di dalam masjid, atau ukiran lain.

Permadani di Masjid Syeh Zayed tercatat sebagai ambal buatan tangan terbesar di dunia, tanpa sambungan. Ambal itu secara khusus didatangkan dari Iran dan didesain khusus oleh seniman terkemuka, Ali Khaliqi. Luas ambal yang dipasang di mencapai 5.627 meter, lebih setengah lapangan bola, mencapai 47 ton: 35 ton wol dan 12 ton kapas.

Suasana stand Iran di Dubai Village itu beda sekali dengan stand pameran Indonesia, yang tak memiliki tema. Sudahlah ukurannya kecil, kalah dengan stand Nepal di sebelahnya persis. Kalah besar dari Vietnam dan Ruwanda, Afrika. Di stand Iran itulah, pertama hayat saya memakan buah delima yang bijinya empuk, manis gula, merah menyala.

Saya teringat kalimat Wahid Supriyadi, Dubes RI di PEA. “Lihat stand Cina di Dubai Village, permanen, besar,” tutur Wahid pula, “Saya tanya Dubes Cina, itu bukan sang Dubes yang urus, pemerintah pusat Cina dan swasta langsung inisiatif.”

Stand pameran Cina yang mencapai 6.000 meter di Dubai Village itu, tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan trading house maksi bertajuk Dragon Mart yang dibangun Cina di Dubai. Panjangnya 1,5 km. Di dalamnya ada 4.390 toko; satu toko ada yang mengambil luas setengah lapangan bola. Pemerintah Cina sangat paham bahwa Dubai, salah satu kota dari 7 kota di PEA, merupakan hub barang merambah Timur Tengah dan Asia Selatan, seperti Iran. Anda sebut saja produk apa? Semua ada. Maka saya melihat inilah ekspansi produk Cina tak berkira.

Makanan Khas Iran lain, gulali putih kapas berorama vanilla dan susu. Saya membeli 6 bungkus ketika untuk tiga kali ke Dubai, masing-masing 10 Dirham sebungkus. Ingin rasanya belajar membuat gulali putih kapas manis dan harum, lembut ditekan.

Di festival Film Iran di Jakarta pada September 2009, yang diprakarsai oleh Parfi yang dipimpin oleh Jenny Rahaman, saya mendapatkan kesan kemajuan Iran. Di saat rehat minum kopi, saya sempat berkenalan dengan seorang yang menjadi perwakilan penerbangan Iran yang akan beroperasi terbang langsung dari Taheran ke Jakarta di wakhir kwartal I 2010 ini. Hebatnya penerbangan itu seluruh tempat duduk peswat untuk business class, tak ada kelas ekonomi. Konon orang Iran mara ke manca negara, selalu berusaha mendapatkan pelayanan kelas satu. Itu artinya rakyat Iran kini memiliki daya beli tinggi.

“Iya, Iran maju. Liputan media barat saja yang memojokkan seolah Iran rusuh, tidak berkembang demokrasinya,” tutur Hari, karyawan Slumberger di Taheran.

Bangga hati mendengar Hari yang bekerja di perusahaan kontraktor Migas itu. Tentulah pendapatannya US $, antara bumi dan langit dibanding TKW yang hampir semuanya bermasalah. Macam di Oman, TKW Indonesia melekat dengan citra perempuan babu, murahan, gampang dilecehkan dan, maaf, mudah digauli.

Seketika ingatan saya melayang kepada penggalan catatan sejarah Saat Raja Khalid dari Arab Saudi berkunjung ke Pakistan. Ia mengharapkan dari Presiden Pakistan saat itu, Jendral Zia ul-Haq, agar Pakistan mengirim tenaga kerja untuk memasok kebutuhan tenaga kerja di Saudi Arabia. Zia ul-Haq menyanggupi, tapi dengan tegas menyatakan, “Jangan pernah meminta kami mengirim wanita. Kami tidak yakin kami bisa melindungi kehormatan wanita kami di sana”.

Kita jangankan melindungi, seperti saya temuai di PEA anak ingusan yang belum tahu apa arti diperkosa, apa arti hubungan badan, dikirim juga oleh negara kita, sebagaimana sudah saya tulisakan di Sketsa PEA II. Sebagaimana di banyak ranah kehidupan kini, indikasi urat malu bangsa seakan putus: sehingga tak malu-malu mengirim babu.

Padahal pendapatan devisa dari TKI total di luar negeri 2009 lalu hanya Rp 59,5 triliun, bandingkan dengan indikasi korupsi pajak, terutama transfer pricing yang angkanya bisa membuat mata Anda terbelalak, bisa mencapai Rp 1.000 triliun setahun, tidak terurus. Pangadilan pajak di Dedung Dhanapala, Depkeu Lantai 9, terindikasi “main-main”.

Saya jabat tangan Hari, mendoakannya kian sukses lagi di negeri orang, sehingga memberi citra positif bangsa, tidak macam laku pejabat di Depnaker dan di BNP2TKI, juga para PJTKI, cuma tahunya mengirim sebanyak-banyaknya TKW, tanpa mempedulikan hajat hidup manusia yang mereka kirim.

Di mana di ujung-ujungnya kerepotandan kesusahan di tangan para diplomat di manca negara: Mereka dibiayai mahal oleh negara seakan dipaksa berkutat mengurus galebeh-tebeh TKW yang jumlah kasusnya ribuan tiap tahun. Maka di Sketsa PEA sebelumnya sudah saya tuliskan, lebih banyak mudaratnya mengirim TKW bekerja ke luar negeri.

Kami melangkah menuruni tangga masjid sebelah barat. Deretan pilar-pilar dan menara setinggi 115 meter tampak di empat sudut. Di setiap pilar itu ada guratan ornamen bunga, macam di pilar-pilar putih granit masif di dalam masjid, berderet-deret ditempeli kulit tiram mutiara langka. Konon PEA, sebelum tercatat sebagai negara terbesar pengekspor minyak, penduduknya bermata pencaharian mencari mutiara di samudera lepas.

Jumlah kubah masjid 57 buah, menaungi halaman dalam dan gedung utama. Masjid Syeh Zayed juga dihiasi tujuh lampu berlapis emas dan tembaga, kristal merah, hijau dan emas, buatan Swarovsky. Ketujuh lampu itu secara khusus didatangkan dari Jerman.

Kandil Kristal terbesar berdiameter 10 meter dan tinggi 15 meter.Halaman masjid dilapisi granit berdesain motif bunga dan ukurannya mencapaii satu tiga perempat lapangan bola. Ruang terbuka akan dilewati pengunjung jika mereka mengambil wudu. Di salah satu pojok, turun ke bawah menggunakan eskalator. Seluruh tempat wudu juga terbuat dari granit Italia kelas satu. Ketika kita naik dari tempat wudu menatap ke atap kubah, kalah megah rasanya ballroom hotel bintang lima di Jakarta.

Di depan saya seorang turis Jepang tampak berfoto. Turis perempuan mengenakan abaya, baju terusan hitam, yang mesti dipakai turis perempuan, dapat diambil di bagian depan. Segenap pengunjung dari agama dan kepercayaan apapun boleh masuk di saat jam interval shalat. Jika hendak meninggalkan masjid, perempuan pemimjam abaya itu, tinggal menggantungkan kembali ke trolly, macam di hotel bintang lima, untuk kemudian masuk ke tempat laundry di masjid itu.

Saya teruingat ketika masuk ke gereja Saint Peter Basilika, Kota Vatikan, Roma, Italia, pada medio 90-an. Di Vatikan manusia dari bergam agama juga boleh ke sana. Saya masih ingat turut pula memegang jari kaki patung besi Simon Petrus. Lekuk jari kakinya menjadi rata, karena kebanyakan dipegang pengunjung. Di Masjid Syeh Zayed, karena tak ada patung yang bisa dipegang, umumnya turis saya lihat ahanya berdecak kagum macam suara cicak.

Tanaman hijau, kurma, dan kolam-kolam air panjang dan lebar di halaman masjid. Kaki saya melangkah menuruni tangga ke makam Syah Zayed di samping masjid. Suara hafiz Al Quran melantunkan ayat dengan speaker buatan Beng Olufsen. Dii Indonesia, ada kebiasaan orang duduk mengaji berzikir di seputar makam. Di i sana publik hanya mampir berdiri sekejap, lalu pergi berjalan gontai. Itu pun umumnya turis.

Saya tatap tanah kuning di atas pusara granit putih, senada dengan seluruh granit putih masjid. Saya teringat akan komentar banyak warga PEA tentang sosok yang di makamkan, Syeh Zayed bin Sultan Al Nahyan, dicintai rakyat, karena membela dan berjuang mensejahterakan rakyatnya.

Di samping makam, saya tertunduk memanjatkan doa: Ya Allah, semoga pemimpin di Indonesia, dapat menauladani Syeh Zayed, memahami bahwa kekayaan materi harus mengalir mensejahtrerakan rakyat. Amin.

Saya tengadah, tampak Ziad masih takzim berdiri. Entah doa apa yang ia panjatkan, namun kuat dugaan saya kala itu: semoga Allah memudahkan dirinya cepat pulang bertemu ibundanya tercinta. []

Tulisan ini dapat pula dibaca pada blog penulisnya, di: http://blog-presstalk.com