Daily Archives: Agustus 19, 2010

Telah Beredar : NOVEL Kidung Cinta Pohon Kurma

TELAH BEREDAR DAN BUKTIKAN KOMENTAR MEREKA.

NOVEL Kidung Cinta Pohon Kurma

PENGARANG
Syaiful Alim

EDITOR
Joko Pinurbo
Sitok Srengenge

PROOF READER
Farah Maulida

TATA LETAK
Cyprianus Jaya Napiun

DESAIN SAMPUL
Iksaka Banu

PENERBIT
KataKita
Pesona Khayangan Estate CM-4, Depok 16431
Telp. 021-77832078, 0815 9610 204

Hak cipta dilindungi undang-undang.

All rights reserved.

ISBN 978-979-3778-64-8

Cetakan Pertama: Agustus 2010

Endorsmen:

“Mengungguli para penulis yang menggarap tema sejenis, Syaiful Alim membuktikan bahwa mendaras masalah agama tak selalu menurunkan mutu karya menjadi dakwah
yang dangkal. Memadukan cinta dan agama, roman dan iman—dua topik klasik yang hingga kini masih menjadi perhatian utama manusia —novel Kidung Cinta Pohon
Kurma ini, berhasil menyentuh kesadaran kita bahwa keragaman adalah keniscayaan. Gaya tutur yang lugas menjadikan novel ini sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mencerdaskan.”
( Sitok Srengenge, Penyair )

“Sebuah novel yang sungguh mencerahkan! Sarat dengan imajinasi religi, namun tetap kritis dan rasional. Keunikan novel ini terletak pada kemampuan penulisnya meramu latar belakang sosio-historis dan kultural ajaran Islam dengan realitas sosiologis umat Islam di berbagai wilayah, khususnya Indonesia dan Timur Tengah, sehingga terangkai sebuah cerita fiksi yang indah dan enak dibaca.” ( Musdah Mulia, dosen pascasarjana UIN Jakarta )

“Sebuah novel yang mengangkat tema serius namun dituturkan dengan cara yang menyenangkan. Membaca novel ini saya merasa pas karena kandungannya sesuai dengan selera dan “keyakinan” saya selama ini. Bagi saya beragama akan terasa nikmat jika dijalani dengan kegembiraan, bukan dengan ketegangan.” ( Acep Zamzam Noor, Penyair )

“Saya mendapat cerita baru dengan sudut pandang yang lain. Dengan bahasa yang lugas dan memikat, novel ini sangat menarik dan penting sekali untuk dibaca.” ( Zaskia Adya Mecca, aktris film )

“Apa yang terjadi jika agama terpenjara dalam kepicikan akal dan kegelapan hati manusia? Apa yang terjadi jika ayat-ayat suci dimanipulasi demi kepentingan politik dan kuasa? Novel yang sangat inspiratif ini mengajak kita untuk mencuci diri, menanggalkan berbagai kesalahkaprahan dan prasangka, demi terciptanya kehidupan yang diliputi cinta.“ ( Joko Pinurbo, Penyair )

“Kata-kata yang terangkai mampu membawa kita ke pengalaman batin tokoh yang terdalam. Gejolak jiwa, keimanan akan kebesaran Sang Khalik, cinta , juga harapan, melebur menjadi satu memberi makna dalam kehidupan ini dan kehidupan kekal nanti.” ( Nurman Hakim, sutradara film Tiga Doa Tiga Cinta )

“Bukan main! Lebih dari bacaan untuk remaja, novel ini merupakan salah satu karya yang tidak sekadar menyoal perkara cinta dalam artian “kata benda” melainkan juga menyentuh aspek KESADARAN MENCINTAI dan TANGGUNG JAWAB MENCINTAI dengan NUANSA RELIGIUS yang INDAH yang melingkupinya. Menginspirasi pembaca yang berakal sehat untuk TIDAK CENGENG, dan terutama untuk TIDAK PICIK SERTA FANATIK dalam menyikapi AGAMA SERTA SESAMA MANUSIA dan dalam menyikapi REALITAS MENCINTAI ATAU DICINTAI. Membaca novel ini bikin kita terlalu sayang untuk meninggalkannya. Walau sebentar. Mengasyikkan, menyentuh dan mencerdaskan.” ( Timur Sinar Suprabana, Penyair )

Miliki segera dengan pesan-beli via inbox saya. Harganya cuma Rp 60.000,- sudah termasuk ongkos kirim.

Atau, tuliskan pesanan Anda pada Dinding di Profil Facebook Syaiful Alim


Negeri Kami Begitu Ngeri dan Nyeri

Oleh Syaiful Alim

I

Negeri kami kaya raya

tapi kami banyak yang tidur di pinggir jalan raya.

Negeri kami subur

tapi kami makan beras impor

dan ikan dari singapura dan kuala lumpur.

Negeri kami makmur

tapi jutaan rakyatnya menjemur

basah luka di panas matahari

sudah lama dilindas dilibas reroda kuasa

yang berlumur dosa.

Luka kami jadi jamur

tumbuh di sekejur tubuh

yang membuat mata kami lamur

menanti mati dikubur umur.

Ke mana sumur-sumur kami

tempat mandi, mencuci, dan membasahi

kemarau yang kian birahi.

Ke mana sungai-sungai kami

tempat hanyutkan derit derita

dan jerit sakit berabad lama.

Hutan-hutan mulai gundul

kebun sawah ladang sudah susah dicangkul

anak-anak kami kian sulit digamit dan dirangkul

karena dapur berhari-hari tak mengepul.

II

Lihatlah kaum beragama negeri kami

pandai berakrobat ayat suci

sebagai siasat mengembat kursi.

Lihatlah artis aktor negeri kami

tidak hanya pintar aksi di televisi

tapi juga mencalonkan diri jadi bupati

walikota, dan gubernur cuma bermodal pesona berahi.

Lihatlah rakyat negeri kami

dibiarkan sekarat sampai berkarat keringat.

Beribu-ribu mengungsi

ke negeri orang mencari sekerat roti

meski dicaci maki, disetrika, diperkosa

dan dijual di tempat-tempat prostitusi.

Lihatlah anggota dewan kami

enak naik sedan produk luar negeri

rakyat bersedu sedan, berjejal-jejal pantat

berdiri bergelantungan bagai monyet

di tiang besi bis kota tua terkutuk

bau apek bau keringat busuk

menusuk-nusuk indra cium

belum lagi jemari-jemari

yang mengendap-ngendap dompet

hendak mencopet.

Lihatlah pejabat-pejabat kami

mereka sudah berubah jadi tikus-tikus berdasi

sementara kami makan nasi basi.

Aduhai serdadu yang lihai melesatkan peluru

sesatkan arah tuju ke kepala koruptor-koruptor itu

jangan kau bidik rakyat cilik

mereka sudah lama berdarah tercabik.

Negeri kami kotor

oleh ulah teror penjarahan upah buruh

dan kami pasti kalah oleh leleh peluru yang luruh

dari mulut-mulut pejabat yang tiba-tiba jadi tikus sawah

mencuri keringat, air mata, dan mata air yang sepuh

tertanam di tubuh melepuh.

III

Kami ingin menangis

tapi air mata habis.

Kami ingin tertawa

tapi duka senantiasa terbawa.

Kami ingin teriak mengoyak langit

tapi kami kehilangan suara jerit.

Kami ingin bersaksi di hadapan matahari

tapi matahari sudah mereka beli.

OH NEGERI KAMI BEGITU NGERI DAN NYERI

[]

Khartoum, Sudan, 2010.


Sketsa Puasa 2 : Berpuasa Berserial Animasi Malaysia

Oleh Iwan Piliang

Serial Upin Ipin, diputar berulang di TPI. Ceritanya kuat, walaupun secara teknis animasi, visual tokoh utamanya hanyalah dua bocah kembar plontos, minimalis; bersekolah, bermain, berkehidupan di kampung. Literair penggalan pengalaman saya di industri animasi, berupaya lalu patah di tengah jalan mengindustrikan animasi di Indonesia. Padahal kemampuan animator kita, jauh lebih baik dari Malaysia. Sama dengan lebih unggulnya skill anak Indonesia di industri perminyakan. Setidaknya Dt. Noor M. Chalid, kartunis Kampong Boy, pernah ingin mengorder animasi ke saya. Pada 13 Agustus lalu rasa keindonesiaan kita seakan ditampar oleh ditembaknya kapal Patroli Departemen Kelautan RI di wilayah RI, oleh Polisi Perairan Diraja Malaysia. Mereka menangkap tiga petugas kita. Saya menyebut langgam Malaysia ini bagaikan Orang Kaya Baru (OKB) di Indonesia. Kata orang kampung saya, mereka ongeh—setingkat di atas congkak. Tarian Randai Sungai Geringging, tanah kelahiran saya, pernah pula diaku Malaysia sebagai keseniannya. Namun Upin dan Ipin tetaplah menghibur! Mana serial animasi kita?

TIGA anak saya lelaki. Mereka sepuluh, delapan dan tiga tahun. Dua anak tertua kini sudah menjalankan ibadah puasa penuh. Hiburan utama kami di saat makan sahur bersama keluarga di Ramadan kali ini menyimak penggalan serial animasi Upin-Ipin, produksi Malaysia disiarkan oleh TPI.

Di sebuah serialnya, Ipin membayangkan berbuka puasa melahap ayam goreng. Lalu kakaknya, Ros, mengajaknya berbelanja ke pasar. Kak Ros memberikan lembaran ringgit, sedianya dibelikan untuk dua tiga potong ayam sahaja. Namun Upin dan Ipin, justeru merasa dapat angin. Mereka membelanjakan semua ringgit ke aneka ayam; ayam golek, ayam madu, ayam goreng, ayam bakar, ayam pandan.

Di pasar mereka melihat Mail, teman sekelas, menjual ayam goreng kegemaran Ipin.

“Kau belilah ayam aku ni ‘Pin, emak aku buat, enaklah!” Mail berpromosi.

Si kembar itu pun sepakat membeli. Tak tanggung-tanggung, semua ayam goreng dagangan Mail bersisa, mereka borong.

Visual Upin dan Ipin menenteng beragam bungkusan serba ayam dengan riang pulang. Tinggallah Kak Ros manyun terperangah, segenap ringgit telah berganti ayam.

Di meja makan berbuka puasa. Meja penuh dengan hamparan piring berisi aneka penganan serba ayam.

“Kau habiskan itu semua,” ujar Ros ke Upin dan Ipin. Wajah Ros dongkol.

“Tak lah Kak, tak kuat lagi kami makannya.” suara Upin dan Ipin memelas.

Suasana di ruang makan di kampung melayu, Malaysia, itu. Opa—nenek—lalu menasehati Upin dan Ipin dengan suara khas, bijak, bahwa kalau lagi berpuasa, di siang hari, memang serasa semua makanan seakan terlahap, namun nyatanya di saat berbuka, sedikit sahaja dimakan, perut sudah berasa kenyang.

Khas duniak anak-kanak, khas Melayu.

“Betul, betul, betul!” ungkapan khas Ipin.

Ia acap mengulang ucapan lema betul, bentuk persetujuannya akan sesuatu.

Lalu anak Indonesia mengenallah budaya Malaysia melalui animasi. Berlanjut membanjirlah merchandising Upin Ipin, termasuk mewabah mainan tangkai es krim, diantaranya.

Lantas pertanyaannya, mana budaya kita, mana industri animasi Indonesia?

PANTASKAH saya bertanya?

Setelah mencoba berbisnis di jasa iklan sejak berhenti jadi wartawan dari majalah SWA pada 1989, dari 1993 hingga 1995, saya fokus memproduksi serial animasi. Alasan saya ketika itu sederhana saja. Bahwa menjadi pengusaha haruslah punya produk dan atau jasa yang masuk ke pasaran. Itu pengusaha!

Kalimat itu terus saya sosialisasikan di setiap menulis mengupas kewirausahaan hingga kini. Konon, kemajuan Cina dahsyat kini, tiada lain karena kegigihan membanjiri dunia dengan manca-ragam produk.

Nah setelah “capai” di jasa yang saya rasakan lebih banyak tangan “di bawah”, saya memilih industri tak dilirik orang ramai. Yakni serial animasi. Pilihan saya kala itu animasi wayang, dengan membuat karakter anak-anak, ada yang plontos macam Upin Ipin, namun berbaju wayang. Saya memilih judul Burisrawa, berdialek Batak.

Mengapa wayang? Sulit bagi saya kala itu membuat cerita berserial banyak. Cerita Kancil saja, untuk dijadikan enam episode masing-masing 24 menit—untuk siaran setengah jam—sudah seret kisahnya. Saya memilih Wayang Carangan, yang tak akan habis dikembangkan kisahnya hingga beratus serial.

Maka singkat kata, setelah sempat melihat-lihat ke Disney, AS, saya pun mengumpulkan animator 2D terbaik negeri ini, dan membenamkan segenap uang yang dihimpun seperak dua perak dari usaha selama lima tahun, lalu fokus membuat serial animasi.

Sesungguhnya serial animasi itu gampang menghitung bisnisnya. Harga penjualan paling murah serial itu per episode US $ 1.000, lalu jika kita sudah memproduksi 52 episode, untuk setahun, diputar seminggu sekali, maka per paket US $ 52.000. Untuk melego ke-1.000 stasiun teve menayangkan di pasar global sesuatu yang dapat dijangkau.

Maka jika seribu teve manca negara membeli, akan didapat US $ 52 juta, alias Rp 500 miliar lebih, belum termasuk pendapatan penjualan karakter untuk merchandising. Anggaplah pesimis, 10% saja jangkauan penjualan, masih diraih US $ 5,2 juta.

“Untuk meraih seribu televisi, bukan suatu yang sulit, karena di suatu negara televisi lebih dari satu, belum termasuk hak ulang siar,” ujar David C. Fill, Direktur Burbank, Sydney, pernah mengunjungi studio animasi saya awal 1995.

David pula yang melihat potensi Burisrawa dengan perbaikan penambahan dialog. Ia menyanggupi memasarkan ke Eropa, Asia, Timur Tengah. Amerika Serikat tidak bisa tembus, karena karakter yang kami buat terlalu tradisional.

Maka ketika satu episode serial Burisrawa yang kami produksi kelar, saya pun membuat sebuah event di Hotel Le Meredien pada awal 1994, membedah produksi kami. Hadir seratusan pakar, budayawan, kalangan DPR, pemerhati anak. Kritik dan pujian mengalir.

Episode pertama itu pula yang membuat Datok Noor M. Chalid—akrab dengan tokoh kartunnya: Lat—menerima saya di Kuala Lumpur, 11 Februari 1995. Ia menjemput saya ke bandara dengan Pajero, yang ia kemudikan sendiri. Ia mengajak ke sebuah klub eksekutif tak jauh dari Masjid Raya, Kuala Lumpur. Di sana sambil makan siang dengan nasi beralaskan potongan utuh daun pisang, kami saling tertawa, bagaimana serial Kampong Boy, dibuat di Kanada, sebagian proses dikerjakan oleh animator Filipina.

“Batang kelapa berdaun pisang, pisang berdaun kelapa. Pedati jadi macam kereta kuda kerajaan,” ujar “Lat“. Kami lalu terbahak-bahak, menertawakan para desain karakter Kanada tidak pula tahu beda kelapa dan pisang, juga pedati hanya gerobak, kayu segi empat ditarik sapi atau kerbau.

“Segera tahun depan, saya akan berkunjung ke studiomu, kita jajaki kerjasama produksi, karena di Indonesia biaya produksi rendah,” ujarnya.

Rencana Datok “Lat” itu tak pernah kesampaian. Sebab di penghujung 1995, seluruh dana produksi yang saya miliki dengan jumlah serial animasi kelar 6 episode, mencapai hampir Rp 2 miliar terbenam sudah. Pre Letter of Intent dari sebuah televisi lokal yang berkenan membeli dan menayangkan, tak kunjung kontrak. Padahal saya berkenan mereka beli di harga berapa saja. Toh sudah ada komitmen pasar global. Karena tiadanya kontrak, saya kesulitan mencari loan ke perbankan lokal.

Produksi yang rampung enam episode itu mustahil dipasarkan, karena untuk tayang setidaknya perlu 13 episode, dan untuk dijual ke pasar globali dealnya 52 episode satu paket, minimum 26 episode.

Maka khatam sebuah upaya membangun sebuah animasi dalam kerangka industri itu.

Sepuluh tahun silam kepada Agung Sanjaya, animator di Bali, memiliki studio mengerjakan bagian proses animasi untuk banyak produksi serial Jepang, seperti Dora Emon, Candy-Candy, bahkan untuk film animasi layar lebar Jepang, saya sampaikan ide untuk ke depan memproduksi serial Wayan dan Made.

Sebab dari Sanjaya saya mengerti bahwa Jepang tidak bakalan mendukung industri animasi negara lain. Karena itu salah satu credential asset mereka, baik sebagai industri, maupun penetrasi budaya. Di Bali orang kita hanya menjadi tukang yuntuk Jepang, sebatas meraih gaji tak seberapa.

Maka, ide tinggallah ide. Kini Indonesia, heboh Upin Ipin.

Mencari permodalan untuk bisnis kreatif di Indonesia amatlah sulitnya. Apalagi yang namanya venture capital riil yang saya teriakan sejak 25 tahun lalu, untuk dunia industri kreatif Indonesia, hingga kini masih isapan jempol belaka.

DI MEJA saya ketika menuliskan literair ini, menggeletak buku Undang-Undang Nomor 11, 2008, tentang Informasi Transaksi Elektronika (ITE). Di bagian halaman awalnya, ada tanda tangan seorang Dirjen Aplikasi Telematika, Depkominfo. Pada awal ia menjabat sempat saya paparkan potensi Indonesia di konten dan animasi. Karena, Departemen inilah salah satu yang sedianya mampu mengembangkan animasi menuju industri, bekerjasama dengan Departemen Perindustrian dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun belakangan hari, sang Dirjen boro-boro mengembangkan industri animasi untuk konten telematika, malah membuat UU ITE yang mengakibatkan ranah kehidupan seakan gonjang-ganjing, bahkan seorang ibu menyusui macam Prita Mulyasari, harus dibuikan tanpa bisa pamit ke anaknya yang lagi disusui.

Kala itu saya menggugat UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK), seakan seorang diri. Kawan-kawan media kala itu belum ngeh. Sang Dirjen, di persidangan sempat membawa artis Azhari bersaudara, sehingga konten pasal 27 ayat 3 yang saya gugat, soal beratnya hukuman ihwal pencemaran nama baik, seakan beralih ke sisi privat artis yang harus dilindungi. Dan kuat dugaan saya sang artis datang ke MK dibayar dengan uang Departemen, uang rakyat.

Kini mantan Dirjen itu sudah pula menjadi Komisaris sebuah bank BUMN papan atas. Dilihat dari portofolio karirnya, mampu melompat-lompat dalam hitungan pendek; Sebelumnya Kepala PT Pos Sumut, lalu tak sampai setahun jadi salah satu jajaran pimpinan Percetakan Uang Negara RI (Peruri). Maka pahamlah saya, bahwa bicara dengan pejabat negara, menjadi seakan menghadapi tembok.

Di Departemen Perindustrian, saya pernah merintis pengadaan motion capture. Alat untuk meng-capture gerak, sehingga mempercepat proses produksi. Departemen manganggarkan untuk dua tahun uang negara Rp 3,7 miliar sesuai dengan alat asal Inggris yang saya rekomendasikan: 18 kamera infra red, real time.

Ketika turun anggaran tahun pertama Rp 1,7 miliar, eh, kawan di AINAKI (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia), dimana organisasi ini saya salah satu pendiri—bahkan logonya pun goresan tangan saya sendiri—bersama sang Departemen, malah membeli kamera berkualifikasi sangat rendah dengan spesifikasi kualitas VGA, yang tak sampai Rp 200 juta didapat di pasaran. Hal ini harusnya diverifikasi KPK.

Dengan membeli peralatan dari Inggris, padahal tetap ada profit 5%, industri tertolong peralatan terpakai untuk kepentingan industri secara riil.

Dan di tahun berikutnya saya tak tahu lagi. Konon alat yang telah dibeli berkriteria VGA itu menganggur. Padahal setelah motion capture, saya mengharapkan negara mendukung pembelian jaringan komputer untuk merender: Rendering Farm.

Apa dinyana, wong motion capture gagal, apalah pula rendering farm.

Saya kemudian lebih memilih menulis untuk publik. Dari jauh saya amati banyak sekali sosok mengaku begawan di dunia animasi di Indonesia, tetapi belum ada yang mampu menjadi sebuah industri memproduksi 52 episode.

Maka ketika di event Indonesia ICT Award (INAICTA) 2010 ini ada animasi 3D Larjo, masuk sebagai pemenang, Riza Endartama, animator, lalu menjawab ucapan selamat saya di facebook-nya, “Iya kan berkat upaya abang juga dulu.” Ketika masih aktif di AINAKI dulu, kami memang sempat meminta usulan kawan-kawan animator membuat rencana serial. Larjo (singkatan Lalar Ijo) salah satu yang terpilih untuk dicarikan solusi menjadi serial, minimum hingga 26 episode, pada 2004 lalu.

Kini dalam hati terkadang ada rasa berkecil hati; apalah kita dibandingkan Malaysia kini dengan Upin Ipin saja kita telap.

Toh Larjo saja barulah berdurasi 5 menit, tidak pula sampai sepuluh episode.

Saya terkadang senyum dikulum. Menertawakan diri sendiri: tahu jalan menuju roma, apa daya tangan tak sampai. Jadi ingat sosok Jarjit Singh, acap berpantun di serial Upin Ipin, “Satu dua buah manggis, gagal tak usahlah menangis.”

He he he

Begitulah kawan-kawan, sebuah narasi tentang animasi yang tak kunjung menjadi industri di negeri ini. Rindu akan pemimpin negeri ini paham akan potensi dan peluang credential asset anak bangsanya.

Selamat merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan! []

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com


Kembang Sedap Malam

Oleh Hera Hizboel

kembang darimu adalah nyanyian merdu yang menina boboku

kembang darimu adalah matahari yang membangunkan lelap tidurku

kembang darimu adalah puisi yang menggenapi rinduku

kembang darimu adalah musim semi yang membangkitkan segenap hasratku

kembang darimu adalah nyanyian merdu yang mengiringi tarian ku

kembang darimu adalah riak gelombang harapan dan cintaku

kembang darimu mengusik angin dan cuaca negeri sunyiku

kembang darimu adalah langit biru luas terbentang

menatap kembang –kembang itu diam-diam tumbuh perasaan di hatiku. antara keberanian dan ketidakberdayaan. Antara kebimbangan dan keyakinan. antara harapan dan ketidakpastian. antara kesanggupan dan rasa cemas

kembang itu…. mewangi di dasar hatiku

kembang itu…. menjadi kembang bagi jiwaku

kembang itu…. menjelma bintang dan rembulan yang menerangi sajadahku

kembang itu…. menggenapi lantunan zikir-tasbih-dan tahmidku

kembang itu.… menggelegak, menggemuruh, dan melebur di luas semesta-Mu

[]

5 Ramadhan 1431 H

hera



Bertanya Pada Tao

Oleh Dwi Klik Santosa

Ada yang hilang ketika aku mulai menemukan

Ada yang ketemu saat aku mulai kehilangan

Ah, apa maksudnya Tao menuliskan

“dalam kosong ada isi, dalam isi ada kosong?”

[]

Pondokaren, 13 Agustus 2010 : 04.37


Pahlawan

Oleh Dwi Klik Santosa

belum teruji arti ketulusan

dan kearifan manusia

jika belum ada tetesan darah di tengah-tengah tirani

dan mengucurnya air mata di lautan sunyi

hidup itu pengabdian

cinta adalah kemampuan untuk bisa memahami

dan selalu ingin memberi

sedang prestasi adalah hasil dari setiap itikad

dengan segenap suka, dengan sepenuh cita, dan tanpa pamrih

pahlawan adalah bagi mereka

yang selalu ingat penciptanya

dalam setiap pikir, niat dan laku

siapa aku?

[]

Salemba, 4 Agustus 2006



Kado Yang Terindah

Oleh Dwi Klik Santosa

RONEO : Kenapa engkau merengut begitu?

JUMIAH : Huh… kenapa masih juga bertanya?

RONEO : Maaf,… aku sedang mengerjakan sesuatu…

JUMIAH : Tapi… mestikah tidak ingat lagi waktu. Dan… ah,…

RONEO : Ini sesuatu yang penting… sesuatu yang harus kuselesaikan secepatnya…

JUMIAH : Apakah aku tidak lebih penting dari sibukmu. Meski hanya untuk sebentar saja…

RONEO : Eh… iya… sebenarnya…  tapi aku…

JUMIAH : Akhir-akhir ini engkau seperti bukan engkau dulu yang kukenal dan… kukagumi

RONEO : …Aa… aku… iya… aku…

JUMIAH : Kenapa?… Kenapa engkau? Kenapa begitu?… Kamu jahat!… apakah kau sudah… sudah… ah, lebih baik aku pergi saja…

RONEO : Sudah apa?… Eh, tunggu sebentar… aku mohon jangan pergi…

JUMIAH : Untuk apa kau halangi aku. Aku tidak penting lagi, bukan?

RONEO : Bukan begitu… jangan begitu… kau dengarkan aku, ya. Jangan marah, ya. Aku sayang kamu!

JUMIAH : ………..???

RONEO : Sebulan ini aku memang egois. Aku pingin menyendiri. Dan tidak ada hal lain menggangguku. Nah, ini dia. Ini kuberikan kepadamu. Naskah novel ini akhirnya selesai juga kutulis. Dengan susah payah… kuberi judul KADO YANG TERINDAH. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya mengungkapkan perasaan ini ke kamu… Kamu… kamu… cewek yang baik. Memang sedikit keras kepala dan bengal, tapi sebenarnya aku meyakini… hatimu lembut… Dan masihkah engkau mengingat… sesuatu yang penting… saat kita jumpa pertama dulu. Saat aku terluka… setelah mobil itu menabrakku… Kau tolong aku… Kau jagai aku. Seperti tak boleh semenit pun lepas dari rawatanmu. “Harus tetap semangat. Arjuna tidak boleh mati dan harus terus memanah.” Itu kata-katamu dan selalu begitu kau bilang kepadaku… Sejujurnya kukatakan padamu, aku sayang kamu. Bagiku, engkaulah perempuan yang terindah… engkaulah telah mengisi kekosonganku… Nah, jangan marah lagi, ya. Aku cinta kamu. Selamat ulang tahun, ya.

[]

Zentha

16 Agustus 2010

: 14.oo


Di Bawah Pohon Pete

Oleh Dwi Klik Santosa

bulan pucat dalam jepretanku. foto : dwi ks, 6 agustus 2009; 23.09

Aku pernah menangis di bawah pohon itu

Entah karena apa

Mungkin disebabkan aku merasa tidak akan pernah lagi

Mendengarkan pengetahuan-pengetahuan indahnya

nada marahnya, cerita lucunya

bahkan isak tangisnya

Sungguh mati, aku merasa kehilangan

Dan sangat gusar kapan lagi akan menemukan

Aku pernah menangis di bawah pohon itu

Ketika banyak orang berebutan paling depan

hendak melepasnya menuju

Hanya bersender aku dibawah pohon itu

Sunyi dan sepoi ditemani angin bukit

Tersibak-sibak rambutku

Menggerak-gerakkan mata untuk luruh

dan mengucap doa yang tak seberapa fasih

“Tuhanku, hamba berbicara kini

Sebagai manusia rapuh

Makhluk yang suka sekali mengeluh

Banyak menuntut dan rajin membohong pada diri

Hamba ingin bersyukur kepadaMu, Tuhan

Hamba ingin curhat kepadaMu

Yang Kaupanggil hari ini, semogalah tunai kembali kepadaMu

Sedang makhlukMu yang sebatang dan berdebu ini

lapangkan jalannya untuk tegar menelusuri jejak-jejak itu”

[]

Cipayung Jaya, 5 Agustus 2010 : 22.4o


Manusia Modern Yang Nggombalis

Oleh Dwi Klik Santosa

SEMAR : Heh … heh … heh … manusia kok senang menganggap dirinya pahlawan

MAS BADUT : Bukankah dengan begitu ia makin pede untuk menindas yang lain

SEMAR : Heh … heh … heh … manusia kok suka mementingkan yang remeh, dan suka meremehkan yang penting

MAS BADUT : Bukankah itu trend modernisme kekinian yang nggombalis

SEMAR : Heh … heh … heh … manusia kok mudah merasa bijak, padahal coba simak apa yang pernah dilakukannya

MAS BADUT : Bukankah itu …. ah, embuh, Romo Semar … nyuwun rabi mawon …

SEMAR : Heh … heh … heh …

[]

Pondokaren, 17 agustus 2010 : 15.1o


Membaca “Jejak Guru Bangsa”

Oleh Dwi Klik Santosa

Humor itu serius. Ini yang terpetik dari sekian lembar dalam 179 halaman buku yang ditulis Mohamad Sobary : JEJAK GURU BANGSAMewarisi Kearifan Gus Dur. Sepanjang membaca buku ini, tak kurang seperti orang gila saya, senyum-senyum dan ngakak-ngakak sendiri. Wong edan! Gus Dur ki edan tenanedan bukan karena kahanan, tapi memang kahananlah yang ingin dilawannya.

Hal yang menarik perhatian saya dari sudut mengagumi Gus Dur, adalah ketika pada saat beliau masih sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Jogjakarta. Pada saat yang sama, beliau diminta sama ibunya untuk nyantri juga di Pesantren Al-Munawir, Krapyak, yang waktu itu dipimpin oleh Kyai Maksum. Banyak tanya jawab yang menggelitik antara santri Dur dan Pak Kyai. Dan topik yang dibicarakan cukup tajam, karena seusia itu santri Dur suka sekali membaca novel-novel pergerakan, yang rata-rata  semuanya berbahasa Inggris.

Dituliskan Kang Sobary, buku-buku yang dibaca Gus Dur itu antara lain : Das Capital (Karl Marx), Communist Manifesto (Karl Marx), The German Ideology (gabungan Karl Marx dan Engels), What to Be Done (Lenin). Novel-novel Tolstoy : War and Peace, dsb dsb. Ernest Hemingway : A Farewell to Arms, For Whom the Bell Tolls, The Old Man and The Sea. John Steinbeck : Travels with Charley, In Search of America. Cerpen-cerpen Chekov, Drama-drama Pushkin dan Nikolai Gogol dsb dsb.

Membaca buku ini: menyenangkan!

[]

Pondokaren, 15 Agustus 2010 : 16.1o